Tulisan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai dampak multifaset dari media sosial terhadap tata kelola negara dan dinamika demokrasi di seluruh dunia. Tulisan ini berargumen bahwa media sosial adalah kekuatan ganda yang secara fundamental telah mengubah lanskap politik. Di satu sisi, media sosial berfungsi sebagai katalis yang kuat untuk partisipasi politik, akuntabilitas publik, dan mobilisasi sipil, mendemokratisasi akses terhadap informasi dan ruang wacana. Di sisi lain, platform digital telah menjadi vektor utama untuk penyebaran disinformasi, polarisasi, dan manipulasi politik yang terorganisir, yang dapat merusak integritas proses demokrasi dan stabilitas sosial.
Analisis tulisan menunjukkan bahwa dampak positif utama media sosial meliputi peningkatan partisipasi politik, terutama di kalangan generasi muda, dengan menyediakan akses langsung bagi para politisi ke pemilih dan bagi warga negara untuk mengartikulasikan suara mereka. Studi kasus dari gerakan sosial global seperti Arab Spring dan Black Lives Matter menunjukkan efektivitas media sosial sebagai alat untuk mobilisasi massa dan melawan hegemoni media tradisional. Namun, tulisan ini juga menyoroti tantangan signifikan, seperti penyebaran berita palsu dan disinformasi oleh “buzzer” politik serta peran algoritma dan perilaku pengguna dalam memperburuk polarisasi politik. Studi kasus mengenai campur tangan asing dalam Pemilu AS 2016 dan Referendum Brexit 2016 mengungkapkan bagaimana aktor-aktor jahat menggunakan platform ini untuk memanipulasi opini publik.
Untuk mengatasi tantangan ini, tulisan ini menekankan perlunya respons terpadu yang melibatkan pemerintah, platform teknologi, dan masyarakat sipil. Diperlukan kerangka kerja regulasi yang terkoordinasi, investasi besar dalam literasi digital, dan mekanisme tata kelola yang memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas. Tulisan ini menyimpulkan bahwa masa depan demokrasi di era digital akan bergantung pada kemampuan untuk secara cerdas menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan nilai-nilai demokratis.
Evolusi Media Sosial sebagai Kekuatan Politik Global
Teknologi komunikasi dan informasi telah menembus setiap aspek kehidupan manusia, dan dalam beberapa dekade terakhir, media sosial telah bertransisi dari sekadar alat komunikasi personal menjadi kekuatan politik yang sentral. Fenomena ini telah mengubah cara kampanye politik dilakukan, bagaimana informasi disebarluaskan, dan bagaimana masyarakat terlibat dalam proses politik. Lebih dari sekadar platform interaksi, media sosial kini menjadi arena di mana wacana publik dan dinamika kekuasaan dibentuk secara fundamental.
Tulisan ini dibangun di atas tesis bahwa media sosial adalah kekuatan ganda yang tidak secara intrinsik baik atau buruk. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai cermin yang memperkuat kondisi sosial dan politik yang sudah ada. Kekuatan ini dapat memberdayakan individu dan kelompok yang sebelumnya terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasi mereka , memfasilitasi gerakan sosial yang masif, dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin. Namun, pada saat yang sama, media sosial juga menjadi medium yang memungkinkan aktor-aktor jahat—mulai dari penyebar disinformasi terorganisir hingga pihak-pihak dengan kepentingan politik yang tersembunyi—untuk menyebarkan kekacauan dan memanipulasi opini publik.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis yang komprehensif dengan mengeksplorasi spektrum dampak media sosial, dari potensi transformatifnya dalam memberdayakan warga negara hingga ancaman serius yang ditimbulkannya terhadap integritas demokratis. Analisis ini tidak terbatas pada satu konteks geografis, tetapi menarik bukti empiris dari studi kasus di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Inggris, dan Timur Tengah. Tulisan ini juga akan mengulas respons kebijakan yang telah muncul dari pemerintah dan platform teknologi, menyoroti dilema yang melekat dalam upaya untuk mengatur ruang digital.
