Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) adalah sebuah ajang kompetisi yang pada mulanya fokus pada seni membaca Al-Qur’an (tilawah). Namun, seiring waktu, MTQ telah berkembang menjadi sebuah institusi keagamaan nasional yang komprehensif, mencakup berbagai disiplin ilmu Qur’ani di Indonesia. Secara institusional, tujuan utama MTQ yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) sangat fundamental: yaitu untuk mendekatkan jiwa umat Islam kepada kitab suci, serta meningkatkan semangat dalam membaca, mempelajari, memahami, dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an.

Dalam kerangka Fiqih, konsep perlombaan yang diterapkan dalam MTQ secara eksplisit dinyatakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. MTQ berfungsi sebagai medium dakwah performatif yang diakui dan didukung oleh negara. Penyelenggaraan MTQ secara masif telah terbukti memiliki dampak besar, terutama terhadap perkembangan pendidikan Islam di daerah-daerah, misalnya di Kalimantan Selatan, di mana edukasi di bidang Al-Qur’an menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, MTQ harus terus beradaptasi dan berhadapan dengan perubahan zaman dan arus globalisasi, yang selalu menimbulkan dinamika dan berbagai persoalan baru.

Pilar Utama dan Perluasan Spektrum Musabaqah

Walaupun istilah yang paling dikenal adalah Tilawatil Qur’an (seni baca), MTQ modern telah jauh melampaui fokus estetika semata. Lembaga-lembaga penyelenggara seperti Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) telah memperluas spektrum kompetisi untuk menguji penguasaan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits secara lebih holistik.

Saat ini, cabang-cabang musabaqah yang dilombakan mencerminkan kedalaman keilmuan Islam yang diuji. Cabang-cabang tersebut meliputi Cabang Tilawah Qur’an, Tahfidz Qur’an (Hafalan), Tafsir Qur’an (Interpretasi), Syarhil Qur’an (Penjelasan Isi), Karya Tulis Ilmiah Qur’an (KTIQ), Qira’at (Jenis Bacaan), Kaligrafi, Fahmil Qur’an (Pemahaman), dan Cabang Hadist. Perluasan ini merupakan sebuah respons strategis yang penting. Kritik umum sering dilontarkan bahwa MTQ terlalu fokus pada melodi (nagham) dan mengabaikan pemahaman makna. Dengan memasukkan cabang-cabang seperti Tafsir, Fahmil Qur’an, dan KTIQ, MTQ berfungsi sebagai platform pengembangan literasi dan riset Qur’an, bukan hanya sekadar festival seni vokal. Pergeseran ini memperkuat legitimasi MTQ sebagai pendorong kemajuan keilmuan Islam modern, yang secara implisit berfungsi menangkal kritik reduksionis yang mungkin muncul dari akademisi.

Asal Usul Mtq Dan Konteks Sosio-Politik Nasional

Akar Historis Seni Tilawah di Nusantara

Sebelum adanya kompetisi formal yang disponsori negara, tradisi membaca Al-Qur’an dengan lantunan indah sudah mengakar kuat di Nusantara. Tilawah selalu menjadi bagian penting dari ritual keagamaan, seperti peringatan hari besar Islam, acara kematian, atau selamatan. Tradisi ini menunjukkan bahwa umat Muslim Indonesia memiliki kedekatan kultural yang mendalam dengan Al-Qur’an.

Inspirasi Regional dan Konsolidasi Nasional

Inisiasi MTQ di tingkat nasional pada akhir tahun 1960-an tidak terjadi dalam kevakuman politik; sebaliknya, ia merupakan bagian dari proyek konsolidasi negara yang besar, yang terinspirasi oleh perkembangan regional. Indonesia secara langsung terinspirasi oleh upaya serupa yang dilakukan di Malaysia pada era 1960-an. Di Malaysia, Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman menggunakan Festival MTQ Internasional Malaysia, yang dimulai pada tahun 1960-an, sebagai alat politik yang efektif.

Tujuan di balik inisiatif ini bersifat ganda: pertama, sebagai strategi harmonisasi Islam dan nasionalisme Melayu, dan kedua, sebagai bagian dari konsolidasi nasional, yang juga melibatkan proyek anti-komunisme di tengah kerentanan rasial. Indonesia, yang turut berpartisipasi dalam MTQ Internasional Malaysia 1968, mengirimkan para juara terbaik dari MTQ Nasional I di Makassar. Indonesia melihat MTQ sebagai strategi yang berhasil dan efektif untuk mencapai tujuan sosio-politik yang serupa di masa awal Orde Baru.

