Oleh
Dr. Zainal Abidin Pakpahan, S.H., M.H.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Labuhanbatu dan Ketua Persatuan Aliansi Disabilitas Indonesia Kabupaten Labuhanbatu
Eksistensi para penyandang disabilitas saat ini menjadi harapan dan tantangan penyandang disabilitas di dunia kerja kini dan masa mendatangdi daerah terus mengalami pertambahan yang sangat signifikan dan tantangan terbesar dalam menghadapi kehidupan. Meskipun ada peningkatan kesadaran dan upaya inklusi yang dilakukan pada tananan program nasional, sehingga masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi sepenuhnya, hal mana jika kemudian penyandang disabilitas menjadi sasaran subordinasi atas perlakukan diskriminatif dalam dunia kerja di era industry 5.0 ini, yang dapat menghantarkan mereka untuk sulitnya mendapatkan pekerjaan dalam melangsungkan kehidupannya secara hak-hak mereka wajib untuk diakomodir kepentingan hajat hidupnya agar bisa terjamin oleh Negara secara nasional, dan didaerah secara lokal. Belum lagi stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih ada, meskipun ada upaya untuk mengubah cara pandang masyarakat. Maka untuk itu tindakan diskriminasi sebagai pelanggaran HAM dapat dipertegas dalam Pasal 23 declaration universal of human right tahun 1948, kemudian secara nasional telah ditekankan dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945, dan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM diantaranya perlakuan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sebagai pelanggaran HAM secara spesifik melahirkan banyak regulasi yang berkaitan tentang diskriminasi dan konvensi internasional, sehingga membidani akan lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
merujuk kembali kepada kasus seorang penyandang disabilitas yang di berlakukan secara diskriminatif oleh maskapai penerbangan pesawat Etihad Airways kepada Dwi Aryani seorang penyandang disabilitas yang berkursi roda, dengan jadwal penerbangan tanggal 3 April 2016 dengan rute penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Geneva (Swiss) via Bandara Abu Dhabi. Pada saat pesawat akan terbang Dwi Aryani sudah naik dan berada di badan pesawat, tiba tiba diturunkan dari pesawat Etihad Airways dan pihak maskapai melarang Dwi Aryani untuk ikut terbang dengan alasan-alasan yang tidak berdasar atas hukum yang sangat berdampak kepada kerugian bagi Dwi Aryani baik secara materil maupun immaterial.
Sebagai analisis terhadap kasus diskriminasi yang pernah terjadi di Indonesia terhadap penyandang disabilitas terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 595/K/TUN/2005 MA tentang penolakan cacat fisik untuk menjadi CPNS di Kota Surabaya tahun 2005, dimana seorang penyandang cacat yang berkursi roda ditolak untuk menjadi CPNS di Kota Surabaya oleh Wali Kota Surabaya yang menyatakan dalam pengumumannya tidak menerima dan menolak yang cacat fisik untuk menjadi CPNS dan terjadi pada tahun 2005 di Surabaya. Kemudian Handayani yang menjadi korban diskriminasi terhadap penyandang cacat tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Surabaya, dimana Pengadilan HAM tadinya tidak menerima dan memiliki kewenangan absolute untuk mengadilinyakarena hanya membatasi kepada pelanggaran HAM berat saja. Sehingga pada proses persidangan yang terjadi di PTUN tersebut gugatan Handayani sebagai korban atas perlakuan diskriminasi penyandang cacat di kabulkan oleh majelis hakim PTUN.
