Pendahuluan: Integrasi Dinamis Identitas Aceh

Provinsi Aceh, yang terletak di ujung barat kepulauan Nusantara, secara historis telah menduduki posisi strategis sebagai jalur perdagangan dan peradaban yang menghubungkan Timur dan Barat selama berabad-abad Lokasi geografis ini menjadikannya tempat pertama masuknya budaya dan agama baru ke Indonesia. Pada abad ke-7, para pedagang dari India memperkenalkan agama Hindu dan Buddha, namun peran Aceh menjadi sangat menonjol seiring dengan kedatangan dan perkembangan agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari Gujarat dan Arab menjelang abad ke-9. Sejak saat itu, Aceh diakui sebagai tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pertama di Nusantara, seperti Peureulak dan Pasai, yang kemudian disatukan menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.

Pengaruh Islam yang begitu mendalam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di awal abad ke-17, telah mengukuhkan julukan “Serambi Mekkah” bagi daerah ini. Julukan tersebut tidak hanya sekadar label historis, melainkan sebuah identitas fundamental yang meresap ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Identitas Aceh adalah hasil dari interaksi kompleks antara tiga pilar utama: budaya, sistem kekerabatan, dan filosofi hidup, yang semuanya berjiwa Islam. Ketiga pilar ini tidak berdiri sebagai entitas terpisah, melainkan saling membentuk, memperkuat, dan berinteraksi secara dinamis, menciptakan tatanan sosial yang unik.

Budaya—Ragam Ekspresi Identitas Sosial Berjiwa Islam

Struktur Sosial dan Nilai-nilai Komunal

Masyarakat Aceh, seperti halnya banyak masyarakat tradisional, mengenal sistem pelapisan sosial yang hierarkis. Pada zaman kerajaan, tatanan ini terdiri dari empat lapisan utama: lapisan raja atau sultan, ulèebalang, ulama, dan rakyat biasa. Lapisan raja dan ulèebalang mewakili kekuasaan pemerintahan dan politik, sementara lapisan ulama memiliki otoritas di bidang agama. Lapisan rakyat awam berada di tingkat paling bawah dari hierarki sosial ini. Dalam masyarakat Gayo, pelapisan sosial lebih didasarkan pada senioritas usia, dan batas-batas antarkelompok tidak terlalu tegas, memungkinkan mobilitas sosial yang lebih cepat. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, misalnya, dapat dengan mudah masuk ke dalam kelompok penguasa.

Tradisi komunal masyarakat Aceh menunjukkan bahwa agama adalah salah satu kekuatan sosial utama. Keberhasilan setiap urusan hanya dapat dicapai ketika pemimpin agama (ulama) dan pemimpin pemerintahan (ulèebalang) bersatu dalam kata dan perbuatan. Sinergi antara adat dan agama ini terefleksi dalam kaidah yang menyatakan bahwa masyarakat wajib mengikuti perintah raja yang sesuai dengan hukum syariat dan suruhan ulama. Nilai-nilai sosial inti yang dijunjung tinggi mencakup menjaga negeri (peutheun nanggroe) dan persatuan (ukhuwwah). Unsur-unsur ini menyoroti bagaimana masyarakat Aceh membangun fondasi komunal mereka di atas prinsip-prinsip Islam yang telah menyatu dengan kearifan lokal.

Tradisi Siklus Kehidupan: Dari Kelahiran hingga Syukuran

Budaya Aceh diekspresikan melalui berbagai tradisi yang menandai siklus kehidupan dan momen-momen penting, banyak di antaranya sarat dengan nilai-nilai Islam.