Dampak Positif: Katalis Demokrasi dan Partisipasi Sipil
Media sosial telah membuktikan dirinya sebagai instrumen transformatif yang mampu meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat fondasi demokrasi dalam berbagai aspek. Kemampuannya untuk menghubungkan individu dan kelompok secara real-time telah menciptakan peluang baru untuk keterlibatan warga dan transparansi pemerintahan.
Peningkatan Partisipasi Politik dan Keterlibatan Warga Negara
Salah satu manfaat paling signifikan dari media sosial adalah kemampuannya untuk mendemokratisasi komunikasi politik. Platform seperti Instagram dan X (sebelumnya Twitter) memberikan akses langsung antara politisi dan pemilih, tanpa perlu melalui saluran media tradisional. Ini memungkinkan para kandidat untuk menyampaikan pesan, kebijakan, dan kegiatan kampanye mereka secara langsung, serta menanggapi pertanyaan dari pemilih atau isu-isu terkini dengan cepat. Pergeseran ini tidak hanya mengubah cara politisi berkampanye, tetapi juga memberikan suara kepada individu dan kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, memungkinkan partisipasi yang lebih luas dalam diskusi politik.
Media sosial juga terbukti sangat efektif dalam meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial berfungsi sebagai platform edukasi politik dan ruang diskusi bagi generasi milenial dan pemilih pemula. Dengan memanfaatkan fitur-fitur seperti hashtag dan konten yang menarik, kampanye dapat mengubah preferensi kaum muda terhadap hak untuk memilih. Ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya meningkatkan jumlah orang yang terlibat, tetapi juga mengubah bentuk partisipasi politik itu sendiri, menggeser dari konsumsi informasi pasif ke aktivisme digital yang lebih aktif dan interaktif.
Mobilisasi Massa dan Gerakan Sosial Global
Kemampuan media sosial untuk memobilisasi massa secara cepat dan efisien adalah salah satu manifestasi paling nyata dari dampaknya pada tata kelola negara. Studi kasus Arab Spring pada tahun 2011 menunjukkan bagaimana platform digital menjadi alat vital untuk mengorganisir protes dan menyebarkan kesadaran di bawah rezim-rezim otoriter. Di Mesir, misalnya, sebuah halaman Facebook dengan nama “We Are All Khalid Said” berhasil memobilisasi ratusan ribu orang dalam hitungan jam untuk berdemonstrasi di Tahrir Square. Meskipun media sosial bukanlah satu-satunya penyebab revolusi—yang berakar dari ketidakpuasan mendalam terhadap korupsi dan kondisi ekonomi—platform ini menyediakan alat yang sebelumnya tidak tersedia bagi gerakan sosial untuk mencapai tujuan politik.
Peran ini berlanjut dalam gerakan sosial modern. Gerakan seperti #MeToo dan Black Lives Matter mendapatkan momentum global melalui media sosial, mendorong perubahan sosial dan kebijakan yang signifikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa internet telah menjadi ruang melawan hegemoni di mana warga negara dapat bebas dari narasi yang dibawa oleh media mainstream, memungkinkan penyebaran informasi yang biasanya akan ditekan. Ini adalah perubahan fundamental yang mengikis monopoli kekuasaan politik tradisional, meskipun juga membuka pintu bagi “politik viral” yang sering kali berbasis emosi daripada substansi.
Kontrol Publik dan Akuntabilitas Pemerintah
Selain mobilisasi, media sosial juga berfungsi sebagai sarana ampuh untuk kontrol, evaluasi, dan akuntabilitas. Respons publik dan pasar terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah kini dapat diukur secara real-time melalui media sosial. Opini publik yang terbentuk secara digital dapat dengan cepat menjadi amunisi untuk menekan pembuat kebijakan terkait isu-isu yang dianggap merugikan kepentingan publik. Dalam beberapa kasus, media sosial bahkan menggeser peran media konvensional sebagai penentu opini publik, menjadikannya alat yang efektif bagi warga untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari institusi pemerintah.
