Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah inisiatif keberlanjutan global yang paling komprehensif dalam industri kelapa sawit. Laporan ini menyajikan analisis mendalam yang seimbang, mengakui pencapaian signifikan RSPO sekaligus menyoroti tantangan dan kritiknya. Sebagai sebuah standar swasta, RSPO didirikan pada 2004 oleh inisiatif multi-stakeholder untuk mengatasi isu-isu deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Analisis menunjukkan bahwa RSPO telah berhasil mendorong praktik produksi yang lebih baik, dengan perkebunan bersertifikat di Indonesia menunjukkan produktivitas lahan hingga 43% lebih tinggi dari rata-rata nasional. RSPO juga berfungsi sebagai katalis untuk perbaikan operasional, meningkatkan inklusi pekebun kecil, dan mendukung perlindungan hak-hak pekerja.
Namun, efektivitas RSPO dibatasi oleh tantangan internal dan eksternal. Laporan dari berbagai LSM menuduh skema ini memiliki kelemahan audit dan proses penegakan yang lambat, yang merusak kredibilitasnya dan memicu tuduhan greenwashing. Perbandingan dengan standar nasional seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) menunjukkan bahwa RSPO memiliki standar yang lebih ketat, terutama dalam aspek lingkungan dan sosial, meskipun hal ini seringkali menimbulkan biaya sertifikasi yang lebih tinggi.
Perkembangan strategis terbaru, seperti adopsi Prinsip dan Kriteria (P&C) 2024 dan peluncuran sistem digital prisma, menunjukkan upaya RSPO untuk memperkuat standar dan meningkatkan relevansinya. Di tengah lanskap regulasi global baru seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) dan UK Environment Act, sertifikasi RSPO kini bergeser dari sekadar pilihan sukarela menjadi sebuah kebutuhan strategis bagi perusahaan untuk membuktikan kepatuhan. Ke depan, RSPO menghadapi tantangan untuk menyelaraskan diri dengan regulasi ini, sambil terus mengatasi masalah implementasi di lapangan, termasuk memastikan dukungan yang lebih kuat bagi pekebun kecil dan meningkatkan mekanisme keluhan yang lebih efektif.
Pendahuluan
Industri kelapa sawit memainkan peran penting dalam perekonomian global, menyediakan bahan baku serbaguna yang digunakan dalam berbagai produk, mulai dari makanan hingga kosmetik. Namun, pertumbuhan pesat industri ini juga memicu kekhawatiran serius terkait keberlanjutan, termasuk deforestasi skala besar, hilangnya keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca, serta isu-isu sosial seperti konflik lahan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai respons terhadap kekhawatiran ini, berbagai inisiatif keberlanjutan global dan nasional telah bermunculan untuk mempromosikan praktik-praktik yang lebih bertanggung jawab.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) berdiri sebagai salah satu inisiatif paling terkemuka dan diakui secara luas. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan ulasan yang komprehensif dan bernuansa tentang RSPO, mengupas tuntas sejarah, struktur, dan mekanismenya. Analisis ini juga akan mengevaluasi dampak sertifikasi RSPO—dari manfaat ekonomi hingga kritik yang valid—serta membandingkannya dengan standar keberlanjutan lain seperti ISPO dan MSPO. Terakhir, laporan ini akan mengkaji arah strategis RSPO di masa depan, terutama dalam menghadapi lanskap regulasi global yang terus berubah dan tantangan implementasi yang berkelanjutan.
Fondasi dan Mekanisme RSPO
Sejarah dan Evolusi RSPO
RSPO didirikan pada tanggal 8 April 2004, sebagai organisasi nirlaba di bawah undang-undang sipil Swiss. Inisiatif ini merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi lingkungan WWF, bank Aarhus, produsen kelapa sawit Golden Hope dan MPOA, serta perusahaan makanan dan konsumen besar seperti Migros, Sainsbury, dan Unilever. Pendirian RSPO didorong oleh meningkatnya perhatian publik dan pasar terhadap dampak lingkungan dan sosial dari produksi kelapa sawit, khususnya dalam sektor makanan dan kosmetik. Inisiasi oleh aktor-aktor global dari downstream supply chain dan LSM menunjukkan bahwa tekanan untuk keberlanjutan tidak hanya datang dari produsen, tetapi juga dari permintaan pasar dan aktivisme lingkungan. Ini adalah model tata kelola swasta yang unik, di mana pasar dan tekanan publik menjadi pendorong utama, bukan regulasi pemerintah.
