Latar Belakang dan Urgensi Data Terintegrasi dalam Pembangunan Nasional
Dalam konteks transformasi digital global, data telah menjadi aset strategis utama bagi negara mana pun. Kesadaran akan perlunya restrukturisasi arsitektur data global meningkat tajam, terutama setelah dunia mengalami pengalaman sulit dalam menghadapi situasi darurat, seperti pandemi COVID-19, yang menyoroti pentingnya ruang akses dan informasi data yang tepercaya.
Bagi Indonesia, yang sedang fokus pada pencapaian visi Indonesia Emas 2045, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan ketersediaan data yang akurat merupakan kunci mutlak untuk kemajuan bangsa. Data yang valid sangat krusial dalam perencanaan pembangunan. Tanpa data yang dapat dipertanggungjawabkan, keputusan-keputusan dan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemangku kepentingan berpotensi besar untuk tidak bermanfaat bagi masyarakat. Laporan ini secara spesifik menganalisis tantangan data nasional dan daerah yang saat ini terfragmentasi, tidak lengkap, dan tidak terintegrasi, serta menawarkan solusi strategis untuk mengatasinya.
Landasan Hukum Utama: Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI)
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis untuk mengatasi fragmentasi data melalui inisiasi kebijakan Satu Data Indonesia (SDI). Kebijakan ini secara formal tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019.
Tujuan utama SDI adalah untuk menyediakan data yang kredibel, akuntabel, terkini, dan terintegrasi, yang sangat diperlukan untuk memperkuat proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan nasional dan daerah. Kebijakan ini secara tegas menekankan pada empat prinsip utama: adanya standar yang sama untuk data, penggunaan metadata baku, adopsi kode referensi yang konsisten, serta jaminan interoperabilitas data antar instansi. Melalui kerangka SDI, seluruh data pemerintah dan instansi terkait diharapkan dapat bermuara di Portal Satu Data Indonesia (data.go.id).
Struktur dan Fokus Analisis Laporan
Laporan ini dirancang untuk memberikan tinjauan menyeluruh. Analisis akan dimulai dengan mengurai masalah kelembagaan yang kronis, khususnya fenomena “ego sektoral,” dilanjutkan dengan diagnosis dampak nyata kegagalan integrasi data pada program-program krusial seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan alokasi Bantuan Sosial (Bansos). Terakhir, laporan akan menyajikan peta jalan solusi yang terintegrasi, melibatkan penguatan tata kelola, akselerasi infrastruktur digital, dan pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang data.
Kerangka Tata Kelola Data Di Indonesia: Analisis Kelembagaan Dan Regulasi
Pilar-Pilar Utama Satu Data Indonesia (SDI)
Implementasi SDI didasarkan pada empat pilar teknis yang memastikan homogenitas dan kualitas data: 1) Data harus memenuhi standar data yang ditetapkan; 2) Data harus memiliki metadata baku; 3) Data harus menggunakan kode referensi dan data induk yang sama; dan 4) Data harus memiliki jaminan interoperabilitas. Pencapaian prinsip-prinsip ini adalah prasyarat utama untuk mewujudkan Sistem Statistik Nasional yang efektif, yang mensyaratkan penggabungan tiga jenis statistik—dasar, sektoral, dan khusus—menjadi satu kesatuan logis.
Definisi dan Relasi Tugas Kelembagaan dalam Ekosistem SDI
Struktur SDI, yang diatur dalam Perpres 39/2019, membagi peran dan tanggung jawab kelembagaan menjadi tiga kategori utama:
- Pembina Data: Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki peran sebagai kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik, sementara Kementerian PPN/Bappenas (menteri yang menyelenggarakan urusan perencanaan pembangunan nasional) menjabat sebagai Ketua merangkap anggota dalam Komite SDI. Tugas utama Pembina Data adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan standar data, metadata, dan kode referensi.
- Walidata (Wali Data): Walidata wajib mengumpulkan data dari Produsen Data, memverifikasi kesesuaian data dengan standar yang ditetapkan, dan mengelola Portal SDI. Di tingkat daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) wajib berfungsi sebagai Walidata.
- Produsen Data: Seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) di pusat dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di daerah bertugas menghasilkan, memelihara, dan menyediakan data sektoral dan khusus yang akurat dan mutakhir kepada Walidata, sesuai dengan standar SDI.
Selain ketiga peran tersebut, Forum Satu Data Indonesia (SDI) berfungsi sebagai mekanisme koordinasi penting di tingkat pusat dan daerah. Forum ini vital untuk membahas daftar data kebutuhan mendesak dan menetapkan hasil identifikasinya, sebuah fungsi yang krusial untuk mengintegrasikan data bantuan sosial.