Secara keseluruhan, media sosial telah menyediakan ruang publik baru yang signifikan, di mana warga dapat mendiskusikan masalah-masalah umum mereka dan berpartisipasi dalam diskusi politik. Transformasi ini menggarisbawahi potensi media sosial untuk memperkuat demokrasi dengan membuat proses politik lebih inklusif dan responsif terhadap suara rakyat.
| Manfaat Media Sosial untuk Demokrasi | Deskripsi Singkat |
| Peningkatan Partisipasi | Mendorong keterlibatan pemilih, terutama generasi muda, melalui edukasi dan akses langsung. |
| Mobilisasi Sosial | Memfasilitasi koordinasi gerakan sosial dan protes politik secara cepat dan efisien. |
| Akuntabilitas Pemerintah | Berfungsi sebagai alat kontrol publik, memungkinkan warga menekan pembuat kebijakan. |
| Demokratisasi Informasi | Menghapus perantara media tradisional, memberikan suara kepada kelompok terpinggirkan. |
| Diplomasi Modern | Mengubah diplomasi menjadi lebih terbuka, transparan, dan efisien. |
Dampak Negatif: Ancaman Terhadap Integritas Demokratis
Terlepas dari manfaatnya, media sosial juga menghadirkan ancaman yang serius dan kompleks terhadap integritas demokratis, terutama melalui penyebaran disinformasi, polarisasi, dan manipulasi politik.
Penyebaran Disinformasi dan Misinformasi
Salah satu tantangan terbesar adalah kecepatan dan luasnya penyebaran berita palsu atau hoaks di platform digital, sering kali tanpa pemeriksaan fakta yang memadai. Hoaks ini dapat merusak tatanan sosial, memicu kepanikan, merusak reputasi individu atau institusi, dan bahkan memprovokasi konflik sosial. Berbeda dari media konvensional, pesan di media sosial cenderung tidak terkontrol, dan penerima dapat memilih kapan dan bagaimana mereka berinteraksi dengan informasi tersebut, yang menciptakan lingkungan yang matang untuk penyebaran informasi yang menyesatkan.
Lebih jauh lagi, fenomena “buzzer” politik telah muncul sebagai instrumen penting dalam kontestasi politik. Awalnya digunakan untuk promosi produk komersial, kini buzzer semakin banyak dimanfaatkan dalam kampanye politik untuk menyebarkan propaganda dan kampanye negatif. Kehadiran buzzer mempercepat polarisasi opini publik dan mengganggu proses demokrasi yang sehat.
Polarisasi Politik dan Fenomena Ruang Gema
Media sosial sering dikritik karena memperburuk polarisasi melalui apa yang disebut filter bubbles dan echo chambers. Konsep filter bubble mengacu pada “ekosistem informasi personal” yang dikurasi oleh algoritma untuk menampilkan konten yang selaras dengan preferensi pengguna. Sebaliknya, echo chamber menggambarkan ruang di mana individu secara sadar atau tidak sadar memilih untuk berinteraksi hanya dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, menciptakan gema yang terus-menerus mengkonfirmasi keyakinan mereka sendiri.
