Sebuah Paradoks di Tengah Pusaran Revolusi
Posisi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda, pada masa-masa sebelum dan selama Revolusi Nasional Indonesia, adalah sebuah paradoks historis yang kompleks. Secara sosial-ekonomi, mereka sering kali digolongkan sebagai “minoritas perantara,” suatu kategori yang menempatkan mereka di atas penduduk pribumi tetapi tetap di bawah otoritas Eropa. Peran ini, yang sering kali melibatkan aktivitas perdagangan, pemungutan pajak, dan bisnis candu, secara historis menciptakan ketegangan dan kebencian dari penduduk pribumi. Kebijakan devide et impera pemerintah kolonial Belanda semakin memperdalam jurang pemisah ini, mengeksploitasi perbedaan ekonomi dan sosial untuk memecah belah masyarakat. Oleh karena itu, kebencian yang meledak selama revolusi bukanlah fenomena spontan, melainkan akumulasi dari ketidakadilan dan stereotip yang telah mengakar selama berabad-abad.
Di tengah dinamika yang penuh gejolak ini, komunitas Tionghoa-Indonesia mengalami krisis identitas yang mendalam. Mereka bukanlah “orang asing” yang baru datang dari Tiongkok, mengingat banyak yang telah tinggal selama beberapa generasi di Hindia Belanda, namun mereka juga tidak sepenuhnya diakui sebagai bagian dari penduduk pribumi. Pencarian jati diri kebangsaan ini memunculkan tiga aliran loyalitas yang berbeda selama revolusi: kelompok yang mendukung kemerdekaan Republik, kelompok yang bersikap netral atau pragmatis, dan kelompok yang berpihak pada kekuasaan Belanda. Laporan ini akan mengulas keragaman sikap ini dan menganalisis peran spesifik individu serta organisasi Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan, baik di medan tempur maupun di arena politik dan sosial.
Spektrum Politik Komunitas Tionghoa
Sebelum perjuangan fisik, kebangkitan kesadaran politik di kalangan komunitas Tionghoa-Indonesia dimulai dari ranah pendidikan. Berdirinya sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada awal abad ke-20 menjadi titik balik yang signifikan. Sekolah-sekolah ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi wadah untuk menanamkan ideologi baru, termasuk gagasan nasionalisme. Pengaruhnya meluas, bahkan menginspirasi berdirinya organisasi nasionalis pribumi seperti Boedi Oetomo. Transformasi ini menunjukkan bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia adalah suatu fenomena multietnis yang saling menginspirasi. Meskipun demikian, ideologi di kalangan Tionghoa terpecah secara jelas, menciptakan tiga faksi utama yang beroperasi selama Revolusi Nasional.
Faksi Pro-Republik
Faksi ini percaya bahwa masa depan Tionghoa-Indonesia terletak di Republik yang merdeka dan bersatu. Representasi utama dari pandangan ini adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang didirikan pada tahun 1932 oleh Liem Koen Hian. PTI secara eksplisit menganjurkan ideologi Indonesierschap, sebuah konsep yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sebagai seorang jurnalis dan politikus, Liem Koen Hian menyuarakan gagasan ini melalui berbagai surat kabar, mendesak persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara.
Selain itu, pers Tionghoa memainkan peran penting dalam menggalang dukungan bagi perjuangan nasionalis. Media seperti mingguan Sin Po menjadi koran pertama yang mempublikasikan lirik lagu “Indonesia Raya” secara lengkap dan menolak memuat iklan dari Jepang. Mereka bahkan mengumpulkan dana anti-Jepang, menunjukkan komitmen finansial yang substansial terhadap pergerakan nasional.
Faksi Pro-Belanda dan Netral
Di sisi lain, terdapat golongan konservatif yang cenderung berpihak pada pemerintah kolonial Belanda. Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai politik yang didirikan pada tahun 1928, mewakili pandangan ini. Meskipun CHH mengadvokasi kesetaraan hukum, tujuan utamanya adalah agar Tionghoa disetarakan dengan orang Eropa, bukan dengan penduduk pribumi. Kelompok ini, yang sering kali terdiri dari elit kapitalis, melihat Belanda sebagai pelindung status quo mereka dan khawatir akan ketidakpastian yang dibawa oleh revolusi.
