Sistem kesehatan di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan, terutama melalui implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan mencapai cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage atau UHC). Laporan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai lanskap kesehatan di Indonesia, dimulai dari fondasi strukturalnya yang diatur dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) hingga dinamika operasional, tantangan, dan implikasi kebijakan terbaru. Ditemukan bahwa meskipun program JKN telah berhasil memperluas akses bagi jutaan penduduk, sistem ini masih menghadapi tantangan struktural yang mendalam, terutama terkait pembiayaan yang defisit, ketimpangan geografis dalam distribusi sumber daya, serta isu kualitas layanan. Pergeseran kebijakan fundamental, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, membawa potensi efisiensi namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait jaminan anggaran dan keadilan akses. Laporan ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk menyeimbangkan tujuan makro dengan implementasi operasional yang adil dan efisien guna mewujudkan sistem kesehatan yang modern, merata, dan berkelanjutan.
Pendahuluan
Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu yang dijamin oleh negara, dengan tujuan utama untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia. Komitmen ini terwujud dalam berbagai inisiatif strategis, salah satunya adalah pembangunan sistem kesehatan yang kuat dan berkelanjutan. Sejak dekade terakhir, Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang substansial untuk memperkuat infrastruktur pelayanan, memperluas cakupan jaminan kesehatan, dan menyempurnakan kerangka kebijakan. Namun, proses transformasi ini tidak lepas dari kompleksitas dan tantangan, yang menuntut analisis mendalam untuk memahami dinamika di baliknya.
Laporan ini dirancang untuk memberikan tinjauan holistik dan analitis, melampaui data permukaan, dengan tujuan mengidentifikasi hubungan kausal, pola, dan implikasi kebijakan yang lebih luas. Analisis ini mengintegrasikan perspektif dari berbagai disiplin ilmu, termasuk kebijakan publik, ekonomi kesehatan, dan manajemen operasional. Metodologi yang digunakan adalah sintesis dan analisis kualitatif dari materi riset yang tersedia, dengan fokus pada elaborasi tren, hubungan sebab-akibat, dan potensi dampak jangka panjang. Laporan ini menguraikan struktur inti sistem kesehatan, mengevaluasi peran krusial JKN, meninjau infrastruktur pelayanan dan standar mutu, menganalisis tantangan kesenjangan, serta mendiskusikan implikasi dari regulasi terbaru, khususnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.
Kerangka Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Fondasinya
Fondasi pembangunan kesehatan di Indonesia diatur dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yang berfungsi sebagai landasan kebijakan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. SKN tidak hanya mencakup penyediaan layanan, tetapi juga merupakan sebuah ekosistem komprehensif yang terdiri dari tujuh subsistem utama yang saling terintegrasi.
Tujuh subsistem tersebut adalah:
- Subsistem Upaya Kesehatan: Mengatur penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang memisahkan antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), yang bersifat public goods dan dibiayai oleh negara melalui pajak, serta Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang bersifat private goods dan dibiayai melalui sistem asuransi kesehatan sosial, seperti JKN.
- Subsistem Pembiayaan Kesehatan: Berperan penting dalam menjamin ketersediaan pendanaan yang memadai, stabil, dan berkelanjutan dari berbagai sumber seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat.
- Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK): Bertanggung jawab untuk memastikan jumlah, jenis, dan kualitas tenaga kesehatan tercukupi dan terdistribusi secara adil dan merata di seluruh wilayah.
- Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan: Mengawasi aspek keamanan, khasiat, mutu, serta ketersediaan obat dan alat kesehatan.
- Subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan: Mengkoordinasikan upaya penelitian untuk memperoleh data kesehatan dasar berbasis bukti.
- Subsistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan: Meliputi kebijakan, administrasi, hukum, dan informasi kesehatan untuk memastikan penyelenggaraan SKN yang efektif, efisien, dan transparan.
