Latar Belakang dan Definisi Organisasi Profesi (OP)

Organisasi Profesi (OP) memainkan peran vital dalam menjaga kualitas, integritas, dan keberlanjutan praktik di berbagai sektor strategis di Indonesia. Secara fungsional, OP adalah perserikatan yang didirikan oleh dua orang atau lebih praktisi yang memiliki profesi sejenis dengan tujuan untuk mencapai sasaran bersama. Tujuan utama pendirian OP berfokus pada perlindungan anggota, peningkatan martabat, dan pengembangan karier serta kemampuan mereka sesuai dengan bidang masing-masing.

Dalam konteks tata kelola, organisasi profesi memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dari organisasi sosial lainnya. Ciri-ciri tersebut mencakup idealisme bahwa hanya ada satu organisasi untuk setiap profesi (unitaristik), ikatan utama para anggota didasarkan pada kebanggaan dan kehormatan terhadap profesi, serta tujuan utama untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi. Selain itu, kedudukan dan hubungan antar anggota idealnya bersifat persaudaraan, dan memiliki sifat kepemimpinan kolektif dengan mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan. Profesi di sektor pendidikan, misalnya, secara spesifik bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi anggotanya dan mengatur profesi secara mandiri.

Landasan Konstitusional dan Statutory OP di Indonesia

Tidak adanya Undang-Undang (UU) payung tunggal yang mengatur semua organisasi profesi di Indonesia menghasilkan kerangka hukum yang tersebar dan bersifat sektoral. Pengakuan dan pembinaan OP sangat bergantung pada regulasi di kementerian atau lembaga teknis yang terkait.

Regulasi krusial yang mengatur profesi strategis adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. UU ini tidak sekadar mengatur praktik akuntansi, melainkan meletakkannya dalam konteks yang lebih luas. Berdasarkan UU tersebut, pembangunan nasional yang berkesinambungan memerlukan perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta memenuhi prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 ini menempatkan profesi akuntan sebagai pilar strategis yang kualifikasinya harus diatur secara ketat oleh negara melalui OP yang menjadi mitranya.

Landasan hukum ini kemudian diperjelas melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), seperti Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2015, PMK Nomor 155/PMK.01/2017, dan PMK Nomor 186 Tahun 2021 yang spesifik mengatur Profesi Akuntan Publik. Selain sektor keuangan, beberapa kementerian juga memiliki peraturan spesifik tentang pembinaan OP di lingkup tugasnya, contohnya Peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 7 Tahun 2018.

Implikasi Fragmentasi Hukum OP: Ketergantungan regulasi OP pada undang-undang dan peraturan menteri sektoral menciptakan tantangan tata kelola yang signifikan. Karena tidak adanya filosofi tata kelola profesi yang tunggal di tingkat nasional, muncul kesulitan dalam menyinkronkan standar etika dan kompetensi lintas profesi. Hal ini juga menciptakan disparitas dalam pengawasan negara. Sebagai contoh, UU 5/2011 hanya ditujukan untuk Akuntan Publik , sementara profesi lain, seperti olahragawan profesional, harus berjuang secara ad-hoc untuk mendapatkan pengakuan sebagai pekerja formal di bawah UU Ketenagakerjaan umum.

Syarat Pembentukan dan Status Badan Hukum OP

Untuk diakui secara formal, organisasi profesi harus memenuhi serangkaian persyaratan struktural dan administratif. Menurut regulasi internal terkait pembinaan Jabatan Fungsional (JF), syarat pembentukan OP meliputi kepemilikan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART), tujuan dan sasaran pembentukan yang jelas, visi dan misi yang tergambar dalam program kerja, serta sumber pendanaan yang transparan. Selain itu, OP wajib memiliki alamat domisili yang jelas, struktur organisasi dengan pembagian kerja, tugas, dan wewenang yang terperinci, dan yang paling penting, harus berbadan hukum.

Kewajiban administratif juga mencakup penetapan tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi dalam AD/ART. OP juga wajib menyusun daftar anggota dan menyerahkan salinan daftar tersebut kepada Menteri atau Majelis Penilai yang terkait.

Persyaratan pembentukan OP yang bersifat birokratis ini menunjukkan adanya dua jalur pengakuan yang berbeda di Indonesia. Jika OP dibentuk untuk mengakomodasi Jabatan Fungsional, fokus utamanya adalah akuntabilitas internal di dalam struktur birokrasi pemerintah. Sebaliknya, bagi OP di sektor swasta yang strategis (seperti Akuntan dan Advokat), fokusnya adalah akuntabilitas publik dan akuntabilitas ekonomi nasional yang sehat, transparan, dan efisien.