Tradisi Perkawinan

Prosesi pernikahan adat Aceh adalah serangkaian tahapan sakral yang mengikat dua individu dan dua keluarga besar. Tahap pertama adalah Ba Ranup (Melamar), di mana keluarga pria mengirim seorang juru bicara yang bijaksana, yang disebut seulangke, untuk menyampaikan niat mereka. Daun sirih (ranup) dibawa sebagai simbol penguat ikatan. Jika lamaran diterima, prosesi berlanjut ke tahap Jak ba Tanda (Pertunangan). Pada tahap ini, keluarga pria datang kembali untuk peukong haba (menguatkan pembicaraan) guna menentukan tanggal pernikahan dan jumlah mahar (jeulamee). Pihak pria akan membawa seserahan berupa makanan khas, buah-buahan, dan perhiasan. Sebuah aturan unik berlaku jika pertunangan putus: jika putusnya hubungan disebabkan oleh pihak pria, perhiasan dianggap hangus, namun jika disebabkan oleh pihak wanita, perhiasan harus dikembalikan dua kali lipat nilainya. Tahapan berikutnya adalah Meugaca (Malam Berinai), yang dilakukan selama tiga hari tiga malam menjelang pernikahan. Ritual ini dipengaruhi oleh adat Arab dan India. Puncak dari prosesi ini adalah Ijab Kabul, di mana calon pengantin pria mengucapkan janji pernikahan di hadapan wali nikah.

Peusijuek: Tradisi Universal Penuh Makna

Tradisi Peusijuek, yang secara harfiah berarti “mendinginkan” atau “menyejukkan” (sijuek), adalah salah satu ritual adat paling universal di Aceh yang bertujuan memohon keselamatan dan keberkahan. Makna dari tradisi ini adalah untuk menenangkan dan membersihkan jiwa, serta membuang hal-hal negatif dengan harapan agar ketenangan, keselamatan, dan keberkahan selalu menyertai

Tradisi ini tidak hanya dilakukan dalam acara pernikahan  tetapi juga dalam berbagai momen penting lainnya, seperti menyambut kelahiran bayi (Peutron Aneuk), syukuran panen (Khanduri Blang), membeli kendaraan baru, mendirikan rumah baru, dan bahkan saat seseorang meraih kesuksesan atau dilantik menjadi pemimpin baru. Setiap bahan yang digunakan dalam upacara Peusijuek memiliki makna filosofis yang mendalam. Beras padi (breueh padee) melambangkan sifat padi yang semakin berisi semakin merunduk, mengingatkan orang yang di-Peusijuek untuk tidak sombong saat meraih kesuksesan. Ketan (bu leukat) yang dioleskan ke telinga melambangkan persatuan yang erat dalam keluarga. Tepung tawar dan air putih bertujuan untuk mendinginkan dan membersihkan jiwa dari hal-hal yang dilarang agama. Sangee atau tudung saji yang menutupi perlengkapan melambangkan perlindungan dari Allah SWT. Tradisi Peusijuek adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai Islami dan kearifan lokal telah berasimilasi dengan sempurna, di mana setiap ritualnya menjadi permohonan restu dan rasa syukur kepada Allah SWT.

Meugang: Tradisi Kuliner Berdimensi Spiritual

Meugang atau Makmeugang adalah tradisi unik masyarakat Aceh yang identik dengan makan daging sapi atau kerbau. Tradisi ini diadakan tiga kali setahun: menjelang bulan Ramadan, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Meskipun tampak sebagai perayaan kuliner, Meugang memiliki dimensi spiritual yang kuat. Tradisi ini adalah perwujudan rasa syukur atas rezeki yang diterima selama setahun dan menjadi ajang untuk mempererat tali kekeluargaan (ukhuwwah). Bagi banyak perantau, Meugang menjadi alasan untuk pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga. Tradisi ini dianggap sebagai pengamalan ajaran Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umatnya untuk memuliakan dan meluaskan rezeki bagi keluarga pada hari-hari besar Islam, bahkan dianggap sebagai bentuk sedekah.

Seni sebagai Medium Dakwah dan Ekspresi Moral

Seni tradisional Aceh tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan moral, sosial, dan keagamaan. Tari Saman, yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda, dikenal sebagai “Tarian Seribu Tangan” karena gerakan penarinya yang dinamis, cepat, dan serentak dalam posisi duduk. Tari ini, yang dibawakan dengan diiringi syair-syair, mengandung ajaran kebajikan, persatuan, dan nilai religius.