Institusionalisasi oleh Negara (Awal Orde Baru, 1968-1970)

Titik balik utama bagi MTQ di Indonesia terjadi pada tahun 1968. Kompetisi yang sebelumnya diselenggarakan oleh pihak swasta atau komunitas beralih sepenuhnya menjadi proyek negara. Departemen Agama Republik Indonesia (Kemenag) mengambil alih peran sebagai penyelenggara utama.

MTQ Nasional I diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan, antara tanggal 24 hingga 30 November 1968. Setelah itu, MTQ II diadakan di Bandung (1969), dan MTQ III pada tahun 1970. Pengambilalihan MTQ oleh Kemenag ini menunjukkan bahwa acara tersebut diangkat dari acara kultural menjadi proyek negara. Tujuannya jelas: memberikan dukungan nyata pemerintah terhadap kelompok Muslim dan menggunakan MTQ sebagai instrumen konsolidasi nasional di tengah rezim baru. Proses seleksi sangat ketat; setiap daerah diwajibkan mengirimkan empat qari dan qari’ah terbaiknya yang telah diseleksi di tingkat provinsi, menjamin representasi nasional yang luas, melibatkan peserta dari Aceh, Riau, hingga Jayapura (saat itu Sukarnapura).

Keunikan Struktur Organisasi di Indonesia

Struktur pelaksanaan MTQ di Indonesia memiliki keunikan dibandingkan negara lain karena jangkauan akar rumputnya. Pelaksanaan MTQ bersifat vertikal dan berjenjang, dimulai dari tingkat Desa/Kelurahan, naik ke Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga ke tingkat Nasional.

Struktur vertikal ini memastikan bahwa MTQ meresap hingga ke masyarakat paling dasar, menjadikannya pilar utama pendidikan Al-Qur’an, baik formal maupun informal, di seluruh negeri. Dengan adanya pelaksanaan MTQ secara berjenjang dari Desa hingga Nasional, pemerintah pusat menciptakan sebuah jaringan kelembagaan yang kuat. Jaringan ini tidak hanya bertujuan melatih qari dan qari’ah, tetapi juga secara efektif mengikat komunitas Muslim lokal kepada kebijakan agama nasional yang dicanangkan oleh Kemenag/LPTQ. Hal ini berfungsi ganda: sebagai mekanisme kontrol kualitas seni tilawah dan sebagai saluran legitimasi politik yang efektif bagi pemerintah di mata umat Islam.

Tabel 2.3 menyajikan ringkasan konteks historis MTQ sebagai proyek nasionalisme Islam di Asia Tenggara.

Table 2.3: Konteks MTQ sebagai Proyek Nasionalisme Islam Awal Orde Baru

Periode/Lokasi Aktor Utama Tujuan Politik dan Kelembagaan Keterangan Sumber
Awal 1960-an (Malaysia) Tunku Abdul Rahman (UMNO) Harmonisasi Islam-Nasionalisme Melayu, Konsolidasi Nasional, dan Proyek Anti-Komunisme. MTQ Internasional Malaysia menjadi inspirasi bagi Indonesia
1968 (Indonesia) Departemen Agama RI (Kemenag) Konsolidasi Islam, Peningkatan semangat membaca Al-Qur’an, dan Peningkatan legitimasi politik. MTQ Nasional I di Makassar, menandai pengambilalihan dari penyelenggara swasta
Masa Kini (Indonesia) LPTQ, Lembaga Pendidikan Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam, Pengembangan Ilmu Qur’ani (melalui cabang Tafsir, KTIQ). Menjamin dampak positif di tingkat lokal (mis. Kalsel), menghadapi tantangan globalisasi

Analisis Teologis Dan Fiqih Dalam Pelaksanaan Mtq (Pandangan Ulama)

Hukum Kompetisi (Musabaqah) dan Etika Tilawah

Secara umum, hukum kompetisi atau musabaqah dalam kerangka MTQ diterima dalam Fiqih kontemporer karena tujuannya adalah mendukung nilai-nilai Islam, yakni mendekatkan umat pada Kitab Suci. Namun, MTQ tidak hanya menuntut kemampuan teknis; ia juga menuntut etika dan kesalehan spiritual.

