Kerajaan Sriwijaya, salah satu entitas politik dan maritim terpenting dalam sejarah Asia Tenggara. Melalui sintesis data dari berbagai sumber, termasuk bukti epigrafis, temuan arkeologis, dan catatan sejarah kuno, laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran holistik tentang asal-usul, puncak kejayaan, dan warisan abadi kerajaan ini. Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini bersifat akademis dan analitis, berfokus tidak hanya pada fakta-fakta historis, tetapi juga pada interpretasi, hubungan sebab-akibat, serta implikasi jangka panjang dari keberadaan Sriwijaya.

Secara garis besar, laporan ini menguraikan bagaimana Sriwijaya, yang didirikan pada abad ke-7 Masehi oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, berkembang dari sebuah entitas politik lokal menjadi sebuah thalassokrasi yang mengendalikan jalur perdagangan utama dunia. Penguasaannya tidak hanya didasarkan pada kekuatan militer, tetapi juga pada model ekonomi cerdas yang berpusat pada kendali pelabuhan strategis. Pengaruh Sriwijaya tidak terbatas pada sektor ekonomi dan politik; kerajaan ini juga menjadi pusat peradaban dan penyebaran agama Buddha Mahayana, serta meletakkan fondasi bagi perkembangan Bahasa Melayu Kuno sebagai lingua franca di kawasan Nusantara. Meskipun hegemoni Sriwijaya akhirnya melemah akibat serangan eksternal dan disintegrasi internal, warisannya terus hidup dan menjadi inspirasi penting bagi identitas, budaya, dan visi maritim Indonesia modern.

Asal-Usul dan Pendirian Kerajaan Sriwijaya

Bagian ini mengkaji fondasi Kerajaan Sriwijaya, mulai dari tokoh pendiri hingga bukti-bukti awal yang memungkinkan para sejarawan merekonstruksi narasi kelahirannya. Keberadaan Sriwijaya sebagai entitas historis pertama kali diidentifikasi oleh peneliti Prancis, George Coedes, pada tahun 1918, melalui interpretasi prasasti dan catatan Tiongkok.

Pendirian dan Tokoh Kunci

Kerajaan Sriwijaya secara resmi didirikan pada tahun 682 Masehi atau abad ke-7 Masehi, dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai pendirinya. Nama “Sriwijaya” sendiri merupakan gabungan dari dua kata Sansekerta, yakni shri yang berarti ‘bersinar’ atau ‘bercahaya’, dan vijaya yang berarti ‘kemenangan’ atau ‘keunggulan’, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘kemenangan yang gemilang’. Ekspansi awal Sriwijaya dimulai dengan sebuah ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Dapunta Hyang. Hal ini dicatat dalam Prasasti Kedukan Bukit, yang mengisahkan kemenangan sang pendiri setelah menaiki perahu dan memimpin ribuan prajurit untuk menguasai sejumlah wilayah strategis di sekitar Palembang, Lampung, dan Jambi.

Prasasti lain, Prasasti Talang Tuo, yang berasal dari tahun 684 Masehi, mengabadikan upaya Sri Jayanasa dalam membangun sebuah taman bernama Sriksetra. Prasasti ini juga berisi doa-doa Buddhis Mahayana, yang menunjukkan bahwa sejak awal pendiriannya, kerajaan ini memiliki agenda yang jelas tidak hanya untuk ekspansi politik-militer, tetapi juga untuk pembangunan peradaban dan penyebaran ajaran spiritual. Hubungan antara kedua prasasti ini—satu tentang kemenangan militer dan satu lagi tentang pembangunan peradaban spiritual—menunjukkan bahwa Sriwijaya dibentuk dari perpaduan kekuatan fisik untuk menaklukkan dan kekuatan spiritual-budaya untuk melegitimasi dan menyatukan kekuasaan.