- Subsistem Pemberdayaan Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Dibandingkan dengan kerangka kerja sistem kesehatan global yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang berfokus pada enam elemen utama seperti penyediaan layanan, tenaga kesehatan, dan sistem informasi , kerangka SKN Indonesia menunjukkan pendekatan yang lebih komprehensif. Kerangka SKN tidak hanya memperhatikan aspek operasional, tetapi juga menambahkan dimensi makro seperti penelitian, regulasi, dan partisipasi publik. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa sistem kesehatan di Indonesia adalah sebuah ekosistem yang kompleks, di mana inovasi, tata kelola yang baik, dan keterlibatan masyarakat adalah komponen penting, di luar sekadar penyediaan layanan medis.
Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan antara kedua kerangka kerja, yang memvisualisasikan bagaimana Indonesia mengadaptasi dan memperluas standar internasional untuk memenuhi kebutuhan spesifiknya.
Subsistem SKN Indonesia | Elemen Kerangka WHO | Keterangan |
Upaya Kesehatan | Penyediaan Layanan Kesehatan (Service Delivery) | Keduanya berfokus pada penyediaan layanan, namun SKN memisahkan UKM (promotif/preventif) dan UKP (kuratif/rehabilitatif) secara eksplisit. |
Sumber Daya Manusia Kesehatan | Tenaga Kesehatan (Health Workforce) | Keduanya mengidentifikasi pentingnya tenaga kerja kesehatan. |
Pembiayaan Kesehatan | Pembiayaan Kesehatan (Health Financing) | Keduanya berfokus pada pendanaan sistem kesehatan. |
Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan | Sistem Informasi Kesehatan (Health Information System) | SKN mencakup aspek yang lebih luas, seperti manajemen dan regulasi, di samping sistem informasi. |
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan | Akses terhadap Produk Medis dan Teknologi (Access to Medical Products & Technologies) | Keduanya menekankan ketersediaan dan akses. |
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan | – | SKN Indonesia menambahkan subsistem ini sebagai komponen esensial, yang tidak secara eksplisit diuraikan dalam elemen WHO. |
Pemberdayaan Masyarakat | – | SKN Indonesia menempatkan partisipasi publik sebagai pilar utama, menunjukkan komitmen terhadap kesehatan yang holistik dan berbasis komunitas. |
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Pilar Sentral Pembiayaan dan Perlindungan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program asuransi sosial yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang dibentuk pada tahun 2014. Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan kesehatan yang adekuat bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa memandang kondisi ekonomi, untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC). JKN bertujuan untuk mengurangi beban finansial masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup melalui akses yang lebih mudah terhadap layanan kesehatan yang memadai.
Model Kepesertaan dan Tantangan Pembiayaan
Model kepesertaan JKN dibagi menjadi tiga kategori utama: peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah, peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja, dan peserta Mandiri (PBPU) yang membayar iuran secara mandiri. Meskipun jumlah peserta terus meningkat setiap tahunnya , program ini secara konsisten menghadapi tantangan finansial yang serius, terutama dalam bentuk defisit.
Data menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp7,14 triliun dan Rp9,56 triliun pada tahun 2024. Masalah defisit ini bukanlah sekadar isu keuangan, melainkan cerminan dari ketidakseimbangan struktural yang multidimensi. Beban klaim yang terus meningkat akibat pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih tinggi menjadi faktor utama yang melebihi pendapatan iuran yang terkumpul. Di sisi lain, masalah penerimaan dana juga tidak optimal. Laporan menunjukkan adanya 54,6 juta peserta yang berstatus non-aktif pada tahun 2024, yang merupakan lonjakan drastis dari 20,1 juta peserta non-aktif pada tahun 2019. Potensi iuran dari peserta non-aktif ini mencapai Rp40,5 triliun, sebuah angka yang jauh lebih besar daripada nilai defisit BPJS Kesehatan itu sendiri.
