Periode 1945 hingga 1955 merupakan dekade fundamental dalam pembentukan Republik Indonesia, ditandai oleh kontradiksi antara pencapaian kedaulatan politik yang heroik dan rapuhnya fondasi kelembagaan serta ekonomi. Dekade ini dapat dibagi menjadi dua fase historis utama. Fase pertama (1945–1949) didominasi oleh perjuangan militer dan diplomasi untuk mempertahankan dan mencapai pengakuan kedaulatan dari Belanda. Fase kedua (1950–1955) adalah periode eksperimen politik dengan Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, diiringi upaya kemandirian ekonomi pasca-kolonial.

Meskipun Indonesia berhasil memaksa Belanda mengakui kedaulatannya pada akhir 1949, negara muda ini diwarisi oleh kontradiksi fundamental. Kedaulatan politik yang baru lahir dibebani oleh warisan kolonial dalam bentuk infrastruktur ekonomi yang rusak, konflik internal yang mengakar, dan, yang paling penting, utang besar yang disepakati dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Tulisan ini akan menganalisis bagaimana transisi politik yang tergesa-gesa dan kebijakan ekonomi yang terfragmentasi pada fase kedua (1950–1955) gagal mengatasi warisan krisis dari fase revolusi, yang pada akhirnya membawa Indonesia menuju akhir Demokrasi Liberal.

Transisi Politik dan Kerangka Institusional Revolusioner

Proklamasi dan Perubahan Sistem Pemerintahan Awal

Pada saat proklamasi, kerangka konstitusional Indonesia berdasarkan pada UUD 1945 yang cenderung menganut sistem pemerintahan presidensial, menempatkan kekuasaan eksekutif yang kuat di tangan Presiden Soekarno. Namun, iklim revolusi, yang membutuhkan konsolidasi dukungan internasional dan pembagian beban politik, memicu pergeseran dramatis yang segera mengubah lanskap politik.

Melalui Maklumat 14 November 1945, sistem pemerintahan secara resmi diubah dari presidensial menjadi sistem parlementer. Dalam sistem ini, Perdana Menteri bertanggung jawab memimpin kabinet, sementara Presiden Soekarno berkedudukan sebagai kepala negara seremonial, meskipun pengaruh personalnya selama revolusi tetap kuat. Pergeseran kelembagaan yang cepat ini mencerminkan fleksibilitas kelembagaan di masa darurat, tetapi secara struktural, keputusan ini menanamkan bibit ketidakstabilan kronis. Ini mengindikasikan bahwa dasar-dasar politik Indonesia akan didominasi oleh pergeseran kekuasaan legislatif. Ketika sistem ini diterapkan sepenuhnya setelah 1950, ketidakstabilan ini menjadi sistemik karena kekuasaan eksekutif selalu bergantung pada koalisi parlemen yang rapuh.

Dinamika Sosial-Politik selama Perang Kemerdekaan

Masa 1945–1949 tidak hanya ditandai oleh perjuangan melawan kekuatan eksternal (Belanda dan Sekutu), tetapi juga pergolakan internal yang signifikan. Republik Indonesia harus bergulat dengan apa yang disebut Revolusi Sosial di berbagai daerah, di mana struktur kekuasaan tradisional digulingkan. Lebih lanjut, konsolidasi negara berjalan bersamaan dengan perjuangan ideologis dan fisik melawan faksi-faksi domestik. Contoh krusial adalah Pemberontakan Komunis Madiun pada tahun 1948 dan Pemberontakan Darul Islam.

Di tengah kekacauan ini, proses berbangsa dan pembentukan identitas nasional (nation-building) terus berlangsung, terutama melalui narasi sejarah bersama. Pentingnya belajar sejarah, yang diperkuat oleh pepatah terkenal Soekarno ‘Jas Merah’ (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), menjadi instrumen penting untuk memelihara kesadaran kolektif mengenai perjalanan panjang dan posisi bangsa saat ini, meskipun tantangan kelembagaan terus meningkat.

