Pendahuluan: Status Ikonik dan Konteks Awal Sinema Amerika

The Godfather (1972) adalah film epik gangster Amerika yang disutradarai oleh Francis Ford Coppola. Film ini diakui secara universal sebagai salah satu film terbesar dan paling berpengaruh yang pernah dibuat, menandai tonggak sejarah abadi dalam genre gangster. Kekuatan naratif, sinematografi yang inovatif, dan penampilan yang mendalam dari para pemeran utama seperti Marlon Brando dan Al Pacino, telah menjadikannya acuan budaya multigenerasi.

Latar Belakang Produksi dan Adaptasi Sastra

Film The Godfather merupakan adaptasi dari novel bestselling tahun 1969 dengan judul yang sama, karya Mario Puzo. Francis Ford Coppola ikut menulis skenario bersama Puzo. Adaptasi ini dimulai dari premis finansial yang berisiko; Paramount Pictures memperoleh hak atas novel tersebut hanya dengan $80,000, sebelum novel tersebut meraih popularitas masif di kalangan pembaca. Setelah dirilis perdana di Loew’s State Theatre pada 14 Maret 1972, dan dirilis secara luas di Amerika Serikat pada 24 Maret 1972, film berdurasi 175 menit ini segera meraih sukses besar yang melampaui ekspektasi studio.

The Godfather sebagai Titik Balik Genre Gangster

Sebelum The Godfather, film-film gangster Amerika cenderung berfokus pada kejahatan jalanan atau sensasionalisme hitam-putih. Coppola, bersama Puzo, mengubah narasi ini secara fundamental. Film ini mengangkat kisah kejahatan terorganisasi ke tingkat opera tragis multigenerasi. Alih-alih menyajikan karakter kriminal sebagai monster satu dimensi, The Godfather memusatkan perhatian pada drama keluarga, hierarki internal, dan struktur kekuasaan yang menyerupai korporasi.

Transformasi fokus naratif ini sangat penting. Dengan menyajikan patriark kejahatan, Don Vito Corleone, sebagai pria kompleks yang berjuang demi keluarganya, film ini mengalihkan kritik sosialnya dari sekadar eksposisi kejahatan menjadi studi mendalam mengenai kegagalan Impian Amerika. Keberhasilan artistik ini dicapai melalui sinematografi kreatif, skor musik yang menghantui oleh Nino Rota, dan kinerja akting yang tak terlupakan.

Arsitektur Produksi dan Negosiasi Kontroversial

Proses pembuatan The Godfather adalah kisah penuh kesulitan yang hampir sama dramatisnya dengan cerita Corleone sendiri. Perjuangan produksi mencakup pertarungan internal dengan studio mengenai visi kreatif dan casting, serta tekanan eksternal dari dunia kejahatan terorganisasi.

Perjuangan Kreatif Coppola dan Casting yang Berisiko Tinggi

Coppola menghadapi perlawanan signifikan dari eksekutif studio selama pra-produksi. Paramount Pictures awalnya kesulitan menemukan sutradara, dan beberapa kandidat menolak posisi tersebut sebelum Coppola menandatanganinya. Ketidaksepakatan terbesar berpusat pada pemilihan aktor. Coppola bersikeras memilih Marlon Brando sebagai Vito Corleone dan, yang lebih kontroversial saat itu, Al Pacino sebagai Michael Corleone. Keputusan untuk memilih Brando, yang dikenal karena reputasi sulitnya, dan Pacino, yang saat itu relatif tidak dikenal, dipandang sebagai risiko besar oleh studio. Namun, keberanian Coppola dalam memperjuangkan ensemble cast ini, yang juga termasuk James Caan, Robert Duvall, dan Diane Keaton , terbukti menjadi kunci bagi keagungan film tersebut.

Kontroversi Mafia dan Reframing Narasi

Jalan menuju pengambilan gambar dipenuhi ancaman dan intimidasi dari kelompok-kelompok yang terkait dengan Mafia di dunia nyata.

The Godfather didasarkan pada novel Puzo yang secara eksplisit menyebut istilah “Mafia” dan “Cosa Nostra”. Namun, Italian American Civil Rights League (IACRL), yang sebagian besar dipandang sebagai perwakilan bos massa Joe Colombo, menuntut agar semua referensi tersebut dihilangkan.