Sebagaimana fakta jumlah kasus yang terjadi atas tindakan perlakuan diskriminasi terhadap Disabilitas perempuan didunia kerja yang dialami oleh Dokter Gigi Romi Syofpa Ismail yang diperlakukan diskriminatif pada saat mendaftar CPNS di Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat, dimana sebelumnya Dokter Gigi Romi Syofpa Ismail dianulir kelulusannya sebagai CPNS di Solok Selatan dengan alasan mengalami lemah di kedua tungkai kakinya yang mengharuskannya beraktivitas dengan menggunakan kursi roda. Sehingga lewat pengumuman yang dikeluarkan oleh Bupati Solok Selatan Nomor: 800/62/III/BKPSDM-2019 tertanggal 18 Maret 2019, disebutkan sebanyak dua orang peserta seleksi CPNS 2018 di Solok Selatan, dibatalkan hasil seleksi dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pada Formasi Umum CPNS 2018. Sementara Ketua Panitia Seleksi Daerah CPNS Solok Selatan 2018, Yulian Efi menyampaikan proses pembatalan kelulusan Dokter Gigi Romi sudah melalui mekanisme peraturan perundang-undangan, dengan yang bersangkutan di putuskan batal kelulusannya karena tidak memenuhi persyaratan umum pada formasi umum penerimaan CPNS 2018 yaitu sehat jasmani dan rohani sesuai dengan jabatan yang dilamarnya, sehingga Yulian menyampaikan pembatalannya sesuai dengan surat Kepala Badan PPSDM Kementerian Kesehatan Nomor: KP-01-02/I/0658/2019 tanggal 25 Februari 2019.
Seperti kasus disabilitas ketika itu menjadi korban tindakan diskriminatif dari salah satu perusahaan yang berkifrah didunia perhotelan dikota medan, seorang yang bernama AR diperlakukan secara diskriminatif, akibat dirinya perempuan yang memiliki kekurangan fisik, sehingga hal ini menimbulkan protes dari AR yang merasa diperlakukan diskriminatif akibat disabilitasnya, yang kemudian AR pun tidak menerima 1 (satu) bulan gaji dan kemudian ada isu bahwa AR ingin di dikeluarkan dari tempat kerjanya tersebut.
Sebagai analisis kasusnya dimana seorang karyawan penyandang disabilitas telah ditolak bekerja diperusahaan ditempat ia bekerja sebelumnya, dimana melalui lembaga Non Governmen Organitation (NGO) yang bernama Forum Masyarakat Madani Indonesia yang bergerak dibidang LBH, LSM dan HAM yang berorientasi kepada perlakuan secara diskriminatif bagi masyarkat lemah termasuk bagi penyandang disabilitas sebagai pelanggaran HAM yang pada hakikatnya perlu untuk dilindungi secara konstitusional dan hukum di negara ini, diskriminasi terhadap pekerja penyandang disabilitas tersebut terjadi di perusahaan dengan samaran Pabrik PT. AH yang berada di Kabupaten labuhanbatu dimana karyawan perusahaan yang disabilitas dengan inisial JP telah di PHK oleh pihak perusahaan hingga gaji dan tunjangannya tidak dikeluarkan dengan alasan akibat karyawan tersebut telah mengalami kecelakaan kerja dengan kedua kakinya terpotong dan tangan pun turut terpotong yang terjadi diperusahaan Pabrik PT. AH tersebut, sehingga mengakibatkan kaki dan tangan keduanya turut terpotong sehingga mengalami cacat fisik secara jasmani, setahun setelah itu karyawan tersebut sudah sehat dan berniat untuk masuk kerja lagi dengan kondisi fisik yang serba kekurangan, akan tetapi pihak perusahaan tidak menerimanya kembali, bahkan Gaji dan tunjangannya yang merupakan hak nya sempat tidak diberikan sama sekali dengan alasan bahwa karyawan tersebut selama setahun tidak bekerja, padahal pihak perusahaan mengetahui dan turut serta membantu pula akan perobatan karyawan tersebut untuk berobat demi memulihkan semua kondisi fisiknya dari penyakitnya akibat kecelakaan kerja yang dialaminya di perusahaan tersebut, sehingga karyawan pun di pecat secara sepihak oleh perusahaan. Kemudian karyawan meminta bantuan melalui NGO Forum Masyarakat Madani Indonesia Labuhanbatu untuk meminta bantuan hukum agar yang menjadi hak-haknya dapat diberikan oleh pihak perusahaan, sehingga ketika itu kasusnya ditangani dan dijembatani oleh lembaga tersebut, sehingga dilakukan pihak lembaga NGO berupa somasi terlebih dahulu kepada pihak