Era Orde Baru di Indonesia, yang membentang dari tahun 1966 hingga 1998, ditandai oleh ambisi besar untuk merekonstruksi dan mentransformasi fundamental perekonomian nasional. Pada saat Orde Baru berkuasa, tantangan ekonomi yang dihadapi sangat besar, di mana kebijakan moneter dan perbankan di awal periode ini difokuskan pada stabilisasi dan rehabilitasi untuk mengatasi kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Para pengamat memperkirakan bahwa tingkat inflasi saat itu berkisar fantastis, yakni sekitar 650% per tahun. Stabilisasi makroekonomi, yang berhasil menurunkan hiperinflasi ini, merupakan prasyarat mutlak yang mendasari semua upaya industrialisasi yang akan menyusul.

Latar Belakang dan Konteks Awal Orde Baru (Stabilisasi dan Rehabilitasi)

Langkah awal yang krusial untuk mengembalikan kepercayaan global dan domestik adalah melalui kerangka hukum yang berorientasi pada pasar. Pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1967 menjadi tonggak sejarah yang dirancang khusus untuk mendorong investasi swasta di sektor-sektor prioritas. Pemerintah saat itu menawarkan paket insentif yang meliputi fasilitas tax holidays, pembebasan bea impor, dan pembebasan pajak penjualan untuk impor mesin, yang kesemuanya ditujukan untuk mengembalikan kepercayaan investor asing dan memobilisasi modal.

Kebutuhan akan modal asing sangat mendesak, sejalan dengan teori ekonomi Neo Klasik yang memandang bahwa modal asing diperlukan untuk menutup celah (gap) antara tabungan domestik dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai target pembangunan yang ambisius. Keberhasilan awal dalam stabilisasi dan rehabilitasi ini menjadi fondasi yang kokoh, memungkinkan pemerintah Orde Baru untuk beralih ke fase perencanaan pembangunan jangka panjang.

Landasan Filosofis: Trilogi Pembangunan dan Tujuan Transformasi Struktural

Strategi pembangunan nasional Orde Baru diatur melalui REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) , yang dirancang sebagai satuan perencanaan untuk mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Visi jangka panjang pembangunan Indonesia mencakup periode 25 hingga 30 tahun, yang secara eksplisit bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian.

Inti dari filosofi pembangunan Orde Baru adalah Trilogi Pembangunan: Stabilitas Nasional yang Mantap, Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan Hasil-hasilnya. Industrialisasi diletakkan sebagai mesin utama untuk mencapai tujuan struktural jangka panjang, yaitu mengubah struktur perekonomian yang semula bertumpu pada pertanian menjadi perekonomian yang bertumpu pada kekuatan industri. Transisi ini sangat penting karena kontribusi produk manufaktur yang meningkat adalah ciri khas negara berkembang yang sedang maju.

Pada tahap awal, fokus diletakkan pada sektor pertanian (Repelita I, 1969–1974). Ini adalah langkah strategis; negara memahami bahwa stabilitas sosial dan politik yang diperlukan untuk industrialisasi jangka panjang hanya dapat dicapai jika swasembada pangan tercapai. Setelah basis pangan dan stabilitas tercipta, sumber daya dan perhatian dialihkan sepenuhnya ke sektor industri. Meskipun Pemerataan disebutkan sebagai bagian dari Trilogi, seringkali fokus praktis pada Pertumbuhan (melalui industrialisasi cepat) mendominasi, menyebabkan isu-isu ketidakmerataan pendapatan dan ketimpangan sumber daya produksi muncul di kemudian hari.

Periodisasi Strategi Industrialisasi Orde Baru

Proses industrialisasi di bawah Orde Baru dapat dibagi menjadi dua fase utama yang didorong oleh kondisi eksternal dan kebutuhan fiskal negara. Kedua fase ini mencerminkan adaptasi kebijakan yang pragmatis terhadap perubahan lingkungan ekonomi global.