Produser Albert S. Ruddy, demi memastikan proses syuting dapat berjalan tanpa gangguan, pada akhirnya menyetujui tuntutan ini. Keputusan tersebut dikonfirmasi dalam konferensi pers yang diselenggarakan Colombo, sebuah langkah yang menenangkan organisasi pro-Italia-Amerika yang khawatir film tersebut akan menstereotipkan mereka sebagai kriminal. Akibat konsesi ini, film tersebut menggunakan istilah seperti “lima keluarga” untuk merujuk pada kejahatan terorganisasi, dan ironisnya, film paling terkenal yang menggambarkan Mafia hampir tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Michael Corleone baru mengucapkan istilah itu (dengan nada jijik) dalam kesaksian senat di sekuelnya,  The Godfather Part II.

Implikasi Seni dari Konsesi Produksi

Penghapusan istilah eksplisit “Mafia” tanpa diduga memperkuat fokus tematik film pada struktur kekuasaan internal keluarga, dibandingkan organisasi kejahatan eksternal. Dengan menghilangkan label “Mafia,” Coppola dan Puzo diarahkan untuk menekankan isu-isu universal: keluarga, tradisi, tugas, dan kekuasaan. Hal ini mengangkat narasi tersebut dari sekadar paparan kejahatan menjadi tragedi yang membahas kegagalan moral seorang patriark. Konsesi politik yang dibuat oleh Ruddy, yang awalnya dianggap sebagai langkah minor untuk menjaga produksi tetap berjalan , justru menguntungkan kedalaman artistik film dengan memaksa cerita untuk fokus pada psikologi dan tragedi domestik Corleone.

Studi Karakter Sentral: Evolusi Michael Corleone dan Filosofi Don Vito

The Godfather adalah tragedi yang berpusat pada suksesi, di mana idealisme moral seorang putra dihancurkan oleh kewajiban untuk melayani dan melindungi kekuasaan patriarki.

Michael Corleone: Metamorfosis Menuju Kegelapan

Michael Corleone (Al Pacino) adalah tokoh sentral dan protagonis tragis dalam film ini. Karakter Michael mengalami metamorfosis bertahap dari seorang pahlawan militer terhormat yang tidak ingin menjadi bagian dari bisnis keluarganya, menjadi bos massa yang kejam.

Pada awalnya, Michael digambarkan sebagai mahasiswa Amerika yang “model” yang hidup tenang bersama kekasihnya, Kay, dan tersenyum sering. Dia awalnya adalah pengamat pasif terhadap urusan keluarga. Namun, setelah ayahnya ditembak, Michael dipaksa kembali ke dunia kejahatan. Perubahan utama dalam karakternya terjadi dalam lima tahap, dari kembali sebagai ‘anak yang hilang’ hingga menjadi ‘tentara’. Titik balik yang tak terhindarkan adalah ketika Michael mengajukan diri untuk membunuh Sollozzo dan Kapten McCluskey. Keputusan ini, yang awalnya ditertawakan oleh saudara laki-lakinya Sonny karena Michael tidak mengerti perbedaan antara pertempuran di Pasifik dan pembunuhan dingin , dengan cepat mengubah Michael dari pengamat menjadi partisipan aktif yang mengambil langkah pertama menuju status Don.

Perjalanan Michael menunjukkan loyalitasnya kepada keluarga melalui pengorbanan yang ekstrem, namun pengorbanan ini mengarah pada keruntuhan moral dan spiritual. Michael memang memenangkan perang geng dan mengamankan posisi keluarga , tetapi dia kehilangan Kay dan, pada akhirnya, jiwanya sendiri. Dia menyelesaikan apa yang dia yakini sebagai tugas untuk melindungi orang yang dicintainya, tetapi pada akhirnya, dia justru mengusir mereka semua, menjadi “cangkang manusia” yang tertekan dan dihantui oleh kematian.

Vito Corleone: Kekuatan Berbasis Rasa Hormat dan Komunitas

Kontras yang mendalam disajikan oleh Vito Corleone (Marlon Brando). Vito membangun ‘perusahaannya’ dengan membangun koneksi, rasa hormat, dan cinta dari komunitas di sekitarnya, bukan semata-mata ketakutan. Meskipun metode Vito brutal, ceritanya, terutama yang diperluas dalam  Part II yang berfokus pada kebangkitannya, menunjukkan seorang pria yang bangkit menjadi “seseorang yang hebat” melalui tekad dan jaringan yang kuat.