Visi, Misi, dan Karakteristik Utama
Visi RSPO adalah “menjamin Minyak Sawit memberikan kontribusi untuk dunia yang lebih baik,” sementara misinya adalah mempromosikan produksi, pembelian, dan penggunaan minyak sawit yang lestari melalui pengembangan, penerapan, dan verifikasi standar global yang kredibel. Karakteristik utama RSPO adalah keanggotaannya yang bersifat multi-stakeholder, sukarela, transparan, dan berorientasi pada hasil yang nyata. Filosofi roundtable ini tercermin dalam struktur kepengurusannya, di mana posisi di dewan eksekutif dan kelompok kerja diisi oleh perwakilan dari semua sektor untuk memastikan keterwakilan yang adil dan memfasilitasi dialog terbuka.
Namun, filosofi konsensus ini juga menjadi sumber kritik. Laporan dari The Guardian menyebutkan bahwa keharusan untuk mencapai kesepakatan konsensus seringkali mengakibatkan standar yang “rendah” (setting the bar low) untuk menjaga semua pihak tetap terlibat. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa skema tersebut didominasi oleh kepentingan korporat, yang menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan dari beberapa LSM. Kekuatan RSPO yang berasal dari keragaman pemangku kepentingan juga menjadi hambatan terbesar dalam mencapai standar yang lebih ambisius. Ini adalah sebuah paradoks mendasar yang terus mendefinisikan RSPO.
Prinsip dan Kriteria (P&C) RSPO
Inti dari sertifikasi RSPO adalah Standar Prinsip dan Kriteria (P&C) yang bertujuan untuk menunjukkan secara global bahwa produksi kelapa sawit adalah berkelanjutan, legal, layak secara ekonomi, dan tidak berdampak negatif pada lingkungan, satwa liar, pekerja, atau masyarakat. P&C ini didukung oleh Interpretasi Nasional (NI) yang menyediakan konteks spesifik negara. Standar P&C yang berlaku saat ini (versi 2024) mencakup tujuh prinsip utama yang mendukung tiga tujuan dampak (Prosperity, People, Planet):
- Prinsip 1: Bertindak secara etis dan transparan.
- Prinsip 2: Beroperasi secara legal dan menghormati hak.
- Prinsip 3: Mengoptimalkan produktivitas, efisiensi, dan ketahanan.
- Prinsip 4: Menghormati hak-hak masyarakat dan manusia, serta memberikan manfaat.
- Prinsip 5: Mendukung inklusi pekebun kecil.
- Prinsip 6: Menghormati hak-hak dan kondisi pekerja.
- Prinsip 7: Melindungi, melestarikan, dan meningkatkan ekosistem dan lingkungan.
Mekanisme Sertifikasi
Proses sertifikasi RSPO merupakan verifikasi yang ketat dan berkelanjutan yang dilakukan oleh badan sertifikasi pihak ketiga yang terakreditasi oleh Assurance Services International (ASI). Proses ini dimulai dengan pengajuan aplikasi dan persiapan dokumen oleh perusahaan. Sebelum audit di lapangan, ada pengumuman publik yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk memberikan komentar. Selama audit, auditor akan meninjau prosedur dan dokumen perusahaan, mengunjungi lokasi operasi, dan melakukan wawancara dengan staf. Sertifikat, jika diberikan, berlaku selama lima tahun, dengan audit tahunan yang diperlukan untuk mempertahankan status kepatuhan. Setiap ketidaksesuaian yang teridentifikasi dalam audit harus diselesaikan sebelum sertifikasi diberikan.
