Kehancuran PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa industri tekstil dan garmen (TPT) di Indonesia, menandai babak akhir yang dramatis setelah perusahaan resmi menutup seluruh operasionalnya per 1 Maret 2025. Keputusan ini berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang menimpa sekitar 8.400 karyawan, dengan hak-hak seperti pesangon yang pembayarannya masih terkatung-katung menunggu hasil likuidasi aset. Kejatuhan ini bukan sekadar kegagalan bisnis biasa, melainkan hasil dari kombinasi kompleks antara mismanajemen finansial internal dan guncangan ekonomi eksternal yang saling memperburuk.
Laporan ini menguraikan secara mendalam bagaimana Sritex terperosok ke jurang kepailitan, yang bermula dari akumulasi beban utang masif hingga mencapai USD 1,6 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. Titik balik krusial terjadi ketika perusahaan, yang sempat mencatat laba signifikan pada tahun 2020, tiba-tiba membukukan kerugian bersih sebesar USD 1,08 miliar pada tahun 2021. Meskipun sempat mencapai kesepakatan perdamaian melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Januari 2022, Sritex gagal memenuhi kewajibannya, yang pada akhirnya memicu permohonan pembatalan perdamaian dan putusan pailit yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada Desember 2024.
Kejadian ini menimbulkan dampak berantai yang signifikan terhadap berbagai pemangku kepentingan. Selain ribuan karyawan yang kehilangan mata pencaharian, para kreditur, termasuk puluhan bank nasional dan internasional, menghadapi potensi kerugian besar dari total utang yang terhimpun. Di sisi lain, pemegang saham menghadapi kenyataan pahit bahwa saham mereka berisiko dihapus dari bursa (delisting) tanpa ada kepastian nilai yang tersisa. Lebih dari sekadar sengketa perdata, kasus ini juga memiliki dimensi pidana. Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait penyalahgunaan dana kredit yang merugikan negara hingga lebih dari Rp 1 triliun. Secara keseluruhan, kasus Sritex menjadi studi kasus penting yang menyoroti kerentanan industri tekstil Indonesia dan urgensi perbaikan tata kelola perusahaan serta pengawasan sektor keuangan.
Latar Belakang dan Kronologi Kehancuran
PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang lebih dikenal sebagai Sritex, merupakan salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, dengan reputasi sebagai pemasok seragam militer untuk lebih dari 30 negara dan produsen kain berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri dan mode. Perusahaan ini dikenal memiliki kapasitas produksi terintegrasi dari hulu hingga hilir, mencakup lima lini proses utama: serat (fiber), pemintalan (spinning), penenunan (weaving), pencelupan (dying), dan penjahitan (garment). Namun, kejayaan Sritex mulai meredup dan puncaknya berujung pada kehancuran finansial dan operasional.
Linimasa krisis keuangan Sritex menunjukkan adanya titik balik yang sangat drastis, yang menjadi awal dari kejatuhan perusahaan. Setelah membukukan keuntungan yang solid senilai Rp 1,24 triliun pada tahun 2020, Sritex secara mengejutkan mencatatkan kerugian bersih yang sangat signifikan sebesar USD 1,08 miliar, atau setara dengan Rp 16,76 triliun pada tahun 2021. Lonjakan kerugian yang tidak wajar dalam satu tahun fiskal ini memicu kecurigaan dan menandai awal dari masalah yang lebih besar.
Runtuhnya keuangan perusahaan kemudian memicu serangkaian proses hukum yang panjang:
- Mei 2021: Sritex resmi dinyatakan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan total tagihan sekitar Rp 12,9 triliun.
- Januari 2022: Tujuh bulan setelahnya, Sritex berhasil mencapai rencana perdamaian yang disepakati oleh para kreditur, dan putusan tersebut disahkan dalam homologasi. Perusahaan meyakinkan bahwa sumber dana untuk memenuhi kewajiban berasal dari internal dan pembiayaan pasar keuangan, serta berjanji akan meningkatkan kinerja penjualan untuk memperbaiki kondisi keuangan.
- Agustus 2024: Namun, harapan pemulihan sirna. PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur, mengajukan permohonan pembatalan perdamaian karena Sritex dinilai telah lalai dan gagal memenuhi kewajiban pembayaran yang telah disepakati.