perusahaan, dimana somasi pertama yang dilayangkan tidak direspon oleh pihak perusahaan dan somasi berikutnya pihak perusahaan meresponnya dan terjadilah mediasi antara karyawan dengan didampingi NGO tersebut dengan pihak perusahaan untuk duduk bersama dalam membicarakan nasib karyawan tersebut yang secara serta merta haknya telah dilanggar oleh pihak perusahaan, kemudian mediasi telah membuahkan hasil dengan pihak perusahaan walupun masih ada kekurangan, dimana dalam proses mediasi berjalan dengan baik kepada pihak perusahaan dan menemui titik kesepakatan yaitu pihak perusahaan bersedia memberikan seluruh gaji dan tunjangan yang menjadi hak-hak dari karyawan tersebut, akan tetapi tidak menerimanya kembali sebagai karyawan untuk bekerja di perusahaan PT. AH tersebut dan karyawan tersebut tidak keberatan dengan hal yang demikian sehingga disepakati bersama oleh para pihak.
Belum lagi kasus disabilitas sebagai korban asusila yang dilakukan orang lain kepada penyandang disabilitas hal ini pernah terjadi di kota binjai sebagai realitas pemberian hukuman melalui Pengadilan Negeri Binjai atas putusannya berkenaan korban asusila bagi penyandang disabilitas tunawicakcara ketika sebagai korban tindak pidana pemerkosaan yang dialami oleh penyandang disabilitas perempuan anak yang bernama inisial Sulas Alias Bisu (korban) sebagaimana telah di Putus oleh Pengadilan Negeri Binjai dengan Nomor: 85/Pid.B/2013/PN.BJ yang diputus pada tanggal 25 Juli 2013 dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa inisial Tri dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan 2 (dua) bulan.
Maka berdasarkan dengan demikian tantangan hidup para penyandang disabilitas di era industir 5.0 ini sangat berat untuk bisa bertahan hidup dari aspek lini kehidupan baik dalam mendapatkan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perlindungan dari pemerintah, bahkan diri mereka sebagai ancaman dari orang-orang bingas untuk menciderai dirinya secara fisik yang dapat menghantarkan mereka untuk dapat menjadi korban kriminal, untuk itu perlunya perlindungan yang intens dan jaminan sosial bagi penyandang disabilitas secara inklusif dan kepastian tidak hanya bicara retorika belaka justru melalui praktek nyata dari pemerintah pusat dan daerah serta dari berbagai perusahaan yang ada didaerah masing-masing tempat tinggal para penyandang disabilitas.
Tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM merupakan suatu perbuatan atau tindakan individu atau sekelompok orang, termasuk yang dilakukan oleh aparat negara, baik disengaja mapun tidak disengaja, atau karena kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak individu atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak didapatkan atau dikahawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Maka jelas telah beretentangan dengan hukum jika pelanggaran HAM terhadap tindakan diskriminasi bagi penyandang disabilitas merupakan pelanggaran HAM, bahkan dapat dikenakan sanski pidana dan sanksi perdata bagi siapa saja pelaku tindakan diskriminasi bagi para penyandang disabilitas bagi pelaku atas tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas sebagaimana dijelaskan dalam Bab XI berkenaan dengan ketentuan pidana, pada Pasal 144 UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas menjelaskan; Setiap Orang yang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Selanjutnya, pada Pasal 145 nya menejelaskan bahwa: Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Padahal sanksi diskriminasi bagi penyandang disabilitas berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah sesuai pada Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi, Ras dan Etnis bila memiliki unsur suku agama ras dan budaya, begitu halnya diskriminasi terhadap anak dan perempuan yang disabilitas, oleh karenanya jika merujuk pada Pasal 144 dan 145 UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara tegas memberikan sanksi pidana atas diskriminatif yang dilakukan.
