Pentingnya Jawa dalam Historiografi Nusantara

Pulau Jawa telah lama menjadi pusat geografi, politik, dan demografi di Kepulauan Nusantara selama lebih dari seribu tahun. Sejarah kerajaan-kerajaan besar yang berkuasa di Jawa—mulai dari Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha hingga Kesultanan Mataram Islam—merefleksikan evolusi sistem politik, sinkretisme budaya, dan dinamika persaingan kekuasaan yang membentuk dasar identitas Indonesia modern. Kerajaan-kerajaan ini berfungsi sebagai nexus kekuasaan regional, memengaruhi tatanan sosial, ekonomi, dan keagamaan di seluruh Nusantara.

Definisi Kerajaan Besar: Hegemoni Politik dan Warisan Kultural

Dalam konteks tulisan ini, sebuah kerajaan diklasifikasikan sebagai “besar” (hegemonik) berdasarkan kemampuannya tidak hanya untuk melakukan ekspansi teritorial yang signifikan (hegemoni militer dan Sumpah Palapa Majapahit ) tetapi juga kemampuannya untuk mempertahankan kedaulatan internal dan meninggalkan warisan kultural monumental, seperti sistem hukum, administrasi, dan monumen keagamaan (candi dan prasasti ). Studi mendalam menunjukkan bahwa kekuatan terbesar mereka sering kali berakar pada kendali atas lahan agraria subur di pedalaman Jawa.

Pola Kausalitas Utama yang Dianalisis

Analisis terhadap empat kerajaan besar Jawa mengungkap suatu pola kausalitas yang berulang: keruntuhan jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh kombinasi kritis dari krisis suksesi internal yang secara oportunistik dieksploitasi oleh kekuatan eksternal atau bawahan. Kekuatan eksternal ini bervariasi sepanjang sejarah, mulai dari pesaing regional (Sriwijaya), pemberontak dinasti lama (Jayakatwang), hingga kekuatan kolonial modern (VOC). Kelemahan struktural akibat perselisihan dinasti menjadi celah yang dimanfaatkan pihak luar untuk menghancurkan pusat kekuasaan Jawa.

Mataram Kuno (Abad Ke-8 – Ke-11 M): Pondasi Hindu-Buddha dan Perpindahan Kekuasaan

Awal: Dualisme Dinasti dan Keseimbangan Kekuatan

Mataram Kuno (dikenal juga sebagai Medang pada periode Jawa Tengah) adalah kerajaan agraris yang berdiri di pusat Jawa. Pendiriannya ditandai oleh koeksistensi dan interaksi kompleks dua dinasti utama: Wangsa Sanjaya (penganut Hindu aliran Siwa) dan Wangsa Syailendra (penganut Buddha Mahayana). Dinamika politik ini melahirkan sinkretisme agama yang unik, tercermin dalam peninggalan monumental seperti Candi Borobudur dan Prambanan, yang menunjukkan upaya menjaga keseimbangan politik dan agama di awal pembentukan negara.

Konflik Internal & Eksternal: Permusuhan Jawa-Sumatera

Meskipun terdapat upaya untuk menyatukan dinasti (melalui pernikahan seperti Rakai Pikatan dari Sanjaya dan Pramodhawardhani dari Syailendra ), ketegangan dinasti tetap memicu konflik internal. Salah satu persaingan paling signifikan adalah pengusiran Balaputradewa (putra Samaratungga dan kemungkinan keturunan Syailendra) oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa kemudian melarikan diri dan menjadi Raja Sriwijaya di Sumatera. Peristiwa pengusiran ini menanam benih permusuhan yang mendalam dan berkelanjutan antara kekuatan daratan Jawa (Mataram) dan kekuatan maritim Sumatera (Sriwijaya), sebuah konflik geopolitik yang ditakdirkan untuk berulang.

Pada abad ke-10, ibu kota Mataram Kuno di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok (Wangsa Isyana). Perpindahan ini diyakini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ancaman dari Sriwijaya atau ketidakstabilan lingkungan, seperti bencana alam (letusan gunung). Keputusan ini menyoroti kerentanan geopolitik Jawa Tengah sebagai pusat kekuasaan agraria terhadap tekanan yang berasal dari ancaman eksternal maritim.