Imam Al-Ajurri menekankan pentingnya etika bagi penghafal dan pembaca Al-Qur’an. Etika-etika ini, seperti tawadhu’ (rendah hati) ketika mengajarkan dan membaca, serta perjuangan dalam menghafal, dianggap masih sangat relevan hingga saat ini. Tujuan utama menghafal dan membaca Al-Qur’an adalah untuk memperlama ibadah dan interaksi dengan Allah SWT, yang menjanjikan syafaat di hari kiamat. Etika ini berpusat pada niat yang murni, menegaskan bahwa MTQ adalah ibadah performatif dan bukan sekadar pertunjukan seni.

Pilar Penilaian: Tegangan antara Normatif dan Estetika

Penilaian dalam MTQ cabang Tilawah didasarkan pada empat pilar utama, yang mencerminkan adanya ketegangan antara kepatuhan kaidah ilmu dan elemen estetika seni:

  1. Tajwid: Ini adalah pilar normatif yang sangat wajib. Materi penilaian mencakup Makharij al-hurf (tempat keluar huruf) dan shifat al-Huruf (sifat-sifat huruf). Pelanggaran di area ini dapat berujung pada diskualifikasi.
  2. Fashahah / Adab: Pilar ini meliputi kaidah berhenti dan memulai (Ahkam al-waqfu wa al-ibtida’), ketelitian huruf dan harakat (mura’atul huruf wal harakat), serta ketelitian kalimat (mura’atul kalimat). Fashahah memastikan kefasihan dan etika dalam penyampaian.
  3. Lagu (Nagham): Ini adalah pilar estetika. Penilaian mencakup lagu pertama dan penutup, jumlah atau komposisi lagu yang digunakan, dan transisi atau peralihan antar lagu.
  4. Suara: Fokus pada mutu dan kualitas vokal qari/qari’ah.

Polemik Nagham, Langgam Lokal, dan Isu Ashabiyyah

Isu paling sensitif dan diperdebatkan dalam MTQ adalah penggunaan nagham (melodi), terutama ketika melodi tersebut mengadopsi langgam di luar tradisi bacaan Arab standar, seperti penggunaan Langgam Jawa. Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara modernitas (keinginan menampilkan identitas lokal) dan konservatisme (upaya mempertahankan kemurnian tradisi tilawah).

Ulama seperti Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA., menyoroti beberapa kekhawatiran teologis-sosiologis terhadap penggunaan langgam non-tradisional yang berlebihan:

  1. Fitnah (Pengalihan Hati): Terdapat kekhawatiran bahwa keindahan melodi yang berlebihan akan mengalihkan hati pendengar dan pembaca dari makna ayat, yang berpotensi menimbulkan fitnah—godaan atau ujian yang mengganggu kekhusyuan, sesuai dengan yang disinggung dalam hadis HR. Tirmidzi.
  2. Takalluf (Memaksakan Diri): Pembaca dicurigai terlalu memaksakan diri untuk meniru lagu yang ‘tidak lazim’ dalam membaca Al-Qur’an, yang dianggap sebagai sikap berlebihan dan dapat mengurangi keikhlasan ibadah.
  3. Ashabiyyah (Fanatisme Kelompok): Kekhawatiran yang paling berbahaya adalah niat untuk menonjolkan sentimen kedaerahan atau kebangsaan (misalnya, kejawaan atau keindonesiaan) melalui langgam. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah (fanatisme kelompok) yang diharamkan dalam Islam.
  4. Khawatir Memperolok Al-Qur’an: Terdapat potensi bahwa penggunaan melodi yang terlalu jauh dari tradisi yang diakui dapat dianggap sebagai bentuk penghinaan atau olok-olok terhadap kesucian Kitab Suci.

Meskipun MTQ secara resmi mencantumkan Lagu sebagai kriteria penilaian, kritik ulama ini membatasi kebebasan estetika tersebut. Pandangan ini memaksa LPTQ untuk menegaskan kembali bahwa MTQ harus memprioritaskan hukum (Tajwid dan Fashahah) di atas rasa (Lagu dan Suara). Perdebatan ini menyoroti bahwa MTQ harus selalu menjaga keseimbangan agar tidak bergeser dari ranah ibadah ke ranah hiburan semata.

