Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area – AFTA) merupakan suatu kesepakatan penting dalam sejarah kerja sama ekonomi di Asia Tenggara. Secara konseptual, AFTA didefinisikan sebagai blok perdagangan yang beranggotakan negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dengan tujuan utama menciptakan sebuah pasar tunggal dan basis produksi yang kompetitif di tingkat regional. Tujuan fundamental ini dirancang untuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih dalam, baik di antara negara-negara anggota itu sendiri maupun dengan mitra dagang internasional.

Meskipun istilah “perdagangan bebas” seringkali disalahartikan sebagai ketiadaan kendali, dalam konteks AFTA, hal itu merujuk pada liberalisasi perdagangan melalui penghapusan hambatan tarif dan non-tarif secara progresif. Skema ini memungkinkan produk-produk dari negara anggota untuk diperdagangkan melintasi batas negara dengan bea masuk yang sangat rendah, atau bahkan nol. Secara strategis, AFTA dibentuk untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan di pasar global, sekaligus menarik arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) dan memperkuat perdagangan intra-ASEAN.

Signifikansi AFTA dalam Integrasi Ekonomi ASEAN

AFTA tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan pilar penting dalam evolusi kerja sama ASEAN yang lebih luas. Kerja sama ekonomi di kawasan ini sebenarnya telah dimulai sejak disahkannya Deklarasi Bangkok pada tahun 1967, yang pada awalnya lebih berfokus pada percepatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Namun, seiring berjalannya waktu, dinamika kerja sama ini bergeser secara signifikan, mengarahkan fokusnya pada integrasi ekonomi yang lebih terstruktur dan mendalam, yang kemudian dimanifestasikan dalam pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community – AEC). Dalam konteks ini, AFTA dapat dilihat sebagai langkah awal dan fundamental yang membuka jalan menuju AEC, sebuah komunitas yang bercita-cita mewujudkan pasar tunggal dan basis produksi yang didukung oleh aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil.

Pembentukan AFTA pada tahun 1992 mencerminkan sebuah respons strategis terhadap perubahan lanskap geopolitik dan ekonomi global. Inisiatif ini lahir setelah berakhirnya Perang Dingin, di mana para pemimpin ASEAN menyadari perlunya mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi mereka. Deklarasi Singapura 1992 secara eksplisit menyatakan bahwa ASEAN harus bergerak menuju tingkat kerja sama yang lebih tinggi untuk melindungi “kepentingan kolektifnya sebagai tanggapan terhadap pembentukan kelompok ekonomi yang besar dan kuat di antara negara-negara maju”. Hal ini menunjukkan bahwa AFTA bukanlah semata-mata produk dari integrasi yang mulus, melainkan sebuah langkah proaktif-defensif yang bertujuan untuk memperkuat posisi tawar ASEAN di panggung global. Dengan menciptakan pasar regional yang terintegrasi, ASEAN berusaha untuk menjadi entitas ekonomi yang lebih kohesif dan menarik, sehingga tidak dapat dengan mudah diisolasi atau didominasi oleh kekuatan ekonomi eksternal.

Sejarah dan Evolusi Pembentukan AFTA

Lahirnya Inisiatif: Deklarasi Singapura 1992

AFTA secara resmi lahir dari kesepakatan yang ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-IV di Singapura pada 28 Januari 1992. Deklarasi ini menjadi tonggak sejarah yang mengamanatkan pembentukan sebuah kawasan perdagangan bebas dengan tujuan yang jelas dan terukur. Secara spesifik, tujuan utama yang digariskan adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara anggota dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bagi pasar dunia. Di samping itu, AFTA juga dirancang untuk menarik lebih banyak investasi asing dan menciptakan pasar regional yang efisien bagi populasi sebesar 500 juta jiwa di kawasan tersebut.