Pilar Kompetensi: Standardisasi, Sertifikasi, dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Organisasi profesi memiliki tanggung jawab utama untuk membina, mengembangkan, dan mengawasi mutu praktik profesional agar anggotanya senantiasa kompeten dan aman dalam menjalankan tugas. Fungsi ini diwujudkan melalui mekanisme standardisasi dan sertifikasi.

Peran Sentral OP dalam Standardisasi dan Sertifikasi

Di sektor keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memegang peran sentral dalam standardisasi dengan meluncurkan gelar Chartered Accountant (CA) Indonesia sebagai identitas akuntan profesional. Pengaturan ini bertujuan menempatkan profesi akuntansi sebagai yang terbaik di kawasan ASEAN, sejalan dengan posisi Indonesia sebagai pemimpin ekonomi Asia Tenggara. Pengakuan ini semakin kuat sejak IAI diterima sebagai anggota

Chartered Accountants Worldwide (CAW), menegaskan keselarasan kualifikasi CA Indonesia dengan standar global.

Sertifikasi CA distrukturkan melalui Ujian Sertifikasi Akuntan Profesional yang terdiri dari tiga tingkat: Tingkat Dasar (CAFB), Tingkat Profesional, dan Tingkat Lanjutan. Akuntan yang lulus berhak menyandang gelar CA, menerima sertifikat ASEAN Chartered Professional Accountant (ACPA), dan mendaftar ke Register Negara Akuntan (RNA) di Kementerian Keuangan. Untuk memfasilitasi integrasi pengalaman dan kualifikasi akademik, IAI juga menyediakan jalur pengakuan kesetaraan kompetensi bagi akademisi (Dosen S3 Akuntansi) dan eksekutif yang memiliki jabatan setara Direktur.

Kewajiban dan Mekanisme Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB/CPD)

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) merupakan mandat hukum. Contohnya, Guru diwajibkan oleh UU 14/2005 Pasal 20 untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan (PKB/CPD) sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Organisasi profesi berperan dalam memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, dan wawasan kependidikan anggotanya.

Mekanisme PKB diatur secara rinci dan seringkali di bawah pengawasan kementerian teknis. Misalnya, di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPU PR), terdapat pedoman PKB yang mengatur unsur penyelenggara, dokumen pendukung, dan penanggung jawab PKB untuk tenaga ahli. Hal ini menunjukkan bahwa regulator negara tetap menjadi penanggung jawab akhir dari kualitas kompetensi, meskipun pelaksanaannya didelegasikan kepada OP. Kebutuhan IAI untuk menjalankan Ujian CA yang sejalan dengan standar internasional (IES IFAC) dan diakui CAW menekankan tekanan globalisasi pada standar profesional di Indonesia.

Pilar Etika: Kode Etik sebagai Kontrol Sosial dan Pondasi Integritas

Kode etik berfungsi sebagai pondasi martabat profesi, menetapkan prinsip-prinsip moral dan standar minimal perilaku yang menjaga integritas anggota. Tiga fungsi utama Kode Etik Profesional adalah: (1) memberikan pedoman prinsip profesionalitas, (2) berfungsi sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat, dan (3) mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi mengenai hubungan etika internal. Kode etik, jika ditegakkan dengan tegas, membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesionalitas anggota.

Sebagai contoh, Kode Etik Penilai mengatur tanggung jawab profesional yang komprehensif, mulai dari tanggung jawab terhadap integritas pribadi, tanggung jawab terhadap pemberi tugas (memastikan objektivitas penilaian), tanggung jawab terhadap sesama Penilai, hingga tanggung jawab terhadap masyarakat luas.

Mekanisme Penegakan Disiplin (Studi Kasus PERADI)

Lembaga profesional memegang tanggung jawab kritis dalam menetapkan, mensosialisasikan, dan menegakkan kode etik, termasuk menangani pelanggaran dan memberikan sanksi. Di sektor hukum, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) memiliki struktur khusus untuk penegakan etika, yaitu

Dewan Kehormatan Pusat (DKP) dan Dewan Kehormatan Daerah (DKD).