Fase I (1969–Awal 1980-an): Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) Berbasis Komoditas

Fase awal industrialisasi Orde Baru mengikuti model Substitusi Impor (ISI), yang berfokus pada pengembangan industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang sebelumnya diimpor. Kebijakan ini mulai dipraktikkan secara serius pada awal Repelita II (1974–1979). Pendorong utama di balik kebijakan ISI adalah melimpahnya dana negara yang didapatkan dari  bonanza minyak bumi, menyusul lonjakan harga minyak global pada tahun 1970-an.

Dengan surplus devisa yang besar, pemerintah Orde Baru mengembangkan industri berat, seperti besi dan baja. Tujuan kebijakan ini adalah menciptakan kemandirian industri dan mengurangi ketergantungan pada impor, sebuah pendekatan yang lazim di banyak negara berkembang pasca-kolonial.

Namun, ketergantungan pada kekayaan komoditas (minyak) menciptakan sebuah dilema ekonomi yang dikenal sebagai Dutch Disease. Dana yang melimpah dari ekspor minyak cenderung memperkuat nilai tukar Rupiah. Nilai tukar yang kuat ini secara tidak langsung menghukum sektor manufaktur non-migas yang berorientasi ekspor, karena produk mereka menjadi mahal di pasar internasional. Akibatnya, insentif untuk efisiensi, inovasi, dan persaingan global menjadi tumpul. Kebijakan ISI yang mahal dan berbasis negara (state-led) ini dapat bertahan selama kas negara terisi penuh oleh pendapatan minyak, tetapi ia menyembunyikan inefisiensi yang akan terungkap saat harga komoditas global jatuh.

Untuk memberikan gambaran kerangka kerja pembangunan, berikut adalah ringkasan fase kebijakan Orde Baru:

Fase Kebijakan dan Fokus Industrialisasi Orde Baru (1969-1994)

Periode Tahun Fokus Utama Pembangunan Strategi Industrialisasi Sumber Daya Pendorong
REPELITA I 1969–1974 Pembangunan Pertanian (Swasembada Pangan) Basis bahan baku dan stabilitas Bantuan Asing, Stabilisasi
REPELITA II 1974–1979 Industrialisasi Substitusi Impor (Industri Berat) Penguatan struktur domestik Bonanza Minyak Bumi (Oil Boom)
REPELITA III 1979–1984 Kesejahteraan Rakyat (Pemerataan Hasil) Diversifikasi Industri ISI Lanjutan Bonanza Minyak
REPELITA IV 1984–1989 Industrialisasi Berorientasi Ekspor (EOI) Deregulasi dan Pengurangan Proteksi Respon terhadap kejatuhan harga minyak
REPELITA V 1989–1994 Peningkatan Industri, Pertanian, SDM Konsolidasi EOI dan Sektor Keuangan Investasi Swasta (PMA/PMDN)

Fase II (Pertengahan 1980-an–1997): Orientasi Ekspor (EOI) dan Deregulasi

Penurunan tajam harga minyak global pada awal tahun 1980-an menjadi titik balik krusial. Indonesia, yang sangat bergantung pada pendapatan minyak untuk membiayai pembangunan dan ISI, mengalami guncangan fiskal yang parah. Penurunan ini berimbas pada penurunan cadangan devisa Bank Sentral sebesar USD3.074 juta pada akhir Maret 1983.

Krisis ini memaksa pemerintah Orde Baru untuk beralih secara drastis dari strategi ISI yang protektif dan mahal, menuju Industrialisasi Berorientasi Ekspor (EOI). Pergeseran ini bukanlah pilihan ideologis melainkan suatu keharusan fiskal. Pemerintah harus segera mencari sumber devisa non-migas untuk menyeimbangkan neraca pembayaran.

Strategi EOI membutuhkan reformasi struktural, terutama di bidang moneter dan perbankan, untuk memobilisasi dana domestik dan menarik modal asing di sektor non-migas. Kebijaksanaan ISI yang dijalankan sebelum tahun 1985 memang telah mendorong perkembangan subsektor industri ringan lebih cepat daripada subsektor industri berat, yang menciptakan diversifikasi di sektor industri. Namun, untuk bersaing di pasar global, proteksi harus dikurangi dan peran sektor swasta harus didorong.

