PT Pegadaian (Persero) merupakan salah satu pilar fundamental dalam ekosistem keuangan Indonesia. Beroperasi di luar kerangka perbankan konvensional, Pegadaian berhasil memposisikan diri sebagai solusi keuangan yang mudah diakses dan terpercaya bagi berbagai lapisan masyarakat. Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai landasan operasional Pegadaian, yang dibentuk oleh model dualisme: prinsip konvensional dan prinsip syariah.
Temuan utama dari analisis ini menunjukkan bahwa strategi operasional Pegadaian merupakan perpaduan unik antara tujuan korporat yang berorientasi laba dan misi sosial yang kuat. Evolusi status hukumnya dari lembaga pemerintah murni (Jawatan) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang kini mayoritas sahamnya dipegang oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, mencerminkan transisi strategis untuk mengintegrasikan efisiensi bisnis dengan jangkauan layanan publik. Meskipun kedua model, konvensional dan syariah, memiliki perbedaan fundamental dalam hal dasar hukum dan terminologi keuangan, keduanya memiliki kesamaan fungsional dalam menyediakan akses pinjaman cepat dan aman dengan jaminan.
Meskipun demikian, operasional Pegadaian tidak terlepas dari sorotan kritis, terutama terkait perdebatan akademis mengenai mekanisme biaya ujrah dalam produk syariah yang dianggap oleh sebagian pihak menyerupai unsur riba. Upaya regulator melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terbaru menunjukkan komitmen untuk meningkatkan standar industri, memperkuat ketahanan finansial, dan memastikan perlindungan konsumen. Secara keseluruhan, Pegadaian berfungsi bukan hanya sebagai penyedia pinjaman, melainkan sebagai agen inklusi keuangan yang vital, mendukung program pemerintah, dan membantu masyarakat terhindar dari praktik pinjaman informal yang merugikan.
Pendahuluan: PT Pegadaian (Persero) dalam Konteks Lembaga Keuangan Non-Bank
Sebagai lembaga jasa keuangan bukan bank, Pegadaian berperan sebagai penyedia layanan pinjaman dengan sistem gadai yang terdaftar dan diawasi secara resmi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Inti dari bisnis Pegadaian adalah memberikan pinjaman uang dengan menerima barang bergerak, seperti perhiasan, elektronik, atau sertifikat, sebagai jaminan dari peminjam. Layanan ini menjadikannya solusi cepat bagi masyarakat yang membutuhkan dana.
Sejarah Pegadaian di Indonesia berawal dari adopsi sistem gadai yang pertama kali berkembang di Italia, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya seperti Inggris dan Belanda. Di Indonesia, lembaga ini secara resmi berdiri pada tahun 1901 dan kemudian berstatus Jawatan pada tahun 1905. Perjalanan Pegadaian mengalami beberapa kali perubahan status hukum, termasuk menjadi Perusahaan Negara (PN) pada 1 Januari 1961 dan Perusahaan Umum (Perum) pada tahun 1990. Puncak transformasinya terjadi pada tahun 2012, ketika statusnya berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011. Perubahan ini menandai pergeseran fundamental dalam visi dan misi perusahaan.
Visi Pegadaian adalah menjadi “The Most Valuable Financial Company di Indonesia dan sebagai agen inklusi keuangan pilihan utama masyarakat”. Visi ini didukung oleh misi ganda, yaitu melayani masyarakat (public service) sekaligus mencari keuntungan (profit oriented). Misi utamanya adalah membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah dan menghindari masyarakat dari praktik pinjaman dengan bunga yang tidak wajar ataurentenir. Dalam perjalanan misinya, Pegadaian tidak lagi membatasi ruang geraknya hanya untuk masyarakat kecil dan golongan menengah, melainkan memperluas jangkauan layanan kepada berbagai segmen pasar. Transformasi dari
Perum menjadi Persero adalah sebuah strategi yang memungkinkan perusahaan untuk beroperasi lebih fleksibel dan kompetitif, menyeimbangkan peran sosialnya dengan tuntutan efisiensi korporat. Hal ini juga menjelaskan mengapa Pegadaian, meskipun diklasifikasikan sebagai perusahaan pergadaian pemerintah oleh OJK, memiliki struktur kepemilikan saham yang didominasi oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Model hibrida ini memadukan kepercayaan dan jangkauan entitas milik negara dengan dinamisme sektor swasta.
