Secara historis, Pulau Kalimantan telah lama menjadi persimpangan penting bagi peradaban dan jalur perdagangan di Asia Tenggara. Letaknya yang strategis dengan sistem sungai yang luas menjadikan wilayah ini pusat interaksi antara penduduk pedalaman dan komunitas maritim. Analisis historis menunjukkan bahwa pembentukan entitas politik di Kalimantan mengalami evolusi bertahap, dari struktur pemerintahan lokal yang terfragmentasi menjadi sistem politik yang lebih terpusat dan hierarkis. Fenomena ini, yang digambarkan sebagai transisi dari masyarakat suku (tribal) ke negara terpusat (empire state), menjadi dasar bagi kemunculan kerajaan-kerajaan dan kemudian kesultanan yang berkuasa di berbagai wilayah di pulau ini.
Sebelum era kesultanan Melayu, lanskap politik Kalimantan sudah memiliki entitas signifikan, meskipun sebagian besar berorientasi pada kepercayaan pra-Islam. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, terdapat Kerajaan Kutai Martadipura, yang diakui sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Didirikan oleh Kudungga, yang diperkirakan sebagai kepala suku asli yang belum terpengaruh budaya India, kerajaan ini mencapai masa keemasan di bawah kepemimpinan Raja Mulawarman. Masa kejayaan tersebut meliputi stabilitas politik, kesejahteraan sosial, dan toleransi beragama yang memungkinkan kebebasan beribadah bagi para penganut Hindu. Keberadaan kerajaan pra-Islam ini menjadi konteks yang fundamental untuk memahami proses akulturasi dan perubahan politik yang mengawali era kesultanan. Transisi dari kerajaan-kerajaan ini ke entitas-entitas Islam yang lebih besar dan terstruktur merupakan sebuah narasi yang kompleks, melibatkan konflik, aliansi, dan adopsi agama sebagai fondasi legitimasi kekuasaan.
Sistem sungai di Kalimantan, seperti Sungai Martapura, Mahakam, dan Sambas, berfungsi sebagai arteri kehidupan yang vital. Kerajaan-kerajaan ini secara geografis dan ekonomis terikat pada sungai, yang menjadi pusat pemukiman, perdagangan, dan administrasi. Letak Banjarmasin, misalnya, di tepi Sungai Martapura, menjadikannya titik temu alami bagi pedagang dari pedalaman yang membawa hasil bumi dan pedagang dari luar yang membawa komoditas laut. Pemahaman terhadap peran krusial sungai ini adalah kunci untuk menganalisis perkembangan ekonomi dan politik kesultanan-kesultanan di Kalimantan.
Kesultanan-Kesultanan di Pesisir Barat Kalimantan
Kesultanan Sambas
Asal-usul Kesultanan Sambas terkait erat dengan dinamika kekuasaan di Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sarawak. Berdirinya Kesultanan Sambas dapat ditelusuri kembali ke perselisihan takhta yang terjadi di Brunei pada akhir abad ke-16. Setelah Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598, tahta diserahkan kepada Pangeran Abdul Jalilul Akbar. Namun, pengangkatan ini ditentang oleh Pengiran Muda Tengah, yang berpendapat bahwa ia, sebagai putra yang lahir setelah ayah mereka menjadi sultan, memiliki hak yang lebih kuat. Untuk meredam perselisihan ini, Sultan Brunei yang baru menunjuk Pengiran Muda Tengah sebagai Sultan di Sarawak, sebuah wilayah perbatasan yang jauh dari pusat administrasi Brunei. Sultan Tengah, ditemani oleh ribuan tentara dan bangsawan Brunei, membangun sebuah istana di Sungai Bedil, Santubong, pada tahun 1599 dan mendirikan sistem pemerintahan baru, yang menjadi cikal bakal Kesultanan Sarawak.