Meskipun demikian, data empiris menunjukkan gambaran yang lebih bernuansa. Studi skala besar menemukan bahwa prevalensi efek filter bubble dan echo chamber jauh lebih rendah dari yang diperkirakan. Sebaliknya, beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa paparan berita di media sosial cenderung lebih beragam karena pengguna secara tidak sengaja menemukan sumber-sumber baru. Hal ini mengalihkan fokus dari determinisme teknologi semata ke masalah yang lebih mendalam: media sosial tidak menciptakan perpecahan, tetapi secara efektif memperkuat perilaku self-selection dan confirmation bias yang sudah ada pada individu. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan secara tidak langsung memberi penghargaan pada konten yang memprovokasi emosi kuat seperti kemarahan atau ketakutan, yang pada akhirnya memperdalam perpecahan ideologis dan menghambat kemampuan masyarakat untuk berdialog dan mencapai konsensus. Ini merupakan serangan struktural terhadap “ruang publik” yang menjadi fondasi demokrasi deliberatif.
Manipulasi dan Campur Tangan Asing dalam Pemilu
Dampak negatif media sosial memuncak dalam kasus-kasus campur tangan asing dalam proses pemilu. Pemilu AS 2016 dan Referendum Brexit 2016 berfungsi sebagai studi kasus krusial yang menunjukkan bagaimana manipulasi digital telah menjadi bentuk “perang non-konvensional” yang bertujuan untuk merusak kepercayaan publik dan melemahkan institusi demokratis dari dalam.
Dalam Pemilu AS 2016, Internet Research Agency (IRA), sebuah “peternakan troll” yang didukung Kremlin, menciptakan ribuan persona palsu untuk menyebarkan informasi yang salah dan propaganda yang merusak kandidat tertentu. Sebuah studi oleh para peneliti Columbia SIPA menemukan bukti empiris bahwa aktivitas troll Rusia secara efektif “menggerakkan jarum” ke arah kandidat Donald Trump dengan memengaruhi pasar taruhan dan wacana pemilu. Sementara itu, dalam Referendum Brexit, sebuah penelitian Dr. Marco Bastos mengungkap jaringan bot Twitter yang terdiri dari lebih dari 13.000 akun yang dirancang untuk memperkuat pesan pro-Brexit. Ketika masyarakat tidak lagi dapat membedakan antara informasi faktual dan rekayasa, kemampuan untuk mencapai konsensus rasional menjadi hampir mustahil, yang pada akhirnya merusak proses demokratis.
Studi Kasus Komparatif dan Analisis Empiris Mendalam
Untuk memahami lebih dalam dinamika ini, penting untuk meninjau studi kasus spesifik yang menunjukkan pola penggunaan media sosial yang serupa dan berbeda di berbagai konteks politik.
Studi Kasus: Pemilu Indonesia (2014 & 2019)
Analisis terhadap pemilihan presiden di Indonesia menunjukkan pergeseran signifikan dalam peran media sosial. Pada Pemilu 2014, media mainstream masih menjadi platform utama untuk kampanye. Namun, pada Pemilu 2019, media sosial mengambil peran yang jauh lebih besar dan signifikan. Tim kampanye dari kedua kandidat secara aktif mengadaptasi strategi mereka untuk platform digital. Misalnya, mereka menggunakan hashtag yang kuat seperti #JokowiuntukPresiden dan #2019gantiPresiden untuk mengorganisir pendukung dan mendominasi narasi. Penggunaan konten visual seperti meme dan video di Instagram, serta keterlibatan influencer muda, menjadi taktik penting untuk menarik perhatian pemilih muda. Meskipun berhasil meningkatkan partisipasi pemilih, penggunaan media sosial yang intens ini juga berkontribusi pada terciptanya perpecahan dan polarisasi yang mendalam di antara masing-masing pendukung.
Studi Kasus: Referendum Brexit dan Pemilu AS 2016
Kasus-kasus ini menyoroti bagaimana taktik manipulasi digital digunakan untuk tujuan politik. Baik dalam Referendum Brexit maupun Pemilu AS, ditemukan adanya orkestrasi kampanye oleh pihak-pihak dengan motif tersembunyi. Kampanye Brexit menggunakan jaringan bot untuk secara artifisial memperkuat pesan pro-keluar dari Uni Eropa. Sementara itu, di AS, operasi troll farm Rusia secara sistematis menargetkan pemilih dengan konten yang dirancang untuk menabur perpecahan dan mendukung satu kandidat. Kedua kasus menunjukkan bahwa manipulasi digital tidak hanya bertujuan untuk memenangkan pemilu, tetapi juga untuk merusak kepercayaan pada sistem politik itu sendiri.