Table 3.3: Komparasi Pandangan Ulama Mengenai Nagham dalam Tilawah (Fokus Kritik)

Isu Kritik Fiqih Deskripsi Kekhawatiran Implikasi Fiqih (Hukum) Sumber Referensi Fiqih
Fitnah Hati pembaca/pendengar teralih dari makna ayat kepada estetika melodi yang berlebihan. Menghilangkan kekhusyuan. HR. Tirmidzi
Takalluf Upaya memaksakan diri atau berlebihan dalam meniru langgam non-tradisional yang ‘tidak lazim’. Berpotensi menghilangkan keikhlasan. Pandangan Ulama Kontemporer
Ashabiyyah Niat menonjolkan sentimen kedaerahan/kebangsaan di atas persatuan Islam. Hukumnya Haram (Fanatisme Kelompok). Fatwa Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA.
Disproporsi Fokus Mengutamakan unsur Lagu/Suara (Estetika) daripada Pemahaman Makna dan Pengamalan. Mengurangi nilai dakwah dan pendidikan Kritik Akademis dan Institusional

Manajemen, Dampak, Dan Tantangan Kontemporer

Peran Sentral Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ)

Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) memegang peranan vital dalam memastikan keberlanjutan MTQ dan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ). LPTQ bertindak sebagai pelaksana teknis yang bertanggung jawab atas pembinaan, koordinasi, dan penyelenggaraan musabaqah di tingkat daerah. LPTQ juga bertanggung jawab menjembatani hasil seleksi lokal dengan kompetisi di tingkat nasional dan, pada gilirannya, dengan MTQ Internasional di Malaysia.

Kendala Operasional dan Isu Kapasitas Institusi

Meskipun MTQ memiliki struktur yang unik dan luas di Indonesia, pelaksanaan program LPTQ di lapangan sering menghadapi kendala yang bersifat institusional dan manajerial. Optimalisasi program kerja belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena keterbatasan waktu dan dana yang tersedia. Selain itu, kapasitas sumber daya manusia (SDM) di LPTQ juga menjadi isu, di mana kepengurusan belum dapat berfungsi secara maksimal karena faktor mutasi atau kesibukan tugas dinas.

Masalah yang lebih mendasar adalah kurangnya insentif yang memadai. Penghargaan bagi peserta terbaik MTQ/STQ, seperti biaya umroh, ibadah haji, atau prioritas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dinilai belum cukup kuat. Jika insentif karir atau finansial tidak memadai, peserta terbaik, yang memiliki potensi untuk memilih jalur karir lain, akan cenderung meninggalkan jalur pembinaan MTQ. Hal ini menciptakan risiko sistemik jangka panjang, di mana kemampuan LPTQ untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik secara konsisten terancam, yang pada akhirnya mengakibatkan kualitas peserta di beberapa tingkat masih ditemukan belum memenuhi standar nasional. Ini merupakan kegagalan untuk menjembatani antara prestasi spiritual-kultural yang dicapai di MTQ dengan reward profesional yang stabil.

Dampak Nyata terhadap Pendidikan Al-Qur’an Lokal dan Legasi

Terlepas dari kendala institusional, dampak MTQ di tingkat akar rumput sangat positif dan signifikan. MTQ terbukti memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan kualitas pemahaman di bidang Al-Qur’an pada santri. Di banyak daerah, seperti Kalimantan Selatan, perkembangan pendidikan Islam khususnya di bidang Al-Qur’an menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat berkat adanya MTQ.

Selain dampak pendidikan, MTQ juga melahirkan figur-figur legendaris yang menjadi duta bangsa di kancah internasional. Figur ikonik seperti Hj. Maria Ulfah, yang dianugerahi penghargaan Qari’ah Internasional Legendaris, dan Qari legendaris lainnya seperti H. Muammar ZA, telah menetapkan standar kualitas tilawah yang sangat tinggi. Daftar Qari’ah terbaik nasional dari era awal MTQ seperti Marwiyah Rafe’i (1968) dan Sarini Abdullah (1981) menunjukkan bahwa MTQ secara historis berhasil melahirkan role model yang menjaga standar keunggulan tilawah dan mempopulerkan seni baca Al-Qur’an.