Anatomi Krisis Ekonomi Revolusioner

Blokade Ekonomi Belanda (1945–1949): Mekanisme dan Dampak Krusial

Kondisi ekonomi Indonesia pada fase revolusi didominasi oleh dampak Blokade Ekonomi yang diterapkan secara ketat oleh Pemerintah Belanda. Blokade ini merupakan strategi perang ekonomi yang dirancang untuk melumpuhkan Republik dengan mencegah akses terhadap pasar global, baik untuk menjual produk ekspor maupun mendapatkan barang impor vital.

Dampak langsung blokade sangat merusak: (1) Proses ekspor barang dari Indonesia tersendat, yang merupakan satu-satunya sumber pendapatan devisa. (2) Indonesia mengalami kekurangan parah barang-barang impor yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan dan kebutuhan sehari-hari. (3) Akibatnya, terjadi kekosongan kas negara. Pemerintah Republik Indonesia menjadi sangat bergantung pada sektor pertanian untuk menopang perekonomian dan kebutuhan pangan rakyat. Untuk mengatasi blokade ini, pemerintah melakukan upaya diplomatik dan perdagangan. Salah satu respons paling terkenal adalah diplomasi beras ke India, serta upaya menjalin hubungan dagang secara langsung dengan luar negeri.

Permasalahan Moneter dan Hiperinflasi

Masalah keuangan di awal kemerdekaan menjadi prioritas utama pemerintah, terutama karena tingginya inflasi (hiperinflasi). Situasi moneter sangat kacau akibat peredaran tiga mata uang secara bersamaan: mata uang Jepang, mata uang Belanda (NICA), dan Oeang Republik Indonesia (ORI) yang baru diterbitkan.

Penerbitan ORI adalah langkah krusial untuk menegaskan kedaulatan moneter Indonesia. Namun, kekosongan kas negara akibat blokade secara langsung menghalangi kemampuan pemerintah untuk membiayai operasinya dan mengelola ekonomi. Kebutuhan untuk mencetak ORI tanpa basis cadangan yang kuat, ditambah dengan persaingan dari mata uang NICA, memicu hiperinflasi. Ini adalah contoh di mana kegagalan militer dan blokade yang efektif menghasilkan krisis finansial yang parah, secara langsung menguji legitimasi negara baru di mata rakyatnya. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), ORI digantikan oleh mata uang RIS. Penggantian ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi dan integrasi sistem moneter di berbagai wilayah Indonesia, sekaligus upaya untuk menciptakan sistem yang lebih stabil dan mengendalikan inflasi.

Ujian Demokrasi Liberal dan Kontradiksi Ekonomi (1950–1955)

Era Demokrasi Parlementer (1950–1955): Inkonsistensi Institusional

Kerangka Hukum Pasca-KMB dan Kebebasan Politik

Setelah pengakuan kedaulatan penuh pada akhir 1949, Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950 hingga 1959. Periode ini secara formal didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Secara sosial politik, masa ini ditandai oleh kebebasan berpendapat dan munculnya banyak partai politik baru. Partai politik, menurut teori demokrasi, seharusnya menjadi instrumen utama bagi perwakilan politik, mekanisme penyelenggaraan pemerintahan, dan saluran utama untuk memelihara akuntabilitas demokrasi.

Fenomena “Ketidakstabilan Kabinet Kronis” dan Dampaknya

Meskipun kebebasan politik berlimpah, persaingan antar partai politik (seperti PNI, Masyumi, dan faksi-faksi lainnya) seringkali tidak sehat. Persaingan ini didominasi oleh upaya saling menjatuhkan atau mencari keuntungan faksi, bukan membangun konsensus nasional. Akibatnya, pemerintahan mengalami ketidakstabilan yang parah dan kronis, dengan kabinet yang sering berganti.

Ketidakstabilan kabinet ini memiliki dampak kausal yang merusak terhadap ekonomi. Pergantian menteri dan kabinet yang sangat sering menjadi penyebab struktural utama kegagalan program ekonomi jangka panjang, seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) dan program Gerakan Benteng. Tidak ada kabinet yang cukup lama untuk memastikan implementasi kebijakan penting secara tuntas.

