Fondasi Rezim Orde Baru dan Embrio Krisis

Orde Baru, sebuah sebutan yang diciptakan oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, menandai era pemerintahan yang berlangsung dari 1966 hingga 1998. Rezim ini lahir dari kekacauan politik dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1960-an, terutama setelah peristiwa G30S/PKI yang menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Sukarno. Dengan janji untuk membawa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, Orde Baru berkomitmen untuk mengembalikan ketertiban setelah periode konflik komunal dan keruntuhan ekonomi.

Selama 32 tahun, rezim ini membangun sebuah sistem yang memiliki karakteristik kunci yang membedakannya secara tajam dari Orde Lama. Pertama, terdapat sebuah pemerintahan yang sangat sentralistik dan otoriter, di mana kekuasaan terpusat di tangan presiden Soeharto. Lembaga legislatif, seperti DPR dan MPR, secara efektif berfungsi sebagai “tukang stempel” yang mengesahkan kebijakan pemerintah tanpa kontrol yang substansif. Kedua, doktrin Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) memberikan peran ganda kepada militer—selain sebagai kekuatan pertahanan, mereka juga memiliki peran sosial-politik yang memungkinkan perwira menduduki jabatan sipil di setiap tingkatan pemerintahan, bahkan terlibat dalam bisnis negara. Ketiga, kebebasan sipil dibatasi secara ketat. Hal ini diwujudkan melalui penyederhanaan jumlah partai politik, penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat, serta doktrin floating mass yang melarang kegiatan politik di tingkat desa.

Meskipun secara kasat mata Orde Baru berhasil menciptakan pembangunan ekonomi yang masif dan stabilitas politik superfisial, fondasi rezim ini sarat dengan kelemahan sistemik yang pada akhirnya memicu keruntuhannya. Stabilitas yang dibangun merupakan hasil dari represi, dan keberhasilan ekonomi dinodai oleh praktik korupsi yang mengakar. Kelemahan-kelemahan ini adalah embrio dari krisis multidimensi yang menjadi titik balik sejarah bangsa, yang secara kolektif dikenal sebagai Reformasi 1998.

Penyebab Reformasi – Krisis Multidimensi Sebagai Titik Balik

Keruntuhan Ekonomi: Pemicu Utama yang Menyingkap Kerapuhan Sistem

Gelombang Reformasi 1998 tidak bisa dilepaskan dari krisis moneter yang melanda Asia sejak pertengahan 1997. Krisis yang dimulai di Thailand ini dengan cepat menyebar dan melumpuhkan ekonomi Indonesia. Dampak yang paling terlihat adalah depresiasi nilai tukar rupiah yang signifikan. Nilai rupiah anjlok secara drastis terhadap dolar Amerika Serikat, yang memicu kebangkrutan massal perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing.

Penurunan nilai rupiah yang ekstrem ini melumpuhkan seluruh sektor ekonomi. Banyak perusahaan terpaksa menutup operasinya atau mengurangi produksi, yang menyebabkan lonjakan tajam pada angka pengangguran. Bersamaan dengan itu, harga kebutuhan pokok (sembako) melonjak tidak terkendali, membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa krisis moneter bukanlah satu-satunya penyebab utama keruntuhan Orde Baru, melainkan berfungsi sebagai katalis yang menyingkap kerapuhan sistemik yang telah tersembunyi selama puluhan tahun. Praktik KKN yang masif dan kebijakan ekonomi yang tidak transparan menciptakan apa yang dikenal sebagai moral hazard dan economic distortions. Ketika krisis eksternal melanda, distorsi-distorsi ini memicu kepanikan investor dan merusak kepercayaan pasar. Ketidakmampuan pemerintah untuk merespons krisis secara transparan dan akuntabel mempercepat jatuhnya legitimasi kekuasaan Soeharto, karena masyarakat melihat kegagalan ini sebagai cerminan dari kegagalan sistemik yang lebih besar.

