Pendahuluan: Definisi dan Kerangka Konseptual Oligarki di Indonesia

Oligarki, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kekuasaan segelintir orang,” merupakan sebuah sistem pemerintahan di mana otoritas politik dipegang dan dijalankan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit yang memiliki kekayaan, garis keluarga, atau pengaruh militer. Aristoteles, seorang filsuf klasik, mendefinisikan oligarki sebagai sebuah sistem di mana “para pemilik properti memegang pemerintahan… di mana pun orang-orang berkuasa karena kekayaan mereka, baik mereka sedikit atau banyak, itu adalah oligarki”. Dalam konteks kontemporer, definisi ini telah berkembang dan disempurnakan untuk mencerminkan realitas kompleks di negara-negara berkembang. Oligarki tidak hanya sekadar pemerintahan yang dikuasai sekelompok kecil, melainkan sebuah kondisi di mana kekayaan material yang terkonsentrasi di tangan segelintir elit digunakan sebagai basis utama untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politik. Inti dari fenomena ini adalah “pertahanan kekayaan” (wealth defense) oleh para aktor yang memiliki kekayaan material yang substansial, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Jeffrey A. Winters.

Analisis terhadap oligarki di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dua kerangka teoretis utama yang saling melengkapi. Pertama, perspektif Jeffrey A. Winters yang memandang oligarki dari dimensi material. Menurut Winters, ketidaksetaraan ekstrem dalam distribusi kekayaan material secara inheren menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem. Kekayaan adalah sumber daya yang paling ampuh dan fleksibel untuk memengaruhi hasil politik selama periode non-krisis, dan mereka yang menggunakan kekuatan material ini memiliki dampak politik yang jauh lebih besar dibandingkan jumlah mereka dalam masyarakat. Winters berpendapat bahwa dominasi material ini sangat mencolok di Indonesia karena dua faktor utama: kurangnya batasan efektif terhadap penggunaan kekayaan untuk tujuan politik dan lemahnya kekuatan penyeimbang, terutama dari masyarakat sipil.

Kedua, pendekatan ekonomi politik struktural yang dikemukakan oleh Richard Robison dan Vedi R. Hadiz. Mereka berargumen bahwa oligarki di Indonesia adalah “kelas penguasa” yang muncul dan mengkonsolidasikan posisinya selama era Orde Baru. Alih-alih runtuh, kelas penguasa ini berhasil bertahan dan menata ulang kekuasaan mereka setelah krisis ekonomi dan transisi demokrasi pasca-1998. Berdasarkan analisis ini, oligarki tidak dipandang sebagai anomali, tetapi sebagai struktur kuasi permanen yang telah terintegrasi dalam sistem politik Indonesia. Hal ini menjelaskan mengapa transisi menuju demokrasi elektoral pasca-1998, secara ironis, tidak melemahkan, melainkan justru memperkuat dan melembagakan kekuasaan oligarki.

Sebuah tesis sentral dari laporan ini adalah bahwa mahalnya biaya politik dalam pemilu bukan sekadar gejala, melainkan merupakan akar penyebab yang memperpetakan kekuasaan oligarki. Kondisi ini menciptakan ketergantungan para politisi dan partai politik pada pendanaan dari kelompok-kelompok kaya. Ketergantungan ini pada gilirannya memberikan oligarki kekuasaan yang substansial untuk menjadi “regulator dan eksekutor” dalam sistem ketatanegaraan. Dengan demikian, terciptalah sebuah lingkaran yang saling mengunci, di mana kekuasaan ekonomi digunakan untuk membeli kekuasaan politik, dan kekuasaan politik kemudian digunakan untuk mempertahankan kekayaan, yang terus berlanjut tanpa henti.

Genealogi Oligarki: Dari Sultanistik Orde Baru ke Kolektif Pasca-Reformasi

Oligarki Sultanistik di Bawah Soeharto

Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dapat digambarkan sebagai manifestasi klasik dari “Oligarki Sultanistik,” sebuah tipe oligarki yang dikemukakan oleh Jeffrey A. Winters. Dalam sistem ini, kekuasaan terpusat dan dimonopoli oleh satu figur utama, yaitu Soeharto sendiri, yang bertindak sebagai “super oligarch” atau “supreme oligarch”.4 Ciri utama dari oligarki sultanistik adalah adanya monopoli pada sarana pemaksaan, di mana kekuasaan dan kekerasan hanya diberikan kepada penguasa utama.  Para oligark lain menggantungkan pertahanan kekayaan mereka pada oligark utama ini, yang berarti kekuasaan ekonomi mereka sepenuhnya bergantung pada patronase dari Soeharto

Dalam sistem ini, kekayaan dan kekuasaan dikonsolidasikan melalui hubungan yang sangat dekat dan personal antara Soeharto dengan sejumlah konglomerat besar. Jaringan kolaborator ini, yang disebut oleh Robison dan Hadiz sebagai “jaringan konspirator,” terdiri dari politikus-birokrat dan konglomerat bisnis etnis Tionghoa. Contoh-contoh konglomerat yang dominan di era ini mencakup “Empat Sekawan,” yaitu Liem Sioe Liong, Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaja, dan Prajogo Pangestu.

