Korupsi telah lama diakui sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya melampaui kerugian finansial negara. Tindak pidana ini secara fundamental merusak fondasi tatanan sosial, ekonomi, dan politik, menghambat pembangunan, dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Selama beberapa dekade, upaya pemberantasan korupsi di banyak negara, termasuk Indonesia, sebagian besar difokuskan pada penegakan hukum pidana konvensional, yaitu memidanakan dan memenjarakan para pelaku. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan ini belum sepenuhnya efektif. Memasukkan koruptor ke dalam penjara tidaklah cukup jika mereka masih dapat menikmati hasil kejahatannya, yang seringkali telah disembunyikan atau dialihkan ke berbagai instrumen keuangan yang rumit dan melampaui batas negara.
Dalam konteks ini, perampasan aset, atau pemulihan aset (asset recovery), muncul sebagai pilar yang semakin krusial dalam strategi anti-korupsi modern. Tujuannya adalah untuk melucuti para pelaku kejahatan dari keuntungan ilegal mereka, sehingga menghilangkan motivasi utama di balik tindak pidana yang bermotif ekonomi. Laporan ini bertujuan untuk menyediakan analisis komprehensif mengenai kerangka perampasan aset korupsi di Indonesia, menyoroti kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasinya, dan melakukan perbandingan kritis dengan model-model yang diterapkan di beberapa yurisdiksi lain, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura. Perbandingan ini akan berfungsi sebagai landasan untuk merumuskan rekomendasi strategis guna memperkuat sistem hukum di Indonesia, memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak berhenti pada penghukuman, melainkan juga berujung pada pemulihan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Paradoks Perampasan Aset di Indonesia: Antara Urgensi dan Kendala Implementasi
Kerangka Hukum yang Ada: Keterbatasan Pendekatan Konvensional
Pengaturan perampasan aset di Indonesia saat ini tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Berdasarkan ketentuan yang berlaku, perampasan aset digolongkan sebagai pidana tambahan.Pasal 18 UU Tipikor secara spesifik mengatur pidana tambahan berupa perampasan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi dan pembayaran uang pengganti.
Ketergantungan pada pendekatan ini menciptakan kelemahan mendasar. Perampasan aset hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Mekanisme perampasan yang mensyaratkan adanya putusan pidana ini dikenal sebagai pendekatan berbasis putusan pidana (conviction-based). Logika di balik sistem ini adalah bahwa perampasan aset merupakan konsekuensi hukum dari kesalahan yang telah terbukti di pengadilan. Namun, dalam praktik, logika ini justru menjadi kendala yang masif. Penegak hukum seringkali menghadapi situasi di mana mereka memiliki bukti kuat terkait asal-usul ilegal suatu aset, tetapi tidak dapat melanjutkan proses perampasan karena tidak adanya putusan pidana.
Sebagai contoh, mekanisme ini tidak efektif dalam kasus di mana tersangka meninggal dunia sebelum proses pengadilan selesai atau tidak dapat ditemukan. Dalam situasi demikian, penegakan hukum tidak dapat dilanjutkan, dan aset yang diduga merupakan hasil kejahatan tidak dapat dirampas untuk dikembalikan kepada negara. Keterbatasan ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya adaptif terhadap sifat kejahatan korupsi yang terorganisir, rumit, dan seringkali melibatkan banyak pihak. Pendekatan yang terlalu kaku ini menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan oleh para pelaku untuk menghindari pertanggungjawaban finansial.
Kendala dan Tantangan dalam Pelaksanaan
Implementasi perampasan aset di Indonesia menghadapi berbagai tantangan struktural dan prosedural. Salah satu tantangan terbesar adalah kemampuan pelaku kejahatan untuk menyembunyikan dan mentransfer aset mereka. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah kasus korupsi mencapai dua hingga tiga tahun. Jangka waktu ini memberikan “waktu emas” bagi koruptor untuk menyembunyikan hasil kejahatan mereka, seringkali dengan menggunakan sanak keluarga, kerabat, atau bahkan perusahaan cangkang. Akibatnya, pada saat putusan pengadilan dijatuhkan, aset yang diduga berasal dari tindak pidana sudah berpindah kepemilikan dan sulit dilacak.