Tari Seudati adalah tarian energik yang dibawakan oleh laki-laki dan berfungsi sebagai media dakwah Islam. Syairnya sering kali berisi nasihat keagamaan, seperti syair yang mengingatkan orang yang sudah tua untuk tidak melalaikan salat. Sementara itu, Rapa’i Geleng adalah perpaduan antara seni tari dan musik rebana besar (rapa’i) yang dimainkan sambil berzikir dan melambangkan kerja sama dan kekompakan. Seni bela diri tradisional seperti pencak silat juga merupakan perpaduan antara seni tari dan olah tubuh yang mengandung nilai estetika dan etika.Dengan demikian, seni budaya Aceh, seperti tarian dan musik, sarat dengan nilai persaudaraan, persatuan, dan keagamaan, mencerminkan identitas kosmopolit yang dinamis.

Kekerabatan—Fondasi Sistem Sosial dan Keluarga

Sistem Kekerabatan Parental

Masyarakat Aceh secara umum menganut sistem kekerabatan parental, yang berarti garis keturunan didasarkan pada kedua orang tua, baik dari pihak ayah maupun ibu. Implikasi utama dari sistem ini adalah kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal hak waris dianggap sama dan memiliki peluang yang setara untuk menjadi ahli waris. Penyelesaian sengketa waris dalam masyarakat Aceh sering kali diselesaikan oleh Majelis Adat Aceh (MAA), yang merupakan bukti bagaimana tradisi dan hukum lokal berperan dalam kehidupan sehari-hari.

Terminologi Kekerabatan: Analisis Tripartit (Wali, Karong, Kaom)

Meskipun secara formal sistem kekerabatan Aceh adalah parental, terminologi kekerabatan yang lebih rinci menunjukkan adanya struktur yang jauh lebih kompleks. Terminologi ini terbagi menjadi tiga kategori utama: wali, karong, dan kaom.

  • Wali: Istilah ini merujuk pada kerabat laki-laki dari garis keturunan pihak ayah. Peran
    wali sangat penting dalam tradisi Aceh, terutama sebagai wali nikah (pihak yang berhak menikahkan anak perempuan) dan sebagai ahli waris. Pengertian wali dalam budaya Aceh lebih luas daripada hukum Islam, mencakup semua laki-laki setelah ayah, tidak terbatas pada sepupu lapis pertama.
  • Karong: Istilah ini merujuk pada sekelompok keturunan yang anggotanya berasal dari garis keturunan ibu. Keberadaan istilah ini menunjukkan pentingnya garis matrilineal dalam membentuk identitas dan ikatan sosial di Aceh.
  • Kaom: Istilah ini merujuk pada hubungan kekerabatan yang lebih luas, yang tidak terbatas pada garis ayah atau ibu saja.
    Kaom sering kali digunakan dalam konteks musyawarah atau penyelesaian konflik, mencerminkan lingkup kekerabatan yang inklusif.

Analisis mendalam terhadap terminologi ini menunjukkan bahwa sistem kekerabatan Aceh bukan merupakan sistem parental murni, melainkan sebuah sintesis yang unik. Meskipun hak waris setara, fungsi-fungsi sosial dan adat (seperti peran wali dalam pernikahan) masih sangat dipengaruhi oleh garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di sisi lain, istilah karong menandakan bahwa garis keturunan ibu (matrilineal) juga memegang peran penting dalam struktur sosial. Oleh karena itu, sistem kekerabatan Aceh dapat dipahami sebagai sistem yang mengadaptasi elemen parental, patrilineal, dan matrilineal untuk memenuhi berbagai kebutuhan sosial dan hukum.