Konflik Kelembagaan dan Kesenjangan Kepatuhan
Meskipun kerangka regulasi SDI telah jelas diatur, implementasi di lapangan masih terhambat oleh masalah struktural. Salah satu tantangan terberat adalah adanya kesenjangan kepatuhan (compliance gap) antara otoritas regulasi dan Produsen Data. Perpres 39/2019 telah memberikan otoritas yang jelas kepada Pembina Data (Bappenas/BPS) untuk menetapkan standar , namun fragmentasi data akibat “ego sektoral” tetap menjadi persoalan klasik. Fenomena ini muncul karena Produsen Data cenderung memprioritaskan kepentingan atau sistem internal mereka sendiri di atas standar nasional yang ditetapkan.
Implikasi dari kesenjangan ini diperparah di tingkat daerah. Walidata, yang diwakili oleh Diskominfo, memiliki kewajiban untuk mengelola data , namun sering kali mereka tidak dilengkapi dengan otoritas politik atau kapasitas teknis yang memadai untuk memaksa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lokal menyerahkan data secara tepat waktu. Kondisi ini menghasilkan “beban ganda” bagi Walidata daerah. Sebagai contoh, di Provinsi Banten, Sekretariat data dan Walidata daerah dianjurkan untuk membuat timeline yang jelas dan memberikan sanksi bagi Produsen Data yang telat mengumpulkan data, mengindikasikan bahwa kepatuhan saat ini masih bersifat sukarela dan bukan kewajiban yang ditegakkan.
Diagnosis Kritis: Akar Permasalahan Ketidaklengkapan Data
Ketidaklengkapan dan ketidakakuratan data di Indonesia bersumber dari tiga dimensi utama: kelembagaan, teknis, dan sumber daya manusia.
Permasalahan Kelembagaan dan Tata Kelola (The Governance Gap)
Akar masalah klasik data di Indonesia adalah ego sektoral. Sikap ini mengakibatkan beragamnya varian data yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintahan. Variasi data ini, pada gilirannya, dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda, dengan implikasi kebijakan yang juga berbeda dan sering kali bertentangan.
Selain ego sektoral, ditemukan masalah mendasar pada standar dan validasi data:
- Ketiadaan Standarisasi yang Baik: Kurangnya standardisasi menyebabkan data menjadi kurang mutakhir dan tidak lengkap. Bahkan standar makro penting, seperti Garis Kemiskinan RI, dinilai kurang relevan dan mendesak untuk segera direvisi.
- Kurangnya Mekanisme Verifikasi dan Validasi (V&V): Mekanisme V&V data belum terkelola dengan baik, yang meningkatkan potensi duplikasi data atau data yang tidak valid. Sebagai contoh kritis, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa Kementerian Sosial (Kemensos) belum mempunyai mekanisme yang pasti untuk memastikan pelaksanaan verifikasi dan validasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Permasalahan Teknis dan Infrastruktur Data
Integrasi data terhambat oleh fragmentasi platform dan sistem teknologi informasi. Meskipun terdapat dorongan strategis dari SDI untuk mengintegrasikan data dalam infrastruktur Data Center dan Cloud yang terpusat , banyak sistem masih berjalan secara individual, menciptakan silo data.
Secara infrastruktur, kendati program Palapa Ring telah diluncurkan sebagai jaringan serat optik nasional untuk pemerataan akses broadband di 57 kabupaten/kota , tantangan dalam membangun pusat data regional yang komprehensif masih ada. Kesenjangan akses digital regional ini menghambat transmisi data yang cepat dan tepercaya dari daerah ke pusat.
Permasalahan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dalam melakukan komputasi dan analisis data menjadi tantangan signifikan, terutama terlihat dalam integrasi data program bantuan pemerintah. Secara umum, Indonesia menghadapi kesenjangan keterampilan dalam menghadapi era digital. Data menunjukkan bahwa hanya 22% perusahaan Indonesia yang memiliki keahlian yang memadai untuk memanfaatkan penuh alat predictive analytics. Kesenjangan ini mencerminkan hambatan serius di sektor publik dalam memanfaatkan Big Data untuk transformasi digital.
Permasalahan data harus dipandang sebagai sebuah kaskade yang dimulai dari kegagalan tata kelola. Ego sektoral mencegah standarisasi teknis, menghasilkan data yang tidak mutakhir dan tumpang tindih. Apabila data dasarnya sudah cacat (Garbage In), maka upaya analisis oleh SDM yang kompeten akan sia-sia. Dengan demikian, penegakan tata kelola adalah prasyarat utama sebelum investasi teknis dan peningkatan SDM dapat memberikan dampak optimal.