Liem Sioe Liong (Oom Liem) adalah konglomerat etnis Tionghoa dan teman terdekat Soeharto. Kedekatan ini memberinya akses khusus ke Istana Kepresidenan dan modal besar untuk konglomerasinya, Salim Group, yang hingga kini jejak bisnisnya masih eksis. Bob Hasan, yang dikenal sebagai “Raja Hutan,” mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung dari Soeharto, yang memungkinkan bisnisnya di sektor kehutanan berkembang pesat. Selain itu, ada Probosutedjo, adik tiri Soeharto, dan Sudwikatmono, sepupunya, yang juga menikmati akses kekuasaan dan kemudahan izin bisnis melalui hubungan keluarga. Jaringan yang “incestuous” ini tidak hanya melibatkan keluarga Soeharto, tetapi juga jenderal terkemuka, birokrat, dan rekan bisnis. Mereka menggunakan posisi mereka untuk menguasai sektor-sektor yang sebelumnya dimonopoli oleh negara, memperkuat posisi ekonomi mereka, dan mencegah bangkitnya kekuatan politik non-oligarkis. 

Transformasi Pasca-1998

Kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 tidak serta-merta mengakhiri oligarki. Sebaliknya, hal itu memaksa oligarki untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan sistem politik baru yang lebih demokratis. Tanpa figur sentral seperti Soeharto yang menjadi sumber patronase tunggal, para oligark kecil yang sebelumnya bergantung padanya dipaksa untuk mencari mekanisme baru untuk mempertahankan kekayaan dan daya kontrol mereka. Pergeseran ini menandai transisi dari “Oligarki Sultanistik” ke “Oligarki Penguasa Kolektif” dan “Oligarki Sipil”.

Dalam “Oligarki Penguasa Kolektif,” para oligark tidak lagi berkuasa melalui satu figur, melainkan bekerja sama secara kolektif melalui lembaga-lembaga yang memiliki norma dan aturan. Jenis oligarki ini, yang ditemukan dalam praktik politik di Indonesia pasca-Soeharto, menekankan pada kekuatan modal sebagai basis untuk mempertahankan kekuasaan. Sementara itu, “Oligarki Sipil” beroperasi dengan menyerahkan kekuasaan pada lembaga non-pribadi dan hukum yang kuat, di mana para oligark fokus mempertahankan pendapatan mereka dengan menghindari jangkauan negara.

Faktor pendorong utama dari transformasi ini adalah penerapan pilpres dan pilkada langsung di era Reformasi. Mekanisme elektoral ini, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan rakyat, justru menciptakan biaya politik yang sangat tinggi, yang pada gilirannya membuka pintu bagi konsolidasi kekuasaan oligarki secara lebih terstruktur dan tersebar. Akibatnya, hubungan kekuasaan transaksional antara penguasa dan oligarki semakin terbentuk. Fenomena ini menunjukkan bahwa oligarki di Indonesia telah beradaptasi dengan lingkungan politik yang baru, dan kini, kekuatan mereka tidak hanya terbatas di tingkat nasional, tetapi juga merambah ke tingkat daerah. Mereka menggunakan mekanisme demokrasi, seperti pemilu, untuk melegitimasi dan melanggengkan dominasi mereka, mengubah lanskap politik Indonesia dari “demokrasi oligarkis” menjadi “oligarki kekuasaan”.

Tabel berikut memberikan visualisasi yang ringkas tentang evolusi oligarki di Indonesia:

 

Tipe Oligarki Periode Sejarah Aktor Kunci Mekanisme Pertahanan Kekayaan
Sultanistik Orde Baru (1966-1998) Soeharto (sebagai supreme oligarch), “Empat Sekawan” (Liem Sioe Liong, Bob Hasan, Probosutedjo, Sudwikatmono), dan keluarga Cendana Monopoli sarana pemaksaan, patronase, dan hubungan personal yang dekat dengan figur sentral
Kolektif & Sipil Pasca-Reformasi (1998-sekarang) Kelompok-kelompok elit berkuasa, ketua-ketua partai politik, konglomerat bisnis, dan dinasti politik lokal Dominasi melalui lembaga-lembaga (partai politik, parlemen, sistem hukum), lobi, dan pemusatan modal kapital

Mekanisme Kekuasaan dan Pertahanan Kekayaan Oligarki Kontemporer

Oligarki dan Politik Partai: Biaya Mahal Demokrasi

Salah satu pintu masuk utama bagi konsolidasi kekuasaan oligarki di Indonesia adalah tingginya biaya politik yang diperlukan untuk memenangi pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sistem pembiayaan politik yang tidak memadai dari negara  membuat politisi dan partai politik sangat bergantung pada modal finansial dari para oligark. Ketergantungan ini menciptakan hubungan kekuasaan transaksional dan konflik kepentingan. Para oligark menjadi sumber pendanaan utama bagi kampanye politik yang mahal, dan sebagai imbalannya, mereka mendapatkan akses, pengaruh, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan negara. Akibatnya, suara rakyat menjadi terdegradasi oleh suara oligarki yang menguasai mayoritas kekayaan di Indonesia.