Mekanisme ini dirancang untuk mendorong “perbaikan berkelanjutan” di dalam perusahaan. Namun, ketergantungan pada auditor pihak ketiga yang dibayar oleh perusahaan menciptakan potensi konflik kepentingan yang sistemik. Kritik dari Amnesty International, Profundo, dan TPOLS menunjukkan bahwa auditor seringkali “gagal secara fundamental” mengidentifikasi praktik-praktik yang tidak berkelanjutan. Ini menunjukkan kesenjangan signifikan antara desain sistem dan implementasinya di lapangan, yang secara fundamental merusak kredibilitas RSPO.
Dampak dan Manfaat Sertifikasi RSPO
Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Sertifikasi RSPO memberikan berbagai manfaat nyata bagi produsen, pekerja, dan lingkungan:
- Manfaat Ekonomi: Sertifikasi membantu pekebun meningkatkan hasil panen dan produktivitas. Sebuah studi menunjukkan bahwa produktivitas lahan pekebun yang memiliki sertifikat RSPO di Indonesia 43% lebih tinggi dari rata-rata nasional. RSPO juga memberikan akses ke pasar internasional dan premi harga untuk minyak sawit berkelanjutan.
- Manfaat Sosial: Sertifikasi mendorong perlindungan hak-hak pekerja, mengurangi kecelakaan kerja, dan mempromosikan inklusi pekebun kecil. RSPO memberikan dukungan strategis dan finansial kepada pekebun kecil melalui kemitraan dan dana bantuan.
- Manfaat Lingkungan: RSPO berkontribusi pada pengurangan deforestasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa sertifikasi RSPO dikaitkan dengan penurunan deforestasi sebesar 33%. Selain itu, minyak sawit bersertifikat RSPO memiliki dampak keanekaragaman hayati 20% lebih rendah dibandingkan minyak sawit non-bersertifikat di Indonesia dan Malaysia. Manfaat lingkungan lainnya termasuk pengelolaan limbah yang lebih baik dan pengurangan penggunaan pestisida.
Statistik Adopsi Global dan Indonesia
Produksi minyak sawit bersertifikat RSPO terus meningkat secara global. Berdasarkan data terbaru dari Laporan Dampak RSPO 2024, area bersertifikat RSPO mencapai 5.017.454 hektar, dengan perkiraan produksi minyak sawit berkelanjutan sebesar 13.420.701 ton. Tabel berikut menyajikan statistik utama adopsi RSPO secara global.
Kategori | Angka Statistik (2025) |
Area Bersertifikat | 5.017.454 hektar |
Estimasi Produksi | 13.420.701 ton |
Perusahaan Bersertifikat Rantai Pasok | 4.161 perusahaan |
Fasilitas Bersertifikat Rantai Pasok | 7.099 fasilitas |
Meskipun produksi dan area bersertifikat meningkat, penyerapan pasar (market uptake) minyak sawit bersertifikat masih menjadi tantangan. Pada 2019, hanya sekitar 49% dari minyak sawit bersertifikat yang terjual sebagai produk bersertifikat. Ini berarti hampir setengahnya dijual sebagai minyak sawit konvensional tanpa premi harga yang diharapkan. Kondisi ini menciptakan disinsentif ekonomi yang signifikan bagi produsen yang telah berinvestasi besar dalam sertifikasi. Namun, narasi RSPO bergeser dari sekadar “skema label lingkungan” menjadi “standar manajemen bisnis yang unggul” karena manfaatnya dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing jangka panjang.
Studi Kasus Implementasi
Penerapan RSPO telah menunjukkan perubahan signifikan di lapangan. Di Provinsi Riau, Indonesia, studi menunjukkan bahwa sertifikasi RSPO telah memberikan dampak positif pada praktik perkebunan berkelanjutan pekebun swadaya. Selain itu, Cargill menjadi contoh keberhasilan dengan pekebun swadayanya di PT Hindoli, yang menjadi pekebun swadaya pertama di dunia yang memperoleh sertifikasi RSPO pada tahun 2010. Kisah sukses lain datang dari Ferrero, yang berhasil mencapai target 100% penggunaan minyak sawit bersertifikat RSPO, yang menunjukkan komitmen perusahaan besar terhadap praktik pengadaan yang bertanggung jawab.