Akhir: Mahapralaya 1016 M dan Keruntuhan

Keruntuhan Mataram Kuno (di Jawa Timur) tercatat sebagai Pralaya (kehancuran besar) dalam Prasasti Pucangan. Pada tahun 1016 M, kerajaan tersebut dihancurkan oleh pemberontakan Aji Wurawari dari Lwaram, yang secara luas diyakini dihasut dan didukung oleh Kerajaan Sriwijaya. Serangan ini bersifat fatal; hampir seluruh keluarga kerajaan Isyana, termasuk Raja Dharmawangsa, tewas.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa permusuhan abadi yang dipicu oleh konflik suksesi internal (pengusiran Balaputradewa) menjadi akar strategis yang kemudian dimanfaatkan sepenuhnya oleh Sriwijaya. Keruntuhan Mataram Kuno adalah contoh dramatis pertama di mana perselisihan dinasti di Jawa membuka jalan bagi bencana eksternal, menegaskan kegagalan Mataram dalam mengamankan ibu kota agraria mereka dari serangan berbasis maritim/sungai yang dirancang oleh musuh lama. Kerajaan Mataram Kuno baru berhasil dibangkitkan kembali di Jawa Timur oleh Airlangga, menantu Dharmawangsa.

Singasari (1222–1292 M): Ambisi Ekspansi dan Kelemahan Inti Dinasti Rajasa

Awal: Genealogi Kekerasan dan Pendirian Dinasti Rajasa

Kerajaan Singasari, yang awalnya dikenal sebagai Tumapel, didirikan melalui kudeta berdarah yang dipimpin oleh Ken Arok. Ken Arok memulai jalannya menuju kekuasaan dengan membunuh bupati Tumapel, Tunggul Ametung, dan mengambil istrinya, Ken Dedes. Ambisi politiknya terwujud setelah ia berhasil mengalahkan Raja Kertajaya dari Kerajaan Kediri, yang pada saat itu menjadi kekuatan dominan. Ken Arok kemudian memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Singasari dengan gelar Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi, mendirikan Dinasti Rajasa atau Rajasawangsa.

Konflik Internal: Siklus Balas Dendam yang Tak Terputus

Meskipun Singasari didirikan dengan dasar kekerasan, dinasti ini juga terperangkap dalam siklus suksesi yang brutal dan tidak terputus. Ken Arok sendiri hanya berkuasa selama lima tahun sebelum dibunuh atas suruhan Anusapati (putra tiri Ken Arok dari Tunggul Ametung). Setelah Anusapati, tahta jatuh ke tangan Tohjoyo, yang kekuasaannya juga berlangsung singkat. Pembalasan dendam terus berlanjut hingga Ranggawuni (putra Anusapati) dan Mahesa Cempaka berhasil menggulingkan Tohjoyo. Siklus kekerasan dinasti ini, meskipun tidak secara langsung meruntuhkan kerajaan, secara signifikan menguras energi politik internal dan menciptakan kerentanan struktural yang akut.

Kejayaan Kertanegara: Ekspansi Melawan Kekuatan Lama

Puncak kejayaan Singasari dicapai di bawah Raja Kertanegara (1272–1292 M). Kertanegara dikenal karena kebijakan politiknya yang agresif dan ambisius. Ia memperkuat angkatan perang dan melakukan pernikahan politik untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Secara geopolitik, Kertanegara sangat menyadari pelajaran dari

Mahapralaya Mataram Kuno; oleh karena itu, ia melancarkan Ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan Kerajaan Melayu dan melemahkan pengaruh Sriwijaya. Keberhasilan ekspansinya juga mencakup penguasaan atas wilayah Sunda, Bali, Kalimantan, dan Malaka. Pencapaian ini menegaskan ambisi Singasari untuk mengamankan hegemoni maritim di Nusantara.