Perjalanan Sultan Tengah kemudian membawanya ke wilayah Sambas. Kedatangannya disambut baik oleh Ratu Sapundak, penguasa Hindu di Kota Lama, yang memberinya izin untuk melakukan kegiatan dakwah. Kehadiran Sultan Tengah tidak hanya membawa pengaruh agama, tetapi juga terjadi interaksi politik yang signifikan. Putranya, Radin Sulaiman, dinikahkan dengan Puteri Mas Ayu Bongsu, putri Ratu Sapundak. Hubungan ini menjadi fondasi bagi transisi kekuasaan dan agama. Setelah wafatnya Ratu Sapundak dan terjadi perubahan dinasti, Radin Sulaiman dinobatkan sebagai sultan Muslim pertama pada 9 Juli 1631, dengan gelar Sri Paduka al-Sultan Tuanku Muhammad Safiuddin I. Peristiwa ini menandai transformasi Kerajaan Sambas dari entitas Hindu menjadi Kesultanan Melayu-Islam.
Dinamika ini menggambarkan bagaimana ketidakstabilan di pusat kekuasaan, dalam hal ini perselisihan suksesi di Brunei, dapat menjadi pemicu ekspansi politik dan penyebaran agama di wilayah lain. Kekuasaan yang terpaksa berpindah ke wilayah “pinggiran” tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan menjadi katalisator bagi pembentukan entitas politik baru di Sambas, yang mengadopsi agama dan legitimasi dari penguasa yang datang. Proses ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di Kalimantan tidak terbentuk secara terisolasi, melainkan merupakan bagian dari jaringan politik dan kekerabatan yang kompleks di seluruh wilayah Borneo.
Kesultanan Pontianak
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang berakar dari dinasti pra-Islam atau pergeseran kekuasaan, Kesultanan Pontianak memiliki karakteristik unik sebagai salah satu kesultanan termuda di Nusantara. Didirikan pada tahun 1771 oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, kesultanan ini mencerminkan model pembentukan negara yang lebih modern, yang berlandaskan pada perdagangan dan posisi strategis. Pendirinya, Syarif Abdurrahman, memiliki latar belakang yang beragam, dengan garis keturunan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak. Hal ini memberikan nuansa kosmopolitan pada kesultanan yang mencolok, yang berbeda dari kerajaan-kerajaan yang memiliki asal-usul genealogi lebih murni.
Lokasi Kesultanan Pontianak di persimpangan tiga sungai—Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan Sungai Batanghari—menjadi faktor utama yang mendorong perkembangannya sebagai pusat perdagangan. Masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, termasuk Dayak, Melayu, Bugis, Arab, dan Cina. Keberagaman ini adalah hasil langsung dari orientasi ekonomi kesultanan yang berfokus pada perdagangan komoditas seperti garam, berlian, dan hasil hutan. Kekuasaan politik di sini tidak hanya berasal dari legitimasi dinasti, tetapi juga dari kemampuan untuk mengelola dan memfasilitasi interaksi ekonomi antar etnis.
Karakteristik Kesultanan Pontianak menunjukkan bahwa proses pembentukan kerajaan di Kalimantan tidak tunggal. Sifatnya yang relatif “terlambat” dan latar belakang pendirinya yang multietnis mencerminkan sebuah entitas yang dibangun di atas pragmatisme ekonomi dan akulturasi budaya. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan kerajaan Melayu tidak selalu melalui jalur genealogi murni atau penaklukan, tetapi juga melalui adaptasi dan sinkretisme budaya. Latar belakang pendiri yang beragam juga berkorelasi dengan perekonomiannya yang sangat bergantung pada perdagangan, di mana interaksi antar etnis adalah keniscayaan.
Kerajaan-Kerajaan Lain di Kalimantan Barat
Di samping Sambas dan Pontianak, terdapat beberapa kerajaan Melayu lain di Kalimantan Barat yang turut mewarnai sejarah. Salah satunya adalah Kerajaan Landak, yang disebutkan dalam manuskrip kuno seperti Negara Kertagama. Kerajaan ini berawal dari bangsawan Singasari yang kemudian membentuk pemerintahan di Nigrat Batur. Kerajaan Landak mengalami transisi penting dari Hindu ke Islam di bawah Raja Raden Ismahayana yang kemudian dikenal dengan gelar Raden Abdul Kahar. Peninggalan fisik dari kerajaan ini, seperti Keraton Ismahayana, masih berdiri hingga kini.