Hegemoni Politik Otoriter dan Praktik KKN yang Mengakar

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selama Orde Baru bukan hanya sekadar pelanggaran etika, melainkan sebuah fitur struktural dan strategi politik dari rezim tersebut. Soeharto menggunakan praktik KKN untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Ia memberikan hak monopoli, konsesi bisnis, dan posisi strategis kepada keluarga, kroni, dan loyalis militer. Jaringan kekuasaan yang saling bergantung ini memastikan stabilitas internal dan mengisolasi potensi lawan politik. Namun, strategi ini juga menciptakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang parah, di mana segelintir orang menikmati kemudahan bisnis dan kekayaan, sementara mayoritas masyarakat tidak mendapat kesempatan serupa. Kesenjangan yang melebar ini menjadi sumber kebencian rakyat yang pada akhirnya memicu tuntutan perubahan.

Di samping itu, sistem politik yang otoriter membuat rezim tidak memiliki mekanisme check and balance yang efektif. Pemilihan umum direkayasa, partai politik dibatasi jumlahnya, dan doktrin floating mass mencegah partisipasi politik di tingkat akar rumput. Ketiadaan saluran untuk menyalurkan aspirasi politik secara damai membuat ketidakpuasan masyarakat terus menumpuk. Ketika krisis ekonomi meledak, sistem yang tidak responsif ini tidak mampu menahan gelombang kemarahan publik.

Pelanggaran HAM dan Krisis Kepercayaan

Selama kekuasaannya, Orde Baru melakukan serangkaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistematis, yang berfungsi sebagai alat untuk menetralkan perbedaan pendapat dan menekan lawan politik. Beberapa contoh yang paling menonjol termasuk pembantaian massal pasca-G30S, penembakan misterius (Petrus), penculikan para aktivis pro-demokrasi, serta pembatasan kebebasan pers.

Puncaknya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi, ditambah dengan skandal korupsi dan serangkaian pelanggaran HAM yang tidak pernah diusut tuntas, menyebabkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap rezim. Masyarakat mulai menuntut pemerintahan baru yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel. Represi yang dilakukan oleh rezim yang rapuh untuk mempertahankan ketertiban justru memperburuk krisis kepercayaan dan memicu perlawanan yang lebih terorganisir. Siklus ini menjadi bukti bahwa penggunaan paksaan dan kekerasan, alih-alih meredam perlawanan, justru mempercepat keruntuhan otoritas kekuasaan.

Aktor-Aktor Kunci dan Dinamika Gerakan

Peran Sentral Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa memainkan peran yang sangat signifikan dalam sejarah Reformasi 1998. Pada awalnya, tuntutan mereka berfokus pada perbaikan kondisi ekonomi yang memburuk, seperti penurunan harga sembako dan penghentian pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, momentum gerakan berubah secara drastis setelah terjadinya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.

Tragedi ini berawal dari demonstrasi damai di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Aksi tersebut dihadang oleh aparat keamanan, yang kemudian melepaskan tembakan. Peristiwa ini menewaskan empat mahasiswa: Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Kematian para martir Trisakti menjadi katalis yang mengubah tuntutan mahasiswa dari perbaikan ekonomi menjadi tuntutan radikal untuk pengunduran diri Soeharto dan reformasi total. Gerakan mahasiswa berhasil mengubah wacana publik. Mereka tidak hanya menuntut perbaikan, tetapi juga menantang legitimasi rezim secara keseluruhan. Kematian mahasiswa memberikan  modal moral yang luar biasa, mengubah perlawanan politik menjadi perjuangan moral untuk keadilan.

Mahasiswa kemudian merumuskan 6 Agenda Reformasi yang komprehensif :

  1. Mengadili Soeharto dan para pengikutnya.
  2. Melakukan amandemen UUD 1945.
  3. Melakukan otonomi daerah seluas-luasnya.
  4. Menghapus Dwifungsi ABRI.
  5. Menghapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
  6. Menegakkan supremasi hukum.

Tekanan mencapai puncaknya ketika ratusan ribu mahasiswa dari berbagai daerah berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Mereka menjadikan gedung tersebut “Rumah Rakyat”, sebuah simbol perlawanan yang kuat secara nasional maupun internasional. Gerakan ini berhasil memanfaatkan ruang politik yang terbuka setelah kerusuhan Mei dan semakin melemahnya kekuasaan Soeharto.