Ketergantungan ini melahirkan dominasi elit dalam tubuh partai politik. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi dalam partai menjadi macet, dan partai lebih suka menggelar karpet merah kepada “pemburu kekuasaan bermodal uang” daripada kepada kandidat berkualitas. Tata kelola partai politik menjadi oligarkis, di mana pengambilan keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elit penguasa partai politik. Dinamika ini juga memungkinkan munculnya fenomena dinasti politik, di mana kekuasaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui hubungan kekerabatan atau garis keturunan. Praktik ini, yang sebenarnya bertentangan dengan konsep negara demokrasi, telah terjadi sejak era Orde Baru dan terus berkembang di era Reformasi. Laporan menunjukkan bahwa pada pilkada 2020, 16.8% dari total pasangan calon adalah bagian dari dinasti politik, dan 42.96% dari mereka berhasil terpilih. Dinasti politik menjadi mekanisme efektif untuk melanggengkan kekuasaan dan memperluas kepentingan bisnis keluarga.

Kontrol atas Regulasi dan Kebijakan Publik

Oligarki menggunakan kekuatan finansial dan politik mereka untuk memengaruhi regulasi dan kebijakan publik agar berpihak pada kepentingan mereka. Praktik “lobi” menjadi instrumen kunci untuk mencapai tujuan ini, di mana perusahaan atau organisasi berusaha memengaruhi keputusan pemerintah. Tujuannya sangat praktis: memengaruhi regulasi yang berdampak pada bisnis, mengamankan subsidi atau dukungan pemerintah, mengurangi risiko hukum, dan meningkatkan daya saing.

Contoh paling konkret dari pengaruh ini adalah dugaan keterlibatan oligarki dalam pembentukan dan revisi undang-undang krusial. Revisi Undang-Undang KPK  dan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja  adalah kasus yang menonjol. Pembentukan UU Cipta Kerja dikritik karena ruang dialog dengan publik ditutup dan komite kerjanya diisi oleh individu yang berafiliasi dengan perusahaan dan pebisnis tertentu. Hal ini membuka celah untuk konflik kepentingan, di mana beberapa ketentuan undang-undang hanya menguntungkan kelompok bisnis tertentu. Praktik lobi seperti ini, meskipun tidak selalu ilegal, dapat merusak kepercayaan publik dan menciptakan lingkungan yang rentan terhadap korupsi.

Rektor Universitas Widya Mataram, Prof. Edy Suandi Hamid, menyoroti bahwa jika para pemimpin tunduk pada kepentingan oligarki, kebijakan publik akan tersandera dan kepentingan masyarakat menjadi terpinggirkan. Pemerintahan yang oligarkis cenderung memproduksi kebijakan yang hanya melayani kepentingan kelompok oligopolis, yang pada akhirnya mempertinggi ketimpangan dalam masyarakat dan menciptakan inefisiensi dalam perekonomian 

Oligarki Media dan Dominasi Wacana Publik

Lanskap media di Indonesia dicirikan oleh dominasi “oligopoli media,” di mana kepemilikan media terkonsentrasi di tangan segelintir konglomerat yang memiliki kekuatan politik yang signifikan. Revolusi digital, alih-alih mendisrupsi, justru memperkuat posisi ekonomi dan politik mereka, yang oleh para sarjana disebut sebagai “konglomerat digital”.

Keterlibatan pemilik media dalam politik di Indonesia memiliki dua pola yang jelas. Pertama, keterlibatan langsung di mana pemilik media juga menjabat sebagai ketua partai politik. Contohnya termasuk Aburizal Bakrie (pemilik TVOne dan ANTV, ketua Partai Golkar), Surya Paloh (pemilik MetroTV dan Media Indonesia, ketua Partai Nasional Demokrat), dan Hary Tanoesoedibjo (pemilik MNC Group, ketua Partai Perindo). Dengan memegang posisi ganda ini, mereka dapat mengendalikan wacana dan berita di media mereka untuk tujuan politik, menyebabkan liputan berita yang seragam dengan narasi politik mereka. Kedua, keterlibatan tidak langsung, di mana pemilik media mendukung kandidat tertentu melalui pemberitaan yang menguntungkan mereka.

Dominasi media oleh oligarki menciptakan situasi di mana mereka dapat “mengatur apa yang harus didiskusikan dan apa yang harus dihindari” oleh publik. Mereka menggunakan pengaruh media yang terkonsentrasi ini sebagai strategi krusial untuk kesuksesan bisnis dan politik mereka. Lingkaran kekuasaan yang saling mengunci ini—dari pendanaan politik, kontrol partai, lobi kebijakan, hingga dominasi media—menjadi ekosistem yang terintegrasi, yang memungkinkan oligarki mengendalikan narasi dan mengamankan kekayaan mereka secara efektif.