Dampak Strategis Ketidakakuratan Data Terhadap Kebijakan Publik
Kegagalan dalam tata kelola data di Indonesia memiliki implikasi yang luas dan mahal, bertranslasi dari risiko teknis menjadi risiko fiskal, sosial, dan politik.
Implikasi Terhadap Kualitas Perencanaan Pembangunan (RPJMN/RPJMD)
Data yang tidak akurat, tidak lengkap, dan tidak valid secara langsung menyebabkan keputusan pembangunan yang diambil oleh pemangku kepentingan menjadi tidak efektif atau salah sasaran. Sebaliknya, data statistik dasar yang kredibel, seperti yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terbukti sangat strategis dan transformatif dalam pengambilan keputusan yang tepat, yang terlihat dari keberhasilan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) meraih penghargaan TPID Award berkat akurasi data BPS. Namun, keberhasilan ini kontras dengan kondisi di beberapa daerah lain yang masih berjuang hanya untuk memastikan Produsen Data lokal mengumpulkan data. Variasi besar dalam maturitas data antar daerah ini memerlukan intervensi terstruktur dari pusat.
Analisis Kasus Kegagalan Data di Sektor Kesejahteraan Sosial (DTKS)
Sektor perlindungan sosial menjadi kasus uji kritis bagi kegagalan SDI. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sering kali menggunakan basis data lama, bahkan ada yang diambil sejak tahun 2013, tanpa pembaruan berkala yang memadai (minimal per enam bulan).
Dampak dari data yang tumpang tindih dan kurang mutakhir ini sangat signifikan:
- Kerugian Fiskal: Temuan BPK mengungkap adanya bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat sasaran senilai total Rp843,7 miliar di tingkat pusat maupun daerah. Kegagalan data ini berimplikasi langsung pada kerugian negara dan memperbesar risiko fiskal, terutama mengingat alokasi besar untuk klaster perlindungan sosial dalam program PC-PEN (misalnya, mencapai Rp216,6 triliun pada tahun 2020).
- Inefisiensi dan Ketidakadilan Sosial: Kurangnya akurasi dalam menentukan sasaran penerima menyebabkan ditemukannya penerima ganda, orang yang sudah meninggal, atau orang yang sudah mampu yang masih terdaftar sebagai penerima bantuan.
- Kewalahan saat Krisis: Saat pemerintah harus meluncurkan program darurat seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) COVID-19, masalah data yang tidak valid menyebabkan pemerintah kewalahan dalam menentukan sasaran yang tepat dan cepat.
Kasus DTKS membuktikan bahwa SDI bukan hanya inisiatif teknologi informasi, melainkan pilar utama ketahanan negara (resiliensi). Kegagalan tata kelola data DTKS menunjukkan bahwa investasi fiskal yang masif tidak memberikan dampak maksimal, menggarisbawahi kegagalan integrasi data sebagai risiko sosial dan fiskal terbesar.
Arsitektur Solusi Jangka Pendek Dan Menengah: Tata Kelola Dan Infrastruktur
Solusi untuk mengatasi data yang tidak lengkap harus dimulai dengan penguatan tata kelola dan konsolidasi infrastruktur, sebelum teknologi canggih diterapkan.
Penguatan Tata Kelola (Governance Solutions)
Penguatan Perpres 39/2019 harus bergeser dari pendekatan koordinasi menjadi penegakan.
- Penegakan Kepatuhan: Perlu adanya timeline yang jelas dan sanksi yang tegas bagi Produsen Data (K/L atau OPD) yang gagal atau telat dalam menyediakan data sesuai standar. Otoritas Pembina Data harus diperkuat untuk memastikan kepatuhan yang ketat, bukan sekadar imbauan.
- Optimalisasi Forum SDI: Forum SDI di tingkat pusat harus difungsikan secara efektif untuk membahas dan menyepakati identifikasi data untuk kebutuhan mendesak, seperti yang dilakukan untuk integrasi data bantuan sosial.
- Replikasi Model Keberhasilan Daerah: Beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan kematangan tata kelola. Contohnya, Kota Semarang meraih peringkat pertama dalam anugerah Gadjah Mada Digital Transformation Governance Index (GM-DTGI) Tahun 2025, dan Kota Yogyakarta menerima apresiasi atas pengelolaan data statistik sektoral terbaik. Model-model keberhasilan ini, yang menekankan pada tujuh pilar tata kelola termasuk tata kelola data dan keamanan siber , harus diidentifikasi dan direplikasi secara nasional.