Peran Tokoh-Tokoh Politik dan Masyarakat Sipil

Gerakan mahasiswa tidak sendirian. Mereka mendapat dukungan dan legitimasi dari tokoh-tokoh politik dan masyarakat sipil. Beberapa figur sentral yang memberikan arah pada gerakan ini adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Pada 10 November 1998, Gus Dur memprakarsai pertemuan penting di kediamannya di Ciganjur yang dihadiri oleh tokoh-tokoh pro-reformasi lainnya. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Ciganjur, yang merumuskan agenda pasca-Soeharto, termasuk tuntutan penghapusan Dwifungsi ABRI dan pengadilan terhadap pelaku KKN.

Para tokoh politik dan masyarakat sipil ini berfungsi sebagai jembatan antara energi massa di jalanan dan elite politik. Mereka memberikan legitimasi dan arah yang strategis bagi gerakan mahasiswa. Tanpa tekanan jalanan dari mahasiswa, tuntutan para tokoh ini mungkin tidak akan memiliki bobot politik yang cukup untuk menggulingkan Soeharto. Sebaliknya, tanpa figur-figur politik yang vokal, gerakan mahasiswa mungkin tidak memiliki struktur dan strategi yang koheren. Sinergi ini adalah kunci keberhasilan transisi.

Dinamika Internal Militer (ABRI) dalam Transisi

Di bawah Orde Baru, militer (ABRI) adalah pilar utama kekuasaan Soeharto berkat doktrin Dwifungsi ABRI. Namun, krisis moneter dan gelombang protes memicu perpecahan di dalam tubuh militer. Peran aparat keamanan (gabungan TNI-Polri dan Pam Swakarsa) dalam Tragedi Mei 1998, termasuk Tragedi Trisakti dan Semanggi, menewaskan puluhan warga sipil dan menimbulkan kemarahan publik yang lebih besar.

Namun, pada momen-momen kritis menjelang pengunduran diri Soeharto, beberapa faksi militer, yang melihat situasi tidak lagi dapat dipertahankan, mulai menarik dukungan mereka. Penarikan dukungan ini menjadi faktor penentu dalam pengunduran diri Soeharto. Peran militer selama transisi bersifat paradoksal dan negosiatif. Di satu sisi, mereka adalah alat represi, tetapi di sisi lain, perpecahan internal di antara mereka menjadi salah satu faktor yang memungkinkan pengunduran diri presiden.

Warisan dari dinamika ini adalah reformasi sektor keamanan yang belum selesai. Meskipun Dwifungsi ABRI secara resmi dihapus melalui Ketetapan MPR , dominasi militer dalam politik belum sepenuhnya hilang. Perdebatan tentang peran TNI dalam penanggulangan terorisme dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diadili di peradilan militer menunjukkan bahwa reformasi sektor keamanan adalah proyek yang masih berjalan.

Klimaks dan Pengunduran Diri Soeharto

Peristiwa-peristiwa penting menjelang pengunduran diri Soeharto berlangsung dengan cepat dan saling terkait satu sama lain, menciptakan sebuah klimaks politik yang tak terhindarkan.

Tabel 1: Kronologi Peristiwa Kunci Menjelang Mei 1998

Tanggal Peristiwa Kunci
10 Maret 1998 Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Gelombang demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi semakin meningkat.
12 Mei 1998 Tragedi Trisakti: Empat mahasiswa tewas ditembak oleh aparat keamanan. Peristiwa ini memicu kemarahan publik yang meluas dan mengubah fokus gerakan mahasiswa ke tuntutan pengunduran diri Soeharto.
13-15 Mei 1998 Kerusuhan massal melanda Jakarta dan kota-kota besar lainnya, yang menelan banyak korban, terutama dari etnis Tionghoa.
18 Mei 1998 Ketua DPR/MPR Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Ratusan ribu mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR, secara simbolis mengambil alih kekuasaan legislatif.
19 Mei 1998 Soeharto menawarkan pembentukan “Komite Reformasi” dan berencana melakukan reshuffle kabinet dan pemilihan umum secepatnya. Namun, tokoh-tokoh nasional yang ditemui menolak gagasan tersebut.
21 Mei 1998 Soeharto secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie, di Istana Negara.