Landasan dan Kerangka Prinsip Pegadaian
Prinsip operasional Pegadaian ditopang oleh dua kerangka utama yang beroperasi secara paralel: prinsip konvensional dan prinsip syariah. Model dualisme ini merupakan pendekatan strategis yang memungkinkan Pegadaian untuk menjangkau segmen pasar yang lebih luas dan beragam. Prinsip konvensional melayani nasabah yang mencari kemudahan dan kecepatan pinjaman, sementara prinsip syariah melayani masyarakat yang mengutamakan kepatuhan terhadap hukum Islam.
Pengawasan terhadap operasional Pegadaian diatur oleh dua otoritas. Seluruh kegiatan perusahaan, baik konvensional maupun syariah, berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).2 Sementara itu, untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah, terdapat dua badan pengawas yang berwenang: Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). DSN-MUI bertugas menetapkan fatwa sebagai pedoman syariah, yang kemudian diadopsi oleh regulator seperti OJK. DPS, sebagai perwakilan DSN-MUI, ditempatkan di internal Pegadaian Syariah untuk mengawasi operasional, meninjau produk, dan memberikan nasihat kepada manajemen agar semua kegiatan sesuai dengan fatwa yang telah ditetapkan.
Keberadaan dua model yang berbeda menunjukkan bahwa Pegadaian tidak memaksakan satu model tunggal, melainkan menawarkan pilihan yang sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan masyarakat. Strategi ini memperkuat peran Pegadaian sebagai agen inklusi keuangan universal Dengan menawarkan layanan yang bebas dari unsur riba, Pegadaian Syariah berhasil menarik basis pelanggan baru yang sensitif terhadap hukum Islam, sehingga memperluas pangsa pasar dan memperkuat peran sosialnya. Pendekatan ini adalah contoh bagaimana sebuah perusahaan dapat mencapai tujuan bisnis sambil memenuhi misi sosial dan menjembatani kesenjangan akses keuangan.
Prinsip-Prinsip Operasional Gadai Konvensional
Prinsip dasar gadai konvensional di Pegadaian berlandaskan pada Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal ini mendefinisikan gadai (pand) sebagai hak yang diperoleh oleh kreditor atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya sebagai jaminan utang. Mekanisme pinjaman sangat sederhana: nasabah datang ke gerai Pegadaian terdekat, menyerahkan kartu identitas, dan menjaminkan barang bergerak.
Produk andalan Pegadaian konvensional adalah Kredit Cepat Aman (KCA). Produk ini memberikan pinjaman dengan jaminan barang bergerak seperti perhiasan, emas batangan, mobil, sepeda motor, atau barang elektronik lainnya. KCA dapat digunakan untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif. Keunggulan utama KCA adalah prosesnya yang sangat cepat, hanya membutuhkan sekitar 15 menit untuk pencairan dana. Jangka waktu pinjaman maksimal adalah 120 hari atau 4 bulan dan dapat diperpanjang dengan hanya membayar sewa modal atau sebagian pinjaman. Pelunasan juga dapat dilakukan sewaktu-waktu.
Struktur biaya pada gadai konvensional terdiri dari “sewa modal” dan biaya administrasi. Sewa modal dihitung per 15 hari. Besaran sewa modal ini bervariasi tergantung pada nilai pinjaman. Misalnya, untuk pinjaman emas, sewa modal dapat berkisar antara 1% hingga 1,2% per 15 hari. Untuk pinjaman lebih dari Rp5 juta, dikenakan sewa modal sebesar 1,2% per 15 hari. Sebagai ilustrasi, untuk pinjaman Rp 5 juta dengan jangka waktu 120 hari, total sewa modal yang harus dibayar adalah Rp480.000. Biaya administrasi juga dikenakan, seperti Rp35.000 untuk pinjaman Rp3.740.000.
Prinsip kecepatan, kemudahan, dan fleksibilitas menjadi inti dari layanan konvensional. Kemudahan proses pengajuan dan pencairan yang instan secara langsung menjawab kebutuhan dana darurat masyarakat, menjadikannya alternatif yang aman dari pinjaman informal dengan bunga tidak wajar. Ini adalah bukti nyata bagaimana prinsip operasional Pegadaian selaras dengan misi sosialnya untuk melindungi masyarakat dan mendukung stabilitas keuangan.