Tingginya jumlah peserta non-aktif dan tunggakan iuran dari peserta mandiri mengindikasikan bahwa akar masalah terletak pada efektivitas pengelolaan kepesertaan dan penegakan pembayaran, bukan semata-mata pada besaran tarif iuran. Kenaikan iuran yang sempat diberlakukan dianggap memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit , yang pada akhirnya memperburuk masalah tunggakan dan peserta non-aktif. Kondisi ini menciptakan siklus negatif yang mengancam keberlanjutan finansial program.
Prosedur dan Pengalaman Pasien
Prosedur pelayanan JKN mengikuti alur rujukan berjenjang. Pasien harus terlebih dahulu mendaftar di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti Puskesmas atau klinik, untuk mendapatkan pemeriksaan awal. Jika kondisi medis memerlukan penanganan lebih lanjut, dokter di FKTP akan memberikan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL), yaitu rumah sakit. Di rumah sakit, pasien akan mendaftar di loket BPJS dengan membawa dokumen yang diperlukan, seperti kartu BPJS Kesehatan, KTP, dan surat rujukan.
Secara umum, banyak peserta JKN yang melaporkan pengalaman positif, menyebutkan bahwa mereka dapat mengakses layanan medis dengan cepat dan tanpa biaya. Namun, di sisi lain, beberapa pasien juga mengalami tantangan. Proses verifikasi klaim di rumah sakit masih dapat terhambat oleh faktor-faktor operasional, seperti rekam medis yang masih berbasis kertas dengan tulisan tangan yang tidak jelas. Selain itu, standar kompetensi verifikator juga belum memadai.
Pengalaman pasien juga mengungkap ketegangan antara berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem JKN. Ada laporan mengenai pasien yang merasa bingung dengan prosedur yang rumit dan kasus di mana durasi rawat inap dibatasi, bahkan jika pasien masih memerlukan perawatan. Peraturan BPJS Kesehatan yang ketat untuk mencegah fraud dan menjaga efisiensi sering kali menimbulkan konflik dengan rumah sakit, terutama rumah sakit swasta, yang beroperasi dengan motivasi profitabilitas. Ketika rumah sakit merasa tertekan secara finansial, hal ini dapat berdampak langsung pada pasien, yang mungkin dipulangkan sebelum pulih sepenuhnya atau dirujuk ke rumah sakit lain dengan alasan yang tidak jelas.
Infrastruktur Pelayanan Kesehatan: Fasilitas dan Standar Mutu
Infrastruktur pelayanan kesehatan di Indonesia diorganisir dalam sebuah hierarki yang jelas, yang dimulai dari fasilitas primer hingga tersier.
Puskesmas sebagai Garda Terdepan
Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang merupakan garda terdepan dalam sistem kesehatan. Tugas utamanya adalah melaksanakan kebijakan kesehatan di wilayah kerjanya dengan fungsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan strata pertama. Puskesmas menyediakan layanan promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), dan kuratif (pengobatan) dasar, termasuk imunisasi dan pemeriksaan kesehatan.
Meskipun memiliki peran krusial, Puskesmas juga menghadapi paradoks dalam sistem rujukan. Puskesmas tanpa fasilitas rawat inap, yang umum dijumpai di daerah-daerah, cenderung langsung merujuk pasien dengan kondisi kritis ke rumah sakit tingkat lanjut tanpa memberikan pertolongan pertama yang memadai. Situasi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam kapasitas SDM dan peralatan di tingkat primer, yang dapat membahayakan keselamatan pasien.
Rumah Sakit dan Evolusi Klasifikasi Mutu
Rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan medis dan perawatan yang lebih kompleks. Sistem rujukan yang berlaku sebelumnya didasarkan pada klasifikasi rumah sakit (Tipe A, B, C, D, dan E). Rumah sakit Tipe A berfungsi sebagai rujukan tertinggi dengan fasilitas terlengkap, sementara Tipe B dan C menangani rujukan dari tingkat di bawahnya. Namun, sistem ini sering disalahgunakan untuk menaikkan tarif klaim tanpa adanya peningkatan mutu layanan yang sepadan.