Vito mengajarkan pentingnya tradisi, tugas, dan keluarga, menegaskan bahwa “A man who doesn’t spend time with his family can never be a real man”. Filosofi kepemimpinannya adalah diplomatis, berfokus pada stabilitas, meskipun diselingi dengan kekerasan terukur.

Kontras Filosofi Kepemimpinan dan Kehancuran Jiwa

Tragedi Michael terletak pada warisan yang ia terima. Ia mewarisi integritas ayahnya, tetapi integritas tersebut tidak mampu bertahan dari percepatan modernitas dan patologi kekuasaan di dunia yang semakin tanpa hukum. Vito adalah seorang patriark kuno yang humanis dan berakar pada komunitasnya; Michael adalah Don modern, seorang CEO yang dingin dan efisien, di mana kematian hanyalah bagian dari ‘bottom line’.

Perbedaan ini divisualisasikan oleh Coppola melalui tata letak dan blocking aktor. Dalam adegan penting setelah Vito dirawat di rumah sakit, Michael secara fisik menyisipkan dirinya ke dalam perdebatan antara kakak laki-lakinya Sonny dan consigliere Tom Hagen. Dengan menggunakan framing dan komposisi yang cermat, sutradara secara visual menangkap pergeseran dinamika kekuasaan: Michael mengambil kendali aktif, menggerakkan keluarga menuju strategi yang dingin, militeristik, dan kejam. Ini adalah awal dari transformasi Michael menjadi Don yang didorong oleh hasil dan strategi tanpa emosi.

Tabel Esensial 1: Kontras Karakter: Filosofi Kepemimpinan Vito Corleone vs. Michael Corleone

Aspek Kepemimpinan Vito Corleone (Don Lama) Michael Corleone (Don Baru)
Pondasi Kekuasaan Dibangun atas dasar bantuan, rasa hormat, dan cinta dari komunitas. Dibangun atas efisiensi, ketakutan, dan strategi kejam (seperti tentara). Fokus pada hasil cepat.
Gaya Operasi Diplomatik, negosiasi, stabilitas, dan perlindungan komunitas lokal. Strategis, dingin, militeristik, fokus pada bisnis skala besar dan pembersihan musuh secara total.
Status Spiritual/Moral Membangun kekuasaan melalui metode yang jelas; ceritanya dianggap “positif” dalam konteks kenaikan. Menjadi ‘cangkang’ manusia yang dihantui kematian; jiwa hilang karena korupsi kekuasaan.
Hasil Akhir Membangun kekayaan dan mengamankan keluarga (meskipun dengan kekerasan). Memenangkan perang geng tetapi menghancurkan ikatan domestik dan membunuh saudaranya sendiri (dalam Part II).

Eksplorasi Tematik: Dekonstruksi Impian Amerika

The Godfather melampaui genre kriminal untuk menjadi sebuah analisis sosiologis dan filosofis tentang nilai-nilai yang menopang masyarakat Amerika dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dirusak.

Keluarga, Tugas, dan Tradisi

Tema inti yang mendefinisikan film ini adalah keluarga, tugas (duty), dan tradisi. Dunia Corleone adalah model hierarki kompleks di mana loyalitas adalah mata uang utama. Semua tindakan brutal, bahkan yang tampaknya di luar moralitas, disalurkan melalui retorika perlindungan keluarga. Don Vito dan Michael, meskipun adalah pembunuh, dikisahkan mencintai keluarga mereka.

Michael Corleone secara bertahap belajar bahwa menjaga keselamatan keluarga membutuhkan tindakan yang tidak bermoral. Slogan Michael, “keep your friends close, but your enemies closer,” bukan sekadar kata-kata bijak, melainkan kebutuhan operasional untuk bertahan hidup di dunia di mana pengkhianatan dapat terjadi kapan saja. Film ini dengan jelas menunjukkan bahwa demi masa depan yang aman, Michael bersedia melakukan apa saja, meskipun ia harus kehilangan jiwanya dalam proses tersebut.

