Candi Bahal merupakan sebuah kompleks percandian kuno yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Indonesia. Sebelum pemekaran wilayah, lokasi ini adalah bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Situs ini dikenal dengan beberapa nama, mencerminkan lapisan identitas budaya dan religius yang kompleks. Selain “Candi Bahal” yang diambil dari nama desanya, situs ini juga disebut “Candi Portibi.” Nama “Portibi” berasal dari bahasa Batak yang berarti ‘dunia’ atau ‘bumi’, yang merupakan serapan dari bahasa Sanskerta ‘Pertiwi’ (Dewi Bumi). Nama lain yang umum digunakan adalah “Biaro Bahal”, di mana “biaro” merupakan adopsi dari kata “vihara” dalam bahasa Sansekerta, merujuk pada biara atau tempat belajar mengajar dan ibadah, khususnya bagi penganut agama Buddha.
Kehadiran nama “Portibi” yang berakar pada bahasa Batak dan Sanskerta ‘Pertiwi’ (Dewi Bumi) bersamaan dengan “Biaro” yang jelas merujuk pada ‘vihara’ (biara Buddha) menunjukkan adanya interaksi budaya dan religius yang mendalam di situs ini. Nama “Portibi” dapat mengindikasikan adanya pengaruh lokal, kemungkinan Hindu, atau sinkretisme yang mendalam dengan kepercayaan setempat, sementara “Biaro” secara tegas mengukuhkan fungsi Buddhisnya. Koeksistensi nama-nama ini tidak terjadi secara kebetulan. Ini menyiratkan bahwa Candi Bahal tidak hanya sekadar situs keagamaan yang diimpor, melainkan sebuah entitas yang telah terintegrasi secara mendalam ke dalam lanskap budaya dan linguistik lokal. Hal ini mungkin juga mengisyaratkan praktik keagamaan yang sinkretis, di mana unsur-unsur kepercayaan pribumi atau Hindu berpadu dengan Buddhisme Vajrayana, sebuah fenomena yang umum terjadi dalam sejarah keagamaan di Asia Tenggara. Pemahaman ini memperkaya narasi sejarah Candi Bahal, melampaui klasifikasi sederhana sebagai “candi Buddha” semata.
Aksesibilitas menuju Candi Bahal bervariasi dalam deskripsinya. Beberapa sumber menyebutkan perjalanan sekitar tiga jam dari Padangsidempuan atau 400 km dari Medan, dengan jalan yang sudah cukup baik meskipun ada bagian yang perlu perbaikan. Namun, sumber lain mengindikasikan bahwa jalan menuju candi masih berlumpur dan tidak terawat, serta angkutan umum yang relatif jarang, yang dapat memakan waktu perjalanan yang signifikan. Inkonsistensi informasi mengenai aksesibilitas ini menyoroti hambatan kritis bagi potensi situs ini sebagai destinasi wisata budaya utama. Infrastruktur yang buruk secara langsung memengaruhi jumlah pengunjung, yang pada gilirannya dapat memengaruhi manfaat ekonomi lokal dan, mungkin, kemauan politik atau pendanaan untuk upaya pelestarian lebih lanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengakuan akan signifikansi sejarah situs dan dukungan praktis untuk aksesibilitas serta pengembangan pariwisata.
Candi Bahal adalah bagian dari kompleks percandian yang lebih besar yang dikenal sebagai Kompleks Percandian Padang Lawas. Kompleks ini mencakup setidaknya enam belas situs candi lainnya, seperti Candi Pulo, Candi Barumun, dan Candi Sipamutung. Penting untuk dicatat bahwa dari semua candi di Padang Lawas, Candi Bahal adalah satu-satunya yang telah selesai direnovasi sepenuhnya. Candi Bahal diakui sebagai salah satu kompleks candi Buddha terbesar dan termegah yang ditemukan di Pulau Sumatra. Keberadaannya bukan hanya menawarkan keindahan arsitektur, tetapi juga menyimpan kisah sejarah yang kaya. Candi Bahal menjadi simbol penting dari pengaruh budaya Buddha yang pernah berkembang pesat di wilayah ini, serta menjadi saksi bisu dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang terkenal.
Konteks Sejarah dan Kerajaan yang Terkait
Candi Bahal diperkirakan dibangun sekitar abad ke-11 Masehi. Beberapa sumber juga menyebutkan abad ke-12. Namun, ada pula yang mengindikasikan periode pembangunan yang lebih luas, yaitu antara abad ke-11 hingga ke-14 Masehi. Satu sumber menyebutkan abad ke-9 , namun data ini tampaknya merupakan anomali dan memerlukan verifikasi lebih lanjut dari sumber-sumber lain yang lebih konsisten. Adanya variasi tanggal pembangunan candi ini menunjukkan bahwa kronologi pasti Candi Bahal masih menjadi subjek penelitian. Inkonsistensi ini mengindikasikan bahwa penentuan tanggal yang tepat untuk situs bata merah seringkali lebih menantang dibandingkan situs batu dengan prasasti bertanggal jelas. Ambiguitas kronologis ini menyoroti tantangan inheren dalam penanggalan situs arkeologi, terutama yang terbuat dari bata, yang lebih sulit untuk ditentukan secara presisi dibandingkan batu dengan prasasti. Ini menggarisbawahi perlunya penelitian arkeologi yang lebih komprehensif, mungkin melibatkan teknik penanggalan canggih, untuk menetapkan garis waktu yang lebih definitif. Periode pembangunan ini menempatkan Candi Bahal dalam konteks perkembangan akhir periode Hindu-Buddha di Nusantara, setelah puncak kejayaan di Jawa Tengah.
