Vlad III Dracula dalam Pusaran Sejarah Abad Pertengahan
Vlad III Dracula, lebih dikenal sebagai Vlad the Impaler (Vlad Țepeș), adalah seorang voivode (pangeran) Wallachia (sekarang bagian dari Rumania modern) yang berkuasa secara intermiten pada abad ke-15, sekitar 1448 hingga 1477. Kehidupan dan pemerintahannya berpusat di tengah pusaran konflik geopolitik yang brutal antara Kerajaan Hongaria di utara dan Kekaisaran Ottoman yang ekspansif di selatan. Kondisi Wallachia yang genting, dikelilingi oleh musuh eksternal dan faksi bangsawan internal yang tidak stabil, mendorong Vlad untuk menerapkan tindakan ekstrem yang tak tertandingi untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
Latar Belakang dan Asal Nama (Dracul dan Dracula)
Vlad Dracula lahir antara tahun 1428 dan 1431 di Sighisoara, Transylvania. Ia adalah putra dari Vlad II Dracul, yang menjadi penguasa Wallachia pada tahun 1436. Nama keluarga mereka berasal dari keanggotaan ayahnya dalam Order of the Dragon, sebuah ordo rahasia dan bergengsi yang didirikan pada tahun 1431 oleh Kaisar Romawi Suci Sigismund. Tujuan Ordo ini adalah mempertahankan Kekristenan Eropa melawan ancaman “kafir,” yaitu Ottoman.
Sobriquet “Dracul” (Dragon) yang diambil oleh ayahnya juga secara kebetulan atau ironisnya adalah kata Rumania untuk “Devil” (Iblis). Dengan demikian, nama “Dracula” berarti “putra Dracul” atau “putra Naga/Iblis”. Kontras semantik antara “Naga” (pembela iman) dan “Iblis” (monster neraka) ini telah memposisikan Vlad III pada persimpangan simbolik yang menentukan takdir historisnya: ia dipandang secara diametral sebagai pembela suci oleh pendukungnya dan sebagai monster oleh musuh-musuhnya.
Pengalaman Pembentukan Diri (Sandera dan Trauma)
Pengalaman masa muda Vlad merupakan kunci untuk memahami kekejaman yang ia tunjukkan di kemudian hari. Pada tahun 1442, Vlad dan adiknya, Radu, ditahan sebagai sandera di Kekaisaran Ottoman untuk menjamin loyalitas ayah mereka, Vlad II. Bertahun-tahun hidup di istana musuh membentuk kebencian yang mendalam, meskipun ia juga memperoleh pengetahuan tentang strategi dan taktik militer Ottoman.
Klimaks dari trauma politiknya terjadi pada tahun 1447. Ayah dan kakak tertuanya, Mircea, dibunuh menyusul invasi Wallachia oleh John Hunyadi, gubernur-wali Hongaria. Vlad III, setelah naik takhta, membalas dendam dengan brutal. Ia menargetkan para bangsawan Wallachia (boyar) yang tidak loyal dan elit Transylvanian Saxon (etnis Jerman) yang terlibat dalam pembunuhan keluarganya. Trauma ganda—pengkhianatan oleh sekutu nominal (Hongaria/faksi Wallachia) dan penahanan oleh musuh (Ottoman)—menciptakan rasa pengkhianatan mendalam. Hal ini menyebabkan Vlad menyimpulkan bahwa ia tidak dapat mempercayai pihak manapun, memaksa dia untuk bergantung hanya pada satu alat: Teror absolut. Kekejamannya yang ekstrem berfungsi sebagai pertahanan preemptive untuk menstabilkan Wallachia yang rapuh, memastikan loyalitas melalui ketakutan yang mencekam daripada ikatan feodal yang tidak stabil.
Penusukan (Impalement) sebagai Alat Negara
Vlad mendapatkan julukan Țepeș (Si Penusuk) dari bahasa Rumania, karena ia secara massal mengeksekusi musuh dan lawan politik dengan cara ditusuk menggunakan pasak. Metode ini merupakan inti dari strateginya untuk menanamkan rasa takut, baik di kalangan musuh asing maupun di antara bangsawan dan pedagang di Wallachia dan Transylvania yang menentangnya.