Akhir: Fatalitas Strategi dan Pemberontakan Jayakatwang

Ironisnya, ambisi Kertanegara menjadi bumerang. Fokusnya yang berlebihan pada politik luar negeri, termasuk menghadapi ancaman Kekaisaran Mongol (Dinasti Yuan) yang menuntut pengakuan, membuatnya mengabaikan ancaman domestik yang lebih dekat. Jayakatwang, Adipati Kediri yang memiliki dendam dinasti terhadap Singasari (sebagai keturunan Kertajaya yang dikalahkan Ken Arok), memanfaatkan momen tersebut.

Dalam strategi yang fatal, Kertanegara mengirimkan sebagian besar pasukan utamanya, dipimpin menantunya Raden Wijaya, untuk menangani pasukan Jayakatwang. Namun, serangan utama Jayakatwang diarahkan langsung ke ibu kota Singasari, yang saat itu tidak dijaga dengan baik. Kertanegara tewas dalam serangan mendadak itu, dan Kerajaan Singasari runtuh pada 1292 M. Kejatuhan Singasari merupakan contoh kegagalan fatal dari  strategic over-extension, di mana kerapuhan internal akibat konflik dinasti memungkinkan dendam lama dieksploitasi untuk menggulingkan raja yang paling kuat secara geopolitik.

Majapahit (1293–1527 M): Puncak Imperium dan Perpecahan Struktural

Awal: Pendirian yang Pragmatis dan Strategi Tiga Lapis

Pendirian Majapahit pada tahun 1293 M oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, adalah puncak dari intrik politik dan oportunisme militer. Setelah Singasari runtuh, Wijaya awalnya menyerah kepada Jayakatwang. Ketika pasukan ekspedisi Mongol (Dinasti Yuan) tiba di Jawa untuk menghukum Kertanegara, Wijaya melihat peluang emas. Ia bersekutu dengan pasukan Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang dan menghancurkan Kediri.

Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya, dalam sebuah manuver yang cerdik, berbalik menyerang pasukan Mongol yang tengah lengah, berhasil mengusir mereka dari Jawa. Strategi ini tidak hanya membersihkan Jawa dari dua musuh besar dalam waktu singkat (Jayakatwang dan Mongol) tetapi juga memberinya legitimasi mutlak sebagai penyelamat Jawa dan pendiri dinasti baru, Kemaharajaan Majapahit.

Puncak Kekuasaan: Konsolidasi Teritorial dan Kebijakan Integratif

Majapahit mencapai masa keemasan di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk, dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Pada masa ini, Majapahit melakukan ekspansi militer besar-besaran, mengklaim hegemoni atas hampir seluruh kepulauan Nusantara dan mencakup sebagian Asia Tenggara. Kekuatan Majapahit saat itu berhasil mengintegrasikan kekuatan agraria dari pedalaman Jawa dengan kekuatan maritim yang mengontrol jalur perdagangan.

Konflik Internal & Eksternal: Retakan Kekaisaran

Meskipun Majapahit dikenal karena wilayahnya yang luas, fondasinya mulai retak. Secara eksternal, terjadi Perang Bubat pada tahun 1357 M, sebuah konflik tragis yang dipicu oleh ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Kerajaan Sunda. Peristiwa ini, yang mengakibatkan kematian Raja Sunda dan Putri Pitaloka, merusak hubungan diplomasi Majapahit dan meninggalkan citra kekejaman.

Secara internal, perpecahan paling merusak terjadi dalam bentuk Perang Paregreg (1404–1406 M). Perang saudara ini dipicu oleh perebutan takhta antara Wikramawarddhana (menantu Hayam Wuruk) dan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir/keturunan Kertabhumi). Meskipun Wikramawarddhana menang, Perang Paregreg adalah bencana struktural. Konflik ini melemahkan kendali pusat Majapahit, menyebabkan negara-negara bawahan mulai melepaskan diri, dan memicu fragmentasi internal yang berkepanjangan.