Mekanisme Utama: Skema Tarif Preferensial Efektif Bersama (CEPT)

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan AFTA, para pemimpin ASEAN mengadopsi mekanisme kunci yang dikenal sebagai Skema Tarif Preferensial Efektif Bersama (Common Effective Preferential Tariff – CEPT). Mekanisme ini berfungsi sebagai instrumen utama untuk menurunkan tarif bea masuk bagi barang-barang yang diperdagangkan di antara negara anggota. CEPT bertujuan untuk mengurangi tarif hingga menjadi 0-5% dan secara bertahap menghapuskan pembatasan kuantitatif serta hambatan non-tarif lainnya. Syarat penting yang harus dipenuhi agar sebuah produk dapat menikmati tarif preferensial ini adalah kandungan lokalnya harus memenuhi ketentuan, setidaknya 40% berasal dari salah satu negara anggota ASEAN.

Percepatan Jadwal: Kronologi dan Target Baru

Proses implementasi AFTA menunjukkan dinamika yang cepat dan ambisius. Meskipun awalnya ditargetkan untuk dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), jadwal ini mengalami percepatan signifikan. Target dipercepat menjadi tahun 2003, dan kemudian dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Percepatan ini mencerminkan pengakuan kolektif akan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan daya saing regional di tengah persaingan global yang semakin intens. Para pemimpin ASEAN menyadari bahwa integrasi ekonomi yang lambat akan membuat kawasan ini kehilangan momentum dan daya tarik di mata investor. Oleh karena itu, percepatan ini dapat dipahami sebagai upaya kolektif untuk memastikan ASEAN tetap relevan dan kompetitif. Skema ini mencapai puncaknya dengan penandatanganan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada tahun 2010, yang menargetkan tarif 0% untuk 100% produk bagi enam anggota pendiri.

Struktur Keanggotaan: Anggota Pendiri dan Perluasan

Pada saat penandatanganan perjanjian AFTA pada tahun 1992, ASEAN hanya memiliki enam negara anggota: Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Namun, seiring dengan perluasan keanggotaan ASEAN, AFTA juga turut berkembang. Vietnam bergabung pada tahun 1995, diikuti oleh Laos dan Myanmar pada tahun 1997, dan Kamboja pada tahun 1999. Keempat negara yang bergabung belakangan ini juga diwajibkan untuk menandatangani perjanjian AFTA, namun diberikan jangka waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif, sebuah pendekatan yang mengakomodasi perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antar-anggota.

Kronologi Pembentukan dan Percepatan AFTA

Tahun Acara Penting & Dokumen Target Awal Percepatan Target (ASEAN-6)
1992 KTT ASEAN ke-IV, Deklarasi Singapura 15 tahun (hingga 2008)
1998 Pertemuan Menteri Ekonomi di Hanoi Dipercepat hingga 2002
2003 KTT ASEAN ke-IX di Bali Tarif 0-5% untuk 60% produk
2010 Perjanjian ATIGA Tarif 0% untuk 100% produk

Ekspor ke Spreadsheet

Daftar Anggota AFTA Berdasarkan Tahun Bergabung

Anggota Pendiri (1992) Tahun Bergabung Anggota Selanjutnya Tahun Bergabung
Brunei Darussalam 1992 Vietnam 1995
Indonesia 1992 Laos 1997
Malaysia 1992 Myanmar 1997
Filipina 1992 Kamboja 1999
Singapura 1992
Thailand 1992

Analisis Manfaat dan Dampak Ekonomi AFTA

Peningkatan Perdagangan dan Akses Pasar

Salah satu manfaat utama dari AFTA adalah terbukanya peluang pasar yang jauh lebih besar dan luas bagi produk-produk yang berasal dari negara-negara anggota. Dengan dihapuskannya hambatan bea cukai dan tarif impor, produsen di Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya dapat lebih mudah memasarkan produk mereka ke pasar regional yang memiliki populasi sekitar 500 juta jiwa . Akses pasar yang lebih mudah ini juga membuka jalan bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk menembus pasar internasional, yang sebelumnya mungkin terkendala oleh biaya impor yang tinggi. Selain itu, para produsen juga mendapatkan manfaat langsung dari penurunan biaya bahan baku impor, yang pada gilirannya dapat memangkas biaya produksi secara keseluruhan. Penurunan biaya ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat produksi dan pada akhirnya menguntungkan perekonomian nasional.