Kebingungan dan dilema ini semakin diperumit oleh pembentukan milisi Tionghoa bernama Pao An Tui. Milisi ini, yang dibentuk pada tahun 1946 dan beroperasi hingga 1949, dituduh oleh banyak pihak sebagai kelompok pro-Belanda yang menyerang pejuang kemerdekaan. Namun, konteks historis yang lebih dalam mengungkapkan motivasi yang lebih kompleks. Selama “masa bersiap” yang penuh kekerasan, komunitas Tionghoa menjadi sasaran amuk, penjarahan, dan pembakaran. Mereka merasa pemerintah Republik tidak mampu melindungi mereka dari anarki, sebuah situasi yang bahkan diakui oleh pejabat Republik sendiri. Dalam situasi putus asa ini, beberapa kelompok Tionghoa terpaksa menerima senjata dari pihak Sekutu untuk membela diri. Oleh karena itu, keberpihakan mereka bisa jadi merupakan respons pragmatis terhadap ancaman keamanan yang nyata, bukan semata-mata pengkhianatan ideologis. Peristiwa ini menyoroti bahwa dalam pusaran revolusi, pilihan loyalitas sering kali ditentukan oleh kelangsungan hidup dan keamanan, bukan sekadar ideologi.
Kelompok/Organisasi | Orientasi Politik | Alasan Utama | Tokoh Terkait |
Partai Tionghoa Indonesia (PTI) | Pro-Republik | Tionghoa kelahiran Indonesia adalah bagian dari bangsa Indonesia (Indonesierschap) | Liem Koen Hian, Yap Tjwan Bing |
Chung Hwa Hui (CHH) | Pro-Belanda/Konservatif | Mengadvokasi kesetaraan hukum dengan bangsa Eropa; khawatir akan ketidakstabilan revolusi | Oei Tjong Hauw |
Pao An Tui | Netral (klaim) / Dituduh Pro-Belanda | Dibentuk untuk pertahanan diri di tengah kekerasan “masa bersiap”; menerima dukungan dari Sekutu | Loa Sek Hie |
Kontribusi di Garis Depan: Pejuang Militer dan Gerilya
Sejumlah individu Tionghoa secara langsung mengangkat senjata dan berperan krusial dalam perjuangan fisik melawan kolonialisme.
Laksamana John Lie (Jahja Daniel Dharma)
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie, atau yang dikenal juga dengan nama Jahja Daniel Dharma, adalah salah satu tokoh militer keturunan Tionghoa yang paling dikenal. John Lie lahir di Manado dan memiliki cita-cita menjadi pelaut sejak kecil. Setelah bergabung dengan Angkatan Laut RI, ia ditugaskan untuk memimpin misi-misi menembus blokade Belanda. Kontribusinya sangat vital: ia menyelundupkan komoditas ekspor seperti karet dan kopi ke luar negeri untuk mengisi kas negara yang menipis. Sebagai imbalannya, ia membawa kembali senjata dan amunisi untuk para pejuang. Kelihaiannya dalam menjalankan misi berbahaya ini membuatnya dijuluki “Hantu Selat Malaka”.
Setelah kemerdekaan, loyalitasnya kepada Republik terus berlanjut. Ia aktif dalam penumpasan gerakan separatis seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan pemberontakan PRRI. Atas jasa-jasanya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebuah pengakuan yang terlambat namun penting.
Tjia Giok Thwam (Basuki Hidayat)
Tjia Giok Thwam adalah contoh lain dari seorang pemuda Tionghoa yang berjuang di medan tempur. Pada usia 18 tahun, ia bergabung dengan Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT) dan terlibat dalam pertempuran melawan Belanda hingga tahun 1950. Meskipun ia kemudian mundur dari dunia militer dengan pangkat Letnan Dua untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran, kontribusinya diakui pemerintah. Ia menerima Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua pada tahun 1958, sebuah tanda kehormatan atas jasanya sebagai pejuang.
Sho Bun Seng
Kontribusi Sho Bun Seng menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan kecerdasan. Dikenal sebagai pegiat seni, Sho Bun Seng berperan sebagai mata-mata dan intelijen. Ia menginfiltrasi organisasi pro-Belanda dan berhasil membujuk milisi Pao An Tui di Padang untuk berbalik arah dan mendukung gerilyawan Indonesia. Perannya yang unik sebagai intelijen militer Tionghoa-Indonesia menunjukkan dedikasi yang mendalam dan berani.
Kontribusi dari Meja dan Balik Layar: Peran Intelektual dan Sipil
Perjuangan untuk kemerdekaan juga melibatkan kontribusi di luar medan pertempuran, terutama di bidang politik, intelektual, dan logistik.
Arsitek Nasionalisme: Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing
Liem Koen Hian, sebagai pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), merupakan arsitek utama gagasan nasionalisme Tionghoa-Indonesia. Melalui visinya tentang Indonesierschap, ia secara efektif memisahkan identitas Tionghoa-Indonesia dari Tionghoa perantauan, menegaskan bahwa Indonesia adalah tanah air mereka.