- 21 Oktober 2024: Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan permohonan tersebut. Putusan ini secara otomatis membatalkan homologasi dan menyatakan Sritex beserta tiga anak perusahaannya (PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya) pailit.
- Desember 2024: Upaya kasasi Sritex ke Mahkamah Agung (MA) ditolak. Putusan pailit ini pun berkekuatan hukum tetap (inkrah).
- 1 Maret 2025: Sebagai konsekuensi langsung dari putusan pailit, Sritex resmi menghentikan seluruh operasionalnya.
Kesenjangan yang sangat besar antara kewajiban (utang) dan aset perusahaan merupakan inti dari krisis finansial yang dialami Sritex. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada data laporan keuangan perusahaan
Kategori | Nilai |
Laba Bersih 2020 | Rp 1,24 triliun |
Kerugian Bersih 2021 | USD 1,08 miliar ($16,76 triliun) |
Total Liabilitas (Utang) | USD 1,597 miliar ($25 triliun) |
Total Aset | USD 617,33 juta |
Defisit Modal | USD 1,17 miliar |
Tabel ini secara visual menyoroti anomali keuangan yang dialami Sritex pada tahun 2021 dan kesenjangan masif antara total kewajiban dan total aset perusahaan per 30 Juni 2024. Kesenjangan ini menunjukkan kondisi ekuitas negatif dan defisiensi modal, yang secara fundamental mengindikasikan ketidakmampuan perusahaan untuk melunasi seluruh utangnya bahkan jika seluruh asetnya dijual.
Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kepailitan
Kejatuhan Sritex merupakan hasil dari interaksi kompleks antara kelemahan internal yang sudah ada sebelumnya dan guncangan eksternal yang tidak terduga.
Faktor Internal
Keruntuhan Sritex tidak terlepas dari mismanajemen keuangan dan pengambilan keputusan yang buruk di tingkat manajemen. Ekspansi bisnis yang ambisius, yang dilakukan tanpa analisis risiko yang memadai dan tidak mempertimbangkan kemampuan finansial jangka panjang, menjadi bumerang bagi perusahaan. Investasi besar-besaran untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas pasar global pada akhirnya memperbesar beban utang, yang terdiri dari pinjaman sindikasi dan utang obligasi.
Kegagalan pengelolaan utang ini terlihat dari ketidakseimbangan rasio likuiditas dan solvensi perusahaan. Rasio likuiditas yang rendah menunjukkan ketidakmampuan Sritex untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu, seperti pembayaran kepada pemasok dan bunga pinjaman. Hal ini mengganggu arus kas, merusak hubungan bisnis, dan mengikis kepercayaan pasar terhadap stabilitas finansial perusahaan. Di sisi lain, rasio solvensi yang buruk menyoroti ketergantungan perusahaan yang sangat tinggi pada utang jangka panjang untuk mendanai operasional dan ekspansi. Beban bunga yang besar akibat tingginya tingkat utang ini semakin menekan kondisi keuangan perusahaan yang sudah rapuh.
Akumulasi dari masalah-masalah ini menyebabkan total kewajiban perusahaan jauh melebihi total asetnya, menciptakan kondisi ekuitas negatif atau defisiensi modal. Situasi ini secara langsung membuktikan bahwa Sritex tidak memiliki cukup aset untuk menutupi seluruh utangnya, yang menjadi faktor utama dalam keputusan Mahkamah Agung untuk tetap menyatakan perusahaan dalam status pailit.
Faktor Eksternal
Meskipun kelemahan internal merupakan fondasi dari keruntuhan Sritex, guncangan eksternal bertindak sebagai pemicu yang mempercepat kebangkrutan.
- Dampak Pandemi COVID-19: Pandemi menjadi “pukulan telak” bagi Sritex. Gangguan besar pada rantai produksi dan distribusi menyebabkan kesulitan operasional dan terganggunya arus kas perusahaan. Kelangkaan bahan baku dan lonjakan biaya produksi semakin memperburuk situasi, sementara penurunan permintaan global dan pembatalan pesanan secara massal dari mitra internasional membuat stok yang tidak terjual menumpuk. Pandemi tidak menciptakan masalah finansial, melainkan secara brutal mengekspos kerapuhan fundamental perusahaan yang sudah terbebani utang.