Akhir: Transisi Kekuatan dan Invasi Demak

Majapahit mengalami kemunduran bertahap setelah Paregreg akibat konflik suksesi yang terus-menerus. Kehancuran akhir Majapahit terjadi pada tahun 1527 M, ketika Kesultanan Demak melancarkan invasi. Invasi ini memiliki dua motif utama: faktor politik, yang melibatkan balas dendam dari keturunan Bhre Kertabhumi, dan faktor agama, yaitu penetrasi dan penyebaran Islam dari wilayah pesisir.

Invasi Demak berfungsi sebagai pukulan terakhir terhadap kerajaan yang sudah rapuh karena disintegrasi internal. Kejatuhan Majapahit menandai pergeseran hegemoni geopolitik Jawa dari kekuatan pedalaman Hindu-Buddha ke kekuatan pesisir Islam. Kekuatan pesisir, yang berbasis perdagangan maritim, terbukti lebih adaptif terhadap dinamika global dibandingkan sisa-sisa Majapahit di Daha. Meskipun demikian, monarki Hindu tetap bertahan di beberapa wilayah Jawa Timur, seperti Blambangan, hingga abad ke-18.

Mataram Islam (1586–1755 M): Era Kedaulatan Islam dan Kolonialisme

Awal: Panembahan Senopati dan Transformasi dari Pajang

Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati (nama asli Danang Sutawijaya atau Raden Bagus Dananjaya), putra dari Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan adalah punggawa penting di bawah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri Kerajaan Pajang. Sebagai imbalan atas jasa menumpas pemberontakan Arya Penangsang, Ki Ageng Pemanahan dan Sutawijaya diberi wilayah hutan Mentaok (Kotagede, Yogyakarta) untuk dijadikan kadipaten di bawah Pajang.

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, Sutawijaya mengambil gelar Senopati Ing Ngalaga (panglima di medan perang) dan mulai mempersiapkan diri untuk melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Konflik militer pecah, yang memaksa Sultan Hadiwijaya mundur. Kematian Sultan Hadiwijaya pada 1582 M mempermudah jalan bagi Mataram untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada 1586 M, Senopati secara resmi menjadi raja pertama Kesultanan Mataram Islam, dengan gelar  Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama, sebuah gelar yang menegaskan otoritasnya baik dalam pemerintahan maupun keagamaan.

Puncak: Sultan Agung dan Hegemoni Jawa

Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya di bawah kekuasaan Sultan Agung, cucu dari Panembahan Senopati, yang secara resmi mulai menggunakan gelar Sultan pada 1641 M. Sultan Agung berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mataram secara signifikan, menguasai hampir seluruh Jawa, termasuk Demak, Madiun, Surabaya, Kediri, dan Pasuruan, menjadikan Mataram sebagai kekuatan agraria yang dominan di Jawa. Ibu kota Mataram saat itu berpusat di Kotagede, Yogyakarta.

Konflik Eksternal: Perlawanan terhadap VOC di Batavia

Sultan Agung melakukan upaya heroik untuk mengamankan kedaulatan Mataram dari ancaman kekuatan baru, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Mataram melancarkan dua kali pengepungan besar-besaran terhadap benteng VOC di Batavia, pada tahun 1628 dan 1629 M.

Meskipun pasukan Mataram berhasil mendirikan perkemahan dan mengganggu logistik VOC, termasuk meracuni Sungai Ciliwung yang menyebabkan wabah kolera (yang diduga membunuh Jan Pieterszoon Coen pada 1629 M), kedua serangan tersebut berakhir dengan kegagalan militer bagi Mataram. Kegagalan ini merupakan titik balik historis, menandai kegagalan terakhir Mataram untuk menguasai jalur maritim dan pelabuhan, yang membatasi Mataram menjadi kekuatan daratan semata dan memungkinkan VOC untuk meningkatkan penetrasi di Jawa.

Kemunduran: Krisis Suksesi dan Intervensi VOC

Kemunduran Mataram Islam dimulai setelah wafatnya Sultan Agung. Generasi penerus gagal mempertahankan stabilitas internal dan menghadapi serangkaian pemberontakan suksesi dan regional (seperti Pemberontakan Trunajaya dan Sunan Kuning) yang menghancurkan internal keraton.