Kritik, Tantangan, dan Analisis Kredibilitas
Meskipun RSPO memiliki tujuan mulia dan dampak positif, skema ini tidak luput dari kritik keras, yang sering kali menantang kredibilitas dan efektivitasnya.
Kelemahan Audit dan Penegakan
RSPO dituduh oleh berbagai organisasi, termasuk Greenpeace dan Amnesty International, gagal mengaudit anggotanya secara memadai. Greenpeace bahkan menjuluki RSPO “seperti teko cokelat” (about as much use as a chocolate teapot) pada 2019, sebuah metafora yang menunjukkan betapa tidak efektifnya skema ini dalam memastikan kepatuhan. Laporan-laporan ini menyoroti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota RSPO, termasuk pembunuhan orangutan oleh Genting Plantations dan pelanggaran hak-hak buruh oleh lima perkebunan di Indonesia yang terhubung dengan Nestle, yang dituduh membayar upah di bawah minimum, memaparkan pekerja pada bahan kimia berbahaya, dan menekan serikat pekerja. Para kritikus berpendapat bahwa auditor RSPO “secara fundamental gagal” dalam mengidentifikasi dan mengurangi praktik-praktik yang tidak berkelanjutan.
Isu Hak Asasi Manusia dan Buruh
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus NaturAceites di Guatemala, di mana perusahaan bersertifikat RSPO ini dituduh melakukan pelanggaran hak-hak pekerja, pencemaran air minum, dan perampasan tanah adat. Meskipun RSPO merespons dengan menangguhkan dua dari lima sertifikat perusahaan tersebut pada Agustus 2024, kritik dari organisasi seperti ECCHR dan foodwatch tetap ada. Mereka berargumen bahwa pelanggaran serius tersebut sudah terjadi saat sertifikasi diberikan, yang menunjukkan ketidakmampuan RSPO untuk mencegah pelanggaran secara efektif. Fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh perusahaan bisa menghindari tanggung jawab mereka dengan mengalihdayakan inspeksi kepada inisiatif sertifikasi.
Analisis Dinamika dalam Proses Keluhan
Penelitian tentang efektivitas sistem keluhan RSPO menunjukkan adanya skeptisisme yang signifikan, di mana prosedur dan hasilnya tidak selalu menguntungkan komunitas yang terdampak. Dalam kasus keluhan, RSPO memposisikan dirinya sebagai mediator netral, berfokus pada dialog dan integritas proses. Namun, para LSM seringkali mengambil narasi oposisi, mendesak RSPO untuk mengambil tindakan tegas dan memanfaatkan aturannya sendiri untuk menekan perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang diadukan seringkali mengadopsi strategi kepatuhan pasif, menuntut bukti yang kuat, dan memanfaatkan ambiguitas dalam aturan RSPO untuk menunda proses.
Kredibilitas RSPO seringkali bergantung pada tekanan eksternal dari LSM untuk menegakkan standarnya. Mekanisme keluhan RSPO, meskipun ada, dianggap tidak efektif, didominasi oleh kepentingan industri, dan tidak mudah diakses oleh komunitas yang rentan. Fakta bahwa beberapa perusahaan memilih untuk keluar dari sertifikasi untuk menghindari sanksi menyoroti dilema struktural yang dihadapi RSPO: menindak tegas anggota berisiko kehilangan mereka, sementara bersikap lunak berisiko kehilangan kredibilitasnya.
RSPO dalam Lanskap Standar Global dan Nasional
Analisis Komparatif: RSPO vs. ISPO dan MSPO
RSPO, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) adalah tiga standar utama yang bertujuan untuk mempromosikan keberlanjutan dalam industri kelapa sawit. Namun, terdapat perbedaan fundamental di antara ketiganya. RSPO adalah skema sukarela yang dipimpin oleh pihak swasta dan bersifat multi-stakeholder. Sebaliknya, ISPO (didirikan 2009) dan MSPO (didirikan 2013) adalah skema wajib yang dipimpin oleh pemerintah. Perbedaan ini menghasilkan variasi yang signifikan dalam cakupan, persyaratan, dan penegakan standar, seperti yang diuraikan dalam tabel berikut.