Kerajaan Mempawah juga memiliki sejarah yang menarik, yang terbagi menjadi dua fase utama: masa Kerajaan Dayak dan masa Kesultanan Islam, yang dimulai setelah kedatangan Opu Daeng Manambun. Peninggalan dari masa Kesultanan Mempawah, yaitu Istana Amantubillah, menjadi bukti kejayaan masa lalu yang kini berfungsi sebagai museum. Nama istana itu sendiri, yang berarti “Aku Beriman kepada Allah,” mencerminkan transformasi keagamaan yang terjadi di kerajaan tersebut.
Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan Timur dan Selatan
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
Kisah Kesultanan Kutai adalah narasi tentang kesinambungan dan perubahan. Nama “Kutai” mencerminkan kelanjutan dari Kerajaan Kutai Martadipura, kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Namun, keberadaan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura adalah hasil dari proses politik yang lebih agresif. Pada abad ke-14, terjadi pertempuran antara Kerajaan Kutai Martadipura dan Kerajaan Kutai Kartanegara. Pertempuran ini dimenangkan oleh Kutai Kartanegara, yang kemudian menyatukan kedua wilayah dan mengubah nama kerajaannya menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Peristiwa ini menandai titik balik yang signifikan. Meskipun nama “Kutai” dipertahankan, identitas politik dan keagamaan kerajaan berubah secara fundamental. Keruntuhan kerajaan Hindu tidak terjadi karena dakwah damai, melainkan melalui penaklukan militer, yang menunjukkan bahwa pembentukan kesultanan Islam di Kalimantan juga dapat melalui jalur konflik dan transfer kekuasaan yang tegas. Keputusan untuk mempertahankan nama Kutai ing Martadipura dapat dipandang sebagai strategi politik untuk mengikat rezim baru dengan sejarah purba wilayah tersebut, memberikan legitimasi dan kesinambungan di mata rakyat dan bangsawan.
Sepanjang sejarahnya, pusat pemerintahan Kesultanan Kutai beberapa kali berpindah. Pada tahun 1782, di bawah pemerintahan Sultan Aji Imbut, ibu kota dipindahkan dari Tepian Batu ke Tepian Pandan, yang kemudian dikenal sebagai Tenggarong. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh masa lalu yang pahit dan menciptakan pusat kekuasaan baru. Kesultanan ini mencapai kemakmuran yang signifikan pada masa Sultan Aji Muhammad Sulaiman, terutama setelah Belanda memulai eksploitasi minyak dan batubara di wilayah tersebut. Pembangunan keraton baru yang kokoh pada tahun 1936 oleh Sultan Aji Muhammad Parikesit menjadi simbol kemakmuran dan modernisasi kesultanan.
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar adalah salah satu kerajaan Melayu yang paling berpengaruh di Kalimantan Selatan, dengan asal-usul yang berakar pada Kerajaan Daha yang bercorak Hindu. Titik balik historisnya terjadi pada abad ke-16, ketika Pangeran Samudera, pewaris sah takhta Daha, terpaksa melarikan diri akibat konflik internal. Ia kemudian mencari dukungan dari Kesultanan Demak di Jawa, sebuah kekuatan Islam yang dominan di Nusantara saat itu. Bantuan dari Demak datang dengan syarat: Pangeran Samudera harus memeluk Islam jika berhasil merebut kembali kekuasaannya. Setelah meraih kemenangan, Pangeran Samudera memenuhi janjinya, memeluk Islam, dan dinobatkan sebagai Sultan Banjar pertama dengan gelar Sultan Suriansyah pada tanggal 24 September 1526.