Candi Bahal memiliki keterkaitan yang kuat dengan Kerajaan Pannai. Kerajaan Pannai diidentifikasi sebagai salah satu pelabuhan dagang penting di pesisir Selat Malaka yang berada di bawah pengaruh mandala Sriwijaya. Beberapa sumber secara eksplisit menyatakan Candi Bahal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya sendiri dikenal luas sebagai pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. Keberadaan kompleks candi di Padang Lawas, termasuk Bahal, menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki peran strategis sebagai rute pergerakan antara pantai timur dan barat Sumatera, sekaligus menjadi pusat keagamaan yang penting pada masanya.
Meskipun keberadaan Kerajaan Pannai masih diselimuti misteri, diduga kuat ia berlokasi di pedalaman Sumatera, kemungkinan di kawasan Padang Lawas, dan dikenal kaya akan hasil hutan serta tambang. Penemuan Prasasti Panai di kompleks Candi Bahal semakin memperkuat dugaan keterkaitan ini, meskipun perlu diingat bahwa prasasti dapat dipindahkan dari lokasi aslinya. Hubungan Candi Bahal dengan Kerajaan Pannai dan mandala Sriwijaya menunjukkan bahwa Pannai mungkin merupakan entitas semi-otonom dalam lingkup pengaruh Sriwijaya yang lebih besar, memanfaatkan lokasi strategis dan sumber dayanya. Hubungan ini menggambarkan kompleksitas geografi politik Asia Tenggara kuno, di mana kerajaan maritim yang kuat seperti Sriwijaya memberikan pengaruh atas berbagai kerajaan kecil yang kaya sumber daya melalui sistem mandala, bukan kontrol teritorial langsung. Pembangunan kompleks Buddha yang signifikan seperti Bahal di Pannai menunjukkan bahwa pengaruh Sriwijaya meluas di luar perdagangan, mencakup penyebaran agama dan budaya, kemungkinan sebagai sarana untuk memperkuat ikatan politik atau mempromosikan kerangka ideologis bersama.
Keberadaan Candi Bahal telah diketahui sejak zaman kolonial Belanda. Situs ini secara resmi ditemukan kembali pada pertengahan abad ke-19 oleh Franz Junghun, seorang geolog dan Komisaris Hindia Timur. Sejumlah ahli lain juga telah memberikan kontribusi penting dalam riset di Candi Bahal, antara lain Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schnitger, yang dikenal berjasa dalam mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.
Tabel 1: Garis Waktu Sejarah dan Pemugaran Candi Bahal
Periode/Tahun | Peristiwa Penting |
Abad ke-11 – ke-14 Masehi | Periode pembangunan Candi Bahal (dengan klaim abad ke-9 sebagai outlier) |
Pertengahan Abad ke-19 | Penemuan kembali Candi Bahal oleh Franz Junghun |
1977-1978 | Fase pemugaran pertama Candi Bahal I |
1982-1983 | Fase pemugaran kedua Candi Bahal I |
1991-1992 | Pemugaran Candi Bahal II |
2023 | Candi Bahal digunakan sebagai tempat peringatan Hari Raya Waisak |
Afiliasi Keagamaan: Jejak Buddha Vajrayana
Candi Bahal secara konsisten diidentifikasi sebagai kompleks candi Buddha, khususnya beraliran Vajrayana. Vajrayana adalah tradisi Buddha Mahayana yang menekankan praktik dan ritual esoteris, bertujuan untuk mencapai pencerahan spiritual yang cepat melalui penggunaan mantra (suara suci), mudra (gerakan tangan simbolis), mandala (diagram spiritual), dan visualisasi dewa atau Buddha. Nama “Bahal” itu sendiri memiliki koneksi dengan Nepal, di mana istilah ini masih digunakan untuk merujuk pada kuil bertingkat dua Vajrayana. Candi Bahal menjadi simbol penting dari pengaruh budaya Buddha yang berkembang pesat di wilayah ini, serta menjadi saksi bisu dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara.
Dalam aliran Buddha Vajrayana di Padang Lawas, dipercaya adanya upacara tantrayana dan bhairawa. Upacara tantrayana digambarkan melibatkan tindakan yang tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Upacara bhairawa disebutkan dilakukan di atas
ksetra (lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar), di mana praktisi melakukan semedi, menari, merapal mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa. Tujuan dari praktik-praktik ini adalah untuk mencapai kekayaan, umur panjang, kekebalan, kemampuan menghilang, dan menyembuhkan penyakit, dengan merapal nama Buddha atau Bodhisattwa untuk ketenangan atau mukjizat reinkarnasi. Meskipun deskripsi ini terdengar ekstrem, Vajrayana memang dikenal dengan praktik tantra yang dapat melibatkan penggunaan zat tabu atau praktik yang menantang norma konvensional untuk melampaui pemikiran dualistik, seringkali dalam konteks ritual atau simbolis.