Mekanisme penegakan disiplin diatur secara rinci melalui serangkaian keputusan Dewan Kehormatan, yang mencakup Tata Cara Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia (Keputusan No. 2 Tahun 2007 dan No. 5 Tahun 2008), Petunjuk Pelaksanaan Pengaduan, Susunan dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan, hingga penetapan biaya perkara dan petunjuk teknis pelaksanaan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Struktur yang rinci ini menunjukkan upaya OP untuk mempertahankan otonomi kontrol sosial dan etika, berfungsi sebagai  buffer yang mencegah intervensi regulasi publik berlebihan dalam urusan internal profesi. Namun, keberhasilan ini bergantung pada penegakan yang kuat.

Pilar Advokasi: Perlindungan Anggota dan Peningkatan Kesejahteraan

Selain mengatur kualitas praktik, OP berfungsi untuk melindungi anggota dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), misalnya, secara tegas mengadvokasi agar Negara mengakui olahragawan profesional sebagai profesi yang dilindungi dan dianggap sama sebagai pekerja di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU 13/2003).

Tuntutan advokasi ini mencakup perlindungan setara, termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan tidak hanya untuk pelaku, tetapi juga untuk keluarga (istri dan anak). APPI juga mengusulkan dibentuknya pengadilan khusus olahraga untuk memberikan kepastian hukum dalam perselisihan yang timbul dalam lingkup profesi olahraga. Kontras antara profesi yang sangat tersentralisasi pada sertifikasi global (seperti Akuntan ) dan profesi yang masih berjuang untuk pengakuan dasar ketenagakerjaan menunjukkan ketidakmerataan status “profesi” dan perlindungan hukum di Indonesia.

Kinerja dan tata kelola organisasi profesi di Indonesia bervariasi secara signifikan antar sektor, menimbulkan implikasi hukum dan ekonomi yang berbeda.

Sektor Advokat (PERADI): Dilema Unitarisme dan Imunitas

Struktur dan Konflik Unitaristik

Organisasi profesi Advokat diatur oleh prinsip unitaristik. Namun, implementasi unitarisme dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 terbukti rentan terhadap instabilitas. Peristiwa Musyawarah Nasional (Munas) PERADI di Makasar menunjukkan adanya perpecahan internal yang signifikan, menghasilkan tiga kepemimpinan berbeda.

Perpecahan kepemimpinan di tingkat puncak ini menimbulkan persepsi bahwa UU Advokat sudah tidak sesuai dan memerlukan revisi (RUU Advokat). Kegagalan prinsip unitaristik ini merupakan kelemahan utama dalam model self-governance profesi di Indonesia. Konflik tersebut tidak hanya berdampak pada proses pengangkatan dan penyumpahan advokat baru, tetapi juga merusak kredibilitas institusi hukum secara keseluruhan, yang telah mengalami penurunan kepercayaan publik akibat anggapan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Tinjauan Kritis Hak Imunitas Advokat

Hak Imunitas (kekebalan hukum) Advokat diatur dalam Pasal 14-19 UU No. 18 Tahun 2003, yang memberikan perlindungan dari tuntutan perdata atau pidana saat menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik dalam sidang pengadilan.

Meskipun bertujuan untuk menjamin independensi pembelaan klien, definisi “itikad baik” dalam Pasal 16 UU Advokat dianggap rancu dan terbuka terhadap berbagai interpretasi. Terdapat perdebatan apakah itikad baik hanya berlaku selama persidangan atau juga mencakup tindakan sebelum dan sesudah sidang. Ambiguitas ini menciptakan tantangan hukum yang serius. Sebagai respon, ada usulan dalam RUU Advokat yang diajukan oleh asosiasi Advokat agar Hak Imunitas dibatasi sesuai Pasal 74 KUHAP. Pembatasan ini dianggap perlu untuk menyeimbangkan perlindungan profesi dengan tuntutan akuntabilitas publik, mencegah penyalahgunaan kekebalan, terutama mengingat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum.

Sektor Akuntansi (IAI/IAPI): Kualitas Mutu dan Globalisasi

Profesi Akuntansi di Indonesia menunjukkan model tata kelola yang matang dan terstandardisasi. Fokus utama IAI adalah memastikan kualitas profesional melalui standar global. IAI terus berupaya menjadikan profesi akuntansi Indonesia terdepan di ASEAN. Pengakuan IAI sebagai anggota CAW menjadi validasi internasional atas kualifikasi Chartered Accountant (CA) Indonesia.