Pada 19 Mei 1998, Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mencari jalan keluar. Ia mengusulkan pembentukan Komite Reformasi, namun ide ini ditolak oleh para tokoh, termasuk Amien Rais, yang mempertanyakan kejelasan waktu pelaksanaan pemilu. Penolakan ini menandai runtuhnya dukungan dari elite politik. Didukung oleh tekanan masif dari mahasiswa dan ketidakstabilan militer, posisi Soeharto menjadi tidak mungkin dipertahankan. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, mengakhiri 32 tahun kekuasaannya dan membuka lembaran baru bagi Indonesia.

Dampak dan Transformasi Pasca-Reformasi

Reformasi Politik dan Ketatanegaraan

Era Reformasi membawa perubahan fundamental dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Tuntutan mahasiswa untuk amandemen UUD 1945 diwujudkan melalui empat kali amandemen. Perubahan ini bertujuan untuk menyempurnakan penyelenggaraan negara secara demokratis, membatasi masa jabatan presiden, dan memperkuat check and balance antarlembaga. Salah satu dampak paling signifikan adalah penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI, yang secara resmi dinyatakan dalam Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000. Penghapusan ini diikuti dengan pemisahan TNI dan Polri.

Selain itu, reformasi melahirkan sistem multipartai, pemilu yang lebih demokratis, dan liberalisasi politik yang masif. Kekuasaan yang semula sangat sentralistik dialihkan melalui kebijakan otonomi daerah yang lebih luas.

Tabel 2: Perbandingan Sistem Politik Orde Baru vs. Era Reformasi

Aspek Orde Baru Era Reformasi
Kedaulatan Rakyat Di tangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Di tangan rakyat, dilaksanakan melalui pemilihan umum langsung.
Kekuasaan Presiden Tidak terbatas masa jabatan, kekuasaan sangat sentralistik. Dibatasi hanya dua periode masa jabatan, kekuasaan didistribusikan ke daerah.
Lembaga Legislatif DPR/MPR sebagai “tukang stempel” dan Fraksi ABRI diangkat tanpa pemilu. DPR/MPR dan DPD memiliki fungsi legislasi dan pengawasan yang lebih kuat. Fraksi ABRI dihapus.
Sistem Kepartaian Dibatasi hanya dua partai politik plus Golkar. Sistem multipartai, membuka kesempatan bagi partai-partai baru.
Peran Militer Doktrin Dwifungsi ABRI, menduduki jabatan sipil dan terlibat dalam politik. Dwifungsi ABRI dihapus, TNI dan Polri dipisahkan, peran militer kembali ke fungsi pertahanan.

Reformasi Hukum dan HAM

Reformasi 1998 juga menjadikan reformasi hukum sebagai salah satu agenda utama. Langkah-langkah signifikan telah diambil, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan lembaga-lembaga independen lainnya. Upaya ini bertujuan untuk menegakkan supremasi hukum dan memberantas KKN yang telah mengakar.

Namun, meskipun ada kemajuan dalam aspek legal-normatif, penegakan hukum masih menghadapi tantangan besar. Ada diskrepansi yang signifikan antara reformasi legal-normatif (pembuatan undang-undang dan lembaga baru) dengan reformasi substantif (penegakan hukum yang adil dan tanpa diskriminasi). Keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masih belum tercapai. Contohnya adalah kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, di mana penyelidikan dan penuntutan sering kali gagal, dan Jaksa Agung bahkan pernah menyatakan bahwa Tragedi Semanggi bukanlah pelanggaran HAM berat. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang saja tidak cukup untuk menghilangkan impunitas yang telah menjadi bagian dari sistem.

Kebebasan Pers dan Ruang Sipil

Salah satu dampak sosial paling nyata dari Reformasi adalah bangkitnya kebebasan berpendapat, berekspresi, dan pers. Kebijakan Orde Baru yang membatasi pers dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut, memicu apa yang disebut sebagai “multiplikasi media massa”. Masyarakat kembali menikmati kebebasan untuk menyampaikan kritik dan opini.