Selain itu, terdapat paradigma uang pengganti yang problematis. Pasal 18 UU Tipikor memungkinkan terpidana korupsi untuk memilih menjalani hukuman kurungan badan tambahan jika mereka tidak mampu atau tidak mau membayar uang pengganti yang ditetapkan. Pemberian opsi ini secara tidak langsung menciptakan peluang bagi koruptor untuk membuat “perhitungan rasional” dengan membandingkan masa kurungan yang relatif pendek dengan nilai aset triliunan rupiah yang harus dikembalikan. Banyak kasus menunjukkan bahwa para pelaku lebih memilih untuk memperpanjang masa hukuman badan daripada harus kehilangan aset yang telah mereka nikmati. Ini merupakan cerminan dari paradigma hukum yang masih lebih mengutamakan hukuman fisik daripada pemulihan kerugian keuangan negara, padahal tujuan utama pemberantasan korupsi seharusnya adalah pemulihan aset yang dicuri.
Meskipun gugatan perdata dapat diajukan untuk memulihkan kerugian negara, mekanisme ini juga tidaklah cukup. Berdasarkan ketentuan Pasal 38C UU Tipikor dan Pasal 1365 KUH Perdata, negara dapat melayangkan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi. Namun, proses ini sangat lambat dan kompleks. Beban pembuktian sepenuhnya berada di tangan negara sebagai penggugat, yang seringkali menghadapi kesulitan signifikan dalam melacak aset yang telah dialihkan melalui skema rumit. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi contoh nyata di mana proses gugatan perdata memakan waktu puluhan tahun tanpa kepastian hasil. Lebih jauh, doktrin bona fide purchaser melindungi pihak ketiga yang beritikad baik, menciptakan celah bagi koruptor untuk dengan cepat mentransfer aset sebelum proses hukum dimulai. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa gugatan perdata bukanlah solusi yang efektif untuk mengatasi kerugian negara akibat kejahatan korupsi berskala besar.
Urgensi dan Latar Belakang RUU Perampasan Aset
Kesadaran akan keterbatasan kerangka hukum yang ada telah mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) yang pertama kali disusun pada tahun 2008. Namun, RUU ini mengalami penundaan selama hampir dua dekade dan tidak pernah menjadi prioritas legislasi. Dorongan untuk pembahasan dan pengesahan RUU ini kembali menguat secara masif pada tahun 2023 setelah terungkapnya kasus kekayaan yang tidak lazim dari pejabat publik, seperti Rafael Alun Trisambodo, yang menyoroti ketidakmampuan aturan yang ada untuk menangani fenomena tersebut secara efektif. Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo secara eksplisit telah menunjukkan komitmen politiknya untuk menjadikan pengesahan RUU ini sebagai prioritas.
RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menjadi terobosan dengan mengadopsi mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture atau NCB). Mekanisme ini akan memungkinkan negara untuk merampas aset jika terdapat bukti yang kuat bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, bahkan tanpa menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, RUU ini juga akan mengatur secara komprehensif tata cara pemblokiran, penyitaan, dan pengelolaan aset, sehingga nilai aset yang disita tidak menurun. Penundaan pembahasan RUU ini selama bertahun-tahun, meskipun didukung oleh pemerintah dan masyarakat sipil, menunjukkan adanya resistensi politik yang kuat di badan legislatif. Hal ini menunjukkan bahwa RUU ini menyentuh kepentingan-kepentingan yang sangat kuat dan terorganisir. Oleh karena itu, tantangan untuk mengesahkan RUU ini bukan hanya masalah teknis hukum, melainkan juga pertarungan komitmen politik dan integritas para pembuat kebijakan.
Model Global dalam Perampasan Aset: Pembelajaran dan Perbandingan Kritis
Untuk mengatasi kelemahan dalam sistem perampasan aset, banyak negara telah mengembangkan model hukum yang lebih adaptif. Perbandingan dengan pendekatan yang berhasil di negara lain dapat memberikan wawasan berharga bagi Indonesia.
Amerika Serikat: Civil Asset Forfeiture sebagai Model dan Peringatan
Amerika Serikat telah lama menggunakan sistem civil asset forfeiture (CAF), yang merupakan mekanisme perampasan aset yang sangat agresif. CAF adalah proses hukum perdata (in rem) yang ditujukan langsung pada properti itu sendiri, bukan pada pemiliknya. Dalam sistem ini, properti dianggap sebagai “pihak yang bersalah” karena terlibat dalam atau diperoleh dari aktivitas ilegal, tanpa perlu adanya putusan pidana terhadap pemiliknya. Mekanisme ini memberikan keunggulan dalam hal kecepatan dan efisiensi, memungkinkan penegak hukum untuk segera menyita aset bahkan ketika tuntutan pidana sulit diajukan atau tidak memungkinkan. Program ini terbukti sangat menguntungkan, menghasilkan miliaran dolar yang digunakan untuk mendanai operasional penegak hukum dan memberikan kompensasi kepada korban kejahatan.