Implikasi Oligarki Terhadap Kualitas Demokrasi dan Keadilan Sosial

Ketidaksetaraan Ekonomi dan Sosial

Salah satu dampak paling nyata dari dominasi oligarki adalah peningkatan kesenjangan ekonomi dan sosial. Kekuasaan politik tidak dipegang untuk melayani kepentingan publik, melainkan digunakan sebagai alat untuk “melestarikan kekayaan”  dan “memperbesar kekayaan”. Keadaan ini menyebabkan ketidaksetaraan material yang ekstrem di masyarakat, di mana penguasa semakin kaya sementara kemiskinan bisa meningkat. Sebuah studi menunjukkan bahwa dominasi aset-aset negara oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan berkorelasi positif dengan ketimpangan dan disinyalir menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Oligarki politik juga mengendalikan akses ke sumber daya ekonomi dan pasar, yang dapat menciptakan monopoli atau oligopoli. Monopoli ini merugikan konsumen melalui harga yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih rendah, serta menghambat persaingan dan inovasi. Keterlibatan mereka dalam perumusan kebijakan ekonomi cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi daripada investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan inovasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Pelemahan Institusi dan Sistem Hukum

Praktik oligarki secara sistematis merusak fondasi institusional negara. Tingginya biaya politik memicu praktik politik transaksional dan korupsi yang masif. Laporan menunjukkan bahwa praktik kekuasaan oligarki lokal berkaitan langsung dengan praktik korupsi. Oligarki, dengan kekuatan dan sumber daya mereka, dapat memanipulasi proses hukum untuk keuntungan mereka atau menghindari akuntabilitas. Pelemahan otoritas lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi undang-undangnya, menunjukkan bahwa oligarki berhasil “mengubah sistem sesuai mau mereka”.

Selain itu, oligarki juga melemahkan mekanisme check and balance dalam sistem pemerintahan. Dengan mengendalikan parlemen dan meresap ke sektor hukum, mereka membatasi kemampuan lembaga negara lain, seperti DPD RI, untuk menjadi penyeimbang kekuasaan. Keadaan ini menciptakan apa yang disebut sebagai “new otoritarianism” di bawah sistem presidensial, di mana keputusan-keputusan penting diatur oleh elit politik dan ekonomi, bukan oleh lembaga-lembaga yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat. 

Penurunan Partisipasi Publik dan Kedaulatan Rakyat

Oligarki, dengan dominasi totalnya atas proses politik, pada akhirnya menghilangkan hak partisipasi warga negara. Proses politik yang seharusnya mencerminkan suara mayoritas rakyat, justru dikuasai oleh kelompok berkuasa. Ini menciptakan “demokrasi yang tercemari oleh oligarki yang mencengkeram kuat”.

Dominasi ini juga melemahkan “civil society”. Meskipun pemilu tetap diadakan dan diyakini sebagai sarana kedaulatan rakyat, faktanya kekuasaan sering kali telah diatur sebelumnya oleh para elit di balik layar, sehingga rakyat hanya memiliki kedaulatan di bilik suara, tanpa kemampuan nyata untuk mengubah arah kebijakan yang berpihak pada oligarki. Hal ini menunjukkan bahwa oligarki tidak hanya mengontrol sumber daya material, tetapi juga ideologi dan identitas nasional, seperti yang terlihat dari kooptasi simbol-simbol Pancasila demi meraih legitimasi publik. 

Studi Komparatif: Indonesia dan Filipina

Sejarah dan Pola Serupa

Indonesia dan Filipina, dua negara Asia Tenggara yang menerapkan sistem presidensial dan telah melalui transisi demokrasi, sering digunakan sebagai studi perbandingan karena memiliki sejarah politik yang sangat mirip. Kedua negara memiliki warisan kolonial yang memengaruhi sistem pemerintahan mereka. Yang terpenting, keduanya berada di bawah rezim otoriter yang kuat—Soeharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina—yang mengubah institusi negara menjadi instrumen kontrol pribadi. Pasca-rezim otoriter ini, proses desentralisasi politik justru menyebarkan korupsi institusional dan patronase politik ke berbagai tingkatan pemerintahan 

Peran Dinasti Politik

Meskipun Indonesia dan Filipina sama-sama menghadapi fenomena dinasti politik yang mendominasi kontestasi elektoral , prevalensinya memiliki perbedaan. Dinasti politik di Filipina telah mengakar kuat sejak masa kolonial Amerika, di mana 70% anggota kongres Filipina berasal dari dinasti politik. Di sisi lain, meskipun dinasti politik di Indonesia belum seprevalen di Filipina, trennya menunjukkan bahwa fenomena ini “menjadi normal baru” dan mengancam demokrasi. Selain itu, ada perbedaan dalam penggunaan kekuasaan, di mana penggunaan “kekuatan koersif” untuk mendapatkan kekuasaan politik dianggap lebih lazim di Filipina dibandingkan di Indonesia. 