Studi Kasus: Revolusi Arab Spring
Revolusi Arab Spring memberikan contoh yang kuat tentang potensi positif media sosial. Platform digital memungkinkan komunikasi dan koordinasi di tengah rezim yang represif, memberikan suara kepada yang tertindas, dan membantu menyebarkan informasi yang sulit diakses melalui media tradisional. Namun, penting untuk dicatat bahwa media sosial hanyalah salah satu faktor di antara banyak faktor lain. Akar penyebab revolusi adalah ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi politik dan ekonomi yang buruk. Media sosial berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan kemarahan yang sudah ada, bukan sebagai penyebab tunggal dari pemberontakan tersebut.
| Studi Kasus Dampak Media Sosial dalam Politik Global | |
| Kasus | Peran Media Sosial |
| Indonesia 2019 | Kampanye Digital & Polarisasi |
| Pemilu AS 2016 | Manipulasi & Campur Tangan Asing |
| Referendum Brexit 2016 | Manipulasi & Propaganda |
| Revolusi Arab Spring | Mobilisasi Massa |
Respons dan Tata Kelola: Menjaga Integritas Demokratis
Tantangan yang ditimbulkan oleh media sosial telah memicu berbagai respons dari platform teknologi itu sendiri maupun dari pemerintah di seluruh dunia. Namun, upaya ini dihadapkan pada dilema mendasar: bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan integritas demokrasi dan pemeliharaan kebebasan berekspresi?
Tanggung Jawab Platform Digital
Platform media sosial, dalam upaya mereka untuk memoderasi konten, menghadapi tantangan yang luar biasa. Mereka harus menangani jutaan tulisan konten berbahaya setiap hari, yang memerlukan kombinasi teknologi kecerdasan buatan (AI) dan tim moderator manusia. Namun, moderasi konten juga rumit oleh ambiguitas konten politik atau budaya, di mana interpretasi bisa bervariasi di setiap wilayah.
Arah kebijakan moderasi di platform besar sering kali tidak konsisten. Meta, misalnya, pernah mengakhiri program pengecekan fakta pihak ketiga dan mengubah kebijakan rekomendasi konten politiknya, kembali menampilkan konten politik secara default setelah sebelumnya membatasi. Sementara itu, X (sebelumnya Twitter) telah memangkas stafnya yang berfokus pada moderasi konten global, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuannya untuk menangani disinformasi dan ujaran kebencian. Perubahan-perubahan ini menunjukkan ketidakpastian dan ketidakmampuan platform untuk secara konsisten melindungi ruang publik digital.
Tantangan Regulasi Pemerintah
Respons pemerintah juga bervariasi. Di Uni Eropa, Digital Services Act (DSA) telah diperkenalkan untuk mengatur platform digital. DSA berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan transparansi, seperti memberikan akses kepada regulator dan peneliti terhadap algoritma platform dan meminta tulisan tahunan tentang moderasi konten. Namun, DSA juga menuai kritik, karena dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan berekspresi dengan menempatkan tugas pengawasan di tangan perusahaan swasta, yang dapat bertindak sebagai “sistem peradilan paralel”.