Akselerasi Infrastruktur Digital Terintegrasi
Pemerintah sedang mendorong keterpaduan data dan transformasi digital menuju konsep GovTech 2025. Konsep GovTech ini mewakili pergeseran struktural yang bertujuan menghilangkan fragmentasi sistem secara paksa.
- Konsolidasi Pusat Data: SDI menekankan pentingnya integrasi data dalam infrastruktur Data Center dan Cloud yang terpusat. Jika semua Produsen Data diwajibkan menggunakan infrastruktur cloud yang terintegrasi di bawah payung GovTech, mereka secara inheren akan dipaksa untuk mengadopsi standar data yang sama agar sistem mereka dapat berinteraksi (interoperabilitas). Ini mengatasi masalah kelembagaan (ego sektoral teknis) melalui rekayasa teknis.
- Pemerataan Akses: Program infrastruktur digital, termasuk kelanjutan dan perluasan Palapa Ring, perlu didorong untuk memastikan pemerataan akses broadband. Ini fundamental untuk mendukung transmisi data yang cepat dan tepercaya dari daerah terpencil ke pusat data terintegrasi. Indonesia, dengan pasar domestik yang besar, memiliki potensi kuat untuk menjadi pusat data regional jika integrasi ini berhasil.
Inovasi Teknologi Untuk Mengisi Kesenjangan Data
Pemanfaatan teknologi canggih, seperti Big Data Analytics dan Kecerdasan Buatan (AI), dapat menjadi solusi kuat untuk mengatasi kesenjangan data, asalkan tata kelola dan infrastruktur dasar SDI sudah kokoh.
Strategi Adopsi Big Data dan Predictive Analytics
Big Data dan Predictive Analytics adalah alat yang sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan pengambilan keputusan yang responsif terhadap perubahan pasar. Teknologi ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat. Dalam konteks sektor publik, analitik prediktif dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi pola dan mengisi data gap secara otomatis, membantu organisasi memprediksi tren dan memfasilitasi real-time decision making.
Peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam Integrasi dan Peningkatan Kualitas Data SDI
Kualitas data yang tinggi adalah prasyarat yang sangat penting untuk menciptakan produk AI yang efektif. Oleh karena itu, dukungan terhadap inisiatif SDI sangat krusial agar data dapat terintegrasi lintas kementerian, memungkinkan AI diadopsi secara strategis dalam layanan publik.
Peran AI di sini meliputi:
- Otomatisasi Data Cleansing: AI dapat membantu mengkonsolidasikan, membersihkan, dan mencocokkan (data matching) data yang masih terfragmentasi, menyiapkannya untuk analitik prediktif.
- Inovasi Lintas Batas: Kebutuhan akan penguatan mekanisme berbagi data tepercaya, seperti yang disarankan dalam Presidensi G-20 (pembentukan platform genome sequence data global) , menunjukkan bahwa standar SDI harus kompatibel dan mampu berinteraksi dengan kerangka data internasional, terutama di kawasan Asia Pasifik.
Penting untuk dipahami bahwa implementasi Big Data dan AI tanpa pondasi SDI yang kuat adalah risiko. Jika data dasar (misalnya DTKS) sudah cacat, AI hanya akan mengotomatisasi kesalahan identifikasi sasaran dan memperburuk ketidakakuratan kebijakan. Oleh karena itu, kualitas data adalah prasyarat yang harus didahulukan.
Pembangunan Kapasitas Sumber Daya Manusia Data
Integrasi data yang sukses tidak mungkin terjadi tanpa SDM yang mumpuni. Terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi kesenjangan kompetensi SDM di bidang data science dan AI.
Peta Jalan Peningkatan Kompetensi (Upskilling) ASN di Bidang Data
Kurangnya SDM yang kompeten dalam komputasi dan analisis data di sektor publik menjadi penghalang utama integrasi data. Pemerintah telah menyiapkan lima pilar untuk meningkatkan SDM berkualitas menuju tahun 2040 dan 2045. Strategi pengembangan SDM ini harus berfokus pada upskilling yang menekankan pada aplikasi praktis, pelatihan langsung, dan pembelajaran berkelanjutan dalam keterampilan data science dan analitik Big Data, agar selaras dengan kebutuhan industri dan teknologi yang terus berkembang.