Mengenai ketentuan pidana diatas atas perlakuan diskriminatif bagi penyandang disabilitas, hampir semua ancaman pidana dalam undang-undang Penyandang Disabilitas dirumuskan secara indeterminate sentence, artinya bahwa pembentuk undang-undang memberi batasan minimum dan batasan maksimum pidana yang boleh dijatuhkan, karena dalam sistem pidana dalam khazanah teori hukum pidana terdiri dari tiga hal, yaitu: jenis pidana (strafsoort) dan lamanya sanksi pidana (strafmaat), dan aturan pelaksanaan pidana (strafmodus).
Faktanya minimnya partisipasi penyandang disabilitas dalam proses pembangunan juga diperparah dengan banyaknya penyandang disabilitas yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan, sesuai dengan data ini menunjukan bahwa hanya 24% penyandang disabilitas yang berumur 18-64 tahun bekerja pada tahun 2022. Sedangkan untuk kelompok non disabilitas, angka rekrutmen bisa mencapai 42.8% pada kelompok umur yang sama. Analisis terhadap kaum disabilitas dapat membantu untuk mengarahkan perhatian gerakan, tidak saja pada penyandang cacat belaka, melainkan pada sistem dan struktur sosial yang dikonstruksi oleh keyakinan atau ideologi sosial yang biasa terhadap kaum disabilitas. Kalau kaum disabilitas dikorbankan oleh suatu sistem sosial, dalam analisis terhadap kaum disabilitas, maka seyogianya bukanlah kaum disabilitas yang menjadi obyek dan pangkal masalah, melainkan sistem sosial yang diperjuangkan oleh gagasan pembangunan sosial.
Pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekruitmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas. Kemudian Pasal 51 menyebutkan; Pemberi Kerja wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat melaksanakan hak berserikat dan berkumpul dalam lingkungan pekerjaan. Dan Pasal 52 nya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses yang setara bagi Penyandang Disabilitas terhadap manfaat dan program dalam sistem jaminan sosial nasional di bidang ketenagakerjaan. Padahal, keadilan dalam dunia kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas itu sangat diakui dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam penjelasan Pasal 5, dan secara tegas dalam Pasal 28 UU Ketenagakerjaan menyatakan: “Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja pada perusahaanya.
Kemudian di Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas kembali menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta perusahaan negara seperti BUMN dan BUMD maupun perusahaan swasta harus mempekerjakan penyandang disabilitas yang sebagaimana disebutkan pada Pasal 53 ayat (1) menjelaskan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Dan ayat (2) nya menjelaskan, Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Kemudian Pasal 54 ayat (1) menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif kepada perusahaan swasta yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas. Dan ayat (2) menyebutkan, Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Pasal 145 Undang-undang tersebut bahkan memberi ancaman, dan sanksi pidana terhadap pelanggaran hak dan diskriminasi yang dilakukan bagi penyandang disabilitas dengan pidana kurungan selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 200 juta, dengan ini secara spesifik menjelaskan; “Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Persoalannya, kendati demikian sudah adanya aturan tersebut,malah implementasi dari undang-undang ini masih jauh dari yang diharapkan, tak semua perusahaan dan instansi pemerintah menerapkan ketentuan seperti yang demikian.