Menanggapi permasalahan tersebut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memutuskan untuk menghapus sistem klasifikasi lama dan menggantinya dengan sistem baru yang berbasis jenis pelayanan (Paripurna, Utama, Madya, dan Dasar). Perubahan ini bukan sekadar pergantian administratif, tetapi merupakan pergeseran fundamental yang bertujuan mendorong transparansi dan efisiensi dalam sistem rujukan. Di bawah sistem baru ini, rumah sakit Paripurna akan memiliki layanan terlengkap, termasuk subspesialis dan teknologi mutakhir, serta berfungsi sebagai rujukan nasional. Sistem pembayaran BPJS juga akan disesuaikan, berbasis pada tingkat keparahan penyakit, bukan lagi kelas rumah sakit, sehingga rumah sakit dituntut untuk lebih jujur tentang kemampuan layanan yang mereka miliki.
Untuk menjamin mutu, rumah sakit harus memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Proses akreditasi melibatkan penilaian komprehensif terhadap berbagai aspek operasional, mulai dari tata kelola, manajemen, keselamatan pasien, hingga pemenuhan sarana dan prasarana. Salah satu syarat akreditasi adalah pemenuhan minimal 60% sarana, prasarana, dan alat kesehatan (SPA) yang divalidasi melalui aplikasi ASPAK (Aplikasi Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan).
Analisis Kesenjangan Sistem Kesehatan: Sebuah Tantangan Struktural
Meskipun telah ada kemajuan dalam sistem kesehatan nasional, masih terdapat kesenjangan struktural yang signifikan, terutama antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Disparitas Geografis dan Keterbatasan Akses
Kesenjangan dalam akses pelayanan kesehatan antara perkotaan dan daerah terpencil masih sangat besar. Masyarakat di daerah pedalaman, pegunungan, dan kepulauan sering kali kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Faktor-faktor penyebabnya saling terkait, termasuk minimnya fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan Puskesmas, serta infrastruktur jalan dan transportasi yang buruk. Akibatnya, masyarakat harus menempuh jarak yang sangat jauh, bahkan dalam situasi darurat. Selain itu, laporan menunjukkan bahwa 42,4% masyarakat pedesaan menganggap akses menuju rumah sakit masih sulit.
Distribusi Sumber Daya Manusia yang Tidak Merata
Tantangan terbesar lainnya adalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Banyak dokter, perawat, dan bidan cenderung memilih bekerja di perkotaan atau pusat-pusat wilayah yang lebih maju. Hal ini menyebabkan daerah terpencil kekurangan tenaga medis. Meskipun pemerintah telah meluncurkan program-program seperti Wajib Kerja Dokter Spesialis dan Nusantara Sehat untuk mengirim tenaga kesehatan ke daerah-daerah tersebut, masalah ini belum sepenuhnya teratasi.
Kesenjangan geografis dan ketidakmerataan SDM saling memperkuat satu sama lain. Kurangnya fasilitas dan pendanaan di daerah terpencil membuat tenaga medis enggan ditempatkan di sana. Ini menciptakan siklus yang merugikan, di mana rasio tenaga medis per penduduk di daerah-daerah tersebut tetap rendah , yang pada akhirnya memperburuk kualitas dan ketersediaan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Implikasi Kebijakan Terkini: Undang-Undang No. 17 Tahun 2023
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan langkah transformatif untuk menyederhanakan regulasi di sektor kesehatan dan berfokus pada digitalisasi, pemerataan SDM, dan integrasi layanan. Namun, salah satu kebijakan paling kontroversial dalam UU ini adalah penghapusan ketentuan mandatory spending atau alokasi anggaran kesehatan wajib.