Kriteria | RSPO | ISPO | MSPO |
Lingkungan | Persyaratan paling ketat, terperinci, dan komprehensif. Mengadopsi pendekatan High Conservation Value (HCV) yang jelas dan memiliki persyaratan EIA yang paling rinci. Memiliki tanggal batas waktu untuk penanaman baru (November 2007). | Bergantung pada undang-undang nasional. Persyaratan HCV dan EIA kurang jelas. Tidak memiliki tanggal batas waktu untuk penanaman baru. | Bergantung pada undang-undang nasional. Tidak memiliki ketentuan spesifik untuk perlindungan HCV. Tidak memiliki tanggal batas waktu untuk penanaman baru. |
Sosial | Peringkat tertinggi. Memiliki persyaratan Social Impact Assessment (SIA) yang komprehensif, panduan terperinci untuk Free, Prior and Informed Consent (FPIC), dan ketentuan yang ketat tentang hak-hak pekerja, termasuk larangan kerja paksa dan diskriminasi. | Mengandalkan proses AMDAL untuk SIA. Tidak ada referensi eksplisit tentang FPIC atau persyaratan untuk kontrak pekerja. | Membutuhkan SIA dan sistem keluhan tetapi kurang terperinci. Menyebutkan FPIC harus dicatat. Persyaratan hak pekerja lebih longgar. |
Transparansi & Mekanisme | Jauh lebih transparan dalam pengembangan standar dan hasil audit. Mekanisme keluhan lebih terdefinisi dengan baik dan menyediakan pembaruan status secara online. | Kurang transparan. Mekanisme keluhan kurang terperinci. | Kurang transparan. Prosedur audit internal kurang jelas. |
Keberadaan standar ganda di Indonesia dan Malaysia menimbulkan biaya transaksi dan informasi yang tinggi bagi produsen, terutama pekebun kecil yang harus memilih di antara keduanya. Ini dapat menghambat adopsi sertifikasi secara keseluruhan. Namun, data menunjukkan bahwa perkebunan yang memiliki sertifikat ISPO dan RSPO secara bersamaan memiliki produktivitas 82% lebih tinggi dari rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan bahwa harmonisasi dan sinergi antara standar nasional yang mengikat secara hukum dan standar internasional yang komprehensif dapat menghasilkan hasil terbaik.
Arah Strategis RSPO di Masa Depan
Revisi Standar RSPO 2024
Dalam menghadapi lanskap keberlanjutan yang terus berubah, RSPO mengadopsi Standar P&C 2024 dan Standar Pekebun Kecil Mandiri (ISH) 2024 pada tanggal 13 November 2024, yang akan berlaku efektif pada 13 November 2025. Revisi ini bertujuan untuk meningkatkan kejelasan, kemampuan audit, dan implementasi standar. P&C 2024 juga berfokus pada isu-isu kritis seperti perubahan iklim dan penyelarasan dengan peraturan baru seperti EU Deforestation Regulation (EUDR). Namun, revisi ini juga menuai kritik dari beberapa pihak yang menuduh RSPO melemahkan komitmen “No Deforestation” dengan mengubah definisi hutan High Carbon Stock (HCS) dan mempertahankan mekanisme kompensasi.
Tabel berikut menyajikan perbandingan antara P&C 2018 dan P&C 2024.
Fitur Kunci | P&C 2018 | P&C 2024 |
No Deforestation | Menggunakan definisi HCSA yang dikenal secara global. | Mengadopsi definisi HCS yang berbeda, yang menurut kritikus, berpotensi mengizinkan deforestasi. |
Mekanisme Keluhan & Sanksi | Menggunakan Prosedur Remediasi dan Kompensasi (RaCP) yang memungkinkan kompensasi atas deforestasi. | Mempertahankan mekanisme RaCP. |
Integrasi Teknologi | Belum terintegrasi secara digital. | Diperkuat dengan integrasi ke sistem digital baru prisma. |
Fokus & Relevansi | Standar yang sudah mapan, tetapi terkadang kurang jelas dalam implementasi. | Direvisi untuk meningkatkan kejelasan, kemampuan audit, dan relevansi dengan regulasi global (EUDR). |
Inovasi Teknologi dan Kepatuhan Regulasi
Sebagai bagian dari evolusi strategisnya, RSPO meluncurkan sistem digital baru bernama prisma (Palm Resource Information and Sustainability MAnagement). Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan ketertelusuran data di sepanjang rantai pasok, yang sangat penting untuk mematuhi regulasi yang ketat seperti EUDR. Regulasi ini, yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan uji tuntas (due diligence) dan membuktikan produk mereka bebas dari deforestasi, mengubah sertifikasi RSPO dari “pilihan etis” menjadi “kebutuhan strategis bisnis”. RSPO melihat ini sebagai peluang karena standarnya sudah melampaui persyaratan minimum EUDR, termasuk aspek sosial dan tenaga kerja.