Dinamika Peran Gender: Tensi antara Sejarah dan Realitas Kontemporer

Secara historis, narasi tentang perempuan Aceh menunjukkan potret kepemimpinan yang kuat. Tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dien dan Laksamana Malahayati adalah contoh pahlawan perempuan yang tidak hanya mengurus urusan domestik, tetapi juga memimpin perlawanan melawan penjajah dan memiliki kedudukan setara dengan laki-laki dalam kepemimpinan perang. Sejarah ini mencerminkan bahwa kedudukan perempuan di masa lalu sangat dihormati dan tidak terbatas pada ranah rumah tangga.

Namun, realitas kontemporer di Aceh menunjukkan adanya ketegangan antara narasi historis yang kuat dan realitas sosial-ekonomi saat ini. Sering kali, perempuan menghadapi ketimpangan gender dan dibatasi pada peran domestik, seperti merawat anak, sementara pekerjaan di sektor publik dianggap sebagai peran laki-laki. Stigma masyarakat yang menganggap perempuan tidak selayaknya berpendidikan tinggi karena hanya akan mengurus rumah tangga adalah salah satu penyebab utama ketidakadilan ini. Kontradiksi ini menyoroti bahwa budaya adalah entitas yang terus berubah dan tidak statis, di mana nilai-nilai historis dapat tergeser oleh tekanan sosial modern.

Meskipun demikian, budaya Aceh juga memiliki tradisi yang kuat dalam menghormati dan memproteksi perempuan. Sebagai contoh, perhiasan tradisional seperti Boh Dokma yang dikenakan perempuan remaja dan dewasa tidak hanya berfungsi sebagai aksesori, tetapi juga sebagai “senjata kejut” untuk menjaga kehormatan dari gangguan laki-laki.22 Ini menunjukkan bahwa, di balik tantangan modern, nilai-nilai penghormatan terhadap perempuan tetap hidup dalam ekspresi budaya.

Perbandingan Sistem Kekerabatan di Sumatera

Untuk memahami keunikan kekerabatan Aceh, penting untuk membandingkannya dengan sistem kekerabatan suku-suku lain di Sumatera yang juga memiliki tradisi kuat.

Suku Sistem Kekerabatan Peran Gender Utama Ciri Khas Pernikahan
Aceh Parental Kedudukan anak laki-laki dan perempuan setara dalam waris. Namun, fungsi adat tertentu (wali nikah) berorientasi pada garis ayah Gotong royong untuk persiapan pesta pernikahan. Tahapan melamar dan bertunangan melibatkan musyawarah dan penentuan mahar secara detail.
Batak Patrilineal Kedudukan laki-laki lebih tinggi, terutama sebagai ahli waris. Perempuan “dikorbankan” untuk meneruskan keturunan lain Perkawinan eksogami (di luar marga). Menjunjung tinggi system Dalihan na Tolu yang mengikat tiga unsur kekerabatan (pemberi gadis, penerima gadis, dan kerabat satu Klen  
Minangkabau Matrilineal Perempuan sebagai penerus garis keturunan dan pewaris harta. Laki-laki “dijemput” dan tinggal di rumah keluarga istri, dan dianggap sebagai “tamu”. Perkawinan eksogami (di luar suku). Pihak perempuan yang melamar laki-laki. Persiapan pernikahan melibatkan gotong royong.

Perbandingan ini menyoroti bahwa sistem parental Aceh, dengan hak waris yang setara bagi laki-laki dan perempuan, menempatkannya di tengah spektrum antara patrilineal Batak dan matrilineal Minangkabau. Ini adalah cerminan dari kecerdasan masyarakat Aceh yang mengintegrasikan berbagai elemen untuk menciptakan sistem yang fleksibel dan beradaptasi dengan kebutuhan sosial dan spiritual mereka.