Namun, kebebasan yang diraih pasca-Reformasi bersifat rapuh. Meskipun secara formal tidak ada lagi pembatasan, tantangan masih ada. Kekerasan terhadap jurnalis masih sering terjadi, dan penggunaan undang-undang seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini menunjukkan bahwa Reformasi membuka pintu bagi kebebasan, tetapi tidak secara otomatis menghilangkan mentalitas kontrol dan represi yang telah mengakar selama 32 tahun. Proses demokratisasi bukan hanya tentang perubahan institusi, tetapi juga tentang perubahan budaya dan mentalitas.

Analisis Kritis dan Warisan Reformasi

Reformasi 1998 adalah sebuah peristiwa kompleks dengan keberhasilan dan kegagalan yang saling bertautan.

Tabel 3: Agenda Reformasi vs. Implementasi Pasca-1998

Agenda Reformasi (Mahasiswa) Implementasi Pasca-1998 Status
Mengadili Soeharto dan Kroninya Upaya pengadilan terkendala berbagai faktor dan berakhir setelah Soeharto meninggal. Gagal Substantif
Amandemen UUD 1945 Dilakukan empat kali amandemen, mengubah struktur ketatanegaraan. Berhasil
Menghapus Dwifungsi ABRI Secara resmi dihapus melalui Ketetapan MPR dan diikuti pemisahan TNI/Polri, meskipun peran militer dalam politik masih menghadapi negosiasi yang belum tuntas. Berhasil (Legal-Normatif), Belum Tuntas (Substantif)
Menghapus KKN Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan undang-undang antikorupsi. Berhasil (Legal-Normatif), Belum Tuntas (Substantif). Praktik KKN masih merajalela dan memicu masalah yang berulang.
Menegakkan Supremasi Hukum Dibentuknya lembaga-lembaga baru. Belum Tuntas. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM belum tercapai dan impunitas masih menjadi isu serius.
Otonomi Daerah Seluas-luasnya Diberlakukannya UU Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Berhasil

Analisis ini menunjukkan bahwa Reformasi 1998 bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan titik awal dari sebuah proses yang panjang. Gerakan ini berhasil mengubah struktur politik formal, tetapi gagal sepenuhnya mengubah budaya politik yang korup dan tidak akuntabel. Hal ini menciptakan sebuah paradoks transisi: Indonesia sekarang memiliki institusi demokratis, tetapi masih bergulat dengan masalah-masalah warisan Orde Baru yang merusak, seperti KKN dan impunitas. Ini adalah narasi yang jauh lebih kompleks dan bernuansa daripada sekadar cerita sukses.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, Reformasi 1998 adalah peristiwa bersejarah yang dipicu oleh akumulasi krisis multidimensi—terutama keruntuhan ekonomi yang menyingkap kelemahan struktural Orde Baru yang otoriter dan korup. Gerakan ini dimotori oleh sinergi antara mahasiswa yang menuntut perubahan radikal dan tokoh-tokoh politik yang memberikan legitimasi dan arah strategis. Pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998 adalah klimaks dari tekanan masif yang tak terbendung.

Dampaknya sangat signifikan. Reformasi berhasil mengubah lanskap politik, hukum, dan sosial Indonesia. Dwifungsi ABRI dihapus, UUD 1945 diamandemen, liberalisasi pers terjadi, dan fondasi hukum untuk pemberantasan KKN dan penegakan HAM diletakkan. Namun, laporan ini menunjukkan bahwa warisan otoritarianisme masih terasa. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM belum tercapai, dan praktik KKN masih merasuki struktur birokrasi dan politik.

Warisan terbesar dari Reformasi 1998 adalah kesadaran bahwa perubahan sejati tidak hanya terjadi di level institusional, tetapi juga di level budaya dan mentalitas. Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan demokratis adalah sebuah proses yang terus berlanjut. Untuk itu, semangat reformasi harus terus dijaga dan diperjuangkan demi memastikan bahwa agenda yang belum tuntas dapat terus diwujudkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 4 = 1
Powered by MathCaptcha