Namun, pendekatan ini juga menuai kritik dan kontroversi yang mendalam. Kritikus berpendapat bahwa CAF melanggar hak-hak dasar konstitusional, terutama hak atas proses hukum yang adil (due process). Dalam banyak kasus, beban pembuktian beralih kepada pemilik aset untuk menunjukkan bahwa properti mereka tidak bersalah, sebuah konsep yang membalikkan prinsip fundamental “tidak bersalah sampai terbukti bersalah”. Lebih jauh, CAF menciptakan insentif finansial yang salah. Lembaga penegak hukum di AS dapat mengelola dan membelanjakan sebagian besar hasil perampasan, yang memicu praktik kepolisian yang berorientasi pada keuntungan (profit-driven policing) alih-alih pada penegakan keadilan. Laporan menunjukkan bahwa dana perampasan seringkali digunakan untuk pembelian yang tidak lazim, seperti kendaraan mewah, peralatan kantor yang mahal, atau bahkan biaya perjalanan dan hiburan. Pengalaman AS mengajarkan bahwa meskipun konsep perampasan aset tanpa putusan pidana sangat efektif, implementasinya harus disertai dengan pengawasan yang ketat dan jaminan perlindungan hak asasi manusia untuk mencegah penyalahgunaan.
Inggris: Unexplained Wealth Orders (UWOs) sebagai Pendekatan Bertarget
Sebagai respons terhadap tantangan dalam memerangi kejahatan ekonomi lintas batas, Inggris memperkenalkan Unexplained Wealth Orders (UWOs) pada tahun 2017. UWO adalah perintah pengadilan yang mewajibkan seseorang atau organisasi untuk menjelaskan sumber kekayaannya yang tidak sebanding dengan pendapatan sah yang diketahui. Mekanisme ini menerapkan prinsip pembalikan beban pembuktian, di mana penerima perintah wajib membuktikan legalitas asetnya dalam jangka waktu yang ditetapkan. Jika mereka gagal memberikan penjelasan yang memuaskan, otoritas penegak hukum dapat mengajukan permohonan untuk merampas aset tersebut.
Pendekatan ini memiliki cakupan yang lebih bertarget, ditujukan kepada individu yang terindikasi terlibat dalam kejahatan serius atau individu yang rentan terhadap korupsi, seperti Politically Exposed Persons (PEPs) dari luar Uni Eropa. Aset yang menjadi target harus memiliki nilai di atas £50.000. Meskipun UWOs telah berhasil digunakan dalam beberapa kasus profil tinggi, seperti kasus Zamira Hajiyeva yang harus menyerahkan properti senilai jutaan pound sterling, penerapannya masih terbatas dan menghadapi tantangan hukum. Data menunjukkan bahwa sejak diperkenalkan, penggunaan UWO masih tergolong jarang dan terkadang menemui kesulitan dalam penegakannya. Meskipun demikian, model UWO Inggris menawarkan alternatif yang relevan bagi Indonesia. Fokusnya pada “kekayaan yang tidak dapat dijelaskan” sangat selaras dengan fenomena yang sering terjadi di Indonesia. Namun, keberhasilan penerapannya sangat bergantung pada komitmen kelembagaan dan keberanian untuk menghadapi tantangan hukum yang akan muncul.
Singapura: Strategi Pemulihan Aset Terpadu dan Kolaborasi Lintas Batas
Singapura, yang dikenal dengan komitmen kuatnya dalam pemberantasan korupsi, menerapkan strategi pemulihan aset yang holistik dan terpadu. Strategi Pemulihan Aset Nasional mereka didasarkan pada empat pilar utama: DETECT (Mendeteksi), DEPRIVE (Merampas), DELIVER (Menyampaikan), dan DETER (Mencegah). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada undang-undang tunggal, tetapi juga pada koordinasi antar-lembaga yang kuat dan efisien.