Korupsi Kekuasaan dan Impian Amerika yang Gelap

The Godfather secara brilian mendemonstrasikan bagaimana kekuasaan diperoleh dan bagaimana kekuasaan itu berpotensi merusak. Film ini adalah potret gelap dari Impian Amerika. Karakter utamanya adalah imigran atau anak imigran (underclassers) yang berhasil bangkit, menjadi “somebodies” dari “nobodies,” melalui cara apa pun yang diperlukan (by any means necessary).

Film ini menyiratkan bahwa kejahatan terorganisasi, seperti yang dipraktikkan oleh Corleone, hanyalah versi kapitalisme yang lebih jujur, yang beroperasi dalam bayang-bayang sistem Amerika yang sudah korup, di mana pejabat politik dan penegak hukum dapat dibeli. Transformasi Michael dari pahlawan perang menjadi underboss yang dingin, melambangkan korupsi kekuasaan yang tak terhindarkan. Film ini menawarkan ambivalensi moral yang kompleks, memungkinkan penonton memahami motivasi Michael, meskipun tindakannya kejam.

Bahasa Visual: Sinematografi Gordon Willis (Prince of Darkness)

Keberhasilan artistik The Godfather tidak dapat dipisahkan dari sinematografinya yang revolusioner, yang dipimpin oleh Gordon Willis, yang dijuluki “Prince of Darkness.” Willis menggunakan teknik pencahayaan untuk menciptakan bahasa visual yang kompleks dan berlapis, sejalan dengan kedalaman narasi.

Penerapan Chiaroscuro dan Pencahayaan Atas (Top Lighting) yang Revolusioner

Willis secara ekstensif menggunakan teknik chiaroscuro, kontras yang ekstrem antara terang dan gelap, untuk menenggelamkan dunia Corleone dalam bayangan. Pilihan visual ini merupakan revolusi bagi sinema Amerika pada masanya. Willis juga sengaja  underexposed film dan sering menggunakan pencahayaan atas (top lighting).

Pencahayaan atas ini memiliki fungsi ganda. Pertama, Willis mengakui bahwa ia membutuhkannya untuk menonjolkan riasan unik Marlon Brando. Kedua, dan yang lebih penting, ini adalah keputusan artistik untuk menumbuhkan misteri dan ambivalensi moral. Willis menjelaskan bahwa tujuannya adalah agar penonton tidak dapat melihat mata Brando, sehingga yang terlihat adalah “manusia misterius ini sedang memikirkan sesuatu, atau akan melakukan sesuatu, tetapi Anda tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi”.

Membaca Jiwa melalui Kegelapan

Keputusan untuk menyembunyikan wajah karakter dalam bayangan adalah penanda naratif yang kuat. Kegelapan bukan hanya atmosfer, tetapi juga simbol dari kerahasiaan dan bisnis tersembunyi Corleone. Bayangan yang menyelimuti Michael, khususnya, menandakan penurunan moralnya. Kontras antara cahaya dan gelap yang digunakan Willis secara visual mengkomunikasikan dikotomi antara baik dan jahat, dan menunjukkan bagaimana jiwa manusia, terutama jiwa Michael, dapat merangkul keduanya sebelum akhirnya menyerah pada sisi gelap.

Framing dan Blocking sebagai Penanda Kekuatan

Selain pencahayaan, Coppola juga memanfaatkan framing, komposisi, dan blocking (penempatan aktor di panggung) secara cermat untuk menggarisbawahi dinamika kekuasaan yang selalu berubah dalam keluarga.

Sebuah contoh utama dari hal ini terlihat dalam adegan perdebatan strategis setelah Vito ditembak. Dalam skenario, dialog sudah mengindikasikan ketidaksetujuan antara Sonny dan Tom, tetapi Coppola menggunakan gerakan kamera yang lambat dan disengaja, serta penempatan fisik, untuk menunjukkan bagaimana Michael Corleone, yang awalnya pasif, memasukkan dirinya ke dalam percakapan dan secara visual mengambil alih kendali. Dengan menyisipkan dirinya di antara tokoh-tokoh kuat yang ada, Michael secara fisik menegaskan langkah pertamanya menuju status Don, menjadikan pergeseran kekuasaan ini terasa secara visual dan emosional oleh penonton.

Analisis Sekuens Kunci: Montase Pembaptisan

Sekuens pembaptisan yang terkenal adalah klimaks dari The Godfather, sebuah crescendo sinematik yang menyatukan ambivalensi moral dan kebrutalan Michael Corleone.