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, berperan sebagai regulator eksternal. Akuntan pemegang gelar CA yang terdaftar di IAI wajib mendaftar ke Register Negara Akuntan (RNA) di Kemenkeu. Kemenkeu juga mengatur hal-hal substantif terkait izin usaha Kantor Akuntan Publik (KAP), termasuk ketentuan kapan izin tersebut dapat dinyatakan tidak berlaku.

Untuk mendukung sertifikasi yang berkualitas, IAI mengembangkan infrastruktur Ujian Sertifikasi berbasis komputer (CBE Center). Persyaratan untuk menjadi CBE Center IAI sangat ketat, di mana Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan harus memiliki Program Studi Akuntansi S1 dengan minimal Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi B. Standar yang tinggi ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan kualitas, berpotensi membatasi akses bagi institusi pendidikan yang belum mencapai akreditasi tersebut.

Sektor Kesehatan (IDI): Jangkauan Unitaristik dan Pelayanan Publik

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi dengan jangkauan dan struktur yang luas. IDI tersebar di 33 wilayah dan 242 cabang di seluruh Indonesia, dengan total keanggotaan mencapai 32.220 orang (perkiraan data 2024). Visi IDI adalah menciptakan Dokter Indonesia yang Beretika, Mandiri, Profesional, dan Menjunjung Tinggi Kesejawatan, sementara salah satu misi utamanya adalah mewujudkan Masyarakat Indonesia Sehat dan Bermartabat.

Sifat unitaristik IDI dan jangkauan nasional yang masif memberikan kekuatan dalam pembinaan profesi dan kolegalitas. Selain itu, OP di bidang kesehatan memiliki peran aktif dalam kebijakan publik, seperti Organisasi Profesi Kesehatan Kerja yang berupaya mempercepat implementasi Upaya Kesehatan Kerja. Fokus pada riset juga dilakukan oleh organisasi seperti Asosiasi Riset Ilmu Kesehatan Indonesia (ARIKESI), yang bertujuan meningkatkan kualitas riset ilmu kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Sektor Keinsinyuran (PII) dan Jasa Konstruksi

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) berfungsi sebagai wadah bagi Insinyur yang menyelenggarakan Keinsinyuran di Indonesia. Keinsinyuran didefinisikan sebagai kegiatan teknik yang menggunakan kepakaran dan keahlian untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna secara berkelanjutan, dengan fokus pada keselamatan, kesehatan, kemaslahatan, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan.

Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur, seseorang harus lulus dari Program Profesi Insinyur (PPI). PII aktif berkolaborasi dengan instansi pemerintah, seperti BPSDM Kominfo, dalam menyelenggarakan diskusi dan sosialisasi program profesi Insinyur. Kolaborasi ini menegaskan peran OP dalam menjembatani kebutuhan kurikulum akademik dengan standar kompetensi yang dibutuhkan oleh industri dan birokrasi.

Hubungan antara Negara dan Organisasi Profesi di Indonesia dicirikan oleh mekanisme delegasi wewenang yang menempatkan OP sebagai mitra strategis dalam tata kelola publik.

Konsep Organisasi Profesi sebagai Mitra Pemerintah (Beesturzorg)

Dalam banyak profesi, OP secara eksplisit diakui sebagai mitra Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Contoh paling jelas adalah Organisasi Profesi Penilai, yang menjalankan fungsi yang pada dasarnya merupakan bagian dari beesturzorg (pengurusan administrasi) Pemerintah yang didelegasikan kepada sektor swasta.

Kemitraan ini mensyaratkan adanya kesamaan visi antara Pemerintah dan OP untuk menjaga kualitas mutu profesi dan hasil pekerjaannya. Agar kemitraan ini berjalan efektif dan bertanggung jawab, Pemerintah melalui Menteri berwenang untuk menetapkan organisasi profesi Penilai sebagai mitra resmi melalui Peraturan Menteri.

Konsep kemitraan (beesturzorg) menempatkan OP dalam posisi quasi-regulator, yang efektif untuk efisiensi administrasi, tetapi dapat menimbulkan risiko moral hazard dan konflik kepentingan jika pengawasan internal OP (misalnya Dewan Kehormatan) lemah. Oleh karena itu, akuntabilitas eksternal melalui pengakuan formal oleh regulator negara sangat diperlukan.

Proses Pengakuan Formal dan Delegasi Kewenangan

Pengakuan formal dari negara menjadi kunci legitimasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai regulator sektor jasa keuangan, menerbitkan Surat Edaran tentang Pengakuan terhadap Asosiasi Profesi tertentu (misalnya, Asosiasi WPEE dan WPPE di Pasar Modal). Pengakuan ini memberikan kewenangan hukum yang jelas kepada OP dalam lingkup pasar modal.