Penusukan yang dipraktekkan Vlad adalah bentuk eksekusi yang dirancang untuk memperpanjang penderitaan secara maksimal. Pasak yang digunakan seringkali tumpul, dimasukkan di antara kaki korban, dan didorong perlahan ke atas melalui tubuh hingga keluar di bagian belakang leher atau mulut. Metode ini memastikan korban tetap hidup, terkadang selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari, dalam penderitaan yang luar biasa. Vlad dilaporkan dapat menusuk 20.000 orang dalam sehari. Setelah dieksekusi, korban-korban ini didirikan di sepanjang jalan raya, menciptakan “hutan mayat” yang mengerikan. Tujuan visual dan psikologis dari pemasangan pasak ini adalah untuk menimbulkan kengerian pada pasukan musuh yang maju, terutama Ottoman, bahkan sebelum pertempuran dimulai. Kekejaman ini adalah manifestasi dari trauma politik yang ekstrem, diubah menjadi strategi pertahanan negara.
Narasi I: Versi Umum dan Relevansi Kultural Modern (Dracula Fiksi)
Citra Vlad III Dracula yang paling dikenal secara global adalah citra yang paling terdistorsi secara historis. Citra ini adalah hasil dari transformasi yang mengubah Voivode Wallachia menjadi karakter horor abadi.
Transformasi dari Voivode menjadi Vampir
Transformasi ini dimulai dengan novel Dracula yang ditulis oleh Bram Stoker pada tahun 1897. Stoker menggunakan unsur-unsur dari kisah nyata Vlad III—termasuk nama “Dracula” dan reputasi kebrutalannya—sebagai inspirasi untuk karakter Count Dracula, vampir yang haus darah.
Meskipun Vlad memberikan gelar dan latar belakang geografis (ia diduga lahir di Transylvania, meskipun memerintah Wallachia) , para sejarawan dan ahli sastra berpendapat bahwa hubungan faktual antara Count Dracula fiksi dan Vlad the Impaler historis sangat terbatas. Stoker lebih banyak merujuk pada cerita rakyat vampir Eropa Tengah dan literatur perjalanan abad ke-19 daripada biografi spesifik Vlad.
Simplifikasi Kekejaman
Dalam narasi umum modern, kekejaman Vlad III kehilangan konteks politik abad ke-15. Praktik penusukan disederhanakan menjadi bukti sadisme tak beralasan atau haus darah supernatural. Motivasi geopolitik Vlad—upayanya menstabilkan negara melalui teror untuk menangkis invasi Ottoman dan menindak korupsi internal—dikesampingkan.
Sebagai gantinya, budaya populer fokus pada detail yang dilebih-lebihkan, seperti klaim bahwa Vlad mencelupkan roti ke dalam darah korbannya saat makan. Transisi dari kekejaman politik (Impaler) menjadi horor gothic (Vampir) mencerminkan kebutuhan budaya Barat abad ke-19 (Victoria) untuk mempersonifikasikan kejahatan kuno. Citra Vlad yang sudah terdistorsi dan sensasionalistik yang disebarkan melalui pamflet Jerman abad ke-15 menyediakan kanvas sempurna bagi mitos vampir. Popularitas fiksi Dracula secara efektif memenangkan perang propaganda global: citra Vlad yang paling berdampak kini adalah yang paling tidak akurat secara historis, mengaburkan perannya sebagai penguasa yang menghadapi ancaman eksistensial.
Narasi II: Vlad dalam Historiografi Kristen/Eropa (Pahlawan vs. Tiran)
Dalam narasi Kristen, Vlad III ditampilkan dalam dua kutub ekstrem: sebagai pembela iman yang kejam namun adil di Wallachia dan Rusia, atau sebagai monster tak manusiawi di Eropa Barat (Jerman/Hongaria).