- Tantangan Industri dan Persaingan Global: Sritex menghadapi persaingan yang semakin ketat, terutama dari negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh yang mampu menawarkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang lebih kompetitif. Persaingan ini diperparah oleh praktik dumping dari produk tekstil Tiongkok yang mengalami kelebihan pasokan akibat pembatasan dagang di pasar Amerika Serikat dan Eropa.
- Regulasi Impor yang Longgar: Penurunan daya saing produk lokal diperburuk oleh kebijakan impor yang longgar, terutama melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Regulasi ini membuka keran impor secara signifikan, membanjiri pasar domestik dengan produk tekstil, baik legal maupun ilegal, yang harganya lebih murah. Akibatnya, produk lokal sulit bersaing, menekan produktivitas dan pendapatan produsen dalam negeri seperti Sritex.
- Kondisi Geopolitik Global: Konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina juga memberikan kontribusi terhadap kejatuhan Sritex. Perang ini menyebabkan gangguan pada rantai pasok dan menurunkan ekspor, seiring dengan pergeseran prioritas belanja konsumen di kawasan Eropa dan AS.
Secara keseluruhan, kejatuhan Sritex adalah sebuah studi kasus klasik tentang bagaimana sebuah perusahaan yang sudah memiliki kelemahan struktural (beban utang dan mismanajemen) tidak mampu bertahan ketika dihadapkan pada serangkaian guncangan ekonomi eksternal. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat satu sama lain dalam sebuah rantai sebab akibat yang tak terhindarkan, dari ekspansi agresif hingga akhirnya putusan pailit.
Jalur Hukum Menuju Pailit: Dari PKPU ke Likuidasi
Perjalanan Sritex menuju kepailitan merupakan gambaran bagaimana mekanisme hukum kepailitan di Indonesia bekerja sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah utang-piutang. Proses ini dimulai dari permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditur pada Mei 2021. PKPU merupakan fase hukum yang bertujuan memberikan kesempatan kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya dengan membuat rencana perdamaian yang disepakati bersama kreditur.
Pada Januari 2022, Sritex berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, yang disahkan melalui putusan homologasi oleh Pengadilan Niaga Semarang. Perusahaan meyakinkan para kreditur bahwa mereka akan memenuhi kewajiban pembayaran dari dana internal dan pembiayaan eksternal, dengan strategi utama meningkatkan kinerja penjualan. Namun, rencana tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Kegagalan Sritex dalam memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian damai menjadi dasar bagi kreditur, PT Indo Bharat Rayon, untuk mengajukan permohonan pembatalan perdamaian pada Agustus 2024.7
Permohonan ini dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024, yang secara efektif membatalkan putusan homologasi tahun 2022 dan menyatakan Sritex pailit. Upaya terakhir perusahaan untuk membatalkan putusan ini melalui kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada Desember 2024 juga ditolak. Penolakan kasasi ini menjadikan putusan pailit bersifat final dan mengikat (inkrah), yang secara hukum mengakhiri riwayat operasional Sritex.
Dengan status pailit, perusahaan berada di bawah kendali kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. Tugas utama kurator adalah membereskan aset perusahaan, yang mencakup penjualan atau lelang aset, guna melunasi utang kepada para kreditur sesuai dengan urutan prioritas yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dampak Berantai terhadap Pemangku Kepentingan
Kejatuhan Sritex memicu serangkaian dampak domino yang meluas, memengaruhi ribuan individu, lembaga keuangan, dan pasar modal.
Dampak pada Karyawan
Keputusan penutupan operasional Sritex per 1 Maret 2025 mengakibatkan PHK massal terhadap ribuan karyawan. Beberapa sumber menyebutkan angka 8.400 karyawan, sementara yang lain mencatat hingga 10.665 pekerja Sritex Group. Lebih luas lagi, kejatuhan Sritex menjadi cerminan dari gelombang PHK di industri tekstil secara keseluruhan, di mana Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat setidaknya 13.800 pekerja tekstil telah di-PHK.
Isu paling krusial bagi para karyawan adalah ketidakpastian mengenai pembayaran pesangon dan Tunjangan Hari Raya (THR).1 Pembayaran hak-hak normatif ini tidak dapat dicairkan sepenuhnya dan secara langsung bergantung pada hasil likuidasi aset perusahaan atau masuknya investor baru yang akan mengambil alih. Meskipun hak-hak seperti jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dipastikan aman, nasib pesangon yang menjadi hak mereka tetap tidak jelas. Para mantan karyawan masih berharap ada investor baru yang dapat menghidupkan kembali operasional Sritex dan membuka kembali lapangan pekerjaan yang hilang.