Di Indonesia, pemerintah sedang menyusun berbagai regulasi, termasuk RPP tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Kerangka hukum yang sudah ada, seperti UU ITE, juga digunakan untuk mengatur konten digital. Namun, ini menyoroti dilema kebijakan yang fundamental: sejauh mana negara dapat mengontrol wacana publik untuk melindungi demokrasi tanpa merusak prinsip kebebasan berekspresi? Jika pemerintah terlalu ketat, mereka dapat melakukan sensor. Jika mereka terlalu longgar, platform akan terus menjadi alat manipulasi. Dilema ini menuntut solusi yang berfokus pada “tata kelola” yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, platform, akademisi, dan masyarakat sipil.
| Perbandingan Kerangka Regulasi Media Sosial | |
| Negara/Wilayah | Nama Regulasi |
| Uni Eropa | Digital Services Act (DSA) |
| Indonesia | Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) TKPAPSE |
Kesimpulan
Media sosial telah secara permanen mengubah wajah demokrasi dan tata kelola negara di seluruh dunia. Ia adalah alat untuk pemberdayaan sekaligus senjata untuk manipulasi. Dampaknya tidak statis; ia terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika politik. Analisis yang mendalam menunjukkan bahwa media sosial telah secara signifikan meningkatkan partisipasi, tetapi juga secara bersamaan memperburuk perpecahan ideologis dan menjadi medan pertempuran bagi disinformasi yang terorganisir.
Tantangan yang dihadirkan oleh media sosial bersifat struktural dan bukan sekadar masalah teknis yang bisa diperbaiki dengan satu regulasi tunggal. Integritas demokrasi bergantung pada kemampuan masyarakat untuk berdialog dan mencapai konsensus, sebuah kemampuan yang diuji secara ekstrem oleh media sosial. Tulisan dari International IDEA menunjukkan bahwa kebebasan pers dan demokrasi global sedang melemah, dengan media sosial menjadi faktor pendorong utama dalam degradasi ini.
Ke depan, tantangan ini kemungkinan akan diperburuk dengan munculnya kecerdasan buatan generatif, yang memungkinkan produksi disinformasi yang lebih canggih dan masif. Oleh karena itu, masa depan demokrasi di era digital akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif untuk membangun ketahanan informasi. Ini membutuhkan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan nilai-nilai demokratis, memastikan bahwa platform digital berfungsi sebagai ruang yang produktif bagi wacana publik, bukan sebagai senjata yang digunakan untuk memanipulasi dan memecah belah.
Daftar Pustaka :
- Komunikasi Politik di Era Media Sosial – Journal UII, accessed on September 18, 2025, https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/download/6469/5828/11261
- PENGARUH MEDIA SOSIAL DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK, accessed on September 18, 2025, https://qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/article/download/4/4/
- KOLOKIUM FIABIKOM: BENARKAH MEDIA SOSIAL MENGANCAM DEMOKRASI?, accessed on September 18, 2025, https://www.atmajaya.ac.id/id/pages/kolokuium-andina-/
- Jaringan Media Sosial Berperan Positif Bagi Demokrasi – Kementerian Agama RI, accessed on September 18, 2025, https://kemenag.go.id/read/jaringan-media-sosial-berperan-positif-bagi-demokrasi-84xok
- anti hoaks / hoax / disinformasi – Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, accessed on September 18, 2025, https://mail.dinsos.jatengprov.go.id/detail_dip/anti-hoaks-hoax-disinformasi
- PERAN MEDIA SOSIAL DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI …, accessed on September 18, 2025, https://jurnalsentral.com/index.php/jdss/article/view/115
- PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH PEMULA DIKALANGAN PELAJAR DI KABUPATEN BOGOR | Ratnamulyani | Sosiohumaniora – Jurnal Universitas Padjadjaran, accessed on September 18, 2025, https://jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/13965
- Media Sosial dan Digitalisasi Partisipasi Politik pada … – Society, accessed on September 18, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/319985-the-social-media-and-digitalization-of-p-c3b44224.pdf