Kolaborasi antara OP dan Negara meluas ke ranah pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia menjalin kerjasama dengan Asosiasi Profesi, meliputi penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, peningkatan kompetensi SDM, kegiatan ilmiah, dan konsultasi. Kemitraan ini memastikan bahwa OP bertindak sebagai jembatan penting antara kurikulum akademik dan tuntutan kompetensi industri.

Bahkan dalam struktur kelembagaan teknis negara, OP diakui secara resmi. Dalam pembentukan Lembaga Tingkat Nasional di sektor Pekerjaan Umum, asosiasi profesi diberikan kuota perwakilan (paling banyak 8 orang) untuk calon pengurus, sejajar dengan asosiasi perusahaan, pakar, dan instansi pemerintah.

Tantangan Tata Kelola Internal dan Konflik Kepentingan

Meskipun OP berfungsi untuk menegakkan etika, tantangan tata kelola internal tetap tinggi. Salah satu risiko utama adalah konflik kepentingan (Conflict of Interest) antara aspek profesional (kode etik) dan aspek bisnis (profitabilitas). Konflik ini dapat merusak citra profesi dan pada akhirnya mengurangi kepercayaan publik terhadap profesi.

Dalam sistem hukum, meskipun anggota OP harus mematuhi kode etik, mereka tidak dilepaskan dari tuntutan hukum jika terjadi pelanggaran, karena The Rule of Law mengandung The Rule of Ethics, dan sebaliknya. Tantangan tata kelola ini menjadi semakin penting di sektor yang berhubungan dengan ambisi pengelolaan sumber daya nasional , di mana integritas profesional (seperti Akuntan atau Penilai) secara langsung memengaruhi akuntabilitas ekonomi negara.

Kelemahan dalam penegakan kode etik yang disebabkan oleh kesadaran etika yang rendah di kalangan anggota atau penegakan yang tidak tegas, dapat menurunkan efektivitas OP dalam menjaga martabat profesi. Kegagalan OP dalam mengelola konflik internal, seperti yang dialami PERADI , menunjukkan bahwa ketika organisasi kunci gagal mengelola dirinya sendiri, hal ini memaksa negara untuk mendefinisikan ulang atau mengambil kembali kewenangan delegatifnya.

Simpulan Komparatif Struktur OP di Indonesia

Organisasi Profesi di Indonesia menunjukkan spektrum tata kelola yang beragam, mulai dari model yang sangat matang dan terstandardisasi global hingga model yang menghadapi instabilitas struktural. Meskipun prinsip unitaristik (satu OP per profesi) secara ideal menjadi ciri , realitas politik dan konflik kepentingan internal dapat merusak prinsip ini, seperti yang terjadi pada profesi Advokat.

Tabel 1 menyajikan perbandingan kerangka hukum, kewenangan utama yang didelegasikan, dan isu tata kelola kritis pada beberapa sektor profesi strategis di Indonesia.

Table 1: Kerangka Hukum Utama dan Kewenangan Asosiasi Profesi Sektoral

Sektor Profesi Asosiasi Utama Dasar Hukum Sentral Fungsi Kemitraan Kunci (Delegasi Beesturzorg) Isu Tata Kelola Kritis
Akuntansi Publik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) UU No. 5 Tahun 2011 ; PP 20/2015 Penyelenggaraan Ujian CA, Penerbitan Sertifikat CA, Pengawasan CBE Center, Kemitraan RNA Kemenkeu Konsistensi adopsi SAK global; Kebutuhan menjaga independensi auditor.
Hukum (Advokat) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) UU No. 18 Tahun 2003; Kode Etik Advokat Pengangkatan/Penyumpahan Advokat; Penegakan Kode Etik melalui Dewan Kehormatan Fragmentasi dan konflik internal (Multi-Bar); Ambiguitas Hak Imunitas.
Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) UU Praktik Kedokteran Peningkatan Etika, Kolegialitas, dan mutu layanan; Jangkauan wilayah unitaristik Kewenangan tunggal dan potensi resistensi terhadap kebijakan kesehatan.
Penilai (Appraiser) Organisasi Profesi Penilai Peraturan Menteri terkait (Kemenkeu) Pembinaan dan Pengawasan profesi sebagai mitra Pemerintah (fungsi beesturzorg yang didelegasikan) Konsistensi visi dengan Pemerintah dalam menjaga mutu pekerjaan Penilai.