Dampak pada Kreditur
Total utang Sritex yang membengkak hingga Rp 25 triliun menempatkan para kreditur dalam posisi yang sangat berisiko. Beban finansial ini terdiri dari berbagai instrumen utang, termasuk pinjaman bank, pinjaman sindikasi, dan utang obligasi. Dalam proses kepailitan, terdapat hierarki pembayaran utang. Kreditur separatis, yaitu kreditur yang memegang jaminan, memiliki hak prioritas untuk melunasi utangnya dari aset yang dijaminkan. Setelah itu, utang pajak dan hak-hak karyawan akan dipenuhi, baru kemudian utang kepada kreditur konkuren (tanpa jaminan).
Kepailitan Sritex memberikan tekanan signifikan terhadap sektor perbankan, terutama bagi bank-bank yang memiliki eksposur kredit besar terhadap perusahaan tersebut. Data per 13 Desember 2024 menunjukkan total utang Sritex kepada 22 kreditur separatis (bank dan lembaga keuangan) mencapai lebih dari Rp 7,2 triliun.
Tabel 2: Daftar Kreditur Separatis dan Total Tagihan (per 13 Desember 2024)
No. | Kreditur | Total Tagihan (Rp) |
1. | Woori Bank Singapore Branch | 77.330.000.000 |
2. | PT Bank CIMB Niaga Tbk | 271.815.525.061,96 |
3. | PT Bank Central Asia Tbk | 24.510.174.823,60 |
4. | PT Bank Permata Tbk | 382.462.281.542,45 |
5. | PT Bank KEB Hana Indonesia | 226.344.033.544,20 |
6. | State Bank of India, Singapore Branch | 11.332.628.364,33 |
7. | ICICI Bank Ltd, Singapore Branch | 1.802.918.369,02 |
8. | PT Bank Syariah Indonesia Tbk | 232.009.319.460,80 |
9. | PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk | 2.575.598.015,98 |
10. | PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah | 502.785.392.219,00 |
11. | Bank of China (Hong Kong) Limited Cabang Jakarta | 737.754.169.167,96 |
12. | Great Phoenix International PTE LTD | 927.169.775.712,47 |
13. | Khu Bon Road LIMITED | 162.393.000.000,00 |
14. | PT Bank SBI Indonesia | 50.099.298.065,08 |
15. | PT Bank Mizuho Indonesia | 12.099.608.555,00 |
16. | PT Bank Shinhan Indonesia | 308.959.815.625,03 |
17. | Citicorp Investment Bank (Singapore) Limited | 2.894.855.072.476,18 |
18. | PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk | 9.802.300.625,10 |
19. | PT Bank Maybank Indonesia Tbk | 27.207.698.076,78 |
20. | PT Bank CTBC Indonesia | 134.042.259.727,19 |
21. | Standard Chartered Bank, Indonesia Branch | 196.996.001.915,00 |
22. | PT Bank Muamalat Indonesia Tbk | 7.464.660.850,90 |
Total | 7.201.811.532.198,03 |
Data utang dan bunga per 13 Desember 2024 dari Tim Kurator Sritex.
Tabel ini secara jelas menunjukkan skala kerugian finansial yang dihadapi para kreditur, yang meliputi bank-bank besar dari dalam dan luar negeri.
Dampak pada Pemegang Saham
Bagi pemegang saham, konsekuensi dari kepailitan Sritex sangatlah parah. Saham perusahaan dengan kode SRIL telah disuspensi dari perdagangan sejak 18 Mei 2021. Karena suspensi telah berlangsung selama lebih dari 24 bulan, saham SRIL memenuhi kriteria untuk dihapus paksa dari bursa (delisting).
Dalam hierarki penyelesaian utang, pemegang saham berada di urutan paling belakang setelah kreditur separatis, kreditur konkuren, dan hak-hak karyawan. Mengingat total aset perusahaan yang jauh lebih kecil daripada total utangnya, kemungkinan besar para pemegang saham akan kehilangan seluruh investasi mereka karena tidak ada sisa aset yang dapat dikembalikan kepada mereka setelah seluruh utang dilunasi.