Langkah-langkah penyesuaian diambil, termasuk deregulasi dan debirokratisasi, yang ditujukan untuk membebaskan eksportir menyerahkan devisa hasil ekspor. Liberalisasi ekonomi ini bertujuan untuk menumbuhkan serta mendorong peranan sektor swasta dalam pembangunan nasional.

Pilar Kebijakan Utama dan Implementasi

Industrialisasi Orde Baru pasca 1983 didukung oleh serangkaian paket kebijakan deregulasi yang mengubah lanskap keuangan dan investasi nasional secara fundamental.

Kebijakan Deregulasi Moneter dan Keuangan

Deregulasi moneter dimulai pada tahun 1983, tetapi mencapai puncaknya dengan diterbitkannya Paket Kebijakan Deregulasi 27 Oktober 1988, yang dikenal sebagai Pakto 1988. Pakto 1988 secara luas dianggap sebagai aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Kebijakan ini secara radikal menurunkan hambatan masuk ke sektor perbankan, memungkinkan siapapun untuk mendirikan bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar (pada tahun 1988).

Langkah ini berhasil mencapai tujuan kuantitatifnya, ditunjukkan dengan keberhasilan dalam meningkatkan perkembangan perbankan Indonesia, baik dari sudut pengerahan dana maupun pemberian kredit. Angka absolut seperti jumlah bank, kantor cabang, dana yang dihimpun, dan kredit yang disalurkan mengalami peningkatan dramatis.

Namun, keberhasilan kuantitatif ini membawa risiko sistemik yang tersembunyi. Liberalisasi yang sangat cepat, dengan persyaratan modal minimal yang rendah, menunjukkan bahwa prioritas pemerintah saat itu lebih ditekankan pada kuantitas ekspansi kredit dan mobilisasi dana daripada pada kehati-hatian (prudential regulation). Ekspansi kredit besar-besaran, seringkali tanpa manajemen risiko yang memadai, menciptakan kerentanan sistem keuangan yang fatal. Baru pada tahun 1996 Bank Indonesia merasa perlu untuk mengerem pertumbuhan moneter yang tinggi ini dengan menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3% (dari sebelumnya 2% menurut Pakto 1988). Meskipun ada upaya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (moral suasion), kerusakan struktural pada kualitas aset perbankan sudah terlanjur terjadi.

Peran Modal Asing (PMA) dan Investasi Swasta

Kebijakan investasi, yang dimulai sejak UU PMA 1967 , menjadi pilar esensial dalam fase EOI. PMA tidak hanya berfungsi sebagai penutup celah tabungan-investasi , tetapi juga membawa teknologi, manajemen, dan akses ke pasar global.

Realisasi investasi domestik (PMDN) dan asing (PMA) menunjukkan respons positif yang luar biasa terhadap lingkungan kebijakan yang semakin terbuka ini. Peningkatan dramatis dalam nilai investasi mencerminkan keberhasilan pemerintah dalam menciptakan daya tarik bagi investor pasca-deregulasi.

Realisasi Investasi PMDN di Indonesia (1990-1997)

Tahun PMDN (Nilai Rupiah, Miliar) Signifikansi
1990 2.398,6 Efek awal Pakto 88 dan dorongan EOI
1994 12.786,9 Peningkatan dramatis, menunjukkan daya tarik investasi domestik
1996 18.609,7 Puncak investasi sebelum sentimen pasar berubah
1997 18.628,8 Stagnasi/Awal penurunan akibat krisis (data belum sepenuhnya terpengaruh)

Ketergantungan pada aliran PMA dan utang luar negeri swasta yang cepat dan signifikan selama fase EOI menciptakan risiko struktural yang serius. Perekonomian menjadi sangat rentan terhadap perubahan sentimen investor global. Ketika investor asing kehilangan kepercayaan atau terjadi guncangan eksternal, mekanisme aliran modal keluar yang tiba-tiba (sudden stop atau capital flight) memiliki potensi untuk melumpuhkan sistem keuangan nasional, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997.