Bukti-Bukti Epigrafis Awal sebagai Sumber Primer

Informasi mengenai Sriwijaya sangat bergantung pada bukti epigrafis yang ditinggalkannya. Prasasti-prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti kunci yang memberikan gambaran tentang konsolidasi kekuasaan Sriwijaya di antaranya adalah:

  • Prasasti Kedukan Bukit: Ditemukan di Palembang, prasasti ini bertahun 686 Masehi dan menjadi catatan tertulis pertama mengenai ekspedisi militer Dapunta Hyang yang berhasil.
  • Prasasti Kota Kapur: Ditemukan di Pulau Bangka, prasasti ini berisi kutukan keras bagi siapa saja yang berani melanggar perintah raja Sriwijaya.
  • Prasasti Telaga Batu, Karang Berahi, dan Palas Pasemah: Ditemukan di Palembang, Jambi, dan Lampung, ketiganya juga berisi kutukan yang ditujukan kepada mereka yang tidak setia atau melakukan perbuatan jahat di wilayah kerajaan. Fakta bahwa prasasti-prasasti kutukan ini ditemukan di berbagai wilayah yang berbeda menunjukkan bahwa Sriwijaya tidak hanya mengandalkan kekuatan militer untuk menguasai daerah taklukannya, tetapi juga menggunakan otoritas magis-religius untuk menegakkan kesetiaan. Dengan cara ini, mereka menciptakan sistem kontrol yang fleksibel, di mana kepatuhan didasarkan pada kombinasi kekuatan fisik dan spiritual.

Perdebatan Lokasi Ibu Kota

Lokasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya telah menjadi subjek perdebatan panjang di kalangan sejarawan. Meskipun sejumlah teori menyebutkan lokasi lain seperti Jambi atau bahkan di luar Indonesia, teori terkuat yang pertama kali diungkapkan oleh G. Coedes menempatkan pusatnya di Palembang. Teori ini didukung oleh temuan arkeologis yang substansial di Palembang, seperti di kawasan Karanganyar, yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Di sepanjang tepian Sungai Musi, para arkeolog menemukan sisa-sisa permukiman kuno, pecahan keramik, tiang-tiang kayu, dan jaringan saluran air yang berhubungan langsung dengan sungai. Jaringan kanal ini diperkirakan berfungsi sebagai sarana transportasi, irigasi, dan pengendali banjir, baik untuk kepentingan keraton maupun permukiman di sekitarnya. Meskipun lokasi persis keratonnya belum ditemukan, konsentrasi artefak dan sisa-sisa permukiman di wilayah Palembang memberikan bobot kuat pada teori bahwa kota ini merupakan pusat dari peradaban Sriwijaya.

Sriwijaya sebagai Kekuatan Maritim dan Politik (Thalassokrasi)

Sriwijaya dikenal sebagai sebuah thalassokrasi, yaitu sebuah kekuatan yang kekuasaannya didasarkan pada penguasaan laut dan jalur maritim, bukan semata-mata pada ekspansi teritorial. Bab ini mengkaji bagaimana Sriwijaya membangun dan mempertahankan hegemoni maritimnya yang tak tertandingi selama berabad-abad.

Sistem Pemerintahan dan Politik Mandala

Struktur politik Sriwijaya menganut sistem kedatuan. Sistem ini berbeda dari monarki terpusat yang umumnya dikenal. Dalam sistem kedatuan, Sriwijaya terdiri dari sebuah pusat kekuasaan utama yang dikelilingi oleh banyak mandala atau daerah bawahan. Setiap mandala dikepalai oleh seorang datu atau sesepuh, yang memiliki otonomi internal namun berada di bawah naungan kekuasaan pusat Sriwijaya. Hubungan antara pusat dan daerah bawahan ini lebih merupakan sebuah perkumpulan yang diketuai oleh seorang datu yang berperan sebagai primus interpares (yang pertama di antara yang sederajat). Kekuatan Sriwijaya terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan daerah-daerah vasal ini, sebuah kemampuan yang menuntut basis militer dan maritim yang kuat.