Peristiwa ini adalah contoh klasik di Nusantara tentang bagaimana agama dapat digunakan sebagai alat politik untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan militer. Pilihan Pangeran Samudera untuk beraliansi dengan Demak menunjukkan perhitungan pragmatis, di mana adopsi agama baru adalah harga untuk mendapatkan kembali kekuasaan politik. Hal ini menjadikan Islam bukan sekadar kepercayaan pribadi, melainkan fondasi bagi sebuah negara-bangsa yang baru, menggeser identitas politik dari Hindu-animisme ke Islam.
Secara ekonomi, Kesultanan Banjar sangat makmur berkat lokasinya yang strategis di tepi Sungai Martapura. Kerajaan ini berkembang menjadi pusat perdagangan penting untuk komoditas-komoditas berharga seperti lada, emas, dan intan. Masjid Sultan Suriansyah, yang didirikan pada masa Sultan Suriansyah, menjadi simbol arsitektur dan pusat penyebaran Islam yang masih bertahan hingga kini.
Analisis Tematik Lintas Kesultanan
Peran Vital Sungai dan Ekonomi Perdagangan
Seperti telah disinggung, sungai adalah urat nadi kehidupan bagi kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan. Mereka berfungsi sebagai jalur utama transportasi, pusat aktivitas ekonomi, dan lokasi strategis bagi pemukiman. Di Banjarmasin, misalnya, sungai menjadi tempat pertemuan para pedagang yang datang dari pedalaman maupun luar negeri. Perdagangan yang berkembang di kota-kota pelabuhan seperti Banjarmasin, Sambas, dan Pontianak menjadi pilar utama ekonomi kesultanan.
Komoditas ekspor utama yang menjadi sumber kemakmuran adalah lada. Pada abad ke-17, Kesultanan Banjar bahkan menjadi salah satu penghasil lada terbesar di Indonesia bagian tengah. Komoditas lain seperti emas, intan, besi, dan hasil hutan juga diekspor ke berbagai wilayah di Nusantara dan dunia. Namun, ketergantungan pada ekonomi perdagangan juga menciptakan kerentanan. Tulisan historis menunjukkan bahwa fokus Kesultanan Banjar pada perkebunan lada menyebabkan penurunan produksi padi, yang membuat kerajaan kekurangan beras dan bergantung pada impor dari wilayah lain seperti Kotawaringin dan Jawa. Fenomena ini menunjukkan adanya ketegangan antara ekonomi berbasis perdagangan di pesisir dan pertanian di pedalaman. Meskipun perdagangan membawa kemakmuran, ia juga menciptakan ketidakseimbangan internal yang signifikan dan kerentanan dalam ketahanan pangan, sebuah pola yang relevan dengan banyak ekonomi yang berfokus pada ekspor sumber daya alam.
Hubungan Dinamis antara Komunitas Melayu dan Dayak
Penyebaran Islam di Kalimantan menciptakan demarkasi kultural dan geografis yang signifikan. Sumber sejarah mencatat bahwa suku Dayak banyak yang memilih untuk bermigrasi ke pedalaman untuk menghindari pengaruh agama dan kerajaan-kerajaan asing, terutama Islam. Proses ini menciptakan pembagian yang jelas antara komunitas Melayu (yang umumnya berdiam di wilayah pesisir dan sepanjang sungai, menganut Islam, dan berorientasi pada perdagangan) dan komunitas Dayak (yang tinggal di pedalaman, mempertahankan kepercayaan adat, dan berorientasi pada pertanian dan hasil hutan).