Peran Sektor Publik (BUMN) dan Kemitraan Swasta-Negara

Meskipun Orde Baru gencar mendorong peran swasta melalui deregulasi, sektor publik yang diwakili oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap memegang kendali strategis. Pada Tahap Pembangunan (1967–1997), BUMN berfungsi sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi, terlibat dalam berbagai proyek strategis, terutama dalam penyediaan infrastruktur yang vital untuk mendukung industrialisasi.

Pemerintah beroperasi di bawah model yang dapat diidentifikasi sebagai Developmental State, di mana negara menggunakan BUMN dan koneksi politik untuk mengarahkan alokasi sumber daya. BUMN terlibat dalam skema Indonesia Incorporated , yang menunjukkan upaya negara untuk mengintegrasikan perusahaan-perusahaan strategisnya.

Namun, model ini di Indonesia sangat terkontaminasi oleh faktor-faktor non-pasar. Peran BUMN dan aliansi antara negara dan konglomerat besar seringkali melahirkan praktik crony capitalism. Akses ke proyek strategis dan kredit perbankan tidak semata-mata didasarkan pada efisiensi, tetapi pada kedekatan politik. Hal ini terlihat dari menjamurnya konglomerat yang perusahaannya beroperasi di berbagai sektor yang tidak saling berkaitan, seperti Liem Sioe Liong atau Sudwikatmono. Keterlibatan BUMN dalam politik ekonomi ini, alih-alih menjamin efisiensi, justru memperparah masalah tata kelola dan berkontribusi pada fenomena  high-cost economy.

Dampak dan Perubahan Struktural Ekonomi

Industrialisasi Orde Baru berhasil mencapai tujuan utamanya dalam hal transformasi struktural, meskipun dampak dan kualitas pertumbuhannya masih menjadi perdebatan.

Transformasi PDB dan Sektor Manufaktur

Sejak Repelita I, pembangunan ekonomi dicetuskan untuk mengubah struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Data menunjukkan bahwa pemerintah berhasil membalik komposisi Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi sektor manufaktur terhadap struktur industri nasional mencapai 18,8% pada tahun 1980, dan meningkat menjadi 23,4% pada tahun 1983. Peningkatan ini menunjukkan akselerasi yang cepat dalam membangun basis industri, terutama sebelum deregulasi besar-besaran EOI diterapkan secara penuh.

Perubahan Struktural Manufaktur Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

Tahun Kontribusi Sektor Manufaktur (%) Keterangan Analitis
1980 18,8% Awal penguatan ISI berbasis minyak
1983 23,4% Peningkatan signifikan, sebelum deregulasi EOI
Pertengahan 1990-an Sekitar 25% (Puncak) Puncak industrialisasi sebelum krisis
1998 Kontraksi tajam Dampak krisis moneter/bankrut

Meskipun angka-angka kontribusi PDB menunjukkan keberhasilan makroekonomi (yang dikenal sebagai ‘Keajaiban Ekonomi’ Indonesia), analisis mendalam mengungkapkan bahwa pertumbuhan ini rapuh. Sektor manufaktur Indonesia, yang didorong oleh investasi dan kredit, ternyata memiliki struktur biaya produksi yang sangat rentan. Biaya untuk material mencapai 58,3%, sementara biaya overhead mencapai 33,4%. Sebagai perbandingan, di Cina biaya overhead hanya 17,1%.

Tingginya ketergantungan pada input impor dan tingginya biaya overhead domestik membuat daya saing produk Indonesia menjadi terpuruk di pasar global. Pertumbuhan PDB manufaktur yang tinggi menutupi fakta bahwa industri tersebut sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dan sangat sensitif terhadap nilai tukar. Ketika Rupiah anjlok, biaya material impor dan beban utang valas melonjak, sehingga kerentanan struktural ini terungkap secara brutal saat Krisis Moneter 1997/1998.

Pergeseran Struktur Ketenagakerjaan

Industrialisasi yang sukses harus dibarengi dengan pergeseran tenaga kerja dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri dan manufaktur). Pemerintah Orde Baru meletakkan dasar ini dengan memprioritaskan pertanian pada Repelita I (1969–1974) , yang bertujuan meningkatkan produksi pangan, khususnya beras, dan perluasan kesempatan kerja. Modernisasi pertanian menghasilkan peningkatan produktivitas yang memungkinkan surplus tenaga kerja bergerak ke sektor industri.