Deskripsi praktik Vajrayana di Bahal, yang melibatkan unsur-unsur seperti mayat, alkohol, dan “tindakan sadis” , sangat mencolok. Meskipun Vajrayana memang memiliki praktik tantra yang menantang norma konvensional atau menggunakan substansi “tabu” secara simbolis, interpretasi literal dalam sumber tersebut terdengar sangat ekstrem. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah deskripsi ini mencerminkan praktik historis yang sebenarnya, interpretasi di kemudian hari, atau mungkin kesalahpahaman terhadap ritual esoteris oleh pengamat eksternal. Tujuan “membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali” sejalan dengan prinsip Buddha, tetapi metode yang dijelaskan sangat tidak biasa untuk Buddhisme arus utama. Jika akurat, penggambaran ekstrem ini menunjukkan bentuk Buddhisme Vajrayana yang sangat terlokalisasi dan mungkin intens di Padang Lawas, berpotensi dipengaruhi oleh kepercayaan animisme pribumi atau garis keturunan Tantra tertentu. Penting untuk menyajikan informasi ini dengan lensa kritis, mengakui bahwa deskripsi tersebut mungkin disensasionalisasi atau mewakili aspek praktik yang sangat spesifik dan mungkin langka. Ini juga menyoroti keragaman praktik Buddha di seluruh Asia Tenggara dan bagaimana konteks lokal membentuk manifestasinya. Kehadiran dewa-dewi Hindu seperti Ganesha lebih lanjut mendukung lingkungan sinkretis, di mana batas antara tantrisme Hindu dan Buddha mungkin bersifat cair.
Penemuan arca-arca batu seperti kepala makara, arca Ganesha, dan raksasa di Candi Bahal menimbulkan dugaan bahwa candi ini mungkin merupakan candi Hindu atau Buddha Tantrayana, menunjukkan adanya perpaduan antara agama Hindu dan Buddha. Fakta bahwa candi ini masih digunakan untuk beribadah saat hari raya Waisak menunjukkan keberlanjutan fungsi spiritualnya hingga kini. Penggunaan Candi Bahal yang berkelanjutan untuk perayaan Waisak menunjukkan bahwa situs ini mempertahankan signifikansi spiritualnya bagi komunitas Buddha, bahkan berabad-abad setelah pembangunannya. Ini mengubahnya dari sekadar peninggalan arkeologi menjadi situs warisan hidup. Fungsi spiritual yang berkelanjutan ini memberikan argumen kuat untuk pelestariannya, bukan hanya sebagai monumen sejarah tetapi sebagai tempat ibadah yang aktif. Ini juga menunjukkan potensi keterlibatan masyarakat dalam upaya konservasi, karena komunitas Buddha lokal memiliki kepentingan dalam menjaga integritas situs tersebut.
Arsitektur dan Tata Letak Kompleks Candi
Ketiga Candi Bahal (I, II, III) dibangun menggunakan bata merah, yang diduga diambil dari sekitar lokasi candi. Arca-arca yang ditemukan di candi terbuat dari batu keras. Arsitektur Candi Bahal menampilkan corak khas India dengan sentuhan lokal. Ada kemiripan dengan candi-candi di Jawa Timur yang juga banyak menggunakan bata merah. Pengaruh India ini terlihat pada ornamen dan relief yang menghiasi candi. Penggunaan bata merah yang konsisten menunjukkan adanya penguasaan teknik pembuatan bata dan konstruksi yang canggih di wilayah tersebut pada masa itu. Berbeda dengan banyak candi Jawa yang umumnya menggunakan batu vulkanik, ketergantungan pada bata di Sumatera (juga terlihat di Muara Takus) mengindikasikan tradisi arsitektur regional yang khas, mungkin dipengaruhi oleh geologi lokal dan ketersediaan bahan. Ini merupakan karakteristik arsitektur signifikan yang membedakan candi-candi Sumatera dari rekan-rekan mereka di Jawa. Hal ini mengisyaratkan adaptasi regional gaya arsitektur India terhadap bahan lokal dan kondisi lingkungan, menunjukkan adanya “gaya Sumatera” yang unik dalam arsitektur candi Asia Tenggara yang lebih luas.
Kompleks ini terdiri dari tiga candi utama: Candi Bahal I, Candi Bahal II, dan Candi Bahal III.1 Ketiganya saling berhubungan dan berdiri dalam satu garis lurus. Jarak antar candi bervariasi dalam sumber, sekitar 300 meter atau 500 meter. Setiap candi dikelilingi oleh pagar bata merah dengan tinggi sekitar 60 cm hingga 1 meter dan ketebalan 1 meter. Pintu masuk utama kompleks berada di sisi timur, menjorok keluar dan diapit oleh dinding setinggi 60 cm. Bangunan utama di setiap kompleks terletak di tengah halaman, tepat menghadap gerbang. Tata letak candi-candi ini membentuk konfigurasi massa dan spasial yang jelas, dengan aksis yang kuat dan hierarki yang tampak berdasarkan jumlah candi perwara (pendamping) dan dimensi candi utama. Orientasi ketiga kompleks candi ini menuju arah tenggara.