Filosofi—Sinergi Adat, Hukum, dan Spiritualisme

Landasan Filosofis: “Hukom ngon Adat” dan “Adat Bak Poe Teumeureuhom”

Filosofi hidup masyarakat Aceh berlandaskan pada prinsip integralistik antara hukum agama (syariat) dan hukum adat. Prinsip ini terangkum dalam ungkapan terkenal, “Hukom ngon Adat Hanjeut Cre Lagèe Zat Ngon Sifeut” (Hukum dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat dan sifat).11 Ungkapan ini menunjukkan bahwa adat di Aceh tidak bertentangan dengan syariat, melainkan bersumber dari dan ditopang olehnya.

Filosofi ini memiliki manifestasi yang lebih rinci dalam peribahasa legendaris “Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana/Bintara”. Ungkapan ini bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah konstitusi sosial dan politik yang membagi kekuasaan dalam masyarakat tradisional Aceh:

  • Poe Teumeureuhom (raja/sultan): Memegang kekuasaan eksekutif dan kebesaran negeri.
  • Syiah Kuala: Melambangkan ulama yang memegang kekuasaan yudikatif (peradilan).
  • Putroe Phang: Merepresentasikan cendekiawan/legislatif yang bertanggung jawab merumuskan qanun (undang-undang).
  • Laksamana/Bintara: Melambangkan keperkasaan dan kearifan dalam mengelola keberagaman adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah setempat.

Filosofi ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh secara historis telah mengembangkan sistem checks and balances-nya sendiri, jauh sebelum konsep ini populer di Barat. Ini adalah bukti kearifan lokal dalam mengintegrasikan kepemimpinan politik, hukum agama, dan adat dalam satu tatanan yang harmonis.

Implementasi Hukum Syariat: Qanun Jinayat

Penerapan Qanun Jinayat di Aceh adalah bukti nyata bahwa filosofi “Hukom ngon Adat” tidak hanya bersifat teoretis, melainkan diterjemahkan ke dalam sistem hukum formal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, provinsi ini diberikan otonomi khusus untuk menerapkan syariat Islam.

Tabel berikut merangkum jenis-jenis pelanggaran dan sanksi yang diatur dalam Qanun Jinayat:

Jenis Pelanggaran Deskripsi Dasar Hukum (Sanksi) Contoh Kasus Sanksi
Hudud Sanksi yang telah ditetapkan langsung dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ditetapkan oleh teks agama Zina, minum khamar (alkohol) Cambuk, denda, penjara
Qisas-Diyat Pelanggaran terkait pembunuhan atau penganiayaan. Balasan setara atau denda pengganti Pembunuhan, penganiayaan Balasan setara atau pembayaran denda (diyat)
Ta’zir Sanksi tidak ditentukan secara spesifik dalam Al-Qur’an atau Hadis, diserahkan kepada kewenangan pemerintah. Diskresi pemerintah Perjudian (maisir), khalwat (berduaan dengan bukan mahram), pelanggaran bulan Ramadan Cambuk, denda, penjara

Meskipun penerapan Qanun Jinayat merupakan manifestasi dari identitas keislaman masyarakat Aceh, pelaksanaannya tidak tanpa tantangan. Adanya resistensi dari kelompok tertentu, keterbatasan pemahaman masyarakat, dan isu kompatibilitas dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia menunjukkan adanya dialektika antara nilai-nilai tradisional dan norma-norma global. Dinamika ini harus dianalisis secara kritis untuk memahami evolusi sistem hukum di Aceh.

Peran Lembaga Adat dan Penegak Hukum

Filosofi Aceh diwujudkan melalui peran fungsional dari berbagai lembaga dan figur. Ulama di Aceh memiliki peran multifungsional; tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, tetapi juga sebagai elit sosial dan politik. Mereka berperan sebagai guru, pejuang melawan kolonial, dan pemersatu masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap ulama begitu kuat sehingga pengetahuan tanpa pengamalan tidak cukup untuk mendapatkan pengakuan dari mereka

Sementara itu, Wilayatul Hisbah (WH), atau Polisi Syariah, dibentuk untuk menegakkan syariat Islam di Aceh. Lembaga ini memiliki wewenang untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam. Tugasnya mencakup menegur, menasihati, mencegah, dan melarang setiap orang yang diduga melanggar peraturan syariat. WH bekerja sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja untuk menjaga ketertiban umum dan menegakkan qanun. Keberadaan lembaga ini adalah bukti nyata komitmen pemerintah Aceh dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem hukum lokal.