Sistem di Singapura mengedepankan sinergi antara berbagai lembaga penegak hukum, seperti Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) dan Singapore Police Force (SPF), dengan regulator keuangan seperti Monetary Authority of Singapore (MAS). Kerangka hukum yang kuat memungkinkan dilakukannya investigasi paralel terkait tindak pidana korupsi dan pencucian uang secara bersamaan. Kolaborasi ini memungkinkan penegak hukum untuk melacak pergerakan aset ilegal dengan cepat. Selain itu, Singapura secara proaktif terlibat dalam kerja sama internasional untuk melacak dan memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri. Penggunaan instrumen seperti INTERPOL Silver Notice dan partisipasi dalam forum internasional menunjukkan bahwa Singapura memandang perampasan aset sebagai upaya global. Pendekatan Singapura menawarkan pelajaran paling berharga bagi Indonesia: reformasi hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan sebuah ekosistem yang terintegrasi, yang mencakup kerangka hukum modern, koordinasi kelembagaan yang efisien, dan komitmen kuat untuk kerja sama lintas batas, untuk secara efektif memutus rantai kejahatan ekonomi dan memulihkan aset yang dicuri.
Studi Kasus dan Realitas Pemulihan Aset di Indonesia
Realitas pemulihan aset di Indonesia dapat diilustrasikan dengan jelas melalui studi kasus mega-korupsi yang telah terjadi. Data dari kasus-kasus ini menunjukkan adanya jurang pemulihan (recovery gap) yang sangat besar, yaitu ketidaksesuaian antara total kerugian negara dan nilai aset yang berhasil dikembalikan.
Tabel 1: Rekapitulasi Studi Kasus Mega-Korupsi dan Pemulihan Aset di Indonesia
Nama Kasus (Tahun) | Total Kerugian Negara (Rp Triliun) | Nilai Aset yang Dipulihkan (per data tersedia) |
Kasus Jiwasraya (2018-2020) | Rp 16,8 triliun | Rp 3,1 triliun (surat berharga) Rp 1,4 triliun (tanah & bangunan) Rp 4,54 miliar (lelang tanah) |
Kasus Asabri (2012-2019) | Rp 22,7 triliun | Rp 3,9 miliar (lelang aset) Rp 18 miliar (lelang tanah) |
Kasus Duta Palma (2014-2022) | Rp 78 triliun | Rp 1,4 triliun (aset sitaan) |
Kasus TPPI (2009-2011) | Rp 37,8 triliun | Data pemulihan tidak tersedia |
Kasus Tata Niaga Timah (2015-2022) | Rp 300 triliun | Data pemulihan tidak tersedia |
Tabel di atas secara empiris menunjukkan konsekuensi langsung dari kendala hukum yang telah diuraikan sebelumnya. Meskipun kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, nilai aset yang berhasil dikembalikan sangat kecil. Kondisi ini membuktikan bahwa mekanisme perampasan aset yang ada saat ini tidak memadai untuk mengatasi skala dan kompleksitas kejahatan korupsi di Indonesia.
Mekanisme pelaksanaan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), umumnya dimulai dengan penyitaan aset yang ditemukan selama proses penyidikan. Aset yang telah disita, baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, akan dilelang secara berkala setelah kasusnya diputuskan memiliki kekuatan hukum tetap. Lelang ini dilakukan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Pembentukan Badan Pemulihan Aset (BPA) oleh Kejaksaan Agung merupakan langkah positif untuk mengkhususkan penanganan aset. Namun, peran BPA saat ini masih lebih terfokus pada tahap administrasi dan lelang, bukan pada tahap awal yang paling kritis, yaitu pelacakan dan penyitaan aset di luar negeri atau yang disembunyikan secara rumit. Dengan demikian, meskipun reformasi kelembagaan telah dimulai, fokusnya belum menyentuh inti permasalahan yang paling mendesak.
Rekomendasi Strategis dan Sintesis Kebijakan untuk Indonesia
Rekomendasi Reformasi Hukum: Mengadopsi yang Terbaik dari Model Global
Berdasarkan analisis komparatif dan studi kasus, terdapat beberapa rekomendasi strategis untuk memperkuat kerangka hukum perampasan aset di Indonesia. Langkah paling krusial adalah segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Undang-undang baru ini harus mengadopsi mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based forfeiture), yang memungkinkan penegak hukum untuk merampas aset jika terdapat bukti kuat bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, bahkan tanpa tuntutan pidana terhadap pelakunya.