Candi Bahal I merupakan candi terbesar di antara ketiga candi dalam kompleks ini. Letaknya di atas tanah yang lebih tinggi dibandingkan area sekitarnya, sekitar 200 meter dari Sungai Batang Pane. Luas pelatarannya mencapai 3000 m2. Bentuk bangunannya persegi panjang atau bujur sangkar. Atapnya berbentuk dagoba, yaitu stupa berbentuk silinder dengan tinggi sekitar 2,5 meter, dihiasi pahatan untaian bunga di tepiannya. Dindingnya memiliki pahatan yang sayangnya sudah rusak, namun masih terlihat seperti orang yang sedang menari. Sisi timur dan depan candi memiliki pahatan raksasa yang sedang duduk. Kaki candi dihiasi dengan papan-papan berukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang menari, mirip dengan upacara di Tibet, serta ukiran singa yang duduk di antaranya. Bingkai pintunya tidak terdapat pahatan apapun. Terdapat fondasi berukuran 3 meter persegi dan 2,5 meter persegi di pelataran, yang diduga merupakan sisa-sisa candi perwara (candi pendamping).
Candi Bahal II terletak sekitar 100 meter dari jalan dan 300 meter dari Candi Bahal I. Bangunan utamanya tidak seluas Candi Bahal I. Bagian dalamnya terdapat ruang kosong berukuran sekitar 3 meter persegi. Pintu masuknya tidak terdapat hiasan pahatan. Atapnya berbentuk limas dengan puncak bersegi empat. Candi ini memiliki dua candi perwara.
Candi Bahal III terletak sekitar 100 meter dari jalan, dengan akses melalui jalan setapak dari persawahan dan perumahan penduduk. Bentuk bangunannya tidak jauh berbeda dari dua candi sebelumnya, dikelilingi pagar bata dengan ketebalan dan ketinggian yang sama. Bagian pintunya juga tidak terdapat pahatan, namun dindingnya lengkap dengan pahatan bermotif menyerupai bunga dan hiasan daun. Atapnya berbentuk serupa dengan Candi Bahal II (limas dengan puncak bersegi empat). Bentuknya bujur sangkar. Candi ini memiliki satu candi perwara.
Tabel 2: Perbandingan Karakteristik Candi Bahal I, II, dan III
Fitur | Candi Bahal I | Candi Bahal II | Candi Bahal III |
Lokasi Relatif | Di atas tanah lebih tinggi, 200m dari Sungai Batang Pane | 100m dari jalan, 300m dari Candi Bahal I | 100m dari jalan, 300m dari Candi Bahal II, lewat jalan setapak persawahan |
Ukuran Bangunan Utama | Terbesar, pelataran 3000 m2, persegi panjang/bujur sangkar | Tidak seluas Bahal I, ruang kosong 3m2 | Paling kecil, bentuk tidak jauh beda dari sebelumnya, bujur sangkar |
Bentuk Atap | Dagoba (stupa silinder, tinggi 2,5m) | Limas dengan puncak bersegi empat | Limas dengan puncak bersegi empat |
Detail Dinding/Relief | Pahatan penari rusak, yaksa berkepala hewan, singa duduk, raksasa duduk | Tidak disebutkan pahatan dinding spesifik | Pahatan motif bunga, hiasan daun |
Bingkai Pintu | Tidak ada pahatan | Tidak ada pahatan | Tidak ada pahatan |
Candi Perwara/Fondasi | Diduga ada sisa fondasi candi perwara (3m2, 2.5m2) | Memiliki 2 candi perwara | Memiliki 1 candi perwara |
Kondisi Umum | Pahatan rusak/kurang jelas | Ruang kosong di dalam | Dikelilingi pagar bata tebal/tinggi sama |
Hierarki Spasial | Tertinggi, halaman terluas dan lebih tinggi | Lebih kecil dari Bahal I | Paling kecil |
Deskripsi rinci Candi Bahal I (terbesar, di tanah lebih tinggi, pelataran terluas, fondasi perwara lebih banyak), Candi Bahal II (lebih kecil, kurang ornamen), dan Candi Bahal III (terkecil, ornamen unik) secara jelas menetapkan hierarki spasial. Aksis yang kuat dan hierarki yang jelas berdasarkan jumlah candi perwara dan dimensi candi utama menekankan candi sebagai “bangunan suci dengan formalitas dan keseimbangan yang sangat kuat.” Tata letak hierarkis ini bukan sekadar pilihan estetika, melainkan mencerminkan pemahaman yang canggih tentang ruang sakral dan kemungkinan kemajuan ritual di dalam kompleks. Candi Bahal I, sebagai yang terbesar dan tertinggi, kemungkinan berfungsi sebagai tempat suci utama untuk ritual terpenting atau untuk praktisi/bangsawan tingkat tinggi, sementara Candi Bahal II dan III mungkin melayani fungsi sekunder atau tingkat praktisi yang berbeda. Organisasi spasial ini memperkuat gagasan tentang praktik keagamaan yang terstruktur dan komunitas spiritual yang berkembang.