Sistem parlementer seharusnya memungkinkan akuntabilitas melalui partai politik , namun dalam praktik 1950–1955, faksi-faksi politik justru menjadi agen destabilisasi. Kegagalan sistemik ini terlihat jelas pada jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada tahun 1955. Kabinet ini mengembalikan mandatnya setelah menghadapi mosi tidak percaya dari Masyumi terkait isu kemunduran kebijakan ekonomi dan korupsi. Kelemahan ini diperparah oleh manuver politik taktis—misalnya, PKI meredam kecaman terhadap korupsi untuk mendapatkan perlindungan dari PNI—yang menunjukkan bahwa kelangsungan hidup politik jangka pendek lebih diprioritaskan daripada perbaikan ekonomi atau disiplin fiskal. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan (vicious cycle) di mana instabilitas politik menghasilkan kelumpuhan kebijakan ekonomi, dan kegagalan ekonomi ini kemudian digunakan oleh oposisi sebagai senjata untuk menjatuhkan kabinet berikutnya.

Kronologi Ketidakstabilan Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal (1950–1955)

Kabinet Masa Jabatan (Tahun) Partai Dominan Penyebab Kejatuhan Krusial
Natsir Sep 1950 – Mar 1951 Masyumi Mosi mosi parlemen, masalah Irian Barat.
Sukiman Apr 1951 – Feb 1952 Masyumi-PNI Kebijakan luar negeri yang kontroversial (MSA).
Wilopo Apr 1952 – Jun 1953 PNI Peristiwa 17 Oktober, masalah tanah perkebunan.
Ali Sastroamidjojo I Jul 1953 – Jul 1955 PNI Mosi tidak percaya Masyumi atas masalah ekonomi dan korupsi.
Burhanuddin Harahap Agu 1955 – Mar 1956 Masyumi Sukses menyelenggarakan Pemilu 1955, mengakhiri Finek.

Warisan Utang dan Program Ekonomi Nasionalis

Beban Historis Konferensi Meja Bundar (KMB)

Pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, yang dicapai melalui KMB, harus dibayar mahal. Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta, terpaksa menerima tuntutan Belanda untuk menanggung hutang-hutang Pemerintah Hindia Belanda. Keputusan ini diambil demi mempercepat tercapainya tujuan utama, yaitu penyerahan kedaulatan.

Namun, beban utang KMB secara signifikan mengurangi kemampuan fiskal negara muda ini. Beban ini menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pelaksanaan kebijakan ekonomi nasionalis dan berkontribusi terhadap kegagalan program pembangunan jangka panjang.

Program Benteng (Rencana Sumitro): Ambisi dan Kegagalan

Gerakan Benteng, yang merupakan bagian dari Rencana Sumitro, adalah program ekonomi nasional utama pada awal era Demokrasi Liberal. Program ini bertujuan untuk membangun kelas pengusaha pribumi yang kuat dan mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri, sebagai bagian dari upaya nasionalisasi pasca-kolonial. Program ini secara eksplisit diarahkan pada pro-pribumi.

Implementasi Gerakan Benteng mengalami perubahan dan pengetatan. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, kebijakan ini dimodifikasi untuk mendefinisikan semua usaha, termasuk milik peranakan, sebagai “usaha nasional,” meskipun prioritas seleksi tetap ketat. Meskipun ambisius, program ini gagal total dan dihentikan pada April 1957 di masa Kabinet Djuanda. Kegagalan ini disebabkan oleh penyalahgunaan lisensi impor (yang menimbulkan  moral hazard), korupsi, dan kurangnya modal serta keahlian manajerial yang memadai di kalangan pengusaha pribumi yang baru dibentuk. Alih-alih menghasilkan kapitalis nasional, program ini justru merugikan negara.

Dampak ‘Boom Korea’ (1950–1952): Peluang yang Terbuang

Pada awal 1950-an, Indonesia mendapatkan keuntungan tak terduga yang dikenal sebagai Boom Korea. Perang Korea menyebabkan kenaikan drastis permintaan global, khususnya dari Pemerintah Amerika, terhadap bahan mentah strategis Indonesia. Kenaikan mendadak ini menghasilkan surplus neraca pembayaran dan anggaran negara sebesar Rp1 miliar pada 1950.