Strategi Militer dan Diplomasi

Hegemoni Sriwijaya dibangun di atas angkatan laut yang kuat dan strategi yang matang. Angkatan lautnya tidak hanya berfungsi untuk ekspansi, tetapi yang terpenting, untuk mengamankan jalur pelayaran. Sriwijaya bahkan bekerja sama dengan para perompak atau menggunakan mereka sebagai bagian dari strategi pengamanan laut, yang menunjukkan pendekatan yang pragmatis dan efisien. Mereka juga menerapkan “hukum adat” yang mewajibkan semua kapal lokal dan asing yang melewati daerah taklukannya untuk singgah di pelabuhan Sriwijaya. Kebiasaan ini kemudian menjadi norma yang menguntungkan ekonomi kerajaan secara signifikan.

Hegemoni Regional

Kekuatan utama Sriwijaya adalah penguasaannya terhadap jalur-jalur perdagangan yang sangat strategis, khususnya Selat Malaka dan Selat Bangka. Penguasaan Selat Malaka sangat penting karena selat ini merupakan penghubung utama antara perdagangan Tiongkok dan India. Dengan mengendalikan jalur ini, Sriwijaya dapat memungut bea cukai dari setiap kapal yang lewat, yang menjadi sumber kekayaan utama dan meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Dominasi Sriwijaya terhadap perairan ini menjadikannya kekuatan maritim yang tak memiliki saingan di Asia Tenggara pada abad ke-8. Model kekuasaan ini menunjukkan bahwa Sriwijaya adalah sebuah thalassokrasi ekonomi, di mana kekuatan militer dan politik digunakan sebagai alat untuk menegakkan dan mengamankan dominasi ekonominya.

Pusat Peradaban dan Jaringan Perdagangan Global

Bab ini mengkaji Sriwijaya sebagai simpul vital dalam jaringan perdagangan dan peradaban global, yang menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Peran Sriwijaya sebagai entrepôt atau pelabuhan transit menjadi pilar utama kejayaannya.

Sriwijaya sebagai Entrepôt Global

Sebagai sebuah entrepôt, Sriwijaya berfungsi sebagai pusat pengumpulan dan penimbunan barang dagangan dari seluruh Nusantara. Kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok wajib singgah di pelabuhan Sriwijaya untuk membongkar dan memuat barang. Posisi ini memungkinkan Sriwijaya tidak hanya menjadi “pengisap kekayaan perniagaan dunia” dengan memungut pajak, tetapi juga menjadi peserta aktif dalam perdagangan itu sendiri. Kekayaan dari perdagangan ini pada gilirannya mendanai pembangunan infrastruktur, angkatan laut, dan mendukung komunitas intelektual.

Komoditas dan Jaringan Perdagangan

Sriwijaya menjadi satu-satunya pelabuhan ekspor utama untuk komoditas-komoditas dari seluruh kepulauan Nusantara. Komoditas utama yang diperdagangkan meliputi:

  • Beras
  • Hasil hutan seperti gading, kemenyan, kapur barus
  • Rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh
  • Kayu-kayu berharga seperti kayu cendana dan kayu gaharu
  • Emas dan binatang liar

Mitra dagang utama Sriwijaya mencakup Tiongkok (Dinasti Tang dan Song), India, dan Timur Tengah. Temuan artefak seperti keramik Tiongkok dan kaca Persia di situs-situs arkeologi Sriwijaya menjadi bukti nyata dari hubungan perdagangan internasional yang erat ini.

Interaksi Diplomatik dan Ekonomi

Sriwijaya aktif menjalin hubungan diplomatik dengan kekuatan besar lainnya. Hubungan yang baik dengan Dinasti Tang dan Song di Tiongkok sangat menguntungkan secara politik dan ekonomi. Keberhasilan Sriwijaya dalam mempertahankan posisinya sebagai penguasa tunggal jalur perdagangan antara Asia Timur dan Barat tidak hanya menciptakan kekayaan yang luar biasa, tetapi juga meningkatkan pengaruhnya di panggung global. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan ekonomi yang terencana dapat diterjemahkan menjadi pengaruh politik dan diplomatik yang signifikan.