Daya Tarik Investasi Asing Langsung (FDI)

AFTA secara eksplisit bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) ke kawasan ASEAN. Dengan bertransformasi menjadi pasar tunggal dan basis produksi yang terintegrasi, kawasan ini menawarkan skala ekonomi dan lingkungan yang lebih stabil bagi para investor. Kedatangan investor asing ini diharapkan membawa modal, teknologi, dan keahlian manajemen yang dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara anggota. Lebih dari itu, investasi ini juga secara langsung berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja baru, yang menjadi faktor kunci dalam upaya mengurangi tingkat pengangguran di kawasan.

Efisiensi Produksi dan Penurunan Biaya

Implementasi AFTA mendorong persaingan pasar yang lebih tinggi di antara negara-negara anggota. Persaingan ini menciptakan tekanan positif bagi produsen untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi guna bertahan dan bersaing. Tekanan ini mendorong spesialisasi industri, di mana setiap negara cenderung berfokus pada produksi komoditas yang memiliki keunggulan komparatif atau biaya produksi yang lebih rendah. Hasil dari efisiensi produksi ini tidak hanya menguntungkan produsen, tetapi juga konsumen, yang dapat menikmati pilihan produk yang lebih beragam dengan harga yang lebih terjangkau.

Meskipun AFTA menjanjikan manfaat ini, distribusinya tidak selalu merata di antara negara-negara anggota. Manfaat AFTA tidak hanya bersifat statis, seperti penurunan tarif, tetapi juga dinamis, mendorong transformasi struktural di dalam setiap ekonomi. Namun, hal ini juga dapat menciptakan kesenjangan antara negara yang siap dan yang kurang siap. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa AFTA mendorong peningkatan daya saing dan efisiensi produksi, yang secara tidak langsung memaksa negara-negara anggota untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun, pada saat yang sama, ada pengamatan bahwa kemampuan SDM di Indonesia “sangat payah dibandingkan Filipina dan Thailand”. Hal ini menciptakan situasi di mana negara yang paling tidak siap, seperti Indonesia dalam hal SDM dan penegakan hukum, mungkin menjadi yang paling rentan terhadap dampak negatifnya. Analisis ini menunjukkan bahwa keberhasilan AFTA tidak hanya bergantung pada kebijakan perdagangan, tetapi juga pada reformasi domestik yang fundamental dan menyeluruh di setiap negara anggotanya.

Tantangan dan Hambatan dalam Implementasi AFTA

Hambatan Non-Tarif (NTB): Definisi, Jenis, dan Dampak

Meskipun AFTA telah berhasil menghapuskan sebagian besar hambatan tarif, implementasi penuhnya masih menghadapi kendala besar berupa hambatan non-tarif (NTB). NTB adalah peraturan atau langkah-langkah kebijakan yang membatasi perdagangan internasional selain melalui penerapan bea masuk. Sebuah studi menunjukkan bahwa NTB masih menjadi masalah signifikan dalam perdagangan intra-ASEAN, dan upaya untuk menghapusnya terbukti jauh lebih kompleks daripada sekadar menurunkan tarif.

NTB dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis utama:

  • Langkah Para-Tarif: Ini adalah biaya tambahan yang dikenakan pada barang impor yang memiliki efek serupa dengan tarif, seperti biaya tambahan bea cukai (surtax) atau pajak internal.
  • Langkah Pengendalian Harga: Kebijakan yang bertujuan mengendalikan harga produk impor, misalnya melalui penetapan harga minimum atau maksimum yang ditentukan secara administratif.
  • Langkah Teknis dan Persyaratan Produk: Regulasi yang menetapkan standar teknis, persyaratan kualitas, atau sanitasi yang rumit, seperti persyaratan pelabelan, pengemasan, atau uji coba produk wajib.
  • Langkah Monopolistis: Kebijakan yang membatasi perdagangan dengan menyalurkan impor melalui agen tunggal milik negara atau perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah.