Kembalinya Klan Marcos: Sebuah Peringatan

Kemenangan telak Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. pada pemilihan presiden Filipina 2022, 36 tahun setelah ayahnya digulingkan, memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Kembalinya dinasti ini dimungkinkan oleh strategi kampanye yang cerdik di era digital. Selama lebih dari satu dekade, Bongbong Marcos dan sekutunya menggunakan platform digital untuk merehabilitasi citra keluarga mereka, menyebarkan “kampanye kebohongan dan disinformasi” yang menggambarkan masa lalu ayahnya sebagai era kemakmuran. Kemenangan ini didorong oleh populisme politik dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi demokrasi, yang dianggap gagal menghasilkan pemimpin berkualitas.

Strategi kampanye digital Bongbong Marcos memiliki kemiripan yang mencolok dengan strategi “personal branding” dan penggunaan influencer yang sukses dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memanfaatkan media sosial seperti TikTok dan Instagram untuk menjangkau pemilih muda, membangun citra yang akrab dan humanis dengan sebutan “gemoy”. Dukungan dari influencer dengan jutaan pengikut, seperti Raffi Ahmad, menjadi strategi pemasaran politik yang efektif untuk membentuk opini publik dan meningkatkan kesadaran politik di kalangan Gen Z.

Keterkaitan ini menunjukkan sebuah tren regional yang berbahaya: oligarki tidak hanya beradaptasi dengan sistem demokrasi, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan. Kemenangan Marcos dan keberhasilan kampanye digital di Indonesia menandai sebuah era baru di mana para elit berinvestasi besar pada media sosial untuk mengendalikan narasi publik dan memanipulasi pemilih, yang berpotensi menyebabkan kemunduran demokrasi lebih lanjut.

Tabel berikut menyajikan perbandingan komparatif antara dinamika oligarki di Indonesia dan Filipina:

 

Aspek Perbandingan Indonesia Filipina
Sejarah Rezim Otoriter Soeharto (1966-1998) Ferdinand Marcos (1965-1986)
Tipe Oligarki Dominan Transisi dari Sultanistik ke Kolektif & Sipil Dinasti politik yang mengakar kuat
Prevalensi Dinasti Politik Tren meningkat, menjadi “normal baru” Sangat lazim, mencakup 70% anggota kongres
Peran Media Digital Digunakan untuk kampanye personal branding (mis. “gemoy”) dan mobilisasi pendukung melalui influencer Digunakan untuk merehabilitasi citra keluarga dan menyebarkan disinformasi selama lebih dari satu dekade
Hasil Demokrasi Kontemporer “Demokrasi yang tercemari oligarki,” di mana hak partisipasi warga terancam Demokrasi yang rentan terhadap populisme politik dan kembalinya klan lama

Perlawanan dan Skenario Masa Depan Oligarki Indonesia

Peran Masyarakat Sipil dan Upaya Perlawanan

Meskipun cengkeraman oligarki menguat, perlawanan dari masyarakat sipil terus berlanjut. Berbagai “Koalisi Masyarakat Sipil” yang terdiri dari organisasi seperti WALHI, ICW, AJI, dan KontraS secara konsisten menyuarakan kritik terhadap konsolidasi oligarki. Perlawanan ini memanifestasikan diri dalam beberapa bentuk. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah protes massa yang menentang revisi UU KPK pada 2019 dan pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020. Aksi-aksi ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepekaan terhadap kebijakan yang dianggap menguntungkan oligarki dan merugikan publik.

Selain itu, ada upaya perlawanan yang lebih spesifik, seperti penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dianggap berpotensi mengancam kebebasan pers dan menghambat pemberantasan korupsi. Koalisi Masyarakat dan Pers di Surabaya, misalnya, melakukan demonstrasi menolak RUU ini. Lembaga-lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Transparency International Indonesia juga aktif dalam menentang regulasi yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan ruang digital. Mereka berpendapat bahwa pers memiliki kewajiban untuk mempertahankan demokrasi dan melawan intervensi dari para elit kekuasaan. 

Tantangan dan Batasan Perlawanan

Namun, perlawanan ini menghadapi tantangan yang signifikan. Laporan menunjukkan bahwa masyarakat sipil di Indonesia masih sangat terfragmentasi, kurang termobilisasi, dan belum mampu menjadi penyeimbang yang efektif terhadap kekuatan oligarki. Kekuatan oligarki telah “mencengkeram kuat” tidak hanya di parlemen, tetapi juga di sektor hukum. Hal ini membatasi ruang gerak reformasi dan membuat upaya perlawanan menjadi sulit.

Selain itu, praktik oligarki sering kali memanfaatkan simbol dan jargon populis, seperti konsep “gotong royong” untuk melegitimasi proyek-proyek yang justru menguntungkan elit tertentu. Hal ini membuat perlawanan menjadi lebih sulit karena publik bisa saja tidak menyadari adanya manipulasi. Meskipun ada perlawanan, kekuasaan yang terpusat pada partai politik dan dinasti politik membuat perubahan sistemik menjadi sangat sulit tanpa adanya reformasi yang mendalam. 