Analisis perbandingan menunjukkan bahwa model IAI (Akuntansi) berfokus pada kualitas yang ketat dan standardisasi internasional, sedangkan PERADI (Advokat) menghadapi tantangan terbesar pada stabilitas kelembagaan dan penegakan batas wewenang hukum (Hak Imunitas).

Table 2: Komparasi Mekanisme Sertifikasi dan Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan (PKB)

Aspek PKB/Sertifikasi Akuntansi (IAI/CA) Advokat (PERADI) Profesi Umum (Guru, Insinyur)
Gelar/Tujuan Utama Chartered Accountant (CA); Peningkatan keunggulan ASEAN Advokat/Penasihat Hukum; Lisensi Berpraktik Gelar Insinyur Profesional (PII); Kompetensi Guru
Mekanisme Uji Kompetensi Ujian Bertingkat (CAFB, Prof, Lanjutan) via CBE Center; Kesetaraan Kompetensi Ujian Profesi Advokat (UPA); Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Program Profesi Insinyur (PPI); Uji Kompetensi Teknis
Kewajiban Berkelanjutan Wajib IES IFAC & Regulasi IAI Wajib mematuhi Kode Etik dan Peraturan Organisasi Wajib secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan IPTEKS
Penyelenggara PKB IAI dan Lembaga yang diakui sebagai CBE Center PERADI (untuk pendidikan lanjutan/etik) OP Mitra Pemerintah (e.g., PII ), Instansi Pemerintah (KemenPU PR, BPSDM Kominfo)

Rekomendasi Penguatan Kelembagaan dan Stabilitas Governance OP

Berdasarkan analisis kerangka hukum dan kinerja sektoral, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat tata kelola OP di Indonesia:

  1. Penguatan Konsensus Unitaristik dan Kepastian Hukum: Di sektor vital yang terfragmentasi (seperti Hukum), Negara perlu segera memfasilitasi rekonsiliasi atau menetapkan kriteria yang jelas mengenai OP mana yang diakui secara sah sebagai mitra. Kepastian hukum ini penting untuk mengakhiri krisis legitimasi yang berdampak pada calon Advokat dan kredibilitas sistem peradilan.
  2. Harmonisasi Etika dan Disiplin: Dewan Kehormatan (DKP/DKD) harus diperkuat secara independen dari kepentingan politik atau bisnis internal. Pemerintah, melalui regulator sektoral (seperti OJK atau kementerian terkait), harus mendukung otoritas DKP/DKD dalam menjamin penegakan kode etik yang tegas , sehingga mencegah penurunan kepercayaan publik yang dapat memicu intervensi regulasi yang berlebihan.
  3. Audit Kinerja PKB/CPD: Mekanisme Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang diamanatkan undang-undang harus diaudit kinerja dan mutunya secara rutin oleh regulator eksternal. Hal ini memastikan bahwa OP memenuhi kewajiban pengembangan kompetensi anggotanya sesuai standar internasional (seperti IES IFAC) dan standar nasional.

Usulan Kebijakan untuk Sinkronisasi Regulasi Antar-Sektor

Fragmentasi regulasi saat ini menghambat pembentukan standar profesional yang konsisten dan perlindungan yang merata.

  1. Penyusunan RUU Profesi Nasional: Diperlukan inisiatif legislatif untuk mengatasi fragmentasi hukum. Rancangan Undang-Undang (RUU) Profesi Nasional dapat disusun untuk mendefinisikan kriteria universal pengakuan Organisasi Profesi, menetapkan kerangka dasar hak dan kewajiban profesional, dan standar minimum PKB. UU payung ini akan memberikan dasar filosofis tata kelola tunggal, yang kemudian dapat diturunkan ke dalam regulasi sektoral yang lebih spesifik.
  2. Perlindungan Profesi Non-Tradisional: Pemerintah perlu menyusun kerangka kerja hukum untuk mendefinisikan dan mengakui profesi non-tradisional yang berkembang pesat (misalnya, olahragawan profesional dan periset ). Pengakuan ini harus melampaui sekadar UU Ketenagakerjaan umum, memberikan status subjek hukum yang jelas agar mereka berhak atas perlindungan ketenagakerjaan dan jaminan sosial yang setara dengan profesi lain, yang merupakan salah satu tujuan fundamental dari organisasi profesi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 6 = 13
Powered by MathCaptcha