Tantangan di Era Globalisasi dan Digitalisasi

MTQ kini berhadapan langsung dengan dinamika perubahan zaman dan arus globalisasi. Salah satu tantangan di masa kini adalah adaptasi terhadap era digital. Lembaga-lembaga keagamaan, termasuk pengurus masjid, telah mulai memanfaatkan teknologi dan media digital untuk manajemen kegiatan, informasi dana, kalender acara, dan komunikasi.

Namun, digitalisasi juga membawa risiko komersialisasi. Ketika penampilan Qari/Qari’ah menjadi viral di media sosial, terdapat risiko bahwa tujuan utama MTQ sebagai ibadah akan tereduksi menjadi hiburan atau tontonan semata. Hal ini memperburuk isu “Fitnah” yang telah disorot oleh ulama, di mana fokus estetika melebihi fokus pada kekhusyuan dan makna. Tantangan kontemporer menuntut LPTQ untuk tidak hanya menyelenggarakan kompetisi, tetapi juga memandu penggunaan media digital agar tetap selaras dengan etika dan tujuan utama Al-Qur’an.

Kesimpulan

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) adalah institusi keagamaan yang sukses di Indonesia, berevolusi dari inspirasi regional (Malaysia 1960-an) menjadi proyek negara (sejak 1968) yang berfungsi ganda sebagai alat konsolidasi nasional dan penggerak pendidikan Islam di tingkat lokal. MTQ telah menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan memperluas cabang lomba dari hanya Tilawah menjadi bidang-bidang keilmuan seperti Tafsir, KTIQ, dan Hadist, yang secara efektif menanggapi kritik bahwa kompetisi ini terlalu fokus pada estetika semata.

Meskipun demikian, MTQ menghadapi tegangan teologis yang berkelanjutan, terutama dalam polemik nagham yang menuntut keseimbangan antara seni (Lagu dan Suara) dan kaidah normatif (Tajwid dan Fashahah). Kritik ulama terhadap takalluf dan ashabiyyah menunjukkan bahwa estetika tilawah harus dibatasi oleh niat dan etika Fiqih. Di sisi manajemen, MTQ menghadapi tantangan serius berupa keterbatasan sumber daya LPTQ dan insentif yang lemah bagi juara, yang mengancam keberlanjutan dan kualitas standar nasional di tengah persaingan talenta profesional.

Rekomendasi Peningkatan Mutu dan Relevansi MTQ Masa Depan

Berdasarkan analisis terhadap asal usul, pandangan ulama, dan kondisi masa kini, terdapat beberapa rekomendasi strategis untuk memastikan MTQ tetap relevan dan berkualitas:

  1. Profesionalisasi dan Penguatan LPTQ: Institusi LPTQ perlu mendapatkan profesionalisasi yang lebih besar, dengan alokasi anggaran yang memadai untuk mengatasi kendala operasional dan SDM, termasuk menstabilkan kepengurusan dan mengurangi dampak mutasi tugas dinas.
  2. Harmonisasi Insentif Karir: Pemerintah dan Kemenag harus menyediakan skema insentif yang lebih kuat dan konkret, seperti beasiswa penuh atau prioritas karir yang jelas di lembaga keagamaan negara, bagi Qari/Qari’ah terbaik. Langkah ini penting untuk menjembatani prestasi spiritual dengan stabilitas profesional, yang akan membantu LPTQ mempertahankan talenta terbaik dan meningkatkan standar nasional secara konsisten.
  3. Penguatan Aspek Ilmiah dan Etika: Dalam penjurian, perlu dilakukan pengetatan kriteria Fashahah dan Adab untuk menyeimbangkan dominasi penilaian Lagu/Suara. Selain itu, MTQ harus mengintegrasikan materi pelatihan etika Qari, berdasarkan rujukan klasik, untuk secara proaktif menangkal risiko Takalluf dan Ashabiyyah dalam tilawah.
  4. Integrasi Digital Edukatif: Pemanfaatan media digital harus diperluas dari fungsi administrasi menjadi platform edukasi yang masif. Konten digital MTQ harus difokuskan pada penyebaran materi tentang Tajwid, Fashahah, Tafsir, dan KTIQ, memastikan bahwa tujuan MTQ untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an tidak hilang di tengah popularitas tilawah yang bersifat performatif.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 4 =
Powered by MathCaptcha