Atap Candi Bahal I memiliki kemiripan dengan bentuk atap Candi Mahligai di Muara Takus, Riau, yang juga merupakan candi Buddha. Candi Muara Takus sendiri memiliki keunikan dalam penggunaan kombinasi bata merah dan batu pasir. Arsitektur Candi Bahal juga disebut mirip dengan Candi Jabung di Probolinggo, Jawa Timur. Candi Jabung adalah candi Buddha Mahayana beraliran Tantrisme, terbuat dari bata merah, dengan kaki candi bertingkat tiga dan atap berbentuk dagoba (stupa). Candi-candi di Sumatera, termasuk Bahal, umumnya dibangun di tepi atau dekat sungai, memanfaatkan sumber daya alam setempat, dan menunjukkan perencanaan tata air yang terpadu. Ini merupakan ciri khas arsitektur Sriwijaya di dataran rendah.34 Paralel arsitektur ini sangat menyiratkan jaringan luas pertukaran budaya dan agama yang difasilitasi oleh mandala Sriwijaya. Kemiripan ini bukan kebetulan, melainkan indikasi kanon artistik, doktrin agama (Vajrayana), dan bahkan kemungkinan pergerakan seniman atau guru agama di seluruh nusantara dan sekitarnya, menghubungkan Sumatera dengan Jawa, Riau, dan bahkan Sri Lanka. Hal ini memperkuat peran Sriwijaya sebagai kekuatan maritim utama dan pusat penyebaran Buddhisme serta bentuk-bentuk budaya terkait di Asia Tenggara.
Ornamen, Patung, dan Makna Simbolis
Dinding Candi Bahal I memiliki pahatan yang sudah rusak namun masih terlihat seperti orang menari. Kaki Candi Bahal I dihiasi papan-papan berukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari, yang diduga memakai topeng hewani seperti pada upacara di Tibet. Di antara papan-papan berhiasan itu terdapat ukiran singa yang duduk. Sisi timur dan depan Candi Bahal I memiliki pahatan berbentuk raksasa yang sedang duduk. Candi Bahal III memiliki pahatan bermotif bunga di dindingnya dan hiasan daun. Arca-arca batu yang ditemukan di lokasi termasuk kepala makara (makhluk mitologis), arca Ganesha, dan raksasa. Arca Heruka yang berdiri di atas jenazah dalam sikap menari juga disebutkan. Heruka adalah figur penting dalam Buddhisme Vajrayana. Relief-relief ini tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan ajaran-ajaran spiritual dan cerita-cerita Buddha. Beberapa relief yang ditemukan di Candi Bahal menggambarkan kehidupan Buddha, pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, serta simbol-simbol penting dalam ajaran Buddha.
Karakteristik pahatan seperti yaksa berkepala hewan dan penari bertopeng hewan yang mirip upacara Tibet sangat mendukung identifikasi candi ini sebagai situs Vajrayana, yang memang memiliki elemen esoteris dan ritualistik yang kuat. Kehadiran arca Ganesha, meskipun secara tradisional merupakan dewa Hindu, dapat menunjukkan adanya sinkretisme atau pengaruh Hindu yang kuat dalam praktik Vajrayana di wilayah tersebut. Penting untuk dicatat adanya potensi kontradiksi: beberapa sumber menyatakan relief menggambarkan cerita Buddha, sementara satu sumber menyebutkan relief menggambarkan kisah-kisah epik Mahabharata dan Ramayana. Keberadaan yaksa berkepala hewan, penari bertopeng ala Tibet, dan Heruka dengan kuat menunjukkan Buddhisme Vajrayana. Namun, penyebutan Ganesha (dewa Hindu) dan relief yang menggambarkan Mahabharata dan Ramayana (epik Hindu) di samping narasi Buddha menciptakan gambaran yang kompleks. Ini menunjukkan tingkat sinkretisme yang signifikan, di mana ikonografi dan narasi Hindu diintegrasikan atau diinterpretasikan ulang dalam kerangka Buddha (khususnya Vajrayana). Sinkretisme ini adalah aspek krusial tentang lanskap keagamaan Sumatera kuno. Ini menyiratkan bahwa batas-batas agama bersifat cair, dan populasi lokal mungkin telah merangkul unsur-unsur dari berbagai tradisi, yang mengarah pada perpaduan unik kepercayaan dan praktik. Hal ini menantang kategorisasi sederhana candi sebagai murni “Buddha” atau “Hindu.”
Kondisi Terkini dan Tantangan Pelestarian
Situs Candi Bahal menghadapi tantangan serius dari kerusakan alami seperti erosi, gempa bumi, dan perubahan iklim yang dapat merusak struktur bangunan kuno. Curah hujan yang tinggi dapat mempercepat proses pelapukan batu bata. Beberapa pahatan di dinding candi sudah rusak atau kurang jelas bentuknya, menunjukkan dampak pelapukan alami seiring waktu.
Dampak aktivitas manusia juga menjadi ancaman signifikan. Dinding candi yang terbuat dari bata merah ditemukan penuh dengan coretan, indikasi vandalisme. Vandalisme, pencurian artefak, dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan nilai sejarah sering kali mengancam keberadaan situs-situs sejarah. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga warisan budaya sering menjadi penyebab utama; beberapa situs di Padang Lawas Utara bahkan telah mengalami kerusakan akibat pencurian batu-batu candi untuk bahan bangunan. Ada pula keluhan mengenai pengunjung yang membuang sampah di areal Candi Bahal. Vandalisme, pencurian bata, dan pembuangan sampah adalah konsekuensi langsung dari “kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga warisan budaya” Ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam pendidikan publik dan kampanye kesadaran mengenai nilai dan kerapuhan warisan budaya. Hal ini menunjuk pada masalah sosial yang lebih luas di mana nilai intrinsik situs sejarah tidak sepenuhnya dihargai oleh semua komunitas lokal atau pengunjung. Oleh karena itu, upaya pelestarian yang efektif harus mencakup program penjangkauan publik dan pendidikan yang kuat, menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab di antara para pemangku kepentingan. Tanpa ini, bahkan proyek restorasi yang didanai dengan baik pun dapat dirusak oleh tindakan manusia yang berkelanjutan.