Vlad sebagai Pahlawan Nasional dan Pembela Iman (Wallachia/Rumania)
Bagi Rumania, terutama sejak gelombang nasionalisme abad ke-19 dan ke-20, Vlad III adalah ikon nasional. Ia dikenang sebagai simbol perlawanan yang gigih terhadap ekspansi Kekaisaran Ottoman. Dalam pandangan ini, ia adalah seorang pemimpin yang resolut yang menggunakan metode brutal untuk menjaga ketertiban internal dan melindungi bangsanya dari dominasi asing.
Kekejamannya diinternalisasi sebagai “keadilan yang keras” (just, if harsh), yang diperlukan untuk membersihkan Wallachia dari unsur-unsur yang tidak loyal dan kriminal. Tindakan ini mencakup hukuman mati terhadap pedagang Saxon yang tidak patuh dan penegakan tatanan sosial yang ketat, termasuk hukuman fatal bagi pria dan wanita yang bersalah atas perzinahan atau bahkan eksekusi bagi petani yang malas demi menjunjung tinggi nilai kerja dan hukum ilahi.
Narasi serupa ditemukan dalam kronik Rusia abad pertengahan. Para pangeran Moskow, yang berjuang untuk menegakkan otokrasi atas boyar yang sulit diatur, melukiskan Vlad sebagai pangeran yang kejam namun adil. Tindakan Vlad dianggap ditujukan untuk kebaikan yang lebih besar bagi rakyatnya, menjadikannya contoh yang efektif dari penguasa yang memaksakan ketertiban.
Vlad sebagai Monster Tak Manusiawi (Pamflet Jerman/Hongaria)
Citra Vlad sebagai sadis yang haus darah, yang menjadi fondasi bagi karakter fiksi di kemudian hari, berasal dari pamflet cetak Jerman Katolik yang diterbitkan tak lama setelah kematiannya. Pamflet-pamflet ini, yang menjadi bentuk hiburan massal awal di Eropa, menggambarkan Vlad sebagai monster tak manusiawi yang membantai orang tak bersalah dengan kegembiraan sadistik.
Munculnya pamflet ini didorong oleh motif politik yang spesifik. Vlad memiliki hubungan yang buruk dengan elit Saxon Transylvania (etnis Jerman). Setelah Vlad melakukan invasi brutal ke Transylvania selatan dan memerintahkan penusukan massal penduduk Brașov yang mendukung musuh internalnya, ia menciptakan musuh yang termotivasi di kalangan biara dan pedagang Jerman.
Lebih jauh, pamflet ini mungkin diilhami oleh Raja Matthias Corvinus dari Hongaria. Corvinus telah menahan Vlad III dan, pada saat itu, membutuhkan pembenaran untuk menahan vasalnya tersebut dan untuk menutupi kegagalan militernya dalam memberikan dukungan yang kuat melawan Ottoman. Dengan melukis Vlad sebagai iblis yang tidak dapat diatur dan ancaman yang lebih besar daripada Ottoman itu sendiri, Corvinus membenarkan tindakan politiknya kepada Kekaisaran Romawi Suci. Narasi Jerman ini, yang fokus pada kejahatan moral dan sadisme pribadi Vlad, menjadi alat propaganda yang efektif untuk tujuan realpolitik Hongaria.
Narasi III: Kazıklı Voyvoda dalam Kronik Islam/Usmaniyah
Di mata musuh bebuyutannya, Kekaisaran Ottoman, Vlad III dikenal sebagai Kazıklı Voyvoda (Voivode Si Penusuk). Nama ini, seperti julukan Țepeș, secara langsung menggarisbawahi metode terornya, tetapi narasi Ottoman membingkai kekejamannya dalam konteks pengkhianatan feodal dan ideologi kekaisaran.