Terakhir, Majelis Adat Aceh (MAA) memainkan peran vital dalam penyelesaian sengketa waris dan melestarikan adat. Keberadaan lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa filosofi Aceh tidak hanya sebuah teori, melainkan sebuah struktur fungsional yang menerjemahkan prinsip-prinsip spiritual dan adat ke dalam praktik sehari-hari, menciptakan sinergi antara tradisi dan hukum formal dalam mengelola kehidupan sosial.

Kesimpulan: Harmoni dalam Perubahan

Identitas masyarakat Aceh adalah tapestry rumit yang ditenun dari benang budaya, kekerabatan, dan filosofi, yang semuanya dijiwai oleh spiritualisme Islam. Laporan ini menunjukkan bahwa ketiga pilar ini tidak berdiri sendiri. Budaya, yang diekspresikan melalui tradisi universal seperti Peusijuek dan Meugang, serta seni sebagai medium dakwah, adalah manifestasi dari nilai-nilai komunal yang berlandaskan Islam. Sistem kekerabatan, yang secara formal parental namun kompleks secara terminologi dengan elemen patrilineal dan matrilineal, mencerminkan adaptasi masyarakat dalam menyeimbangkan berbagai kebutuhan sosial. Filosofi yang terangkum dalam ungkapan “Hukom ngon Adat” dan “Adat Bak Poe Teumeureuhom” adalah landasan ideologis yang telah diwujudkan secara nyata dalam sistem hukum formal dan lembaga-lembaga penegak seperti Qanun Jinayat dan Wilayatul Hisbah.

Meskipun nilai-nilai luhur dan tradisi historis ini terus dijaga, masyarakat Aceh juga menghadapi tantangan di era modern. Kesenjangan antara peran perempuan di masa lalu yang perkasa dan realitas kontemporer, serta perdebatan seputar implementasi hukum syariat, adalah bukti adanya dialektika antara tradisi dan modernitas. Namun, perjuangan ini juga mencerminkan upaya yang terus-menerus untuk menemukan harmoni baru, di mana identitas keislaman dan kearifan lokal tetap menjadi kompas dalam menghadapi dinamika sosial. Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi bagaimana generasi muda Aceh menavigasi identitas mereka di tengah globalisasi dan bagaimana upaya pelestarian budaya dapat tetap relevan dalam konteks yang terus berubah.

 

Daftar Pustaka :