Selain itu, RUU ini perlu mengintegrasikan prinsip pembalikan beban pembuktian (reverse onus), mirip dengan model UWO di Inggris, khususnya untuk kekayaan pejabat negara yang tidak dapat dijelaskan. Hal ini akan menempatkan beban pada pemilik aset untuk membuktikan bahwa kekayaan mereka diperoleh secara sah. Namun, implementasi prinsip ini harus disertai dengan batasan dan perlindungan hak-hak individu yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran due process, seperti yang terjadi dalam kritik terhadap sistem CAF di Amerika Serikat. Terakhir, kerangka hukum perlu diperkuat untuk memfasilitasi kerja sama internasional, mengacu pada pendekatan Singapura, agar proses pelacakan dan pemulihan aset yang disembunyikan di luar negeri dapat dilakukan secara efektif.
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Koordinasi
Reformasi hukum tidak akan berhasil tanpa penguatan kapasitas kelembagaan. Indonesia perlu mempertimbangkan pembentukan sebuah lembaga tunggal yang memiliki kewenangan penuh dan terintegrasi untuk pemulihan aset, atau memperkuat Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung dengan kewenangan yang lebih luas, termasuk investigasi forensik dan kerja sama internasional. Lembaga ini harus menjadi pusat koordinasi yang mengeliminasi fragmentasi kewenangan yang saat ini terjadi di antara berbagai instansi. Selain itu, diperlukan spesialisasi keahlian di antara para penegak hukum. Para penyidik, jaksa, dan hakim harus dibekali dengan kemampuan khusus dalam pelacakan aset, analisis keuangan forensik, dan pemahaman mendalam tentang hukum internasional untuk menghadapi modus operandi kejahatan yang semakin kompleks dan lintas batas.
Konsistensi Politik dan Transparansi
Perjalanan panjang RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa aspek politik memiliki pengaruh signifikan dalam proses legislasi. Keberhasilan reformasi sangat bergantung pada komitmen politik yang tak tergoyahkan. Dukungan dari eksekutif dan legislatif harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata tanpa hambatan yang berlarut-larut. Di samping itu, transparansi penuh dalam setiap tahap pengelolaan aset yang dirampas adalah keharusan. Seluruh proses, mulai dari pelelangan hingga pemanfaatan aset, harus dapat diakses dan diawasi oleh publik untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar kembali ke kas negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, sehingga mengembalikan kepercayaan publik yang telah tergerus.
Kesimpulan
Kerangka hukum perampasan aset di Indonesia, yang sangat bergantung pada putusan pidana, tidak memadai untuk mengatasi skala dan kompleksitas kejahatan korupsi modern. Keterbatasan ini, yang tercermin dalam jurang pemulihan aset yang masif pada kasus-kasus mega-korupsi, membuktikan bahwa pendekatan konvensional telah gagal. Solusi yang mendesak adalah pengesahan RUU Perampasan Aset. Mengadopsi mekanisme perampasan tanpa putusan pidana, seperti yang telah diterapkan dan diuji di banyak yurisdiksi lain, adalah langkah maju yang esensial.
Namun, keberhasilan jangka panjang tidak hanya bergantung pada kualitas undang-undang baru. Reformasi harus bersifat holistik dan mencakup penguatan kapasitas kelembagaan, peningkatan koordinasi antar-lembaga, dan komitmen politik yang tak tergoyahkan. Dengan mengadopsi kerangka hukum yang modern dan terpadu, dan belajar dari keunggulan serta kelemahan model global, Indonesia dapat secara efektif melucuti motivasi finansial para koruptor dan memulihkan kekayaan yang seharusnya menjadi milik rakyat. Perampasan aset bukanlah akhir dari sebuah proses hukum, melainkan jantung dari upaya untuk mengembalikan keadilan dan membangun kembali kepercayaan publik yang telah lama hilang.