Meskipun terjadi pemisahan ini, interaksi dan hubungan antara kedua kelompok tetap kompleks dan berlapis. Terdapat mitologi yang mengaitkan asal-usul suku Dayak Bukit dan suku Banjar sebagai keturunan kakak beradik, menunjukkan adanya ikatan historis dan spiritual yang mendalam. Di luar mitologi, hubungan politik juga terjalin, sering kali melalui pernikahan. Contohnya, Kesultanan Kutai Kartanegara berusaha untuk menjalin hubungan dengan suku-suku Dayak di pedalaman, seperti Dayak Tunjung, Bahau, dan Modang, melalui pernikahan politik antara sultan dan putri-putri kepala suku. Tindakan ini dipandang sebagai strategi untuk “memperbaiki hubungan” dan mengonsolidasikan kekuasaan atas wilayah yang luas dan beragam. Hubungan ini tidak dapat disederhanakan sebagai konflik atau harmoni. Penyebaran Islam sebagai faktor pemisah utama tidak menghentikan interaksi ekonomi dan politik. Sebaliknya, hal itu mendorong pembentukan aliansi strategis (melalui pernikahan politik) untuk menjembatani jurang budaya dan mengelola wilayah yang luas. Ini adalah contoh adaptasi politik yang pragmatis di tengah keragaman demografi.
Penyebaran dan Institusionalisasi Islam
Kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan memainkan peran sentral dalam penyebaran dan institusionalisasi agama Islam. Kekuasaan politik yang dimiliki sultan menjadi “media komunikasi penyiaran dakwah yang paling efektif” di masa lalu, yang memungkinkan ajaran Islam diterima oleh masyarakat luas. Proses Islamisasi di Kalimantan melampaui sekadar konversi individual. Negara Banjar, misalnya, secara aktif melakukan upaya Islamisasi di wilayah-wilayah yang belum memeluk Islam dengan bantuan ulama lokal.
Peran ulama sangat penting dalam proses ini. Sosok seperti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pada abad ke-18 di Kesultanan Banjar tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga menginstitusionalisasikannya. Ia mendirikan pusat-pusat pendidikan agama dan menulis kitab-kitab yang menjadi pedoman dan tersebar luas di seluruh Nusantara dan bahkan Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Kalimantan diinstitusionalisasi oleh negara melalui dukungan pendidikan dan pembentukan lembaga keagamaan seperti Mahkamah Syari’ah. Proses ini menghasilkan peradaban Islam yang unik dan berkembang pesat di segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Hubungan dengan Kekuatan Kolonial dan Keruntuhan Kesultanan
Hubungan antara kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan dengan kekuatan kolonial, khususnya Belanda, adalah narasi tentang erosi kedaulatan yang bertahap. Sejak awal abad ke-17, berbagai kesultanan telah menandatangani kontrak dan perjanjian dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian-perjanjian ini, yang sering kali memberikan hak monopoli perdagangan kepada pihak kolonial, secara perlahan mengikis otonomi ekonomi dan politik kerajaan.
Salah satu contoh paling krusial adalah Perjanjian yang ditandatangani pada 4 Mei 1826 antara Sultan Adam dari Kesultanan Banjar dan perwakilan Hindia Belanda di Banjarmasin. Perjanjian ini merupakan titik balik penting yang secara efektif mengubah status Kesultanan Banjar menjadi “negeri pinjaman” (leenstaat) yang berada di bawah suzerenitas (pertuanan) Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan perjanjian ini, kedaulatan Banjar dalam urusan luar negeri hilang sepenuhnya, dan kekuasaan internal sultan dibatasi dengan adanya Residen Belanda yang bertindak sebagai agen politik.
Tabel berikut merangkum beberapa perjanjian penting yang menunjukkan bagaimana kedaulatan kesultanan secara sistematis terkikis dari waktu ke waktu.