Modal yang diperoleh dari Boom Korea ini memberikan peluang emas bagi Indonesia untuk mengatasi beban utang KMB dan mendanai industrialisasi struktural melalui Program Benteng atau Rencana Sumitro. Namun, keuntungan ini berumur pendek. Pada 1952, neraca pembayaran mengalami defisit lebih besar dibandingkan 1950. Hal ini terjadi karena valuta asing yang diperoleh dari ekspor, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan struktural jangka panjang atau barang modal, justru ditukarkan oleh produsen barang ekspor dengan barang-barang konsumsi, termasuk barang mewah tahan lama. Pemanfaatan sumber daya untuk konsumsi mewah daripada investasi produktif menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam manajemen fiskal dan alokasi sumber daya. Ini menegaskan bahwa masalah ekonomi Indonesia bukan hanya kekurangan modal, tetapi juga absennya disiplin politik dan ekonomi untuk memprioritaskan investasi jangka panjang di tengah gejolak politik.

Tantangan Struktural Jangka Panjang

Masalah Ekonomi Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Pada masa Demokrasi Parlementer, pemerintah dihadapkan pada dua set permasalahan ekonomi yang saling terkait. Permasalahan jangka pendek utama adalah tingginya inflasi dan biaya hidup. Ini adalah warisan dari kekacauan moneter revolusi yang diperparah oleh beban utang KMB dan pengeluaran konsumsi yang tidak terkendali saat  Boom Korea berakhir.

Permasalahan jangka panjang, yang jauh lebih kompleks, adalah pertambahan penduduk yang cepat yang tidak diimbangi oleh peningkatan tingkat hidup. Kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT), gagal mengatasi masalah struktural ini karena hambatan utang dan yang paling penting, karena ketidakstabilan politik yang menghalangi eksekusi kebijakan secara konsisten.

Perbandingan Tantangan Ekonomi dan Dampak Kegagalan Program (1950-1955)

Dimensi Tantangan Deskripsi Masalah Kritis Faktor Penghambat Utama Dampak Gagalnya Program (Benteng/RPLT)
Jangka Pendek Hiperinflasi dan Biaya Hidup Tinggi Warisan moneter, pengeluaran konsumsi berlebihan (Boom Korea Deficit). Gagal stabilisasi moneter, frustrasi publik.
Struktural Beban Utang KMB, Struktur Kolonial Utang yang menyedot sumber daya, kegagalan Gerakan Benteng. Gagal menciptakan kelas kapitalis pribumi yang kuat dan mandiri.
Institusional Ketidakstabilan Kabinet Kronis Persaingan antar partai yang mengutamakan survival politik. Policy paralysis, program tidak berjalan hingga selesai.

Penolakan Warisan Kolonial: Pembatalan Finek (1956)

Penolakan terhadap warisan KMB dan tekanan politik serta ekonomi memuncak pada keputusan strategis untuk membatalkan Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek). Pada 7 Januari 1956, Indonesia secara resmi memutuskan pembatalan hasil KMB dan keluar dari Uni Indonesia–Belanda.

Meskipun langkah ini merupakan pernyataan politik yang krusial mengenai kemandirian bangsa, implikasi ekonominya menunjukkan dilema struktural yang mendalam. Akibatnya, banyak perusahaan Belanda yang dijual atau dinasionalisasi, tetapi pengusaha pribumi belum memiliki kemampuan atau modal yang cukup untuk membeli atau mengelola perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini menjadi bukti nyata kegagalan Gerakan Benteng dalam menyiapkan kapitalis nasional yang kompeten dan berdaya saing, meninggalkan kesenjangan besar dalam kepemilikan aset ekonomi vital.

Epilog: Krisis Politik dan Akhir Demokrasi Liberal (Pasca-1955)

Meskipun Pemilihan Umum (Pemilu) pertama Indonesia berhasil diselenggarakan pada tahun 1955, sebuah pencapaian besar pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap , hasilnya justru memperkuat fragmentasi politik. Tidak ada partai yang memenangkan mayoritas mutlak, yang menjamin sistem koalisi rapuh akan berlanjut. Kegagalan ini diperburuk oleh ketidakmampuan Dewan Konstituante untuk menetapkan undang-undang dasar yang baru, yang menjadi tuntutan krusial sejak 1950.