Industrialisasi memang mendorong pertumbuhan sektor industri yang cepat disertai dengan perubahan struktur PDB. Seiring dengan perkembangan industri besar, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta industri rumahan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap penciptaan nilai tambah nasional. Industri rumahan, walaupun bukan penghasil output terbesar, sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia dan merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari unit usaha berskala menengah atau besar.

Namun, perlu diperhatikan bahwa pergeseran ini juga memiliki sisi gelap. Industrialisasi yang berorientasi pada pertumbuhan sektor formal dan didanai secara eksternal sering mengabaikan isu-isu struktural di tingkat bawah, sehingga manfaat lapangan kerja dan peningkatan produktivitas tidak merata di seluruh lapisan masyarakat.

Perkembangan Sektoral Kunci: Studi Kasus

Dua sektor industri menonjol sebagai indikator keberhasilan dan kegagalan kebijakan Orde Baru:

  1. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi (TPT): Sektor TPT, yang memiliki sejarah panjang sejak era kolonial , menjadi salah satu mesin ekspor non-migas terpenting selama fase EOI. Industri ini berkembang pesat dan ekspansif , menjadi contoh nyata keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan tenaga kerja yang relatif murah untuk bersaing di pasar global.
  2. Industri Otomotif: Sektor otomotif, yang perkembangannya didukung oleh pemerintah sebagai simbol kebangkitan ekonomi , seringkali menjadi arena yang sangat diproteksi. Perlindungan yang berlebihan, termasuk proyek-proyek mobil nasional yang melibatkan konglomerat dengan koneksi politik, seringkali memicu praktik monopoli dan inefisiensi, yang bertentangan dengan semangat deregulasi dan efisiensi pasar yang seharusnya dicanangkan dalam strategi EOI.

Kritik dan Kelemahan Struktural (Ekonomi-Politik Orde Baru)

Di balik statistik pertumbuhan makroekonomi yang impresif, industrialisasi Orde Baru diwarnai oleh kelemahan fundamental yang bersifat kelembagaan dan politik. Kegagalan ini, yang terakumulasi selama tiga dekade, menjadi penyebab utama kerapuhan ekonomi saat menghadapi guncangan eksternal.

Konglomerasi dan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN)

Sistem ekonomi Orde Baru dicirikan oleh apa yang disebut sebagai crony capitalism, di mana mekanisme pasar dimanipulasi oleh akses dan kedekatan politik. Istilah konglomerat, yang menggambarkan pengusaha kelas kakap dengan perusahaan besar dan beragam anak perusahaan (seperti Liem Sioe Liong) , menjadi simbol dari aliansi segitiga yang terbentuk: Negara (militer/birokrasi), Teknokrat, dan Konglomerat.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah masalah sentral. KKN bukan sekadar praktik individu, tetapi suatu kegagalan kelembagaan di mana alokasi sumber daya, perizinan, dan akses terhadap kredit perbankan yang baru didirikan pasca-Pakto 88 seringkali ditentukan oleh koneksi politik daripada meritokrasi ekonomi. Praktik  rent-seeking (pencarian rente) yang meluas ini memastikan bahwa hanya segelintir konglomerat yang menikmati keuntungan pembangunan, sementara usaha kecil dan menengah menghadapi hambatan birokrasi yang mahal.

Analisis ekonomi-politik menunjukkan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan lebih berorientasi pada pertumbuhan sektor formal dan mengabaikan ekonomi rakyat. Ini menciptakan ketergantungan, baik secara ekonomi maupun politik, di mana masyarakat miskin menjadi semakin tergantung pada program pemerintah dan kekuatan pasar yang dikontrol oleh elit.