Daftar Pustaka :
- Tantangan Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia, diakses September 4, 2025, https://jurnalfsh.uinsa.ac.id/mhs/index.php/mal/article/download/373/151/2152
- Apakah Skema Perampasan Aset Indonesia Sudah Siap? Telaahan Kritis Paradigma Unexplained Wealth Order Negara Lain | ICW, diakses September 4, 2025, https://antikorupsi.org/id/apakah-skema-perampasan-aset-indonesia-sudah-siap-telaahan-kritis-paradigma-unexplained-wealth
- LAPORAN AKHIR NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA – BPHN, diakses September 4, 2025, https://bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf
- IMPLEMENTASI PERAMPASAN HARTA KEKAYAAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI – Universitas Lampung, diakses September 4, 2025, https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/cepalo/article/download/1752/1469/5673
- TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM PERAMPASAN ASET BERBASIS PROPERTI1 Oleh – E-Journal UNSRAT, diakses September 4, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/download/57868/47536/142744
- kajian yuridis mengenai perampasan aset korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi – Legalitas: Jurnal Hukum, diakses September 4, 2025, https://legalitas.unbari.ac.id/index.php/Legalitas/article/download/158/143
- DINAMIKA BARU DALAM PEMULIHAN ASET AKIBAT KORUPSI DI INDONESIA Rosita Miladmahesi1 Abstract The dynamics in assets recovery due, diakses September 4, 2025, https://journal.uib.ac.id/index.php/jjr/article/download/720/669/2679
- Mengapa Gugatan Perdata Tidak Cukup: Mendesak UU Perampasan Aset bagi Indonesia, diakses September 4, 2025, https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/mengapa-gugatan-perdata-tidak-cukup-mendesak-uu-perampasan-0x6
- RUU Perampasan Aset – ICW, diakses September 4, 2025, https://www.antikorupsi.org/id/taxonomy/term/877
- Wamenkum Sebut Indonesia Sudah Terapkan Perampasan Aset Sejak Lama, diakses September 4, 2025, https://kemenkumham.com/berita-utama/wamenkum-sebut-indonesia-sudah-terapkan-perampasan-aset-sejak-lama
- Vonis Rafael dan RUU Perampasan Aset – Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, diakses September 4, 2025, https://ilmuhukum.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/765/vonis-rafael-dan-ruu-perampasan-aset
- URGENSI PEMBAHASAN RUU TENTANG PERAMPASAN ASET 16 – DPR RI, diakses September 4, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XV-9-I-P3DI-Mei-2023-2047.pdf
- POLITIK HUKUM DAN MUATAN PENGATURAN DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PERAMPASAN ASET 1 – DPR RI, diakses September 4, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XV-10-II-P3DI-Mei-2023-2046.pdf
- Presiden Jokowi Dorong Penyelesaian UU Perampasan Aset – Sekretariat Kabinet, diakses September 4, 2025, https://setkab.go.id/presiden-jokowi-dorong-penyelesaian-uu-perampasan-aset/
- Ada Pasal Tumpang Tindih, RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prioritas 2025 – DDTCNews, diakses September 4, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1806993/ada-pasal-tumpang-tindih-ruu-perampasan-aset-tak-masuk-prioritas-2025
- law.cornell.edu, diakses September 4, 2025, https://www.law.cornell.edu/wex/civil_forfeiture#:~:text=Under%20civil%20forfeiture%20laws%2C%20law,the%20owner%20(in%20personam).
- civil forfeiture | Wex | US Law | LII / Legal Information Institute, diakses September 4, 2025, https://www.law.cornell.edu/wex/civil_forfeiture
- Asset Forfeiture – FBI, diakses September 4, 2025, https://www.fbi.gov/investigate/white-collar-crime/asset-forfeiture
- How Crime Pays: The Unconstitutionality of Modern Civil Asset Forfeiture as a Tool of Criminal Law Enforcement, diakses September 4, 2025, https://harvardlawreview.org/print/vol-131/how-crime-pays-the-unconstitutionality-of-modern-civil-asset-forfeiture-as-a-tool-of-criminal-law-enforcement/
- Civil Asset Forfeiture Reform | Congressman Tim Walberg – House.gov, diakses September 4, 2025, https://walberg.house.gov/civil-asset-forfeiture-reform
- Incentives Matter: The Not-So-Civil Side of Civil Forfeiture, diakses September 4, 2025, https://www.fedbar.org/wp-content/uploads/2019/12/Civil-Forfeiture-pdf.pdf