- MEMETAKAN ALIRAN AKTIVISME DIGITAL, accessed on September 18, 2025, https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1423/2021/01/23-CfDS-Case-Study-Memetakan-Aliran-Aktivisme-Digital-Sebuah-Pergerakan-Sosial.pdf
- Social Media And The Arab Spring By Samira F. Hassan A …, accessed on September 18, 2025, https://mals.camden.rutgers.edu/files/Social-Media-and-the-Arab-Spring.pdf
- The Influence of Social Media in Egypt during The Arab Spring – SIT Digital Collections, accessed on September 18, 2025, https://digitalcollections.sit.edu/capstones/2944/
- MEDIA SOSIAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL | Dinamika Global, accessed on September 18, 2025, https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/view/99
- View of Peran Media Sosial dalam Kampanye Politik di Indonesia Lima Tahun Terakhir: Antara Demokrasi dan Manipulasi Informasi | COMSERVA, accessed on September 18, 2025, https://comserva.publikasiindonesia.id/index.php/comserva/article/view/2611/2191
- UvA-DARE (Digital Academic Repository) – Research Explorer, accessed on September 18, 2025, https://pure.uva.nl/ws/files/62698910/chapter8.pdf
- Echo Chambers, Filter Bubbles, and Polarisation: a … – Royal Society, accessed on September 18, 2025, https://royalsociety.org/-/media/policy/projects/online-information-environment/oie-echo-chambers.pdf
- Study Confirms Influence of Russian Internet “Trolls” on 2016 …, accessed on September 18, 2025, https://www.sipa.columbia.edu/news/study-confirms-influence-russian-internet-trolls-2016-election
- Social media ‘bots’ used to boost political messages during Brexit …, accessed on September 18, 2025, https://www.citystgeorges.ac.uk/research/impact/case-studies/social-media-bots-used-to-boost-political-messages-during-brexit-referendum
- Jurnal Lemhannas RI – Media Sosial dan Pemilu: Studi Kasus …, accessed on September 18, 2025, https://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/download/293/173/
- Meta beralih ke model moderasi konten berbasis komunitas – Investing.com ID, accessed on September 18, 2025, https://id.investing.com/news/stock-market-news/meta-beralih-ke-model-moderasi-konten-berbasis-komunitas-93CH-2695072
- Kebijakan baru Meta: Konten politik kini bisa dipilih pengguna – Tek.ID, accessed on September 18, 2025, https://www.tek.id/tek/kebijakan-baru-meta-konten-politik-kini-bisa-dipilih-b2nha9teL
- Twitter Lakukan Pengurangan Staf untuk Moderasi Konten Global – Medcom.id, accessed on September 18, 2025, https://www.medcom.id/ekonomi/global/lKYPg0Ak-twitter-lakukan-pengurangan-staf-untuk-moderasi-konten-global
- The European Union’s Digital Services Act: A New Era for the …, accessed on September 18, 2025, https://www.seattleu.edu/business/news-events/pov/ethics-matter/posts/the-european-unions-digital-services-act-a-new-era-for-the-internet.php
- Digital Services Act: Does Internet Regulation Threaten Freedom of …, accessed on September 18, 2025, https://csl.mpg.de/851840/digital-services-act-does-internet-regulation-threaten-freedom-of-expression
- Regulasi Pembatasan Usia Media Sosial Harus … – Indonesia.go.id, accessed on September 18, 2025, https://indonesia.go.id/kategori/sosial-budaya/9015/regulasi-pembatasan-usia-media-sosial-harus-berpihak-pada-kepentingan-anak?lang=1
- The Rise of Digital Authoritarianism | Freedom House, accessed on September 18, 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-net/2018/rise-digital-authoritarianism
- Global press freedom suffers sharpest fall in 50 years, report finds, accessed on September 18, 2025, https://www.theguardian.com/media/2025/sep/11/global-press-freedom-suffers-sharpest-fall-in-50-years-report-finds
- Wamenkomdigi: Pemanggilan pengelola media sosial untuk moderasi konten, accessed on September 18, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5072921/wamenkomdigi-pemanggilan-pengelola-media-sosial-untuk-moderasi-konten