  1. Sejarah Provinsi Aceh – Pemerintah Aceh, accessed on September 6, 2025, https://www.acehprov.go.id/halaman/sejarah-provinsi-aceh
  2. Berita SOSIAL MASYARAKAT ACEH – SEKRETARIAT MAJELIS ADAT ACEH, accessed on September 6, 2025, https://maa.acehprov.go.id/berita/kategori/pendidikan-dan-litbang-adat/sosial-masyarakat-aceh
  3. 7 Kebudayaan Daerah Aceh yang Menakjubkan – Parkside Hotels, accessed on September 6, 2025, https://parksidehotels.co.id/7-kebudayaan-daerah-aceh-yang-menakjubkan/
  4. Upacara Adat Perkawinan Aceh – Pemerintah Aceh, accessed on September 6, 2025, https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/upacara-adat-perkawinan-aceh
  5. Kenali Prosesi Pernikahan Adat Aceh dan Ciri Khas Busana yang …, accessed on September 6, 2025, https://www.bridestory.com/id/blog/kenali-prosesi-pernikahan-adat-aceh-dan-ciri-khas-busana-yang-dikenakan
  6. Berita TRADISI ADAT PERNIKAHAN DI ACEH – SEKRETARIAT MAJELIS ADAT ACEH, accessed on September 6, 2025, https://maa.acehprov.go.id/berita/kategori/pusaka-dan-khasanah-aceh/tradisi-adat-pernikahan-di-aceh
  7. 8 Tradisi Unik dalam Kebudayaan Aceh yang Penuh Rasa Syukur – Wonderverse Indonesia, accessed on September 6, 2025, https://www.wonderverseindonesia.com/en/article/travel/kebudayaan-aceh
  8. kontruksi makna tradisi peusijuek dalam budaya aceh – Jurnal …, accessed on September 6, 2025, https://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro/article/view/103/338
  9. Syariat Islam dan Tradisi di Aceh Darussalam – Semantic Scholar, accessed on September 6, 2025, https://pdfs.semanticscholar.org/eb3d/1e2f1134af106660266517b6fd3850fab9d5.pdf
  10. Mengenal Kebudayaan Suku Aceh: Tradisi, Kesenian, dan Ciri Khas – Semua Halaman, accessed on September 6, 2025, https://bobo.grid.id/read/083222692/mengenal-kebudayaan-suku-aceh-tradisi-kesenian-dan-ciri-khas?page=all
  11. Warisan Budaya Aceh: Tradisi, Seni, dan Identitas Lokal Aceh’s Cultural Heritage, accessed on September 6, 2025, https://pkm.lpkd.or.id/index.php/AksiNyata/article/download/1639/1810/8228
  12. PERAN MAJELIS ADAT ACEH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA WARIS TANAH DI KECAMATAN TEMPUK TEUNGOH KOTA LHOKSEUMAWE | PUTRI | Hukum Islam – e-Journal UIN Suska, accessed on September 6, 2025, https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/hukumislam/article/view/6812
  13. JOURNAL OF MULTIPERSPECTIVE EDUCATION Volume 1, Number 1, July 2009 – Ar Raniry Repository, accessed on September 6, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/11414/1/Jurnal%20Progresif.pdf
  14. Hubungan Keluarga – Portal Belajar Bahasa Aceh, accessed on September 6, 2025, https://bahasaaceh.com/2011/03/20/hubungan-keluarga/
  15. Darma Pendidikan bagi Keadilan Perempuan Aceh – UnimalNews, accessed on September 6, 2025, https://news.unimal.ac.id/index/single/3110/darma-pendidikan-bagi-keadilan-perempuan-aceh
  16. analisis nilai-nilai kearifan lokal aceh melalui literasi media, accessed on September 6, 2025, https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kultura/article/download/18321/13476
  17. Pernikahan Aceh Dan Minangkabau Dalam Balutan Budaya – Steemit, accessed on September 6, 2025, https://steemit.com/indonesia/@alfarisi/pernikahan-aceh-dan-minangkabau-dalam-balutan-budaya
  18. Tradisi Aceh dan Minangkabau: Dari Karakter dan Raja Perempuan hingga Prinsip Matrifokal – qbukatabu.org, accessed on September 6, 2025, https://qbukatabu.org/2017/09/22/tradisi-aceh-dan-minangkabau-dari-karakter-dan-raja-perempuan-hingga-prinsip-matrifokal/
  19. Sistem Kekerabatan Suku Batak – Warung Ilmu – Blog UNNES, accessed on September 6, 2025, https://blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/11/15/sistem-kekerabatan-suku-batak/
  20. penerapan sistem pewarisan patrilineal masyarakat adat batak, accessed on September 6, 2025, https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/refor/article/view/16548/9515