Inovasi Editing dan Cross-Cutting Tematik

Sekuens ini merupakan inovasi naratif yang brilian, menggabungkan adegan-adegan yang berbeda secara spasial dan tematik melalui teknik cross-cutting. Coppola secara bergantian menampilkan ritual sakral pembaptisan keponakan Michael (sebuah simbol pembaruan hidup dan perlindungan ilahi) dengan eksekusi brutal dan terkoordinasi terhadap musuh-musuh utama keluarga Corleone.

Meskipun Coppola awalnya merasa sekuens tersebut kurang berhasil, salah satu editor film mengusulkan untuk melapisi seluruh adegan cross-cutting tersebut dengan musik organ yang khusyuk. Sentuhan pasca-produksi ini menciptakan ritme yang intensif, mengubah sekuens tersebut menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sejarah perfilman.

Interpretasi Teologis-Moral: Puncak Kemunafikan

Juxtaposisi antara ritual agama dan kekerasan ini membuat pernyataan tegas tentang kesediaan Michael untuk mempertaruhkan jiwanya sendiri. Secara publik, Michael berdiri di gereja sebagai bapak baptis, menolak Iblis di hadapan Tuhan. Secara pribadi, ia diam-diam memimpin pembersihan massal terhadap para Don saingan yang terbunuh dengan cara yang kejam—termasuk di panti pijat dan tukang cukur.

Sekuens ini secara eksplisit menelanjangi kemunafikan mafia. Bagi Corleone, peran “Godfatherhood” tidak memiliki makna religius; itu adalah alat pragmatis untuk mengikat orang-orang penting pada lingkaran kekuasaan keluarga mereka. Michael menggunakan lambang Katolik sebagai tameng untuk tindakan kebrutalannya, mencapai titik terendah dalam kejatuhan spiritual dan moralnya. Ini adalah adegan yang menunjukkan bahwa ia telah sepenuhnya berubah dari seorang idealis yang terasing menjadi pemimpin yang kejam, yang bersedia mencemari ritual suci demi kekuasaan mutlak.

Peran Editing dalam Penciptaan Ritme Naratif

Meskipun The Godfather sebagian besar diedit dalam aksi berkelanjutan (continuous action) dan kronologis , sekuens pembaptisan memanfaatkan pemotongan keras (hard cuts) dan montase yang intens. Ritme editing yang kontras ini berfungsi untuk mengintensifkan dampak kekerasan ketika itu terjadi. Penggunaan ritme ini merefleksikan ritme keluarga Corleone itu sendiri, yang selalu berusaha menjaga keseimbangan dan penampilan normal, tetapi pada akhirnya harus menggunakan kekerasan ekstrem untuk mencapai equilibrium kekuasaan.

Warisan Sinema, Pengaruh Budaya, dan Trilogi

Penghargaan dan Dampak Komersial

Perjuangan produksi The Godfather akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa, baik secara komersial maupun kritis. Film ini meraup antara $250 juta hingga $291 juta secara global dari anggaran produksi yang hanya berkisar $6–7 juta. Puncaknya, film ini memenangkan Oscar® untuk Film Terbaik (Best Picture) pada Academy Awards ke-45 pada tahun 1973.

Hubungan dengan The Godfather Part II (1974)

The Godfather Part II adalah sekuel yang tidak konvensional, berfungsi sebagai sekuel dan prekuel yang memperluas tema dan narasi asli. Film kedua menyajikan dua alur drama paralel: kejatuhan Michael Corleone (melanjutkan cerita setelah 1958) dan kebangkitan ayahnya, Vito Corleone (mencakup masa kecilnya di Sisilia hingga pendirian ‘perusahaan’ keluarganya di New York City).

Secara kritis, Part II sering dianggap melampaui film pertama karena kedalaman penceritaannya yang lebih kompleks dan penampilan Al Pacino yang sangat mendalam sebagai Don Michael yang kejam dan tertekan.

Part II menunjukkan Michael menjadi “lebih buruk” daripada ayahnya, menghancurkan orang-orang di sekitarnya, yang memuncak pada pembunuhan brutal terhadap saudaranya, Fredo, atas pengkhianatan yang dianggapnya idiotik.

Pengaruh pada Drama Gangster Modern

The Godfather memberikan bayangan panjang yang tak terhindarkan atas genre drama kriminal dan gangster, memengaruhi karya-karya sinematik dan televisi selanjutnya, termasuk serial landmark HBO, The Sopranos.