Tabel berikut merangkum komoditas utama dan mitra dagang Sriwijaya, yang menggambarkan kompleksitas jaringan ekonominya.

Komoditas Utama Mitra Dagang Utama Bentuk Perdagangan
Rempah-rempah (lada, pala, cengkeh) Tiongkok, India, Timur Tengah Ekspor, Perdagangan entrepôt
Hasil Hutan (gading, kemenyan, kapur barus) Tiongkok, India, Timur Tengah Ekspor
Beras Tiongkok, India, Timur Tengah Ekspor
Kayu Berharga (cendana, gaharu) Tiongkok, India, Timur Tengah Ekspor
Emas Tiongkok, India, Timur Tengah Ekspor
Keramik Tiongkok Tiongkok Impor
Kaca Persia Persia Impor

Warisan Budaya dan Keagamaan

Warisan Sriwijaya tidak terbatas pada kekuatan politik dan ekonomi. Kerajaan ini juga meninggalkan jejak peradaban yang dalam, terutama dalam bidang agama dan bahasa.

Pusat Pembelajaran Agama Buddha

Sriwijaya berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha Mahayana terbesar di Asia Tenggara. Bukti paling kuat untuk klaim ini berasal dari catatan seorang biksu Tiongkok, I-tsing, yang mengunjungi Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. I-tsing tinggal di sana selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta dan ajaran Buddha sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Menurut catatan I-tsing, Sriwijaya memiliki ribuan biksu dan menjadi tempat yang ideal untuk belajar agama Buddha sebelum pergi ke India, atau bahkan sebagai tempat belajar utama. Prasasti Talang Tuo juga mengindikasikan upaya menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan tinggi yang dipimpin oleh seorang guru bernama Dharmapala. Sriwijaya berhasil menguasai “jalur pengetahuan” selain “jalur perdagangan,” yang memperkuat reputasi dan pengaruhnya secara menyeluruh di seluruh Asia.

Bahasa Melayu Kuno sebagai Jembatan Komunikasi

Di bawah hegemoni Sriwijaya, Bahasa Melayu Kuno mencapai masa kejayaannya dan secara efektif berfungsi sebagai lingua franca di seluruh Kepulauan Melayu. Bahasa ini digunakan dalam prasasti-prasasti Sriwijaya, seperti yang ditemukan di Kedukan Bukit, Kota Kapur, dan Talang Tuo.  Sifatnya yang sederhana dan mudah menerima pengaruh asing dari bahasa Sanskerta menjadikannya alat komunikasi yang sangat efektif untuk urusan perdagangan, pemerintahan, dan keagamaan di antara beragam bangsa yang singgah di wilayahnya. Perkembangan bahasa ini pada masa Sriwijaya merupakan fondasi penting bagi Bahasa Melayu dan, pada akhirnya, Bahasa Indonesia modern.

Jejak Arkeologis yang Berbicara

Peninggalan arkeologis Sriwijaya, yang tersebar luas, menjadi bukti nyata dari peradaban yang makmur dan maju. Peninggalan ini meliputi:

  • Prasasti: Delapan prasasti utama, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Kota Kapur, Telaga Batu, Karang Berahi, Palas Pasemah, Talang Tuo, Hujung Langit, dan Ligor, yang menceritakan berbagai aspek kehidupan Sriwijaya, dari ekspedisi militer hingga doa-doa keagamaan.
  • Situs Candi: Kompleks Candi Muara Jambi di Jambi dan Candi Muara Takus di Riau, keduanya bercorak Buddha, adalah bukti fisik dari peran Sriwijaya sebagai pusat agama dan pendidikan. Candi Muara Jambi diyakini berfungsi sebagai pusat pendidikan dan keagamaan, di mana para biksu dari berbagai daerah datang untuk belajar.
  • Artefak: Berbagai artefak, seperti arca-arca Buddha dan Bodhisattwa yang ditemukan di Bukit Siguntang, serta keramik Tiongkok dan kaca Persia, memberikan gambaran tentang kekayaan material dan hubungan internasional Sriwijaya.