Keberadaan hambatan non-tarif yang terus-menerus menunjukkan adanya kesenjangan implementasi yang signifikan antara komitmen yang telah dideklarasikan dan realitas di lapangan. Meskipun semangat AFTA adalah untuk menciptakan pasar tunggal, adanya biaya tambahan atau langkah-langkah monopoli inimenunjukkan bahwa beberapa negara masih menggunakan instrumen kebijakan non-transparan untuk melindungi industri domestik, bertentangan dengan tujuan liberalisasi.

Jenis-Jenis Hambatan Non-Tarif (NTB) di  ASEAN

Kategori Hambatan Deskripsi Singkat Contoh Spesifik (dari Materi Penelitian)
Langkah Para-Tarif Biaya tambahan yang meningkatkan ongkos impor selain tarif bea masuk. Biaya tambahan bea cukai (surtax), pajak internal, biaya izin impor, dan penilaian bea cukai yang ditetapkan
Langkah Pengendalian Harga Regulasi yang mengontrol harga produk impor untuk melindungi pasar domestik. Penetapan harga minimum/maksimum, pembatasan harga ekspor sukarela, dan bea anti-dumping
Langkah Teknis dan Persyaratan Produk Regulasi yang menetapkan standar teknis, kualitas, atau sanitasi pada produk. Persyaratan penandaan, pelabelan, pengemasan, dan uji coba/inspeksi wajib
Langkah Monopolistis Kebijakan yang membatasi perdagangan melalui agen tunggal atau hak eksklusif. Semua impor harus disalurkan melalui agen milik negara atau perusahaan yang dikendalikan negara

Studi Kasus Indonesia: Tantangan Internal dan Daya Saing Domestik

Indonesia, sebagai salah satu anggota pendiri AFTA dan ekonomi terbesar di kawasan, menghadapi serangkaian tantangan internal yang menguji kesiapannya dalam era perdagangan bebas. Salah satu kendala utama adalah masalah penegakan hukum dan tingginya tingkat korupsi. Tanpa adanya kepastian hukum, iklim usaha tidak dapat berkembang dengan baik, yang pada akhirnya menyebabkan biaya ekonomi tinggi dan secara langsung memengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

Selain itu, peran pemerintah yang masih sangat besar dalam perdagangan luar negeri juga menjadi hambatan. Kebijakan proteksionis, seperti pemberian subsidi dan penerapan kebijakan perdagangan strategis, seringkali digunakan untuk melindungi industri domestik, meskipun hal ini dapat bertentangan dengan semangat liberalisasi AFTA.

Kritik dan Dampak Negatif terhadap Industri Lokal

Pemberlakuan AFTA juga menuai kritik, terutama terkait potensi dampak negatifnya terhadap industri domestik di negara-negara anggota. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah ancaman dari membanjirnya produk impor dengan harga yang lebih murah. Di Indonesia, misalnya, penetapan tarif 0% telah dikaitkan dengan penurunan produksi dan pemutusan hubungan kerja ribuan buruh di industri tekstil, yang kesulitan bersaing dengan produk impor.

Para kritikus berpendapat bahwa liberalisasi perdagangan yang terlalu cepat dapat menghambat pertumbuhan sektor industri di negara-negara berkembang dan menjadikan mereka hanya sebagai “pasar” bagi negara-negara yang memiliki daya saing lebih tinggi. Realitas ini menunjukkan bahwa integrasi ekonomi yang sesungguhnya memerlukan reformasi institusional dan tata kelola yang kuat di setiap negara anggota, sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan menandatangani perjanjian perdagangan.