- Guilty Until Proven Innocent: An Analysis of Racial Disparities in Civil Asset Forfeiture Seizures – Mitchell Hamline Open Access, diakses September 4, 2025, https://open.mitchellhamline.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1104&context=policypractice
- Unexplained wealth order – Wikipedia, diakses September 4, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Unexplained_wealth_order
- First unexplained wealth order may provide a welcome boost for the Serious Fraud Office, diakses September 4, 2025, https://www.whitecase.com/insight-alert/first-unexplained-wealth-order-may-provide-welcome-boost-serious-fraud
- Unexplained wealth orders – GOV.UK, diakses September 4, 2025, https://www.gov.uk/government/collections/unexplained-wealth-orders
- Unexplained Wealth Orders – the key issues – Taylor Wessing, diakses September 4, 2025, https://www.taylorwessing.com/en/insights-and-events/insights/2019/01/unexplained-wealth-orders-the-key-issues
- NCA forfeiture success: do Unexplained Wealth Orders finally have lift off? – Macfarlanes, diakses September 4, 2025, https://www.macfarlanes.com/what-we-think/102eli5/nca-forfeiture-success-do-unexplained-wealth-orders-finally-have-lift-off-102jfpz/
- Unexplained Wealth Orders – UK Parliament, diakses September 4, 2025, https://researchbriefings.files.parliament.uk/documents/CBP-9098/CBP-9098.pdf
- UWOs three years on: Underused and overpriced – WilmerHale, diakses September 4, 2025, https://www.wilmerhale.com/en/insights/blogs/wilmerhale-w-i-r-e-uk/20210329-uwos-three-years-on-underused-and-overpriced
- National Asset Recovery Strategy – Singapore, diakses September 4, 2025, https://www.mof.gov.sg/docs/default-source/default-document-library/news-and-publications/featured-reports/nars-infographic.pdf
- Untitled – Monetary Authority of Singapore, diakses September 4, 2025, https://www.mas.gov.sg/-/media/mas-media-library/publications/monographs-or-information-paper/amld/2024/singapore-national-asset-recovery-strategy_final.pdf
- The Practitioner’s Guide for – Asset Recovery in Singapore, diakses September 4, 2025, https://www.unodc.org/res/organized-crime/CASC/seajust_documents-and-guides_html/Practitioners_Guide_for_Asset_Recovery_in_Singapore.pdf
- Asia-Pacific Law Enforcement Experts Gather to Enhance Efforts to Recover Illicit Assets, diakses September 4, 2025, https://www.mha.gov.sg/mediaroom/press-releases/asia-pacific-law-enforcement-experts-gather-to-enhance-efforts-to-recover-illicit-assets
- Daftar 10 Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia – KOMPAS.com, diakses September 4, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/02/27/14210521/daftar-10-kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia?page=all
- Deretan Korupsi Terbesar di Indonesia: Kasus Surya Darmadi …, diakses September 4, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2023/05/18/14461621/deretan-korupsi-terbesar-di-indonesia-kasus-surya-darmadi-sampai-bts-4g?page=all
- Kejagung Serahkan Aset Rampasan Jiwasraya ke Tangan Kementerian BUMN, diakses September 4, 2025, https://m.economiczone.id/read/3112/kejagung-serahkan-aset-rampasan-jiwasraya-ke-tangan-kementerian-bumn
- badan pemulihan aset berhasil lelang tanah perkara jiwasraya senilai total rp4.5 – KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA | Berita, diakses September 4, 2025, https://www.kejaksaan.go.id/index.php/conference/news/5444/read
- Kejaksaan Lelang 16 Mobil Mewah Sitaan dari Tersangka Korupsi Asabri – KOMPAS.com, diakses September 4, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2021/06/10/15303001/kejaksaan-lelang-16-mobil-mewah-sitaan-dari-tersangka-korupsi-asabri
- BPA Kejagung lelang aset senilai Rp3,9 miliar terkait kasus Asabri – ANTARA News, diakses September 4, 2025, https://www.antaranews.com/berita/4907873/bpa-kejagung-lelang-aset-senilai-rp39-miliar-terkait-kasus-asabri
- Begini Cara KPK Manfaatkan Kembali Aset Hasil Korupsi, diakses September 4, 2025, https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20240717-begini-cara-kpk-manfaatkan-kembali-aset-hasil-korupsi
- KPK Serahkan Aset Rampasan Korupsi Senilai Rp16,25 Miliar ke Pemkab Hulu Sungai Utara, diakses September 4, 2025, https://www.kpk.go.id/id/ruang-informasi/berita/kpk-serahkan-aset-rampasan-korupsi-senilai-rp1625-miliar-ke-pemkab-hulu-sungai-utara