Keterbatasan infrastruktur dan pengelolaan pariwisata juga menjadi kendala. Kondisi candi dan sekitarnya seringkali kurang terawat, dengan rumput memenuhi kawasan dan padang ilalang yang luas. Kurangnya fasilitas pendukung pariwisata, seperti jejeran kios penjual makanan atau suvenir di sekitar lokasi, menjadi kendala. Aksesibilitas dengan angkutan umum ke kompleks candi relatif jarang dan memakan waktu, sehingga membatasi jumlah pengunjung. Meskipun Candi Bahal telah resmi dijadikan objek wisata oleh pemerintah, jumlah pengunjung harian masih minim, dan situs ini hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru, dengan pengunjung sebagian besar berasal dari desa sekitar. Pemerintah setempat tampaknya belum secara serius memperhatikan kondisi sarana dan prasarana menuju Candi Bahal, termasuk pelestarian dan perawatannya, yang menciptakan kesan pembiaran terhadap situs tersebut. Potensi wisata candi tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena kurangnya pengelolaan dan promosi yang efektif.
Masalah-masalah yang dihadapi situs ini menunjukkan adanya siklus yang saling terkait: aksesibilitas yang buruk menyebabkan rendahnya jumlah pengunjung harian, yang mungkin mengurangi nilai ekonomi yang dirasakan. Hal ini, pada gilirannya, dapat menyebabkan kurangnya perhatian atau pendanaan pemerintah untuk infrastruktur dan pemeliharaan, sehingga melanggengkan siklus pengabaian. Kurangnya fasilitas seperti kios juga membatasi manfaat ekonomi lokal, mengurangi insentif masyarakat untuk pelestarian aktif. Ini menyoroti tantangan kritis bagi situs warisan di daerah terpencil. Pelestarian yang efektif tidak hanya tentang teknik arkeologi tetapi juga tentang pengelolaan yang berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, dan pengembangan pariwisata yang terintegrasi. Tanpa mengatasi aksesibilitas dan kelayakan ekonomi, situs tersebut tetap rentan terhadap degradasi alami dan kerusakan akibat ulah manusia (vandalisme, pencurian karena kurangnya pengawasan). Ini menunjukkan bahwa pendekatan holistik yang melibatkan infrastruktur, promosi, dan pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang.
Upaya Konservasi, Pemugaran, dan Potensi Pengembangan
Candi Bahal I telah mengalami dua fase pemugaran utama, yaitu antara tahun 1977-1978 dan 1982-1983. Candi Bahal II dipugar antara tahun 1991 dan 1992. Meskipun ketiga candi telah mengalami pemugaran, banyak bagian candi yang sudah tidak ditemukan lagi dan diganti dengan batu bata baru, menunjukkan tantangan dalam restorasi yang komprehensif. Penting untuk dicatat bahwa dari sekian banyak candi di Kompleks Padang Lawas, hanya Candi Bahal yang telah selesai direnovasi sepenuhnya, sementara candi lain seperti Candi Sipamutung dan Candi Pulo masih dalam proses atau berupa reruntuhan.
Pemerintah dan berbagai lembaga telah melakukan upaya pelestarian untuk memastikan candi ini tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Upaya konservasi yang dilakukan meliputi perbaikan struktur bangunan, pembersihan, dan penelitian lebih lanjut mengenai sejarah dan budaya candi. Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara secara aktif mendukung program Dinas Pariwisata dalam mengembangkan potensi Candi Bahal sebagai cagar budaya dan tempat perayaan hari besar bagi umat Buddha. Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, secara publik mengajak masyarakat untuk melestarikan dan membangun Candi Bahal lebih megah saat perayaan Waisak 2567 BE, menunjukkan komitmen tingkat provinsi.
Candi Bahal memiliki potensi besar sebagai tujuan wisata budaya, menawarkan pengalaman unik bagi wisatawan yang tertarik pada sejarah, arkeologi, dan kebudayaan. Situs ini telah resmi dijadikan objek wisata oleh pemerintah dan berpotensi menjadi sumber pendapatan bagi penduduk setempat. Meskipun ada pernyataan jelas tentang dukungan pemerintah untuk konservasi dan pengembangan, kondisi yang dijelaskan (jalan tidak terawat, sampah, kurangnya kios, sedikit pengunjung harian) menunjukkan kesenjangan signifikan antara niat kebijakan dan implementasi di lapangan. Fakta bahwa Bahal adalah satu-satunya candi yang sepenuhnya dipugar di Padang Lawas juga menunjukkan keterbatasan sumber daya atau masalah prioritas. Ini menyoroti tantangan dalam alokasi sumber daya, koordinasi antar-lembaga, atau mungkin kurangnya perencanaan strategis jangka panjang yang konsisten untuk pengelolaan warisan budaya. Ini menyiratkan bahwa meskipun ada pengakuan akan nilai situs, mekanisme praktis untuk pengembangan dan perlindungan berkelanjutannya masih belum berkembang.