Tabel berikut merangkum beberapa peninggalan arkeologis utama dan signifikansinya.

Nama Peninggalan Lokasi Penemuan Tahun (Masehi) Isi/Fungsi Singkat
Prasasti Kedukan Bukit Palembang 686 Mencatat ekspedisi dan kemenangan militer Dapunta Hyang
Prasasti Talang Tuo Palembang 684 Mengisahkan pembangunan taman dan berisi doa-doa Buddhis Mahayana
Prasasti Kota Kapur Pulau Bangka 686 Kutukan bagi siapa saja yang melanggar perintah raja
Prasasti Telaga Batu Palembang Tidak diketahui Kutukan bagi orang-orang jahat di wilayah Sriwijaya
Kompleks Candi Muara Jambi Jambi Abad ke-7 – 13 Pusat pendidikan dan keagamaan Buddha terbesar di Asia Tenggara
Candi Muara Takus Riau Tidak diketahui Candi bercorak Buddha dengan susunan stupa
Situs Karanganyar Palembang Tidak diketahui Diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, ditemukan sisa-sisa bangunan dan artefak
Arca Bodhisattwa Awalokiteswara Bingin Jungut, Sumatera Selatan Tidak diketahui Arca yang menunjukkan kualitas seni dan pengaruh ajaran Buddha

Kemunduran, Keruntuhan, dan Transformasi Kekuatan

Setelah berabad-abad mendominasi, hegemoni Sriwijaya perlahan-lahan mulai memudar pada abad ke-11 dan akhirnya runtuh. Kemunduran ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal yang saling memperparah.

Faktor Eksternal: Invasi Colamandala

Penyebab utama keruntuhan Sriwijaya adalah serangan dari Dinasti Chola, sebuah kerajaan maritim dari India Selatan, yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola I. Serangan ini terjadi sebanyak dua kali, pada tahun 1017 dan 1025 Masehi. Meskipun alasan pasti serangan ini masih diperdebatkan, sejarawan sepakat bahwa tujuannya bukan untuk menduduki wilayah, melainkan untuk menghancurkan hegemoni perdagangan Sriwijaya. Serangan ini dipicu oleh kebijakan Sriwijaya yang memberlakukan pajak tinggi pada kapal-kapal pedagang yang berlayar melalui Selat Malaka, yang sangat merugikan pedagang Chola.

Serangan Chola secara strategis menargetkan dan merusak armada perang Sriwijaya, yang merupakan tulang punggung kekuasaannya. Dampak dari serangan ini sangat besar, menyebabkan kerugian masif dan melemahnya kekuatan militer Sriwijaya. Keruntuhan Sriwijaya dapat dipandang sebagai studi kasus tentang kerapuhan kekuasaan yang didasarkan pada monopoli ekonomi; ketika sumber kekuasaan utamanya (jalur perdagangan) lumpuh, seluruh sistem kekuasaan ikut runtuh.

Faktor Internal dan Disintegrasi

Serangan Chola mengekspos kelemahan internal Sriwijaya. Setelah serangan tersebut, kekuatan militer Sriwijaya yang sudah melemah akibat konflik internal  semakin tidak berdaya. Hal ini mendorong banyak daerah bawahan untuk memanfaatkan momentum dan melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pelepasan diri daerah-daerah ini, terutama yang memiliki pelabuhan penting, secara langsung melumpuhkan ekonomi dan perdagangan Sriwijaya. Prasasti-prasasti kutukan yang dulunya digunakan untuk menegakkan kesetiaan, kini tampaknya tidak lagi dipercaya oleh pemimpin-pemimpin lokal.