  21. SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA – Jurnal Sains dan Teknologi ISTP, accessed on September 6, 2025, https://ejurnal.istp.ac.id/index.php/jsti/article/download/47/46/185
  22. PROSES AKULTURASI SUKU BATAK DAN JAWA DI KECAMATAN GUNUNG MERIAH KABUPATEN ACEH SINGKIL – Ar Raniry Repository, accessed on September 6, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/23385/1/Helmi%20Febrisal%20AS%2C%20140401108%2C%20FDK%2C%20KPI%2C%20082286588244.pdf
  23. sistem kekerabatan dalam kebudayaan minangkabau, accessed on September 6, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/12612/9073
  24. Matrilineal adalah Sistem Kekerabatan yang Dianut Beberapa Suku Dunia – Gramedia, accessed on September 6, 2025, https://www.gramedia.com/literasi/matrilineal-adalah/
  25. Implementasi Hukum Adat dalam Prosesi Perkawinan Adat Minangkabau – Journal Fakultas Hukum, accessed on September 6, 2025, https://journal.fhukum.uniku.ac.id/ulr/article/download/13/5/36
  26. An Analysis of Culture Value in Adat Bak Poe Teumeureuhom …, accessed on September 6, 2025, https://repository.unimal.ac.id/4843/9/Khalsiah%20jurnal%20scopus%202018.pdf
  27. Peran Lembaga Adat Kampung di Aceh Oleh: Bustami Abubakar Pendahuluan “Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala”. Ungk – Ar Raniry Repository, accessed on September 6, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/22745/1/Artikel%20Lembaga%20Adat.pdf
  28. Belajar dari Filosofi; Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, accessed on September 6, 2025, https://jeumalaamal.org/2020/08/19/belajar-dari-filosofi-adat-bak-po-teumeureuhom-hukom-bak-syiah-kuala/
  29. Makna Filosofis Adat Bak Poteumeureuhom – Geuthèë Institute, accessed on September 6, 2025, https://geutheeinstitute.com/2018/03/22/makna-filosofis-adat-bak-poteumeureuhom/
  30. Penerapan Qanun Jinayat di Aceh – PUSAT PUBLIKASI STAI BAU …, accessed on September 6, 2025, https://journal.staiypiqbaubau.ac.id/index.php/Al-Tarbiyah/article/download/1956/2286/9073
  31. penegakan hukum qanun jinayat di aceh kaitannya dengan pluralisme hukum law enforcement of, accessed on September 6, 2025, https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/download/637/429
  32. Pemberlakuan Sanksi Cambuk, Qanun Jinayat di Aceh dalam Perspektif Hak Asasi Manusia – Media of Law and Sharia, accessed on September 6, 2025, https://mls.umy.ac.id/index.php/mlsj/article/download/6/3/19
  33. ULAMA DAN DINAMIKA SOSIAL MASYARAKAT ACEH (Studi Tentang Peran dan Posisi Ulama dalam Kehidupan Masyarakat Aceh Pada Awal Abad Kedua Puluh Satu), accessed on September 6, 2025, http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/51678
  34. SEJARAH ISLAM DAN TRADISI KEILMUAN DI ACEH – IJAZUL QUR’AN: Pengertian,, accessed on September 6, 2025, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/mudarrisuna/article/download/7843/4656
  35. Tugas dan Wewenang Wilayatul Hisbah dalam Menegakkan Syariat …, accessed on September 6, 2025, https://kumparan.com/kabar-harian/tugas-dan-wewenang-wilayatul-hisbah-dalam-menegakkan-syariat-islam-di-aceh-210vjmiU1BZ
  36. BAB 1 – SATPOL PP DAN WH ACEH, accessed on September 6, 2025, https://satpolppwh.acehprov.go.id/media/2021.09/renstra_2017-202211.pdf
  37. Halaman TUGAS POKOK DAN FUNGSI – SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN WILAYATUL HISBAH KOTA SUBULUSSALAM, accessed on September 6, 2025, http://satpolppwh.subulussalamkota.go.id/halaman/tugas-pokok-dan-fungsi
  38. otoritas lembaga adat dalam menegakkan syari’at islam di aceh – PUSAT JURNAL ILMIAH, accessed on September 6, 2025, https://jurnal.stisalhilalsigli.ac.id/index.php/tahqiqa/article/download/138/111

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

88 − 86 =
Powered by MathCaptcha