Tabel 1: Garis Waktu Perjanjian Kolonial dan Dampaknya
Tahun | Pihak Terlibat | Pokok Isi Perjanjian | Dampak Langsung |
1635 | Kesultanan Banjar & Belanda (VOC) | Monopoli perdagangan lada oleh Belanda | Mengikis otonomi ekonomi, awal dominasi komersial. |
1779 | Kesultanan Pontianak & VOC | Peminjaman tanah, pengakuan kedaulatan sultan, jaminan suksesi | Awal intervensi politik dan hukum. |
1826 | Kesultanan Banjar (Sultan Adam) & Hindia Belanda | Pengakuan suzerinitas Belanda; Banjar menjadi leenstaat; kekuasaan sultan dibatasi | Kedaulatan eksternal hilang; kekuasaan internal dibatasi; Residen menjadi agen politik Belanda. |
1855 | Kesultanan Kutai & Hindia Belanda | Kutai menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda | Menempatkan Kutai secara resmi di bawah otoritas kolonial. |
Proses ini, yang berawal dari kepentingan ekonomi, berujung pada dominasi politik. Kekayaan sumber daya alam di Kalimantan menarik perhatian kolonial, dan perjanjian-perjanjian menjadi alat hukum untuk melegitimasi eksploitasi dan kontrol. Puncak dari proses ini terjadi pada 11 Juni 1860, ketika Pemerintah Hindia Belanda secara sepihak mengumumkan penghapusan semua kerajaan di Pulau Kalimantan. Dekrit ini secara definitif mengakhiri peran politik dan administratif kesultanan-kesultanan yang telah berkuasa selama berabad-abad. Keruntuhan ini bukan disebabkan oleh satu perang besar, melainkan oleh sebuah proses sistematis dan legal yang mengikis kekuasaan secara bertahap.
Warisan Abadi dan Identitas Modern
Meskipun kekuasaan politiknya telah berakhir, warisan kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan tetap hidup dan relevan hingga kini. Peninggalan fisik dan budaya mereka menjadi bukti sejarah yang tak terbantahkan. Beberapa istana dan keraton masih berdiri dan berfungsi sebagai museum atau situs bersejarah, seperti Istana Amantubillah di Mempawah, Keraton Ismahayana di Landak, dan Keraton Alwatzikhoebillah di Sambas. Di Kotawaringin, Kalimantan Tengah, terdapat Istana Kuning, yang merupakan warisan Kerajaan Kutaringin. Selain itu, makam-makam sultan dan ulama, seperti makam Sultan Suriansyah dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Kesultanan Banjar, menjadi situs ziarah yang penting.
Pada era modern, beberapa kesultanan, seperti Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Banjar, telah dihidupkan kembali, namun dengan fungsi yang berbeda. Kebangkitan ini tidak mengembalikan kekuasaan politik, tetapi lebih sebagai lembaga adat dan budaya. Peran mereka kini adalah sebagai penjaga tradisi, bahasa, seni, dan identitas lokal. Proses ini dikenal dalam bahasa Banjar sebagai “maangkat batang tarandam,” yang secara harfiah berarti “mengangkat batang yang terendam,” melambangkan upaya sungguh-sungguh untuk membangkitkan dan melestarikan warisan yang hampir hilang.
Transformasi ini adalah contoh ketahanan budaya yang luar biasa. Meskipun struktur politiknya dihancurkan oleh kolonialisme, identitas dan nilai-nilai yang dibentuk oleh kesultanan-kesultanan ini terus hidup. Mereka telah berevolusi dari pusat pemerintahan militer dan politik menjadi penjaga dan promotor warisan budaya. Warisan ini tidak hanya berwujud fisik, tetapi juga tercermin dalam adat istiadat, sastra lisan, dan nilai-nilai sosial yang masih dianut oleh masyarakat Kalimantan.
Kesimpulan
Tulisan ini menyajikan ulasan mendalam tentang sejarah dan dinamika kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan, menunjukkan bahwa mereka adalah entitas politik yang kompleks dan beragam, bukan sekadar homogenitas budaya. Mereka lahir dari berbagai kondisi, mulai dari perselisihan takhta yang memicu ekspansi (Sambas), aliansi politik yang strategis (Banjar), hingga pembangunan sebuah pusat perdagangan modern (Pontianak).
Secara tematik, kerajaan-kerajaan ini memiliki kesamaan, di mana sungai-sungai berfungsi sebagai arteri ekonomi yang vital, meskipun ketergantungan pada perdagangan komoditas tunggal menciptakan kerentanan internal. Peran Islam sebagai fondasi legitimasi politik sangat menonjol, terutama di Banjar, di mana agama menjadi instrumen untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Hubungan dengan komunitas Dayak di pedalaman mencerminkan interaksi yang kompleks, ditandai oleh pemisahan geografis-kultural yang dipicu oleh Islamisasi, namun diimbangi oleh aliansi politik dan ikatan kekerabatan yang strategis.