berdasarkan data yang masuk dan diinput oleh bagian data dan pengaduan KPAI pada tahun 2024 yang lalu jumlah total pengaduan masyarakat tentang anak yang masuk mencapai 3871 (tiga ribu delapan ratus tujuh puluh satu) kasus, bahwa pengaduan masyarakat yang dilaporkan kepada KPAI melalui berbagai cara, diantaranya pengaduan langsung, melalui telepon, dan juga melalui surat pengaduan. Selain itu pengaduan yang masuk ke KPAI juga berasal dari pengawasan di media massa seperti media online, cetak dan elektronik yang dilakukan secara rutin setiap harinya. Maka untuk kasus tindakan diskriminasi terhadap anak pada tahun 2012 berjumlah 46 (empat puluh enam) kasus yang masuk diantaranya pengaduan langsung sebanyak 11 (sebelas) kasus, melalui surat sebanyak 14 (empat belas) kasus, melalui telepon sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, sedangkan untuk pemantauan kasus dimedia mengenai tindakan diskriminasi melaui online sebanyak 7 (tujuh) kasus, dan untuk media cetak sebanyak 2 (dua) kasus, juga untuk elektronik sebanyak 5 (lima) kasus.
Dimana depertemen sosial justrus pernah mendata jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan dari 24 provinsi di Indonesia pada tahun 2022, tercatat 1.235.320 (satu juta dua ratus tiga puluh lima ribu tiga ratus dua puluh) jiwa penyandang disabilitas, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Berdasarkan jumlah dari penyandang disabilitas diatas bahwa sebesar 59,9 % diantaranya tidak tammat SD (sekolah dasar), dan lebih memperhatinkan lagi, lebih dari 80 persen di antaranya tidak memiliki keterampilan. Terhitung sekitar 921.036 (sembilan ratus dua puluh satu ribu tiga puluh enam) jiwa penyandang disabilitas tidak bekerja.
Maka jika dirujuk dari data di Dinas Provinsi Sumatera Utara tidak menjelaskan berapa banyak penyandang disabilitas di Sumatera Utara, dimana ketika diadakan wawancara di dinas Provinsi pada tahun 2022 yang lalu tidak memiliki kepastian atas data bagi penyandang disabilitas yang dapat dirangkum, mengakibatkan data-data yang valid tidak bisa pastikan jumlahnya, hal yang senada juga di Kabupaten Labuhanbatu melalui dinas sosial tidak ada lebih sfesik tentang berapa banyak jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Labuhanbatu, meski dari berita Labuhanbatu data dan berita melalui tulisan Potret penyandang disabilitas di Kabupaten Labuhanbatu, pada aline pertama yang didapatkan Data menunjukkan bahwa terdapat 17.735 jiwa penyandang disabilitas di Kabupaten Labuhanbatu pada tahun 2019, namun akurasi data ini dipertanyakan, menghambat perencanaan program yang efektif. sehingga ini menjadi hal yang rentan bagi mengakomodir hak-hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan sehingga wajar kita lihat jika penyandang disabilitas itu kebanyakan bekerja dengan tangan dibawah yang justru pemerintah pusat, dan pemerintah daerah wajib mempekerjakan mereka para disabilitas untuk bisa melangsungkan hidup dan kehidupannya, sehingga bagi pemerintah daerah khsususnya di Kabupaten Labuhanbatu diharapkan mampu lebih intens lagi dalam menjunjung tinggi hak-hak para penyandang disabilitas dan mengakomodir kepentingan hidup mereka, karena mereka juga adalah manusia yang perlu untuk diperhatikan dan junjung tinggi harkat dan martabatnya yang sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Muncul berbagai inisiatif untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, seperti penyediaan fasilitas publik yang ramah disabilitas, program pelatihan, dan advokasi untuk hak-hak mereka, meskipun ada peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas, termasuk telah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas, serta adanya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2024 yang baru, implementasi di Kabupaten Labuhanbatu masih menghadapi kendala signifikan implementasinya masih menjadi tantangan, terutama dalam hal aksesibilitas fasilitas publik dan pemenuhan kebutuhan khusus mereka yang kunjung kini pemerintah Kabupaten Labuhanbatu belum juga merumuskan tentang pembuatan PERDA terkait dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, sehingga penting nya untuk memastikan representasi penyandang disabilitas yang lebih baik di berbagai sektor, termasuk media, politik, dan kehidupan sosial para penyandang disabilitas kini dan masa mendatang.