Para penguasa Mataram berikutnya, seperti Amangkurat I dan II, secara fatal memilih untuk meminta bantuan militer VOC untuk menumpas pemberontakan ini. Bantuan VOC harus dibayar mahal dengan konsesi politik dan teritorial, menjadikan VOC sebagai kingmaker dan pemegang kendali de facto atas politik internal keraton. Intervensi VOC dalam krisis suksesi Mataram ini merupakan bentuk keruntuhan yang lebih canggih, di mana kedaulatan dicabut secara bertahap melalui utang dan perjanjian, bukan melalui invasi fisik semata.

Akhir: Fragmentasi Final oleh Giyanti dan Salatiga

Kedaulatan Mataram Islam berakhir secara resmi dan definitif melalui perjanjian yang didiktekan oleh VOC. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti pada 1755 M, yang secara resmi memecah Mataram Islam menjadi dua entitas terpisah: Kasunanan Surakarta Hadiningrat (dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III) di timur Sungai Opak, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (dipimpin oleh Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I) di barat Sungai Opak.

Perjanjian Giyanti menghancurkan kesatuan politik Mataram dan memberikan otoritas yang signifikan kepada VOC dalam sistem pemerintahan pecahan Mataram. Konflik internal yang masih tersisa kemudian diredam melalui

Perjanjian Salatiga pada 1757 M, yang semakin memfragmentasi wilayah kekuasaan yang tersisa. Perjanjian-perjanjian ini menandai kematian Mataram sebagai entitas politik independen tunggal. Meskipun kedaulatan politik hilang, pembagian wilayah ini pada akhirnya melahirkan dua pusat kebudayaan Jawa yang berhasil mengabadikan warisan Mataram dalam bentuk tradisi, meskipun berada di bawah bayang-bayang kontrol kolonial.

Analisis Komparatif dan Kesimpulan

Pola-Pola Keruntuhan Berulang: Kausalitas Dinasti

Analisis komparatif menunjukkan adanya patologi politik yang konsisten di antara keempat kerajaan besar Jawa: kegagalan dalam mengelola transisi kekuasaan dan suksesi. Konflik internal ini selalu mendahului keruntuhan total. Mataram Kuno mengalami persaingan dinasti yang melahirkan musuh abadi (Balaputradewa-Sriwijaya) , Singasari terkunci dalam siklus balas dendam (Rajasawangsa) , Majapahit mengalami perang saudara yang melemahkan (Paregreg) , dan Mataram Islam ambruk karena serangkaian Perang Suksesi yang mengundang intervensi VOC.

Setiap kerajaan yang tumbang disebabkan oleh retakan internal yang diciptakan oleh perselisihan dinasti. Kekuatan yang akhirnya meruntuhkan mereka—baik itu Wurawari/Sriwijaya, Jayakatwang, Demak, atau VOC—selalu merupakan kekuatan oportunistik yang memanfaatkan keretakan yang sudah ada, menegaskan bahwa stabilitas domestik adalah prasyarat untuk kedaulatan eksternal.

Berikut adalah sintesis pola konflik suksesi:

Pola Konflik dan Kekerasan Suksesi

Kerajaan Konflik Internal Utama Tokoh yang Terlibat Dampak terhadap Negara
Mataram Kuno Persaingan Syailendra-Sanjaya Balaputradewa vs Rakai Pikatan Memicu permusuhan Jawa-Sumatera, yang kemudian berujung pada Mahapralaya (1016 M)
Singasari Siklus Balas Dendam Ken Arok, Anusapati, Tohjoyo Ketidakstabilan dinasti yang akut, mengalihkan fokus Kertanegara, dan membuka celah bagi Jayakatwang
Majapahit Perang Paregreg (1404-1406) Wikramawarddhana vs Bhre Wirabhumi Melemahkan kendali pusat, fragmentasi teritorial, dan membuat Majapahit rentan terhadap Demak
Mataram Islam Perang Suksesi Jawa (Abad 17-18) Amangkurat I, Trunajaya, Mangkubumi Peningkatan drastis utang dan pengaruh VOC, berujung pada pembagian wilayah Mataram

Perubahan Geopolitik: Dari Agraris Klasik ke Ketergantungan Kolonial

Sejarah kerajaan-kerajaan ini juga mencerminkan pergeseran geopolitik yang mendasar di Jawa.