Prinsip-Prinsip Operasional Gadai Syariah
Layanan gadai syariah di Pegadaian beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI. Terdapat tiga prinsip utama yang mendasari sistem ini: prinsip bisnis (tijariah), prinsip tolong-menolong (ta’awun), dan prinsip tauhid. Berbeda dengan model konvensional, gadai syariah tidak menggunakan konsep bunga atau riba. Sebagai gantinya, transaksi didasarkan pada serangkaian akad, seperti
Akad Qardh (pinjaman kebajikan) dan Akad Ijarah (sewa-menyewa).Dalam transaksi gadai syariah, nasabah menerima pinjaman berdasarkan akad qardh, yang mewajibkan pengembalian pokok pinjaman tanpa tambahan. Sementara itu, Pegadaian mengenakan biaya atas jasa penyimpanan dan pemeliharaan barang jaminan (marhun) berdasarkan akad ijarah. Biaya ini dikenal dengan istilah ujrah atau mu’nah. Jaminan (marhun) tetap menjadi milik nasabah (rahin), dan Pegadaian (murtahin) hanya berhak menahannya hingga utang dilunasi.
Produk-produk unggulan berbasis syariah mencakup Rahn (pembiayaan gadai), Arrum Emas (pinjaman dengan jaminan emas atau berlian yang dapat diangsur), Arrum BPKB (pembiayaan modal usaha dengan jaminan BPKB), dan Amanah (pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor). Untuk produk Arrum Emas, biaya mu’nah yang dikenakan adalah 0,95% per bulan dari nilai taksiran barang jaminan, di samping biaya administrasi sebesar Rp70.000. Jangka waktu pinjaman Arrum Emas fleksibel, mulai dari 12 hingga 36 bulan.
Strategi Pegadaian dalam menerapkan prinsip syariah adalah untuk menawarkan layanan yang halal dan sesuai dengan ajaran Islam, sebuah nilai jual utama di pasar Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim. Dengan menghindari unsur riba, Pegadaian Syariah tidak hanya memenuhi kebutuhan finansial, tetapi juga memberikan ketenangan spiritual bagi nasabahnya. Pendekatan ini memungkinkan Pegadaian untuk bersaing dengan lembaga keuangan syariah lainnya dan memperluas pangsa pasar.
Dimensi Sosial dan Ekonomi Pegadaian
Pegadaian tidak hanya berfokus pada layanan gadai, tetapi juga memainkan peran krusial dalam pembangunan sosial dan ekonomi nasional. Perusahaan ini secara aktif berperan sebagai “agen inklusi keuangan”. Inklusi keuangan adalah upaya untuk menyediakan akses layanan keuangan formal bagi masyarakat yang sebelumnya tidak terlayani oleh bank. Pegadaian menjangkau segmen ini dengan persyaratan yang lebih sederhana dan proses yang cepat. Jaringan gerainya yang luas dan inisiatif digital seperti Aplikasi Pegadaian Digital Services (PDS) semakin mempermudah akses ini.
Selain itu, Pegadaian memberikan kontribusi signifikan dalam mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Melalui produk seperti KRASIDA dan KREASI, Pegadaian menyalurkan kredit dengan agunan yang fleksibel, seperti perhiasan emas atau BPKB kendaraan, yang memungkinkan UMKM untuk mendapatkan modal kerja tanpa harus menyerahkan kendaraan yang mereka gunakan untuk usaha. Dukungan ini juga mencakup pelatihan dan pendampingan usaha.
Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, Pegadaian juga melaksanakan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang berlandaskan pada komitmen perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan. Program CSR ini mencakup berbagai inisiatif seperti beasiswa pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan bantuan bencana alam. Misi sosial Pegadaian bukan sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan strategi bisnis yang cerdas. Dengan melayani segmen pasar yang terabaikan, Pegadaian membangun citra merek yang positif dan memperoleh lisensi untuk beroperasi secara sosial, yang pada akhirnya membuka peluang pasar yang lebih luas dan meningkatkan reputasinya di mata masyarakat dan pemerintah.
Tinjauan Kritis dan Kontroversi
Meskipun model dualisme Pegadaian telah terbukti berhasil, terdapat perdebatan akademis yang signifikan, terutama terkait prinsip gadai syariah. Salah satu kontroversi utama adalah pengenaan biaya ujrah atau mu’nah. Meskipun secara teori biaya ini adalah upah jasa penyimpanan dan pemeliharaan, kritik muncul karena biaya tersebut sering kali dihitung berdasarkan persentase dari jumlah pinjaman, yang secara fungsional menyerupai bunga konvensional. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah praktik ini sepenuhnya bebas dari unsur riba seperti yang disyaratkan dalam syariat Islam.
Beberapa akademisi berpendapat bahwa penggabungan akad qardh (pinjaman kebajikan) dan ijarah (sewa) dalam satu transaksi dapat menjadi masalah jika biaya ijarah dikaitkan langsung dengan jumlah pinjaman, bukan dengan biaya riil pemeliharaan barang. Hal ini dikarenakan setiap utang piutang yang diambil keuntungannya adalah riba. Di sisi lain, Pegadaian Syariah mendasarkan praktiknya pada fatwa DSN-MUI yang membolehkan mekanisme ini. Perdebatan ini menyoroti perlunya transparansi lebih lanjut dalam mekanisme perhitungan biaya ujrah untuk memberikan kejelasan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap layanan keuangan syariah.