Dinamika Baru di Era Digital

Era digital menghadirkan sebuah paradoks dalam dinamika kekuasaan oligarki. Di satu sisi, ia menjadi alat yang sangat ampuh bagi oligarki untuk kampanye dan mengendalikan narasi. Dengan melibatkan influencer dan menggunakan kampanye personal branding yang kreatif, mereka berhasil menjangkau pemilih, terutama generasi muda. Konten yang ringan dan menghibur, seperti joget “gemoy” , membantu menciptakan citra yang humanis dan mendekatkan diri dengan pemilih secara informal, yang sulit dilakukan oleh media tradisional.

Di sisi lain, revolusi digital juga membuka ruang untuk inisiatif “kontra-oligarki” yang dilakukan oleh netizen. Melalui media sosial, warga dapat memprotes, berdebat, dan menyebarkan informasi yang berbeda dari media mainstream yang berafiliasi dengan oligarki. Masyarakat kini memiliki alternatif untuk mengakses narasi yang tidak dikontrol oleh media milik konglomerat.

Upaya pemerintah untuk meregulasi media digital melalui RUU Penyiaran menunjukkan bahwa kekuatan digital rakyat telah menjadi penyeimbang yang diperhitungkan. RUU ini, yang berpotensi membatasi jurnalisme investigasi dan mengawasi konten digital pribadi , dapat dilihat sebagai strategi adaptasi oligarki untuk merebut kembali kendali narasi yang terancam oleh revolusi digital. Dengan demikian, masa depan demokrasi Indonesia mungkin akan ditentukan oleh pertempuran antara oligarki dan masyarakat sipil di ruang digital.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Laporan ini menyimpulkan bahwa oligarki di Indonesia adalah struktur kekuasaan yang mapan, adaptif, dan telah berhasil melembaga dalam sistem demokrasi elektoral. Ini bukanlah fenomena baru, melainkan evolusi dari oligarki sultanistik di era Orde Baru menjadi oligarki kolektif dan sipil di era Reformasi. Pergeseran ini menunjukkan bahwa cengkeraman oligarki tidak melemah, melainkan menyebar dan beradaptasi dengan mekanisme demokrasi, menjadikannya tantangan utama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Masalah fundamentalnya terletak pada hubungan yang saling mengunci antara kekayaan dan kekuasaan. Tingginya biaya politik dalam pemilu menciptakan ketergantungan para politisi pada modal oligarki. Ketergantungan ini, pada gilirannya, memberikan oligarki kontrol atas partai politik, regulasi, dan narasi publik melalui lobi dan kepemilikan media. Dampak dari sistem ini sangat terasa, mulai dari ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang meningkat, pelemahan institusi negara, hingga erosi substansi kedaulatan rakyat. Perbandingan dengan Filipina semakin memperjelas bahwa demokrasi prosedural tidak kebal terhadap ancaman oligarki, terutama ketika para elit beradaptasi dengan memanfaatkan populisme politik dan teknologi digital.

Untuk membendung dominasi oligarki, diperlukan langkah-langkah strategis yang terpadu dan menyeluruh.

  1. Reformasi Pendanaan Politik: Mengatasi akar masalah dengan mereformasi regulasi pemilu dan pendanaan partai politik. Diperlukan aturan yang ketat dan transparan untuk mengurangi ketergantungan politisi pada modal oligarki.
  2. Penguatan Lembaga Negara: Mengembalikan wewenang lembaga check and balance yang telah dilemahkan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPD RI. Lembaga-lembaga ini harus diperkuat untuk menciptakan keseimbangan politik yang tidak dapat didikte oleh kepentingan oligarki.
  3. Penguatan Masyarakat Sipil dan Media Independen: Memastikan perlindungan hukum bagi jurnalis, aktivis, dan netizen, serta menolak legislasi yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ruang digital perlu dijaga sebagai arena di mana inisiatif kontra-oligarki dapat tumbuh dan menantang narasi
    mainstream.
  4. Edukasi Politik: Mengintensifkan pendidikan politik bagi publik, terutama generasi muda. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bahaya oligarki dan politik transaksional, masyarakat dapat membuat pilihan yang lebih terinformasi dalam setiap pemilu. Ini adalah kunci untuk memastikan bahwa kedaulatan rakyat tidak hanya ada di bilik suara, tetapi juga dalam perumusan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan nasional.