Isu Hukum Tambahan: Dugaan Korupsi dan Pencucian Uang
Kasus Sritex tidak hanya terbatas pada sengketa perdata kepailitan, tetapi juga berkembang menjadi kasus pidana serius. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menemukan adanya indikasi korupsi dalam proses pemberian kredit bank kepada Sritex. Penyidik mencatat kejanggalan dalam kondisi keuangan Sritex yang merugi pada tahun 2021 namun masih diberikan kredit.
Penyelidikan Kejagung menemukan bahwa dana kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja perusahaan justru diduga disalahgunakan untuk melunasi utang lama dan membeli aset. Modus operandi ini mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka, termasuk Mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto (ISL), dan mantan Wakil Direktur Utama, Iwan Kurniawan Lukminto (IKL). Keduanya juga telah dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dugaan kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai lebih dari Rp 1 triliun dari kredit yang diberikan oleh beberapa bank, termasuk Bank DKI, BJB, dan Bank Jateng. Sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian negara, Kejagung telah melakukan penyitaan aset berupa 164 bidang tanah milik tersangka senilai Rp 510 miliar. Adanya kasus pidana ini menambah kompleksitas pada kasus Sritex, menunjukkan bahwa kegagalan bisnis perusahaan mungkin juga diselimuti oleh praktik tata kelola yang buruk dan potensi kolusi yang merugikan banyak pihak.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kehancuran PT Sritex merupakan studi kasus yang komprehensif tentang bagaimana sebuah perusahaan, meskipun memiliki reputasi dan skala besar, dapat runtuh akibat kombinasi fatal dari mismanajemen internal dan guncangan eksternal. Sritex memiliki kelemahan struktural berupa beban utang yang berlebihan, yang merupakan hasil dari ekspansi agresif tanpa analisis risiko yang memadai. Kerentanan ini kemudian terekspos dan dipercepat oleh guncangan ekonomi makro, terutama dampak Pandemi COVID-19 dan persaingan ketat di pasar global yang diperburuk oleh praktik dumping dan regulasi impor yang longgar.
Implikasi yang Lebih Luas
Kasus Sritex menjadi alarm bagi industri tekstil nasional secara keseluruhan. Kejatuhannya menunjukkan kerentanan industri dalam negeri terhadap persaingan global dan gejolak ekonomi. Mengingat peran Sritex di seluruh rantai produksi, kebangkrutannya berpotensi melemahkan ekosistem industri tekstil Indonesia. Lebih lanjut, kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dari otoritas keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terhadap praktik pemberian kredit kepada perusahaan dengan rasio utang yang tidak sehat.
Rekomendasi
- Untuk Pemerintah: Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih strategis dan berkelanjutan. Pemerintah perlu meninjau kembali regulasi impor untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik persaingan tidak sehat seperti dumping dan impor ilegal Penguatan pengawasan terhadap sektor perbankan dalam penyaluran kredit juga esensial untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Respon cepat pemerintah dengan mengerahkan beberapa kementerian untuk menangani dampak ini adalah langkah positif, namun harus diikuti dengan reformasi struktural jangka panjang.
- Untuk Industri: Perusahaan-perusahaan di industri tekstil dan garmen perlu melakukan diversifikasi pasar, meningkatkan inovasi produk, dan memperkuat manajemen risiko finansial. Ketergantungan pada satu pasar atau strategi ekspansi yang terlalu agresif harus dihindari demi menjaga keberlanjutan usaha.
- Untuk Investor: Kasus Sritex menegaskan pentingnya analisis fundamental yang mendalam sebelum berinvestasi. Investor tidak bisa hanya fokus pada pertumbuhan laba, tetapi juga harus mencermati rasio-rasio kesehatan keuangan seperti likuiditas, solvensi, dan beban utang untuk menilai risiko investasi secara komprehensif.