Gagasan ini juga diwakili di tingkat tertinggi pemerintahan melalui peran Yap Tjwan Bing sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yap Tjwan Bing, seorang sarjana farmasi yang dekat dengan Soekarno dan Hatta, turut serta dalam perumusan dasar negara. Namun, perdebatan identitas ini tidak monolitik. Oei Tjong Hauw, anggota BPUPKI lainnya dari kalangan Tionghoa, berpandangan bahwa masyarakat Tionghoa harus tetap dinyatakan sebagai orang Tiongkok meskipun tinggal di Indonesia. Perbedaan pandangan di antara elit Tionghoa ini mencerminkan fragmentasi ideologi yang ada di seluruh komunitas.
Peran Sipil: Dari Petani hingga Tenaga Kesehatan
Perjuangan juga didukung oleh masyarakat biasa. Djiaw Kie Siong, seorang petani Tionghoa, memainkan peran krusial namun sering dilupakan. Rumahnya di Rengasdengklok dipilih sebagai tempat persembunyian Soekarno dan Hatta karena lokasinya yang terpencil dan tidak mencolok. Meskipun perannya tidak bersifat militer, kontribusinya sangat penting dalam momen historis yang krusial.
Kontribusi sipil lainnya datang dari berbagai bidang. Ong Tjong Bing, seorang pejuang di bidang kesehatan, ikut merawat korban di Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 dan mendirikan rumah sakit militer. Nama-nama seperti Akew, Oting, dan Muji Raharjo di Priangan juga mencerminkan kontribusi yang beragam. Mereka menyediakan logistik, melindungi pejuang, menjadi informan, dan bahkan merawat para korban di garis depan. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan didukung oleh partisipasi multiaspek dari seluruh lapisan masyarakat.
Tokoh | Bidang Kontribusi | Ringkasan Kontribusi Utama |
John Lie | Militer/TNI AL | Menembus blokade Belanda, menyelundupkan senjata dan komoditas, menumpas RMS dan PRRI. |
Liem Koen Hian | Politik/Jurnalistik | Pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), arsitek ideologi Indonesierschap. |
Yap Tjwan Bing | Politik | Anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dekat dengan Soekarno-Hatta. |
Tjia Giok Thwam | Militer | Berjuang di Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT), menerima tanda kehormatan dari pemerintah. |
Sho Bun Seng | Militer/Intelijen | Mata-mata, menginfiltrasi organisasi pro-Belanda, membujuk milisi Tionghoa untuk mendukung Republik. |
Djiaw Kie Siong | Sipil | Menyediakan rumahnya di Rengasdengklok sebagai tempat singgah Soekarno dan Hatta. |
Ong Tjong Bing | Kesehatan/Militer | Merawat korban pertempuran, mendirikan rumah sakit militer. |
Kesimpulan
Laporan ini menunjukkan bahwa narasi perjuangan kemerdekaan Tionghoa-Indonesia adalah sebuah mozaik yang sangat kompleks, bukan satu kisah tunggal. Berbagai bentuk kontribusi muncul, dari yang berani mengangkat senjata, memobilisasi ideologi melalui pers dan partai, hingga peran krusial di balik layar. Fragmentasi loyalitas yang terjadi di dalam komunitas bukanlah tanda pengkhianatan ideologis semata, melainkan refleksi dari dilema yang mendalam dan respons pragmatis terhadap ancaman keamanan yang nyata.
Meskipun kontribusi mereka begitu besar, pengakuan terhadap pejuang Tionghoa sering kali “tenggelam dalam romantisme sejarah”. Namun, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Laksamana John Lie pada tahun 2009 merupakan pengakuan penting yang memenuhi kriteria ketat pemerintah. Jasa-jasanya yang berlangsung hampir sepanjang hidup dan berdampak nasional—menembus blokade ekonomi, menumpas separatisme—adalah bukti tak terbantahkan dari loyalitasnya kepada bangsa dan negara.
Menyoroti kontribusi para pejuang Tionghoa-Indonesia ini memiliki implikasi yang lebih besar dari sekadar catatan sejarah. Kebijakan kolonial telah menciptakan “warisan kebencian” yang terus bertahan dalam stereotip dan diskriminasi hingga saat ini. Dengan mengintegrasikan kisah-kisah perjuangan mereka dalam narasi nasional, kita secara efektif membangun kontra-narasi yang kuat terhadap stereotip negatif yang masih ada. Mengungkap bahwa Tionghoa-Indonesia juga mengangkat senjata, mengorbankan nyawa, dan memperjuangkan kemerdekaan di tengah kekerasan etnis membuktikan bahwa loyalitas mereka kepada Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Ini bukan hanya masalah historiografi, tetapi juga sebuah tindakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk di masa kini