Daftar Pustaka :

  1. Dominasi Oligarki dan Ketidakhadiran Partai Politik Hijau di Indonesia Oligarchy Domination and The Absence of Green Political P – Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, accessed September 5, 2025, https://nakhoda.ejournal.unri.ac.id/index.php/njip/article/download/112/120/541
  2. Oligarki: Pengertian, Ciri-ciri, dan Tipe – detikcom, accessed September 5, 2025, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7092399/oligarki-pengertian-ciri-ciri-dan-tipe
  3. Richard Robison and Vedi R. Hadiz. Reorganizing Power in …, accessed September 5, 2025, https://ecommons.cornell.edu/bitstreams/c210ae1a-5190-4493-8dc7-d2eefc37a714/download
  4. OPINI : Pancasila dalam Kepungan Oligarki, accessed September 5, 2025, https://fsh.uin-alauddin.ac.id/berita-27387-opini-pancasila-dalam-kepungan-oligarki
  5. Membendung Oligarki | Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Website Resmi, accessed September 5, 2025, https://www.uinjkt.ac.id/id/membendung-oligarki/
  6. Oligarki Lemahkan Civil Society, DPD RI Tak Mau Indonesia Jadi Negara Gagal Berdaulat, accessed September 5, 2025, https://www.dpd.go.id/daftar-berita/oligarki-lemahkan-civil-society-dpd-ri-tak-mau-indonesia-jadi-negara-gagal-berdaulat
  7. Pembatasan Oligarki dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi di …, accessed September 5, 2025, https://mls.umy.ac.id/index.php/mlsj/article/download/102/36/467
  8. Oligarki Hukumnya Makruh – Universitas Muhammadiyah Jakarta, accessed September 5, 2025, https://umj.ac.id/opini/oligarki-hukumnya-makruh/
  9. Konglomerat Jaman Orde Baru, Terkenal Dengan Julukan Empat …, accessed September 5, 2025, https://bogor.inews.id/read/168653/konglomerat-jaman-orde-baru-terkenal-dengan-julukan-empat-sekawan/all
  10. Profil Konglomerat Era Orde Baru, dari Liem Sioe Liong hingga …, accessed September 5, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/profil-konglomerat-era-orde-baru-dari-liem-sioe-liong-hingga-sudwikatmono-350547
  11. Populisme: Potensi untuk Mengalahkan Dominasi Oligarki di Indonesia? – HMIP FISIP UI, accessed September 5, 2025, https://hmip.fisip.ui.ac.id/populisme-potensi-untuk-mengalahkan-dominasi-oligarki-di-indonesia/
  12. Indonesia and the Philippines: A tale of two democracies | Opinions – Al Jazeera, accessed September 5, 2025, https://www.aljazeera.com/opinions/2014/8/30/indonesia-and-the-philippines-a-tale-of-two-democracies
  13. membongkar relasi kekuasaan oligarki di kota batu, accessed September 5, 2025, https://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/view/511/558
  14. POLITEIA:JurnalIlmuPolitik Perubahan Paradigma Politik di …, accessed September 5, 2025, https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/download/12424/7049/55195
  15. Menelusuri Sejarah Ekonomi-Politik Indonesia dari Orde Baru …, accessed September 5, 2025, https://www.anri.go.id/en/publications/news/menelusuri-sejarah-ekonomi-politik-indonesia-dari-orde-baru-hingga-reformasi
  16. The Impact of Political Dynasty Practices on Indonesian Local Democracy, accessed September 5, 2025, https://journal.ummat.ac.id/index.php/JSIP/article/download/27770/pdf
  17. Politik Oligarki dan Perampasan Tanah di Indonesia: Kasus Perampasan Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2014 – UI Scholars Hub, accessed September 5, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/politik/vol2/iss1/1/
  18. Oligarki Adalah: Ciri, Dampak, dan Contohnya – detikcom, accessed September 5, 2025, https://www.detik.com/bali/berita/d-6611594/oligarki-adalah-ciri-dampak-dan-contohnya
  19. Sumbangan Dana Kampanye Pada Pemilu 2024 (Analisis Regulasi Kepemiluan di Indonesia) – UNES Law Review, accessed September 5, 2025, https://review-unes.com/index.php/law/article/download/1141/920/
  20. Analisis hubungan kekeluargaan dalam perilaku politik masyarakat pada pemilihan Kepala Desa Aro tahun 2022 – Jurnal Elektronik Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, accessed September 5, 2025, https://jurnal.ucy.ac.id/index.php/fkip/article/download/2199/2013/9859
  21. Political Dynasties in Indonesia and the Philippines – Stratsea, accessed September 5, 2025, https://stratsea.com/political-dynasties-in-indonesia-and-the-philippines/
  22. Dampak Oligarki Politik ke Ekonomi | kumparan.com, accessed September 5, 2025, https://m.kumparan.com/edo-segara-1631670379140068854/dampak-oligarki-politik-ke-ekonomi-22BVBayPlYh
  23. PENTINGNYA TEKNIK GOOD LOBBY DALAM KOMUNIKASI GOOD GOVERNANCE – Jurnal UNISMA Bekasi, accessed September 5, 2025, https://jurnal.unismabekasi.ac.id/index.php/governance/article/download/8245/3009/18655