Kegagalan Konstituante, diperparah oleh ketidakstabilan kronis kabinet dan kegagalan ekonomi untuk mengatasi inflasi dan pembangunan , menciptakan kekosongan kekuasaan dan frustrasi publik. Kondisi ini memuncak pada keputusan Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut secara resmi membubarkan Dewan Konstituante dan mengamanatkan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, sekaligus meninggalkan UUDS 1950.

Dekade 1945–1955 menunjukkan bahwa kebebasan politik (proliferasi partai) tanpa disiplin kelembagaan yang matang menghasilkan anarki politik. Kegagalan sistem parlementer untuk menyelesaikan masalah fundamental (utang, inflasi, pembangunan) menciptakan peluang bagi konsentrasi kekuasaan. Kegagalan sistem tersebut kemudian digunakan oleh Presiden Soekarno sebagai pembenaran untuk beralih ke Demokrasi Terpimpin, sebuah sistem yang menjanjikan stabilitas politik dan eksekusi pembangunan yang kuat, meskipun dengan mengorbankan kebebasan politik yang telah diperjuangkan di awal 1950.

Kesimpulan

Sintesis: Keterkaitan Ekonomi dan Politik (1945–1955)

Kondisi ekonomi dan sosial politik Indonesia selama 1945–1955 harus dipahami sebagai krisis yang berkelanjutan. Meskipun fase revolusioner (1945–1949) didominasi oleh tekanan eksternal, terutama melalui Blokade Ekonomi Belanda , fase Demokrasi Liberal (1950–1955) didominasi oleh kelemahan struktural internal. Kelemahan ini mencakup fragmentasi politik yang akut dan beban warisan Utang KMB.

Analisis menunjukkan bahwa kegagalan Demokrasi Liberal adalah kegagalan fungsi alih-alih struktur. Kebebasan politik dan institusi partai tersedia , tetapi faksi politik menggunakan kebebasan tersebut untuk kepentingan faksi jangka pendek, bukannya untuk kepentingan negara jangka panjang. Hal ini mengakibatkan kelumpuhan eksekutif dan kebijakan, menyebabkan program ekonomi yang ambisius seperti Gerakan Benteng gagal total dan program pembangunan (RPLT) tidak pernah terlaksana secara efektif. Keterkaitan antara politik yang tidak stabil dan ekonomi yang lumpuh menjadi ciri khas dekade ini.

Dampak Jangka Panjang Dekade Pertama Kemerdekaan

Dekade pertama kemerdekaan meletakkan dasar bagi pola pembangunan dan politik di masa depan. Kegagalan yang paling signifikan adalah kegagalan ekonomi untuk mentransformasi struktur kolonial:

  1. Warisan Ketergantungan dan Kapital Lemah: Kegagalan Gerakan Benteng dan penyalahgunaan dana Boom Korea (di mana keuntungan dialokasikan untuk barang konsumsi mewah alih-alih investasi) menghasilkan warisan berupa kurangnya kapital domestik yang kuat dan ketergantungan pada sektor non-pribumi. Kegagalan ini juga menciptakan pola rent-seeking (pencarian rente) dan korupsi dalam bisnis yang dilindungi negara, sebuah praktik yang akan bertahan dalam sejarah ekonomi Indonesia.
  2. Pelajaran Politik Otoritarianisme: Secara politik, dekade ini menjadi titik balik penting. Ketidakmampuan sistem parlementer untuk menyelesaikan masalah fundamental negara memberikan pembenaran yang kuat bagi mereka yang percaya bahwa sistem multi-partai yang kompetitif tidak cocok untuk Indonesia di bawah kondisi sosial dan ekonomi yang rapuh. Ini membuka jalan bagi Demokrasi Terpimpin, di mana janji stabilitas dan pembangunan lebih menarik bagi publik dan elit daripada kebebasan yang disalahgunakan. Secara historis, periode 1945–1955 adalah masa di mana kedaulatan politik dicapai, tetapi kemandirian ekonomi dan stabilitas politik yang berkelanjutan justru hilang karena konflik internal dan tata kelola yang buruk.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

31 + = 41
Powered by MathCaptcha