  1. Mataram Kuno: Berbasis agraris di pedalaman, menunjukkan kerentanan terhadap kekuatan maritim Sriwijaya, yang berujung pada perpindahan ibu kota dan Mahapralaya.
  2. Singasari: Mencoba mengatasi kelemahan agraria dengan ekspansi maritim Kertanegara, tetapi gagal mempertahankan pusat kekuasaan di pedalaman.
  3. Majapahit: Berhasil mengintegrasikan kekuatan agraria dan maritim, mencapai hegemoni Nusantara. Namun, kegagalan pasca-Paregreg membuka jalan bagi kebangkitan kekuatan pesisir Islam (Demak), yang menandai transisi kekuasaan berbasis ekonomi maritim/perdagangan.
  4. Mataram Islam: Mencoba kembali membangun hegemoni daratan di bawah Sultan Agung, tetapi kegagalan di Batavia (1629 M) mengukuhkan VOC sebagai penguasa jalur laut. Setelah kegagalan tersebut, Mataram Islam terkunci dalam strategi agraria yang rentan terhadap tekanan dan manipulasi ekonomi serta politik VOC, yang pada akhirnya memicu fragmentasi melalui Perjanjian Giyanti.

Pergeseran ini menunjukkan bahwa seiring waktu, strategi politik dan militer kerajaan Jawa harus beradaptasi, dari menghadapi pesaing regional (Sriwijaya) menjadi menghadapi kekuatan global (VOC), yang menguasai kendali melalui perjanjian dan utang alih-alih melalui penaklukan langsung.

Warisan Abadi Kerajaan-Kerajaan Jawa

Meskipun secara politik keempat kerajaan hegemonik ini akhirnya runtuh, warisan mereka terus membentuk lanskap budaya, sosial, dan keagamaan di Jawa.

Kronologi Komparatif Kerajaan Besar di Jawa

Kerajaan Periode Utama (M) Pendiri Kunci (Awal) Puncak Kejayaan (Konflik/Ekspansi) Faktor Utama Keruntuhan (Akhir) Sumber Utama
Mataram Kuno c. 732 – 1016 Sanjaya / Mpu Sindok Masa pembangunan candi monumental; Airlangga (setelah Pralaya) Invasi Wurawari (diduga suruhan Sriwijaya) / Mahapralaya
Singasari 1222 – 1292 Ken Arok (Sri Rajasa) Kertanegara (Ekspedisi Pamalayu) Pemberontakan Jayakatwang (Konflik Internal Dinasti)
Majapahit 1293 – c. 1527 Raden Wijaya Hayam Wuruk & Gajah Mada (Sumpah Palapa) Perang Paregreg (Perang Saudara) dan Invasi Kesultanan Demak
Mataram Islam 1586 – 1755 Panembahan Senopati Sultan Agung (Pengepungan Batavia) Intervensi VOC dan Perjanjian Giyanti (Fragmentasi politik)

Dari monumen Hindu-Buddha Mataram Kuno , kronik kekerasan dinasti Singasari , konsep kenegaraan Nusantara Majapahit , hingga dualisme Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang muncul dari pecahan Mataram Islam , sejarah kerajaan-kerajaan ini memberikan studi kasus yang kaya tentang bagaimana siklus pendirian, konsolidasi kekuatan, dan akhirnya kejatuhan politik membentuk peradaban kontemporer Jawa. Dalam setiap kasus, terdapat pembelajaran bahwa ambisi eksternal yang tidak dilindungi oleh stabilitas suksesi internal akan selalu menciptakan celah bagi kehancuran.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + = 18
Powered by MathCaptcha