Kolaborasi Institusional dan Dukungan Pemerintah
Peningkatan kompetensi SDM harus dilakukan melalui upaya kolaboratif antara lembaga pendidikan, profesional industri TI, dan lembaga pemerintah. Kolaborasi ini menyatukan sumber daya dan keahlian untuk merancang program pelatihan yang berdampak. Pemerintah juga harus menyediakan dukungan berupa insentif dan beasiswa bagi individu yang mengikuti pelatihan tersebut.
Peningkatan kompetensi ini tidak hanya bertujuan untuk analisis data, tetapi juga untuk memastikan kepatuhan standar. Staf operasional di tingkat Produsen Data perlu memahami secara mendalam cara kerja metadata dan interoperabilitas. Jika Produsen Data tidak memahami standar, data yang dihasilkan akan buruk, yang pada akhirnya memperparah ego sektoral. Oleh karena itu, upskilling harus diprioritaskan pada tingkatan operasional (Pranata Komputer, Analis Data) untuk menanamkan budaya data yang benar sejak sumber.
Rekomendasi Program Literasi Data Menyeluruh
Pemerintah perlu memperkuat program literasi secara menyeluruh. Ini mencakup literasi statistik dan data, yang ditujukan tidak hanya kepada staf teknis, tetapi juga kepada pengambil kebijakan tingkat atas. Literasi data bagi pengambil keputusan memastikan mereka memahami urgensi data yang valid dan mampu membuat kebijakan berbasis bukti yang baik.
Rekomendasi Kebijakan Dan Penutup
Lima Rekomendasi Kebijakan Prioritas untuk Penguatan Data Nasional
Berdasarkan diagnosis kelembagaan, teknis, dan SDM, direkomendasikan lima langkah kebijakan strategis:
- Penciptaan Mekanisme Penegakan Wajib Data (Mandatory Data Compliance Enforcement): Otoritas Pembina Data (Bappenas/BPS) harus diberikan kewenangan eksekutif untuk melakukan audit data mandatory dan menerapkan sanksi administratif atau fiskal yang tegas terhadap K/L atau Pemda (Produsen Data) yang gagal mematuhi standar data SDI dan jadwal pembaruan, terutama untuk data yang berdampak tinggi seperti DTKS.
- Integrasi Data Melalui Identitas Tunggal Digital (Single Digital Identity Layer): Pemerintah harus mempercepat integrasi sistem data sektoral dengan mewajibkan penggunaan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai kunci referensi tunggal di seluruh platform kependudukan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Hal ini adalah cara tercepat untuk menghilangkan masalah tumpang tindih dan duplikasi DTKS.
- Akselerasi GovTech dan Konsolidasi Infrastruktur: Mewajibkan seluruh K/L dan Pemerintah Daerah untuk migrasi dan menggunakan Data Center dan Cloud terintegrasi di bawah kerangka GovTech 2025. Kebijakan ini akan menghilangkan fragmentasi teknis secara struktural dan memaksakan interoperabilitas di seluruh ekosistem data.
- Reformasi Peningkatan Kompetensi SDM Data Berbasis Kebutuhan Daerah: Meluncurkan program sertifikasi dan pelatihan data literacy dan data science skala nasional. Program ini harus ditargetkan secara spesifik kepada ASN di unit Walidata (Diskominfo) dan Produsen Data daerah untuk menjamin kapasitas komputasi dan analisis yang memadai sejak tingkat operasional.
- Integrasi Indeks Tata Kelola Digital dalam Evaluasi Kinerja Daerah: Menjadikan penilaian tata kelola data (seperti adopsi pilar GM-DTGI) sebagai komponen wajib yang terukur dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan alokasi Dana Transfer Umum (DTU) untuk mendorong akuntabilitas data di tingkat lokal.
Kesimpulan dan Peta Jalan Jangka Panjang Menuju Indonesia Emas 2045
Data yang tidak lengkap dan terfragmentasi, yang berakar pada masalah ego sektoral dan diperburuk oleh kesenjangan infrastruktur serta kompetensi SDM, merupakan penghambat terbesar bagi pengambilan keputusan berbasis bukti yang efektif. Kasus DTKS menunjukkan bahwa kegagalan data adalah risiko fiskal dan sosial yang sangat nyata.
Membangun data nasional yang lengkap dan terintegrasi melalui penegakan SDI dan adopsi GovTech adalah investasi strategis jangka panjang. Jika Indonesia berhasil mengatasi tantangan tata kelola, khususnya dengan mengurangi ruang gerak untuk kepentingan sektoral, SDI akan menjadi fondasi kokoh yang krusial bagi transformasi digital dan tercapainya visi Indonesia Emas 2045.