High-Cost Economy dan Kerentanan Krisis

Akumulasi dari inefisiensi birokrasi, monopoli, dan praktik KKN menciptakan apa yang disebut sebagai high-cost economy. Biaya  overhead yang membengkak dalam struktur biaya produksi manufaktur Indonesia adalah manifestasi langsung dari biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan perizinan, menghadapi birokrasi, atau membeli proteksi dari monopoli yang dilindungi.

Karakteristik high-cost economy ini, yang diperparah oleh tata kelola yang lemah (weak governance) dan pasar tenaga kerja yang kaku (rigid labour market), secara signifikan menghambat daya saing Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sebelum tahun 1997 menyembunyikan kenyataan bahwa pondasi laba perusahaan sudah terkikis oleh inefisiensi internal.

Kontradiksi inti dari industrialisasi Orde Baru adalah: pertumbuhan yang cepat adalah pertumbuhan yang mahal. Sistem yang secara internal mahal ini sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Ketika guncangan terjadi, margin keuntungan yang sudah tertekan tidak dapat menahan kenaikan biaya, menyebabkan kebangkrutan massal yang cepat di sektor korporasi.

Penutup: Krisis 1997/1998 dan Warisan Industrialisasi

Runtuhnya Sistem: Dampak Krisis Moneter

Kerentanan struktural yang terakumulasi selama era industrialisasi Orde Baru mencapai titik kritis pada tahun 1997, dipicu oleh krisis moneter Asia. Industrialisasi yang didorong oleh deregulasi dan PMA pada tahun 1980-an dan 1990-an menghasilkan utang luar negeri sektor swasta yang besar, yang sebagian besar tidak dilindungi (unhedged) terhadap risiko nilai tukar.

Ketika Rupiah mulai melemah, utang ini menjadi beban yang tidak terbayarkan, memicu krisis likuiditas dan kepercayaan. Untuk mempertahankan nilai tukar Rupiah, pemerintah menerapkan kebijakan suku bunga tinggi, yang mencapai 80% per tahun. Kebijakan drastis ini, meskipun ditujukan untuk stabilisasi moneter, justru merusak sektor riil. Sektor korporasi dan sektor perbankan kolaps secara bersamaan (concurrent collapse) karena bank-bank yang baru didirikan dan minim regulasi kehati-hatian tidak dapat mengatasi kredit macet yang masif.

Dampak krisis sangat parah, ditandai dengan melemahnya Rupiah secara ekstrem, kebangkrutan beberapa perusahaan, dan naiknya harga kebutuhan pokok. Kegagalan ini memunculkan tuntutan besar untuk reformasi politik dan ekonomi. Krisis 1997/1998 pada dasarnya adalah manifestasi kegagalan regulasi kehati-hatian yang terakumulasi setelah liberalisasi Pakto 88, serta konsekuensi dari KKN yang mengalokasikan kredit ke proyek-proyek yang didasarkan pada koneksi, bukan kelayakan ekonomi.

Evaluasi Jangka Panjang: Keberhasilan Pertumbuhan vs. Kegagalan Kelembagaan

Secara retrospektif, industrialisasi Orde Baru mencapai keberhasilan yang signifikan dalam hal pertumbuhan kuantitatif. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan selama periode ini , yang berhasil mengubah komposisi PDB secara permanen dari agraris menjadi industrial.

Namun, keberhasilan tersebut dicapai dengan mengorbankan pembangunan kelembagaan. Orde Baru gagal menciptakan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Kegagalan kelembagaan (terutama tata kelola yang buruk, lemahnya anti-monopoli, dan korupsi yang sistemik) adalah warisan yang paling memberatkan dari periode industrialisasi ini.

Krisis 1997/1998 secara definitif membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat, didanai secara eksternal, dan didominasi oleh crony capitalism tidak dapat berkelanjutan tanpa fondasi kelembagaan yang kuat. Peristiwa tersebut menjadi mandat reformasi yang mengubah peta politik dan ekonomi Indonesia, memaksa transisi menuju tata kelola yang lebih baik dan penegakan hukum yang lebih kuat, meskipun tantangan struktural yang ditimbulkan oleh praktik high-cost economy dan KKN masih dirasakan hingga kini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

58 + = 63
Powered by MathCaptcha