Persepsi Pemangku Kepentingan Terbaru (2025)
Studi reputasi RSPO yang dirilis pada Juni 2025 menunjukkan bahwa RSPO terus memiliki reputasi dan tingkat pengakuan global yang kuat. Laporan ini menyoroti bahwa RSPO dianggap kredibel dan efektif dalam meminimalkan dampak lingkungan negatif, seperti deforestasi. Namun, studi yang sama juga mencatat penurunan advokasi di kalangan pekebun kelapa sawit sejak 2024 dan kritik terhadap kompleksitas administratif system prisma. Meskipun reputasi global RSPO secara keseluruhan kuat, penurunan dukungan di tingkat akar rumput menunjukkan bahwa RSPO harus lebih fokus pada dukungan di lapangan dan mengatasi kritik tentang kompleksitas dan responsivitas prosesnya.
Kesimpulan
RSPO adalah standar keberlanjutan yang paling komprehensif dalam industri kelapa sawit. RSPO telah mendorong perubahan signifikan, meningkatkan produktivitas, dan memberikan manfaat sosial serta lingkungan yang nyata. Namun, RSPO juga menghadapi kritik yang valid terkait kelemahan strukturalnya, terutama dalam hal audit yang tidak memadai, proses penegakan yang lambat, dan keterbatasan dalam mekanisme keluhan. Kelemahan ini mengikis kredibilitas RSPO, meskipun organisasi ini terus berupaya untuk memperbaiki diri melalui revisi standar dan inovasi teknologi.
Keberadaan standar ganda, seperti RSPO dan ISPO/MSPO, menciptakan tantangan implementasi dan biaya tambahan bagi produsen. Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa sinergi antara standar-standar ini dapat menghasilkan hasil terbaik dalam hal produktivitas dan keberlanjutan. Dalam konteks regulasi global yang baru, seperti EUDR, RSPO dapat memposisikan dirinya sebagai alat yang tak terhindarkan bagi perusahaan untuk mematuhi peraturan yang semakin ketat.
Berdasarkan analisis ini, laporan ini memberikan beberapa rekomendasi strategis:
- Untuk Pemerintah dan Regulator: Mendorong harmonisasi standar nasional (ISPO/MSPO) dengan RSPO untuk mengurangi duplikasi biaya dan meningkatkan efisiensi, sehingga mempercepat adopsi sertifikasi secara keseluruhan.
- Untuk Perusahaan: Tidak hanya mengandalkan sertifikasi RSPO sebagai satu-satunya bukti keberlanjutan, tetapi juga melakukan uji tuntas internal yang kuat, terutama di tengah regulasi global yang baru. Perusahaan harus mengakui bahwa label RSPO adalah indikasi penting, tetapi bukan jaminan absolut tanpa adanya pengawasan dan tekanan dari berbagai pemangku kepentingan.
- Untuk Pekebun Kecil: RSPO dan mitranya harus menyederhanakan proses sertifikasi, meningkatkan dukungan finansial dan teknis, serta memastikan responsivitas yang lebih baik untuk membuat sertifikasi lebih mudah diakses dan berkelanjutan bagi pekebun kecil.
- Untuk Konsumen: Memahami bahwa label RSPO adalah indikasi penting dari komitmen keberlanjutan, tetapi efektivitasnya tetap bergantung pada pengawasan dan tekanan yang berkelanjutan dari pasar dan masyarakat sipil.