Latar Belakang Konflik dan Pemicu Kampanye
Vlad dan adiknya pernah menjadi sandera Ottoman pada masa muda untuk menjamin loyalitas ayah mereka. Namun, setelah naik takhta, hubungan Vlad dengan Sultan Mehmed II menegang. Konflik memuncak ketika Vlad melanggar kewajiban vasal terhadap Sultan, termasuk menolak membayar upeti (harac̦).
Titik balik yang memicu perang besar terjadi pada tahun 1462, ketika Mehmed II mengirim Hamza Bey (seorang jenderal terkemuka dan ayah mertua Sultan) untuk menangkap Vlad. Vlad menggagalkan upaya penangkapan tersebut, membunuh semua prajurit Ottoman, dan mengeksekusi Hamza Bey dengan penusukan. Tindakan ini, ditambah dengan serangan mendadak Vlad di enam perlintasan Danube pada Februari 1462, menjadi alasan utama (justifikasi) bagi Sultan untuk melancarkan kampanye militer besar-besaran untuk menaklukkan Wallachia.
Penggunaan Retorika dan Propaganda Ottoman
Kronik Ottoman, seperti yang ditulis oleh Tursun Beg atau Aşık Paşa-zade, berfungsi sebagai dokumen sejarah resmi dan alat propaganda politik-ideologis. Narasi-narasi ini secara eksplisit bertujuan untuk membenarkan kampanye Sultan melawan Vlad. Penulis-penulis ini menggunakan gaya bombastis dan hiperbola, ciri khas sastra sejarah Oriental, untuk memikat audiens dan menonjolkan keunikan peristiwa sejarah yang dikisahkan.
Dalam kronik ini, Vlad digambarkan sebagai “pemberontak yang arogan” dan jahat. Namun, terdapat suatu paradoks retoris: Vlad kadang-kadang dilukiskan sebagai pejuang yang sangat cakap atau bahkan salah satu “pejuang terhebat di era itu”. Penggambaran Vlad yang kuat ini bukanlah pujian yang tulus, tetapi merupakan strategi retoris yang disengaja. Dengan membesarkan kekuatan dan kebiadaban Kazıklı Voyvoda, penulis Ottoman secara bersamaan memperbesar keagungan dan kemuliaan kemenangan Sultan Mehmed II, membuktikan bahwa Sultan telah mengalahkan ancaman yang luar biasa.
Peristiwa paling terkenal dalam narasi Ottoman adalah ketika Mehmed II tiba di Târgoviște pada Juni 1462 dan menemukan “hutan mayat” yang terdiri dari sekitar 23.844 orang Turki dan tawanan lainnya yang ditusuk. Meskipun kekejaman ini berhasil menanamkan kengerian yang menyebabkan pasukan Sultan mundur sementara ke Adrianople , narasi Ottoman membingkai insiden ini sebagai bukti kebiadaban Vlad yang tak terbayangkan, yang hanya bisa diatasi oleh kekuatan dan keadilan ilahi dari Sultan sang Penakluk. Narasi Ottoman fokus pada pelanggaran sumpah feodal oleh Vlad dan kekuatan superior Sultan, berbeda dengan fokus Jerman pada kejahatan moral Vlad.
Sintesis Historiografi: Analisis Komparatif Propaganda dan Kekuatan Ideologi
Kisah Vlad III Dracula adalah studi kasus yang ideal dalam historiografi konflik. Tidak ada satu pun “kebenaran” objektif tentang karakternya. Sebaliknya, kekejamannya yang secara objektif ekstrem telah digunakan sebagai cermin ideologis, di mana setiap pihak memproyeksikan kebutuhan politik, moral, atau propagandanya sendiri.
Relativitas Moral dan Analisis Sumber Propaganda
Perbedaan mendasar dalam interpretasi Vlad menunjukkan bahwa catatan sejarah, terutama dari era konflik ideologis tinggi, harus diperlakukan sebagai produk yang disengaja dari propaganda politik.