Dari sisi regulasi, POJK Nomor 39 Tahun 2024 tentang Pergadaian menunjukkan upaya OJK untuk meningkatkan standar industri secara keseluruhan. Regulasi ini menggantikan POJK sebelumnya dan memperkenalkan beberapa ketentuan baru, seperti penambahan kategori perusahaan pergadaian tingkat nasional. POJK ini juga menetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk memiliki rasio ekuitas minimal 50% dari modal disetor, yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan finansial. Selain itu, regulasi baru ini mewajibkan rasio pinjaman-terhadap-agunan (loan-to-collateral ratio) minimum sebesar 51% , sebuah langkah untuk melindungi nasabah dengan memastikan nilai pinjaman tidak terlalu rendah dibandingkan dengan nilai jaminan yang diserahkan.
Perbandingan Komprehensif: Konvensional vs. Syariah
Meskipun beroperasi di bawah satu entitas perusahaan, Pegadaian konvensional dan syariah memiliki perbedaan fundamental yang dapat disintesis dalam tabel perbandingan berikut.
Fitur | Pegadaian Konvensional | Pegadaian Syariah |
Prinsip Dasar | Orientasi bisnis dan profit. | Berbasis hukum Islam (Syariah). |
Dasar Hukum | Pasal 1150 KUH Perdata. | Fatwa DSN-MUI, prinsip Rahn dan Ijarah. |
Istilah Keuangan | Bunga atau sewa modal. | Ujrah atau Mu’nah (biaya penitipan/jasa). |
Tujuan Produk | Pinjaman dana cepat untuk kebutuhan konsumtif atau produktif. | Pembiayaan sesuai syariah untuk kebutuhan mendesak atau investasi. |
Mekanisme Operasional | Pinjaman diberikan dengan agunan, biaya dihitung sebagai persentase pinjaman. | Kombinasi Akad Qardh (pinjaman pokok) dan Akad Ijarah (biaya jasa). |
Fokus Jaminan | Barang bergerak (emas, elektronik, kendaraan) atau sertifikat. | Emas, BPKB, atau aset lain yang halal. |
Perbandingan ini menunjukkan bahwa Pegadaian berhasil mengimplementasikan dua model yang secara filosofis berbeda di bawah satu payung perusahaan. Tabel tersebut secara visual menguatkan klaim dualisme strategis, yang merupakan kunci keberhasilan Pegadaian dalam melayani pasar yang luas dan beragam. Pendekatan ini juga memvalidasi bagaimana Pegadaian menyeimbangkan antara tujuan bisnis dan misi sosialnya, memanfaatkan setiap model untuk memenuhi kebutuhan spesifik nasabah.
Kesimpulan
Prinsip operasional Pegadaian di Indonesia dicirikan oleh sebuah model hibrida yang memadukan pragmatisme bisnis dengan komitmen sosial yang mendalam. Transisi historis dari lembaga Jawatan menjadi Persero yang didukung oleh BRI memungkinkan Pegadaian untuk beroperasi lebih efisien sambil tetap menjalankan perannya sebagai agen inklusi keuangan. Model dualisme konvensional dan syariah adalah bukti nyata dari strategi ini, memungkinkan perusahaan untuk menjangkau berbagai segmen pasar, dari masyarakat yang membutuhkan dana darurat hingga mereka yang sensitif terhadap prinsip riba.
Keberlanjutan Pegadaian di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan lanskap digital dan regulasi yang semakin ketat. Transformasi digital melalui aplikasi dan layanan daring menjadi kunci untuk memperluas jangkauan ke seluruh pelosok tanah air. Namun, seiring dengan pertumbuhan, perusahaan harus terus meningkatkan transparansi, terutama dalam mekanisme perhitungan biaya
ujrah, untuk mengatasi kontroversi dan memperkuat kepercayaan publik.2Secara keseluruhan, Pegadaian bukan sekadar tempat gadai. Analisis ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut adalah entitas yang kompleks dan dinamis, yang secara strategis menyeimbangkan antara tujuan profit dan public service. Dengan terus menjembatani kesenjangan akses keuangan, Pegadaian akan terus memainkan peran penting dalam mewujudkan inklusi keuangan yang lebih merata dan mendukung stabilitas ekonomi nasional.