Situs ini memiliki potensi untuk menjadi sumber pendapatan bagi penduduk lokal , dengan adanya homestay dan suvenir lokal yang disebutkan. Namun, kurangnya kios dan rendahnya jumlah pengunjung harian menunjukkan bahwa potensi ekonomi ini sebagian besar belum dimanfaatkan. Ini menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata saat ini belum secara efektif memanfaatkan partisipasi masyarakat lokal atau menciptakan peluang ekonomi yang memadai.
Tabel 3: Tantangan dan Rekomendasi Pelestarian Candi Bahal
Kategori Tantangan | Detail Tantangan | Rekomendasi | Pihak Terkait |
Faktor Alamiah | Erosi, pelapukan, gempa bumi, curah hujan tinggi merusak struktur | Perbaikan struktur bangunan, pembersihan, penelitian lebih lanjut, pemantauan rutin | Pemerintah, Lembaga Arkeologi |
Aktivitas Manusia | Vandalisme (coretan, pencurian artefak/batu candi), pembuangan sampah | Peningkatan kesadaran masyarakat, program penjangkauan publik dan pendidikan | Masyarakat Lokal, Pemerintah, Pengunjung |
Pengelolaan & Infrastruktur | Kurangnya perhatian pemerintah/pembiaran, kurangnya pengelolaan & promosi, keterbatasan fasilitas (kios, angkutan umum), jalan tidak terawat | Peningkatan dana & sumber daya manusia, kerja sama pemerintah-arkeolog-masyarakat, pengembangan pariwisata berbasis budaya, perubahan sistem pengelolaan, peningkatan promosi | Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten), Lembaga Arkeologi, Masyarakat Lokal |
Kesimpulan
Candi Bahal (Portibi) berdiri sebagai warisan arkeologi yang tak ternilai di Sumatera Utara, sebuah kompleks Buddha Vajrayana yang megah dan terbesar di pulau ini. Keberadaan nama ganda “Bahal” dan “Portibi” mencerminkan sinkretisme budaya dan religius yang mendalam, menunjukkan integrasi kepercayaan lokal dengan tradisi Buddhis yang dibawa oleh pengaruh Sriwijaya. Pembangunan candi yang diperkirakan antara abad ke-11 hingga ke-14 Masehi, dengan keterkaitan kuat pada Kerajaan Pannai di bawah mandala Sriwijaya, menegaskan posisinya sebagai pusat keagamaan dan budaya penting di jalur perdagangan strategis Sumatera.
Arsitektur bata merah yang khas, dengan hierarki spasial yang jelas di antara Candi Bahal I, II, dan III, serta kemiripan dengan candi-candi lain di Nusantara dan bahkan Sri Lanka, menggarisbawahi jaringan pertukaran budaya dan agama yang luas pada masa itu. Ornamen dan patung candi, meskipun menunjukkan elemen Vajrayana yang esoteris, juga memperlihatkan perpaduan ikonografi Hindu, semakin memperkuat sifat sinkretis praktik keagamaan di wilayah tersebut.
Namun, situs penting ini menghadapi tantangan pelestarian yang signifikan, baik dari faktor alamiah seperti erosi dan pelapukan, maupun dari aktivitas manusia seperti vandalisme dan pencurian. Keterbatasan infrastruktur, kurangnya pengelolaan pariwisata yang optimal, dan minimnya kesadaran publik turut memperburuk kondisi situs. Meskipun telah ada upaya pemugaran dan komitmen pemerintah, masih terdapat kesenjangan antara aspirasi konservasi dan realitas implementasi di lapangan. Potensi ekonomi lokal dari pariwisata juga belum dimanfaatkan secara maksimal.