Perbandingan Tiga Narasi Mengenai Vlad III (Dracula)
Aspek | Narasi Umum/Populer | Narasi Kristen/Eropa (Romania/Rusia) | Narasi Islam/Usmaniyah (Kazıklı Voyvoda) |
Identitas Utama | Count Dracula / Vampir Sadis | Pahlawan Nasional / Pembela Iman Kristen | Pemberontak / Voivode Si Penusuk |
Tujuan Kekejaman | Sadisme murni, haus darah, kegilaan | Penegakan Keadilan, Ketertiban Sosial, Pencegahan Invasi | Pembangkangan terhadap Sultan, Tindakan Tyrannical |
Sumber Utama | Novel fiksi (Stoker), Media modern | Tradisi lisan, Historiografi nasional (19-20 M) | Kronik Resmi Ottoman (Tursun Beg, Aşık Paşa-zade) |
Penilaian Historis | Digunakan sebagai inspirasi fiksi | Penguasa keras, tetapi penting, mempertahankan kedaulatan Wallachia | Musuh yang kuat, namun ditaklukkan oleh kekuatan Sultan, membenarkan kampanye |
Analisis Sumber Propaganda Kontemporer (Abad ke-15)
Narasi-narasi kontradiktif ini muncul pada masa hidup Vlad atau tak lama setelah kematiannya. Analisis berikut membedah kepentingan politik di balik penciptaan narasi tersebut:
Analisis Sumber Propaganda Kontemporer (Abad ke-15)
Sumber Narasi | Latar Belakan Penulis/Penyebar | Motivasi Politik Utama | Penggambaran Vlad III |
Pamflet Jerman | Para biarawan/pengungsi Saxon Transylvania, Hongaria | Pembenaran Matthias Corvinus menahan Vlad; Mass entertainment | Monster tak manusiawi, tiran, sadis |
Kronik Rusia | Istana Moskow | Membangun basis otokrasi; menertibkan boyar yang tidak loyal | Pangeran kejam namun adil, menegakkan kebaikan rakyat |
Kronik Ottoman | Penulis sejarah istana (panegyrics) | Menjustifikasi kampanye Sultan Mehmed II; memuliakan kemenangan Sultan | Pemberontak yang kuat dan reckless; bukti efektivitas militer Sultan |
Keberadaan dua narasi ekstrem di Eropa (Pahlawan Wallachia vs. Tiran Jerman) dan satu narasi yang dilebih-lebihkan oleh Ottoman menunjukkan bahwa citra Vlad selalu bersifat instrumental. Bagi Wallachia, kekejaman diubah menjadi kedaulatan yang diperlukan. Bagi Corvinus, citra monster adalah kambing hitam yang diperlukan untuk menutupi kegagalan politiknya. Bagi Sultan, Vlad adalah musuh yang layak dihormati, agar kemenangan atasnya menjadi lebih mulia.
Kesimpulan
Vlad III Dracula adalah salah satu tokoh sejarah paling bermasalah yang muncul dari persimpangan Eropa dan Asia pada Abad Pertengahan. Ia adalah voivode yang berhasil melawan Kekaisaran Ottoman pada saat kekuatan Kristen lainnya gagal, tetapi ia mencapai keberhasilan itu melalui teror negara yang hampir tak tertandingi.
Kisah Vlad mengajarkan pelajaran penting dalam historiografi: catatan sejarah yang berkaitan dengan tokoh kontroversial dan konflik ideologis tinggi hampir selalu dimanipulasi untuk melayani agenda politik yang lebih besar. Bagi para sejarawan, “kebenaran” tentang Vlad tidak terletak pada deskripsi kekejaman yang dilebih-lebihkan, melainkan pada analisis mengapa narasi-narasi yang berbeda ini muncul dan mengapa mereka bertahan dalam memori kolektif. Vlad the Impaler tidak hanya menginspirasi fiksi horor; ia mewakili pertempuran abadi di mana batas-batas moral, politik, dan kekejaman digunakan untuk mendefinisikan batas-batas kedaulatan, baik dari sudut pandang Kristen maupun Islam. Warisannya tetap terbagi: pahlawan di tanah airnya, tiran di Barat, dan simbol arogansi yang dikalahkan di Timur.