Kesimpulan Tulisan:
Keadilan bagi penyandang disabilitas sebagai pelanggaran HAM masih jauh dari perlindungan dan keadilan yang diharapkan oleh disabilitas, dikarenakan Pengadilan HAM saat ini belum mampu untuk mengadili setiap pelanggaran diskriminasi bagi penyandang disabilitas ketika sebagai korban pelanggaran HAM yang secara normatif undang-undang Pengadilan HAM masih terlihat banci untuk menegakkan supremasi hukum dalam hak asasi manusia sehingga penting adanya payung hukum yang jelas bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak yang sama secara adil dalam menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu, sehingga wajib untuk mengubah undang-undang Pengadilan HAM dengan mengeluarkan peraturan yang baru yang dapat mengakomodir kepentingan hak-hak disabilitas untuk dapat mengadili tindakan diskriminasi bagi penyandang disabilitas di Pengadilan dengan cara menekankan kepada pemerintah untuk merubah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar tindakan diskriminasi dapat diadili di Pengadilan HAM, dan menekankan kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia, tekhusus di Kabupaten Labuhanbatu untuk membuat Peraturan Daerah (PERDA), terkait dengan aksesibilitas dan perlindungan hukum penyandang Disabilitas, terkhusus di Kabupaten Labuhanbatu harus mampu membuat PERDA tersebut sebagai bukti nyata untuk bisa mengakomodir yang menjadi hak-hak mereka untuk bisa mendapatkan seperti mana orang lain dapatkan pada umumnya.
Referensi:
- Declaration Universal Of Human Right 1948.
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
- Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
- Undang-Undang No. 40 tahun 2028 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
- Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas.
- Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2024 tentang Aksesibilitas.
- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 846/Pdt.G/2016/PN.JKT.SEL., hal. 5.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor: 595/K/TUN/2005 MA tentang penolakan cacat fisik untuk menjadi CPNS di Kota Surabaya tahun 2005.
- Pengadilan Negeri Binjai dengan Nomor: 85/Pid.B/2013/PN.BJ yang diputus pada tanggal 25 Juli 2013.
- Zainal Abidin Pakpahan, Dkk, Justice For Person With Disability (Ies) In Indonesia, Jurnal Internasional, Atlantis Press, melalui International Conference on Public Policy, Social Computing and Development 2017 (ICOPOSDev 2017), hal. 268-272;
- Zainal Abidin Pakpahan, Analisis Yuridis Atas Tindakan Diskriminatif sebagai Pelanggaran HAM Ringan Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, USU Law Journal 1 (2), 2012, hal. 124-146.
- Zainal Abidin Pakpahan, Human Right Akibat Tindakan Diskriminatif Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Dunia Kerja, Jurnal Ilmiah Advokasi 11 (1), 2023, hal. 29-47.
- Zainal Abidin Pakpahan, Kepastian hukum atas hak penyandang disabilitas sebagai warga negara dalam mendapatkan pekerjaan di Indonesia, Jurnal Dharmawangsa 18 (2), 2024, hal. 380.
- Potret Penyandang Disabilitas di Kabupaten Labuhanbatu https://labuhanbatu.com/2025/07/13/potret-penyandang-disabilitas-di-kabupaten-labuhanbatu/, diakses pada tanggal 16 Juni 2025.
- Retno, Komisioner KPAI Republik Indonesia, “Wawancara”, Kantor KPAI Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Agustus 2019.
- Muhammad Yusuf Siregar, Sekretaris Forum Masyarakat Madani Indonesia Kabupaten Labuhanbatu, Wawancara, Senin, 4 September 2019, Wawancara, di Kantor Lembaga NGO Forum Masyarakat Madani Indonesia Kabupaten Labuhanbatu Jl. Sisingamangaraja No. 01 Rantauprapat.