Untuk memastikan kelestarian dan keberlanjutan Candi Bahal sebagai warisan budaya dan spiritual, diperlukan pendekatan holistik. Ini mencakup peningkatan alokasi dana dan sumber daya manusia, penguatan kerja sama lintas sektor antara pemerintah, lembaga arkeologi, dan masyarakat lokal, serta pengembangan strategi pariwisata berbasis budaya yang terintegrasi. Edukasi publik yang berkelanjutan tentang nilai dan kerapuhan situs juga krusial untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama. Dengan langkah-langkah ini, Candi Bahal dapat terus menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu dan sumber inspirasi bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka :
- Candi Portibi, Wisata Sejarah di Padang Lawas Utara – KTF – Kompas Travel Fair, accessed August 16, 2025, https://travel.kompas.id/baca/candi-portibi-wisata-sejarah-di-padang-lawas-utara/
- Candi Bahal – TribunMedan Wiki, accessed August 16, 2025, https://tribunmedanwiki.tribunnews.com/2021/01/05/candi-bahal
- Candi Bahal Arsitektur Bersejarah – DISBUDPAREKRAF SUMUT, accessed August 16, 2025, https://disbudparekraf.sumutprov.go.id/artikel/candi-bahal-arsitektur-bersejarah/
- Menelusuri Keindahan dan Sejarah Candi Bahal di Padang Lawas Utara – GUNUNGTUA, accessed August 16, 2025, https://gunungtua.com/menelusuri-keindahan-dan-sejarah-candi-bahal-di-padang-lawas-utara/
- Candi Bahal, Potret Kemegahan dan Kejayaan Kerajaan Sriwijaya – Lifestyle Liputan6.com, accessed August 16, 2025, https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2456221/candi-bahal-potret-kemegahan-dan-kejayaan-kerajaan-sriwijaya
- Misteri Kerajaan Panai di Sumatra – Historia.ID, accessed August 16, 2025, https://www.historia.id/article/misteri-kerajaan-panai-di-sumatra-pg8pv
- Candi Portibi – Budaya-Indonesia.org, accessed August 16, 2025, https://budaya-indonesia.org/Candi-Portibi
- Tata Spasial Candi Bahal I, II dan III di Padang Lawas Utara, Sumatera Utara – Sriwijaya University Repository, accessed August 16, 2025, https://repository.unsri.ac.id/45096/1/Tata%20Spasial%20Candi%20Bahal%20I%20II%20dan%20III%20di%20Padang%20Lawas%20Utara.pdf
- Candi Bahal (Candi Portibi): Menapaki Jejak Agama Budha Wajrayana di Sumatera, accessed August 16, 2025, https://traverse.id/culture/candi-bahal-candi-portibi-menapaki-jejak-agama-budha-wajrayana-di-sumatera/@himsaifanah
- Inventory of Historical Sites in North Padang Lawas District, accessed August 16, 2025, https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet/article/download/3968/2445/20158
- Menelusuri Sejarah Candi Bahal Peninggalan Sriwijaya Sejak Abad Ke-11, accessed August 16, 2025, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/12/20/menelusuri-sejarah-candi-bahal-peninggalan-sriwijaya-sejak-abad-ke-11
- Desa Wisata Candi Bahal Portibi – Jadesta Kemenparekraf, accessed August 16, 2025, https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/candi_bahal_portibi
- 7 Fakta Candi Bahal Portibi, Peninggalan Kerajaan Sriwijaya | IDN Times Sumut, accessed August 16, 2025, https://sumut.idntimes.com/life/education/7-fakta-candi-bahal-portibi-peninggalan-kerajaan-sriwijaya-di-sumut-00-qzvn3-5bbrlv
- Wisata Candi Bahal Yang melegenda | Info Budaya Indonesia, accessed August 16, 2025, https://www.infobudaya.com/2023/05/05/wisata-candi-bahal-yang-melegenda/
- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terkenal memiliki warisan budaya kerajaan kuno bernilai tinggi., accessed August 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/31145/2/09_4143240001_BAB%20I.pdf
- Perayaan Waisak 2567 BE, Edy Rahmayadi Ajak Lestarikan dan Bangun Candi Bahal Lebih Megah – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, accessed August 16, 2025, https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/perayaan-waisak-2567-be-edy-rahmayadi-ajak-lestarikan-dan-bangun-candi-bahal-lebih-megah
- Candi Bahal Menjadi Satu-Satunya Candi di Sumatera Utara Halaman 1 – Kompasiana.com, accessed August 16, 2025, https://www.kompasiana.com/linasarisiregar6785/6506791e08a8b550b71d4804/candi-bahal-menjadi-satu-satunya-candi-di-sumatera-utara
- Candi Bahal, Kompleks Percandian Terluas di Sumatera Utara – Kompas.com, accessed August 16, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/23/230000879/candi-bahal-kompleks-percandian-terluas-di-sumatera-utara
- Vajrayana Buddhism: Beliefs, Meditations, and Practices – Sukhasiddhi Foundation, accessed August 16, 2025, https://www.sukhasiddhi.org/blog/vajrayana-buddhism-beliefs
- Mengungkap Peninggalan Sejarah Tersembunyi, Keindahan Candi Bahal Sumatera Utara, accessed August 16, 2025, https://lingkaran.id/jelajah/mengungkap-peninggalan-sejarah-tersembunyi-keindahan-candi-bahal-sumatera-utara
- India Jadi Sumber Inspirasi Seni dan Arsitektur di Sumatera – BeritaSatu.com, accessed August 16, 2025, https://www.beritasatu.com/nusantara/747391/india-jadi-sumber-inspirasi-seni-dan-arsitektur-di-sumatera
- Edisi trip Lebaran ke Candi Bahal – Winny Marlina, accessed August 16, 2025, https://winnymarlina.com/2015/08/02/edisi-trip-lebaran-ke-candi-bahal/
- Candi Bahal, Kompleks Percandian Terluas di Sumatera Utara – Kompas.com, accessed August 16, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/23/230000879/candi-bahal-kompleks-percandian-terluas-di-sumatera-utara?page=all
- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ragam suku dan adat istiadat yang berbeda, serta memiliki banyak, accessed August 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/17696/6/308331029%20Bab%20I.pdf
- Menelusuri Keindahan Sejarah Candi Bahal di Padang Lawas Utara – IGABETUA, accessed August 16, 2025, https://www.igabetua.com/menelusuri-keindahan-sejarah-candi-bahal-di-padang-lawas-utara/