Pada akhirnya, keruntuhan politik mereka bukanlah akibat dari satu kekalahan telak, melainkan proses yang panjang dan sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kolonial melalui instrumen hukum, seperti perjanjian dan kontrak, yang secara perlahan mengikis kedaulatan mereka. Meskipun kekuasaan politik telah lama tiada, warisan mereka tetap hidup. Saat ini, beberapa kesultanan telah bangkit kembali dengan peran yang baru: sebagai pusat pelestarian budaya, identitas, dan tradisi. Dengan demikian, sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan adalah narasi tentang adaptasi, ketahanan, dan transformasi, yang terus membentuk identitas masyarakat Kalimantan hingga saat ini.
Daftar Pustaka :
- Struktur Politik, Ekonomi dan Sosial dalam Kerajaan Melayu Tradisional Author(s) – i-WIN Library, accessed September 21, 2025, https://waqafilmunusantara.com/wp-content/uploads/2021/08/95_ART1.pdf
- Sejarah Kerajaan Kutai: Awal Mula dan Raja Pertamanya – Tempo.co, accessed September 21, 2025, https://www.tempo.co/politik/sejarah-kerajaan-kutai-awal-mula-dan-raja-pertamanya-1177052
- 3 Tokoh Penting dalam Sejarah Kerajaan Kutai – Kompas.com, accessed September 21, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/23/120000979/3-tokoh-penting-dalam-sejarah-kerajaan-kutai
- Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Kalimantan Timur – detikcom, accessed September 21, 2025, https://www.detik.com/sulsel/budaya/d-7496292/sejarah-kerajaan-kutai-kartanegara-ing-martadipura-di-kalimantan-timur
- Analisis Koran Bintang Borneo: Kehidupan Sosial Ekonomi …, accessed September 21, 2025, https://jurnal.fkip.unmul.ac.id/index.php/amt/article/download/2742/1596
- Masyarakat Dayak di Kesultanan Kutai pada … – UI Scholars Hub, accessed September 21, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1304&context=paradigma
- SEJARAH – Kecamatan Ngabang – Pemerintah Kabupaten Landak, accessed September 21, 2025, https://kecamatanngabang.landakkab.go.id/sejarah/
- Mengenal 5 Istana Kerajaan yang Ada di Kalimantan – Good News From Indonesia, accessed September 21, 2025, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/11/02/mengenal-5-istana-kerajaan-yang-ada-di-kalimantan
- Arsip Kabupaten Mempawah – Sejarah – ARSIP DIGITAL KALBAR, accessed September 21, 2025, https://arsipkalbar.id/sejarah/cat/kabupaten-mempawah
- Sisa Kejayaan Kerajaan Mempawah Pada Istana Amantubillah – Djkn.kemenkeu.go.id, accessed September 21, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pontianak/baca-artikel/14022/Sisa-Kejayaan-Kerajaan-Mempawah-Pada-Istana-Amantubillah.html
- Sejarah Kerajaan Banjar: Asal Usul dan Peninggalannya – STIKES HUSADA BORNEO BANJARBARU, accessed September 21, 2025, https://stikeshb.ac.id/sejarah-kerajaan-banjar-asal-usul-dan-peninggalannya/
- Kesultanan Banjar: Peranan dalam persebaran Islam di Kalimantan (abad XVI M – XIX M), accessed September 21, 2025, https://journal3.um.ac.id/index.php/fis/article/view/58
- Sejarah Kota Banjarmasin, accessed September 21, 2025, https://www.banjarmasinkota.go.id/p/sejarah-kota-banjarmasin.html
- AKTIVITAS PERDAGANGAN DI KESULTANAN BANJAR TAHUN 1800-1860 – E-Journal Unesa, accessed September 21, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/19494/17812