Daftar Pustaka :
- Sritex Bangkrut! Ini Kronologi Lengkap Kehancuran Sang Raksasa …, accessed September 13, 2025, https://www.lbs.id/publication/berita/sritex-bangkrut-ini-kronologi-lengkap-kehancuran-sang-raksasa-tekstil
- Kronologi Tumbangnya Raksasa Tekstil Sritex yang Tutup per 1 Maret, accessed September 13, 2025, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250228110105-92-1203432/kronologi-tumbangnya-raksasa-tekstil-sritex-yang-tutup-per-1-maret
- KASUS PERDATA PKPU – PAILIT ATAS PT SRITEX – Fakultas Hukum Universitas Nasional, accessed September 13, 2025, https://fh.unas.ac.id/berita/kasus-perdata-pkpu-pailit-atas-pt-sritex/
- Sritex Pailit! Apa Nasib Pemegang Saham SRIL? Cek Penjelasan …, accessed September 13, 2025, https://www.digivestasi.com/news/detail/saham_terkini/sritex-pailit-apa-nasib-pemegang-saham-sril-cek-penjelasan-terbaru-dari-bei
- Kejagung Ungkap Keuangan Sritex Anjlok Sejak 2021 tapi Masih Diberi Kredit, accessed September 13, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/05/22/00392141/kejagung-ungkap-keuangan-sritex-anjlok-sejak-2021-tapi-masih-diberi-kredit
- Perjanjian Damai Batal, PT Sritex Bangkrut – LBH CADHAS, accessed September 13, 2025, https://lbh-cadhas.com/perjanjian-damai-batal-pt-sritex-bangkrut/
- Putusan Pailit Inkrah, PT Sritex Punya Utang Rp 7,2 T dari 22 …, accessed September 13, 2025, https://kumparan.com/kumparanbisnis/putusan-pailit-inkrah-pt-sritex-punya-utang-rp-7-2-t-dari-22-kreditur-separatis-249AsHnGojc
- Begini Dampak Bagi Pemegang Saham Bila Sritex Kena Delisting – Tempo.co, accessed September 13, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/begini-dampak-bagi-pemegang-saham-bila-sritex-kena-delisting-1975646
- Kejagung Sita Tanah Bos Sritex Iwan Setiawan Senilai Rp 510 Miliar – detikNews, accessed September 13, 2025, https://news.detik.com/berita/d-8108099/kejagung-sita-tanah-bos-sritex-iwan-setiawan-senilai-rp-510-miliar
- Kejagung Tetapkan Kakak-Adik Bos Sritex sebagai Tersangka TPPU – detikNews – detikcom, accessed September 13, 2025, https://news.detik.com/berita/d-8108604/kejagung-tetapkan-kakak-adik-bos-sritex-sebagai-tersangka-tppu
- Perjanjian Damai Batal, PT Sritex Bangkrut – Laman 3 – LBH CADHAS, accessed September 13, 2025, https://lbh-cadhas.com/perjanjian-damai-batal-pt-sritex-bangkrut/3/
- indikasi kerugian negara dalam pemberian kredit ke sritex – DPR RI, accessed September 13, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan—III-PUSLIT-Mei-2025-2046.pdf
- Bercermin Sritex Pailit, Inilah 5 Penyebab Industri Tekstil Indonesia …, accessed September 13, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/bercermin-sritex-pailit-inilah-5-penyebab-industri-tekstil-indonesia-kolaps-1162438
- Raksasa Tekstil Sritex, Dulu Disanjung Sekarang Tersandung Tumpukan Utang – Rmol.id, accessed September 13, 2025, https://rmol.id/bisnis/read/2024/06/22/625360/raksasa-tekstil-sritex-dulu-disanjung-sekarang-tersandung-tumpukan-utang
- Mewaspadai Terulangnya Kasus Sritex (IS Kom VII Mar 1 2025) – DPR RI, accessed September 13, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan—I-PUSLIT-Maret-2025-191.pdf
- Analisis Yuridis Penyelesaian Pembayaran Utang Kepada Kreditur Atas Pailitnya PT. Sri Rejeki Isman, TBK (SRITEX) | Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, accessed September 13, 2025, https://ojs.unimal.ac.id/jimfh/article/view/23170
- Bos Sritex Lukminto Bersaudara Jadi Tersangka Kasus Pencucian Uang – CNBC Indonesia, accessed September 13, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250912143652-4-666507/bos-sritex-lukminto-bersaudara-jadi-tersangka-kasus-pencucian-uang
- Kejagung Sita 164 Aset Tanah Milik Tersangka Perkara Pemberian Kreditn PT Sritex ISL Bernilai Rp510 Miliar, accessed September 13, 2025, https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/kejagung-sita-164-aset-tanah-milik-tersangka-perkara-pemberian-kreditn-pt-sritex-isl-bernilai-rp510-miliar-mvk.html