  24. Catatan Kritis Tahun 2020: Reformasi Habis Dikorupsi Oligarki …, accessed September 5, 2025, https://www.walhi.or.id/catatan-kritis-tahun-2020-reformasi-habis-dikorupsi-oligarki
  25. Rektor UWM Berbicara tentang Praktik Oligarki Ekonomi Politik yang …, accessed September 5, 2025, https://new.widyamataram.ac.id/content/news/rektor-uwm-berbicara-tentang-praktik-oligarki-ekonomi-politik-yang-menyandera-bangsa
  26. Oligarchy and Netizens Fighting Controlling … – UI Scholars Hub, accessed September 5, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1085&context=politik
  27. Proposed laws could revive Indonesia’s media oligarchy, accessed September 5, 2025, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/proposed-laws-could-revive-indonesias-media-oligarchy/
  28. Oligarki: Faktor Ketimpangan – Megawati Institute, accessed September 5, 2025, https://megawati-institute.org/oligarki-faktor-ketimpangan/
  29. BIAYA POLITIK TINGGI: OLIGARKI, DINASTI POLITIK, DAN KORUPSI – ejournal brin, accessed September 5, 2025, https://ejournal.brin.go.id/jmi/article/view/8673
  30. Aksi Pencegahan Korupsi 2025-2026 Disahkan: Penuh Selebrasi, Basa-Basi dan Tunduk Pada Agenda Oligarki – Transparency International Indonesia, accessed September 5, 2025, https://ti.or.id/aksi-pencegahan-korupsi-2025-2026-disahkan-penuh-selebrasi-basa-basi-dan-tunduk-pada-agenda-oligarki/?e-page-3bb6d40=6
  31. Perbandingan Sistem Politik Dan Demokrasi: Studi Kasus Indonesia Dan Filipina Dalam Konteks Sejarah Politik Dan Pemilihan Umum – Universitas Putera Batam, accessed September 5, 2025, https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/prosiding/article/download/9320/3841/36539
  32. Perbandingan Sistem Pemerintahan Presidensial Antara Indonesia dan Filipina, accessed September 5, 2025, https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/view/521
  33. Perbandingan Penegakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Rezim Suharto dan Filipina Pasca-Rezim Marcos, accessed September 5, 2025, https://jurnalonline.unsoed.ac.id/index.php/insignia/article/view/1246/1018
  34. CO13018 | Indonesia and the Philippines: Political dynasties in democratic states – RSIS, accessed September 5, 2025, https://rsis.edu.sg/rsis-publication/rsis/1908-indonesia-and-the-philippines/
  35. Kembalinya Klan Marcos di Filipina dan Kekalahan Demokrasi atas …, accessed September 5, 2025, https://netfidindonesia.com/kembalinya-klan-marcos-di-filipina-dan-kekalahan-demokrasi-atas-populisme-politik/
  36. ANALISIS PERSONAL BRANDING PRABOWO SUBIANTO PADA KAMPANYE PILPRES 2024: STUDI KASUS AKUN INSTAGRAM @PRABOWO | Ardiansyah | NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, accessed September 5, 2025, https://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/16995
  37. Strategi Personal Branding Prabowo Subianto Sebagai Capres Melalui Media Sosial, accessed September 5, 2025, https://philosophiamundi.id/index.php/philosophia/article/download/12/11
  38. Komunikasi Politik Akun Instagram @raffinagita1717 dalam Branding Personal Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 – Jurnal Bersama, accessed September 5, 2025, https://journal.yp3a.org/index.php/mukasi/article/download/3909/1331/16202
  39. pengaruh personal branding prabowo subianto terhadap intensi memilih gen z pada pemilu tahun 2024 – Universitas Wahid Hasyim, accessed September 5, 2025, https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/SPEKTRUM/article/download/11709/5506/28043
  40. Seruan Pers : Lawan Oligarki, Media Wajib Pertahankan Demokrasi | AJI, accessed September 5, 2025, https://aji.or.id/informasi/seruan-pers-lawan-oligarki-media-wajib-pertahankan-demokrasi
  41. Siaran Pers: Koalisi Masyarakat dan Pers di Surabaya Tolak RUU Penyiaran | AJI, accessed September 5, 2025, https://aji.or.id/informasi/siaran-pers-koalisi-masyarakat-dan-pers-di-surabaya-tolak-ruu-penyiaran
  42. RUU Penyiaran Hambat Pemberantasan Korupsi dan Ancam … – ICW, accessed September 5, 2025, https://antikorupsi.org/id/ruu-penyiaran-hambat-pemberantasan-korupsi-dan-ancam-demokrasi-dpr-dan-presiden-harus-hentikan
  43. RUU Penyiaran Berpotensi Multitafsir Hingga Tumpang Tindih …, accessed September 5, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/ruu-penyiaran-berpotensi-multitafsir-hingga-tumpang-tindih-aturan-dosen-komunikasi-ugm-minta-ditinjau-ulang/
  44. Aktivis hingga Akademisi Ingatkan Bahaya Oligarki Berkuasa, accessed September 5, 2025, https://uai.ac.id/en/aktivis-hingga-akademisi-ingatkan-bahaya-oligarki-berkuasa/
  45. Oligarki dan Ancaman bagi Masa Depan Generasi Muda – Bollo.id, accessed September 5, 2025, https://www.bollo.id/ceritaan/oligarki-dan-ancaman-bagi-masa-depan-generasi-muda/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

78 − 74 =
Powered by MathCaptcha