- Pangeran Samudera, Sultan Pertama di Kesultanan Banjar, Begini Sejarahnya… – Radar Banjarmasin, accessed September 21, 2025, https://radarbanjarmasin.jawapos.com/tahulah-pian/1975667112/pangeran-samudera-sultan-pertama-di-kesultanan-banjar-begini-sejarahnya
- Kerajaan Banjar Pernah Menjadi Penghasil Lada Terbesar Indonesia Bagian Tengah Pada tahun 1600an | Berita Banjarmasin, accessed September 21, 2025, https://www.beritabanjarmasin.com/2022/04/kerajaan-banjar-pernah-menjadi.html
- Hubungan Suku Dayak dan Suku Banjar, Bermula Keturunan Kakak Beradik yang Cerdas dan Jago Berkelahi – koranbanjar.NET, accessed September 21, 2025, https://koranbanjar.net/hubungan-suku-dayak-dan-suku-banjar-bermula-keturunan-kakak-beradik-yang-cerdas-dan-jago-berkelahi/
- Untitled – Rumah Jurnal UIN Walisongo, accessed September 21, 2025, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/icj/article/view/7527/6276
- ISLAM DI TANAH BANJAR, accessed September 21, 2025, https://journal.iaisambas.ac.id/index.php/Cross-Border/article/download/1162/917/
- Bagaimana Peran Kerajaan Banjar Dalam Mendukung Penulisan Naskah Di Kalimatan Selatan? – Bangun Piaman.Com, accessed September 21, 2025, https://www.bangunpiaman.com/2023/04/bagaimana-peran-kerajaan-banjar-dalam.html
- Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin – Jurnal Lektur Keagamaan, accessed September 21, 2025, https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/181/212
- DAFTAR ARSIP KONTRAK, accessed September 21, 2025, https://anri.go.id/download/k-74.-kontrak-pemerintah-kolonial-voc-hindia-belanda-dengan-rajaraja-pribumi-di-kalimantan-bali-surakarta-dan-sumatera.-1710903596
- PENGARUH KOLONIAL DI NUSANTARA – ejournal brin, accessed September 21, 2025, https://ejournal.brin.go.id/kalpataru/article/download/2617/1645
- Perjanjian Bersejarah 26 Ramadhan Antara Kesultanan Banjar …, accessed September 21, 2025, https://www.beritabanjarmasin.com/2022/04/perjanjian-bersejarah-26-ramadhan.html
- Catatan Sejarah 11 Juni: Sepihak, Belanda Hapuskan Seluruh Kerajaan di Kalimantan, accessed September 21, 2025, https://bertuahpos.com/berita/catatan-sejarah-11-juni-sepihak-belanda-hapuskan-seluruh-kerajaan-di-kalimantan.html
- Sejarah Hari Ini: 11 Juni 1860, Belanda Hapus Semua Kerajaan di Kalimantan – Espos.id, accessed September 21, 2025, https://dunia.espos.id/sejarah-hari-ini-11-juni-1860-belanda-hapus-semua-kerajaan-di-kalimantan-997213
- Istana Kuning, Jejak Kerajaan Islam di Kalimantan Tengah – Indonesia.go.id, accessed September 21, 2025, https://indonesia.go.id/kategori/pariwisata/7905/istana-kuning-jejak-kerajaan-islam-di-kalimantan-tengah?lang=1
- ISTANA KUNING, WARISAN BUDAYA KERAJAAN ISLAM KALIMANTAN TENGAH – Jakarta Islamic Centre, accessed September 21, 2025, https://islamic-center.or.id/istana-kuning-warisan-budaya-kerajaan-islam-kalimantan-tengah/
- cagar budaya kabupaten banjar – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, accessed September 21, 2025, https://simdapokbud.banjarkab.go.id/cagar-budaya
- or.id – Website Resmi Kesultanan Banjar, accessed September 21, 2025, https://kesultananbanjar.or.id/