The Sopranos (1999) mengambil isyarat dari The Godfather dengan menyeimbangkan drama kejahatan terorganisasi dengan drama domestik dan pemeriksaan psikologis. Tony Soprano, protagonis The Sopranos, memiliki kesamaan tematik dengan Michael dan Vito Corleone, di mana ia terpaksa mengambil alih kepemimpinan keluarga karena tragedi domestik. Karakter seperti Silvio Dante dalam  The Sopranos bahkan secara teratur mengutip baris-baris terkenal dari Al Pacino.

Aspirasi vs. Realitas dalam Kejahatan Sinematik

Warisan The Godfather dapat dilihat dari bagaimana film tersebut dipersepsikan oleh para penjahat fiksi di layar. Karakter dalam The Sopranos sering mengutip dan mengagumi dunia terstruktur, terhormat, dan bermartabat yang direpresentasikan oleh The Godfather. Film Corleone mewakili apa yang mereka inginkan dari dunia kejahatan terorganisasi.

Kontras yang signifikan ditarik dengan film gangster lain yang berpengaruh, seperti Goodfellas (1990) karya Martin Scorsese, yang menawarkan pandangan kejahatan yang lebih kacau, paranoia, dan kurang glamor. Analisis menunjukkan bahwa meskipun para karakter di The Sopranos bercita-cita untuk mencapai keagungan dan kontrol seperti yang digambarkan dalam The Godfather, kenyataan hidup mereka yang represif lebih mencerminkan kekacauan dan moralitas rendah dari Goodfellas.

The Godfather, dalam konteks ini, berfungsi sebagai mitos keagungan yang terus-menerus dikejar, tetapi tidak pernah dicapai, oleh para penjahat modern.

Tabel Esensial 2: Perbandingan Warisan Sinematik The Godfather

Karya Fokus Utama Filosofi Kejahatan Tujuan Naratif Koneksi The Sopranos
The Godfather (1972) Tragedi keluarga, struktur patriarki, korupsi Impian Amerika. Kejahatan sebagai ‘bisnis’ korporat yang dingin dan strategis yang berjuang untuk legitimasi. Kritik opera terhadap kekuasaan dan hilangnya jiwa. Karakter mengutipnya; representasi dunia yang ‘diinginkan’ oleh Mafia modern.
Goodfellas (1990) Kehidupan sehari-hari, hedonisme, pengkhianatan, dan paranoia. Kejahatan sebagai gaya hidup yang kacau, adiktif, dan pada dasarnya tidak terhormat. Paparan realistis dan cepat tentang kejahatan jalanan. Representasi ‘kenyataan’ yang direpresi dalam dunia Sopranos.

Kesimpulan

The Godfather (1972) berdiri sebagai studi kasus yang luar biasa dalam sinema Amerika, bukan hanya karena keahlian teknisnya tetapi juga karena kedalaman naratifnya yang kritis terhadap institusi inti Amerika—keluarga, bisnis, dan hukum—yang semuanya terbukti rentan terhadap korupsi kekuasaan. Film ini berhasil mengangkat genre gangster dari sensasionalisme menjadi tragedi universal.

Melalui sinematografi chiaroscuro revolusioner Gordon Willis, yang secara visual menyembunyikan kerahasiaan dan ambivalensi moral di balik bayangan, dan penggunaan editing yang inovatif dalam montase pembaptisan, Coppola menciptakan bahasa visual yang secara langsung mengkomunikasikan tema utama korupsi dan kemunafikan.

Transformasi Michael Corleone, dari pahlawan militer idealis menjadi Don yang dingin dan tanpa emosi, adalah arketipe tragis yang tak tertandingi. Kejatuhannya berfungsi sebagai komentar yang bertahan lama tentang Impian Amerika, menunjukkan bahwa kesuksesan yang diperoleh “dengan cara apa pun yang diperlukan” pasti akan mengorbankan jiwa dan menghancurkan ikatan domestik. Karena fokusnya pada tema-tema abadi—kekuasaan, tugas, pengkhianatan, dan kehancuran keluarga—The Godfather terus menjadi mitos modern yang relevan, mendefinisikan ulang genre dan mempengaruhi generasi pembuat film yang tak terhitung jumlahnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 + 1 =
Powered by MathCaptcha