Posisi Strategis AFTA dalam Lanskap Perdagangan Global

Perbandingan AFTA dengan Model Integrasi Lain (Studi Komparatif: Uni Eropa)

Untuk memahami posisi AFTA secara global, penting untuk membandingkannya dengan model integrasi lain, seperti Uni Eropa (UE). AFTA, pada dasarnya, adalah sebuah Free Trade Area (FTA), sebuah tingkatan integrasi yang relatif lebih rendah. Di sisi lain, UE telah berevolusi menjadi sebuah Economic Union yang jauh lebih terintegrasi, bahkan hingga memiliki mata uang tunggal dan kebijakan ekonomi bersama .

Perbedaan mendasar antara kedua blok ini terletak pada pendekatan terhadap tarif eksternal. AFTA tidak menerapkan tarif eksternal bersama (Common External Tariff – CET). Artinya, setiap negara anggota AFTA dapat secara mandiri menetapkan kebijakan tarifnya sendiri terhadap barang-barang dari negara non-anggota. Hal ini sangat berbeda dengan UE, yang berfungsi sebagai serikat pabean dan menerapkan kebijakan tarif yang seragam untuk semua negara non-anggota. Perbedaan ini mencerminkan filosofi kerja sama ASEAN yang non-intervensi dan fleksibel, yang memungkinkan integrasi tanpa harus menyerahkan kedaulatan penuh atas kebijakan luar negeri. Namun, fleksibilitas ini juga dapat membatasi kedalaman integrasi dan menciptakan ketidakkonsistenan, yang mungkin menjelaskan mengapa pemanfaatan AFTA oleh beberapa negara, seperti Indonesia, masih terbilang rendah dalam beberapa sektor.

AFTA sebagai Fondasi untuk Kemitraan yang Lebih Luas (RCEP)

Meskipun AFTA memiliki keterbatasannya, posisinya sebagai fondasi kerja sama ekonomi regional sangat penting. AFTA berfungsi sebagai landasan bagi terbentuknya perjanjian perdagangan yang lebih luas dan ambisius, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia yang mencakup 15 negara, yaitu 10 negara anggota ASEAN ditambah lima mitra dagang utamanya (Australia, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).

RCEP memperluas ruang lingkup AFTA dengan mencakup area-area baru seperti e-commerce, investasi, dan hak kekayaan intelektual. Keberadaan RCEP menunjukkan bahwa AFTA telah berhasil menciptakan fondasi yang stabil dan terpercaya bagi kerja sama perdagangan yang lebih luas dan kompleks, yang melibatkan ekonomi-ekonomi raksasa di luar kawasan.

Peran AFTA dalam Stabilitas dan Resiliensi Ekonomi Regional

Kerja sama ekonomi yang terwujud melalui AFTA dan pilar-pilar AEC lainnya juga berfungsi sebagai promotor dan penyangga pertumbuhan ekonomi di kawasan. Adanya kerangka kerja sama regional yang kuat dinilai sebagai salah satu opsi strategis untuk mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi COVID-19. AFTA menjadi wadah bagi negara-negara anggota untuk saling menyokong perekonomian dan merancang kebijakan yang responsif terhadap kendala ekonomi bersama.

Proyeksi Masa Depan dan Rekomendasi Strategis

Perkembangan Terkini Menuju AEC 2025 dan Setelahnya

Sejak pembentukannya, AFTA terus berkembang dan kini menjadi bagian integral dari cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) 2025. Cetak Biru AEC 2025 menetapkan empat pilar utama, termasuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, dengan elemen-elemen kunci seperti aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal. Inisiatif-inisiatif terbaru, seperti peluncuran ASEAN Tariff Finder dan upaya untuk meningkatkan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), menunjukkan komitmen berkelanjutan para pemimpin ASEAN untuk menyederhanakan perdagangan dan mengatasi hambatan yang masih ada.