Transformasi Kekuatan

Kemunduran Sriwijaya membuka jalan bagi bangkitnya kekuatan baru di Nusantara. Melemahnya hegemoni Sriwijaya memungkinkan kerajaan-kerajaan seperti Dharmasraya dan Pagaruyung untuk muncul dan merebut kembali wilayah bekas kekuasaan Sriwijaya. Akhirnya, pada sekitar tahun 1325 Masehi, riwayat Sriwijaya sebagai kekuatan internasional berakhir setelah ditaklukkan oleh kerajaan Jawa, Majapahit. Perubahan jalur perdagangan dan masuknya ajaran Islam yang mengarah pada berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera juga secara bertahap mengikis pengaruh Sriwijaya.

Legasi Kerajaan Sriwijaya bagi Indonesia Modern

Meskipun telah runtuh berabad-abad lalu, Kerajaan Sriwijaya meninggalkan warisan yang terus hidup dan relevan bagi Indonesia modern, terutama dalam pembentukan identitas dan strategi nasional.

Inspirasi Konsep Negara Maritim

Kejayaan Sriwijaya sebagai kekuatan maritim pertama di Nusantara menjadi landasan historis bagi visi Indonesia sebagai negara maritim. Konsep persatuan wilayah maritim yang diperjuangkan oleh Sriwijaya dan Majapahit menginspirasi gagasan negara kepulauan yang menjadi dasar bagi Republik Indonesia. Pengaturan wilayah maritim Indonesia saat ini, yang berfokus pada pengamanan, pengelolaan sumber daya laut, dan perizinan, memiliki benang merah yang sama dengan prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Sriwijaya.

Warisan Ekonomi

Model ekonomi Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan bebas (entrepôt) memberikan pelajaran penting bagi strategi ekonomi modern Indonesia. Konsep pembangunan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, seperti di Batam, Karimun, dan Sabang, mencerminkan pemanfaatan posisi geografis yang strategis, sebuah praktik yang sudah diwariskan sejak era Sriwijaya. Dengan demikian, sejarah ekonomi Sriwijaya memberikan panduan dan inspirasi untuk menghadapi tantangan globalisasi saat ini.

Identitas Budaya dan Persatuan Bangsa

Warisan Sriwijaya yang paling signifikan adalah Bahasa Melayu Kuno yang dikembangkannya sebagai lingua franca. Bahasa ini, yang digunakan untuk komunikasi lintas budaya dan perdagangan, menjadi fondasi bagi Bahasa Indonesia modern. Tanpa peran Sriwijaya dalam menyebarkan dan membakukan bahasa ini, persatuan bangsa Indonesia yang beragam mungkin akan jauh lebih sulit tercapai. Selain itu, nilai-nilai budaya Sriwijaya, seperti gotong royong dan semangat kebersamaan, masih terlihat dalam tradisi lokal di Sumatera dan sekitarnya, yang memperkaya identitas nasional.

Kesimpulan 

Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang kekuatan utamanya terletak pada kontrol yang cerdas terhadap jalur perdagangan global, didukung oleh sistem politik kedatuan yang fleksibel dan angkatan laut yang kuat. Kekuasaan ini tidak hanya menghasilkan kekayaan, tetapi juga menjadikan Sriwijaya pusat peradaban dan penyebaran agama Buddha. Meskipun keruntuhannya dipicu oleh serangan eksternal yang strategis, warisan Sriwijaya, terutama dalam bahasa dan konsep negara maritim, tetap menjadi bagian integral dari identitas Indonesia modern.

Meskipun kemajuan telah dicapai dalam memahami Sriwijaya, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Penelitian lanjutan dapat berfokus pada eksplorasi arkeologis yang lebih mendalam untuk menemukan ibu kota yang hilang di Palembang, meneliti lebih jauh mengenai hubungan Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, dan menganalisis secara lebih rinci naskah-naskah kuno yang mungkin memberikan petunjuk baru. Mempelajari Sriwijaya bukan hanya soal mengenang sejarah, tetapi juga memahami cetak biru peradaban yang membentuk karakter bangsa Indonesia saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 67 = 75
Powered by MathCaptcha