Sebelumnya, UU No. 36 Tahun 2009 mengamanatkan alokasi minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD untuk sektor kesehatan. Pemerintah berargumen bahwa penghapusan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan mengatasi korupsi dalam penggunaan anggaran. Kebijakan ini diganti dengan skema “money follow program,” yang mengalokasikan anggaran berdasarkan prioritas program pembangunan kesehatan yang lebih terukur.
Kebijakan ini memicu perdebatan. Di satu sisi, pemerintah percaya bahwa skema baru akan memastikan alokasi dana yang lebih efektif dan efisien untuk program-program yang benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Di sisi lain, para kritikus khawatir bahwa tanpa alokasi wajib, daerah-daerah dengan APBD yang kecil, terutama di wilayah 3T, akan sangat dirugikan karena layanan kesehatan mereka masih sangat bergantung pada alokasi minimal tersebut. Kondisi ini berpotensi memperlebar kesenjangan akses dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Selain itu, UU ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait perlindungan hukum bagi tenaga medis, yang bahkan memicu uji materi.
Kesimpulan
Analisis terhadap sistem kesehatan di Indonesia menunjukkan sebuah gambaran yang kompleks dengan kemajuan signifikan, namun juga tantangan struktural yang mendalam. Program JKN telah menjadi pilar utama dalam memberikan perlindungan kesehatan bagi mayoritas penduduk, tetapi keberlanjutannya terancam oleh defisit finansial yang persisten. Akar permasalahan ini bukan hanya sekadar tarif iuran, melainkan juga masalah pengelolaan peserta, dengan jutaan peserta yang berstatus non-aktif.
Selain itu, sistem kesehatan menghadapi ketimpangan yang akut dalam hal geografis dan distribusi sumber daya manusia. Keterbatasan infrastruktur dan ketersediaan tenaga medis di daerah terpencil menciptakan hambatan signifikan bagi masyarakat di wilayah tersebut. Meskipun ada upaya kebijakan baru, seperti penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan terbaru, pelaksanaannya memerlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa efisiensi makro tidak mengorbankan keadilan sosial di tingkat operasional.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa rekomendasi strategis diusulkan:
- Reformasi Pembiayaan JKN: Fokus harus dialihkan dari kenaikan iuran ke pengelolaan kepesertaan yang lebih efektif. Diperlukan insentif dan sosialisasi yang masif untuk mendorong peserta non-aktif kembali membayar iuran. Di samping itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk memastikan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas layanan.
- Pemerataan Sumber Daya: Investasi pemerintah harus secara terfokus dialokasikan ke daerah-daerah terpencil, tidak hanya untuk pembangunan fasilitas fisik, tetapi juga untuk menciptakan insentif yang menarik bagi tenaga medis agar bersedia ditempatkan di sana. Program-program penugasan SDM perlu dievaluasi dan diperkuat.
- Penguatan Mutu dan Transparansi: Implementasi klasifikasi rumah sakit yang baru harus didukung dengan regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa peningkatan klaim benar-benar sejalan dengan peningkatan mutu layanan. Digitalisasi rekam medis dan standarisasi proses verifikasi klaim sangat krusial untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi hambatan operasional.
- Optimalisasi Kebijakan Baru: Skema “money follow program” pasca-penghapusan mandatory spending perlu dikelola dengan transparan dan akuntabel. Pemerintah harus menjamin bahwa alokasi anggaran tidak akan berkurang, terutama untuk daerah-daerah yang secara historis bergantung pada alokasi wajib. Hal ini akan memastikan bahwa jaminan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat tetap terpenuhi, sejalan dengan amanat konstitusi dan prinsip keadilan sosial.
Transformasi sistem kesehatan di Indonesia adalah sebuah proses jangka panjang yang menuntut kolaborasi multi-pihak yang kuat, inovasi, dan komitmen politik yang berkelanjutan. Keberhasilan sistem di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan tujuan keadilan sosial, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang adil terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.