Data dan Statistik Perdagangan dan Investasi Intra-ASEAN

Data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa visi AFTA untuk menjadi pasar tunggal dan basis produksi yang kompetitif semakin terwujud. ASEAN terus menunjukkan resiliensi ekonomi yang kuat di tengah ketidakpastian global. Tulisan-tulisan terkini mengkonfirmasi bahwa FDI masuk ke ASEAN mencapai rekor historis sebesar US$230 miliar pada tahun 2023, menjadikannya penerima FDI terbesar di antara negara berkembang selama tiga tahun berturut-turut. Meskipun sebagian besar investasi berasal dari luar kawasan, investasi intra-ASEAN juga menunjukkan tren positif, menyumbang 9,5% dari total FDI pada tahun 2024.

Statistik FDI dan Perdagangan ASEAN Terkini

Indikator Ekonomi Data Terkini (Tahun) Signifikansi/Tren
Inflow FDI ke ASEAN US$230 miliar (2023) ASEAN menjadi penerima FDI terbesar di antara negara berkembang selama 3 tahun berturut-turut.
Porsi Investasi Intra-ASEAN 9,5% (2024) Menunjukkan penguatan kepercayaan dan resiliensi internal, meskipun masih didominasi investasi dari luar kawasan.
Pertumbuhan Ekonomi ASEAN 4,6% (2024); Proyeksi 4,7% (2025) Pertumbuhan yang kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global, didorong oleh permintaan domestik dan pemulihan ekspor.
Populasi ASEAN ~692,31 juta jiwa (2025) Menjadikan ASEAN pasar konsumsi terbesar ketiga di dunia, sebuah daya tarik utama bagi investor.

Rekomendasi Kebijakan bagi Negara Anggota, Khususnya Indonesia

Untuk memaksimalkan manfaat AFTA dan menghadapi tantangan di masa depan, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis yang terfokus pada perbaikan internal. Berdasarkan temuan ini, rekomendasi utama yang dapat disimpulkan adalah:

  • Peningkatan Daya Saing Domestik: Indonesia harus memprioritaskan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan efisiensi produksi domestik untuk dapat bersaing secara efektif di pasar regional dan global.
  • Penguatan Sektor UKM: Pemerintah perlu memperkuat sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar mereka mampu beradaptasi dan bersaing di pasar regional.
  • Reformasi Institusional: Reformasi penegakan hukum dan perbaikan infrastruktur menjadi sangat krusial untuk menciptakan iklim investasi yang stabil dan transparan, yang pada akhirnya akan menurunkan biaya ekonomi dan meningkatkan daya saing produk.
  • Pemanfaatan Fleksibilitas Perjanjian: Indonesia harus memanfaatkan klausul fleksibilitas dalam perjanjian perdagangan, seperti RCEP, untuk memberikan perlindungan yang tepat bagi sektor-sektor sensitif, seperti pertanian dan industri kecil, tanpa mengorbankan komitmen terhadap liberalisasi.

Kesimpulan

AFTA adalah sebuah inisiatif yang telah berhasil mengubah lanskap ekonomi Asia Tenggara secara fundamental. Ia telah mencapai banyak tujuannya dalam liberalisasi perdagangan, menarik investasi, dan meningkatkan daya saing kawasan. Namun, keberadaan hambatan non-tarif yang persisten dan kesenjangan kapasitas antar-anggota menunjukkan bahwa perjalanan menuju integrasi ekonomi yang penuh masih panjang.

Pada akhirnya, masa depan kawasan perdagangan bebas Asia akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh AFTA dan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dapat berfungsi sebagai fondasi yang kuat dan adaptif untuk kerja sama yang lebih luas dan kompleks seperti RCEP. Keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada perjanjian yang ditandatangani, tetapi juga pada kemauan politik dan kemampuan setiap negara anggota untuk melakukan reformasi domestik yang diperlukan guna memastikan manfaat dari integrasi ekonomi dapat dinikmati secara merata oleh semua pihak.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 − = 10
Powered by MathCaptcha