Latar Belakang dan Urgensi Penagihan Pajak
Penerimaan negara yang bersumber dari sektor pajak memegang peranan vital dan dominan dalam membiayai pengeluaran negara serta pembangunan nasional di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan fundamental dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Karakteristik pajak yang memaksa ini menuntut adanya sistem administrasi dan penegakan hukum yang kuat untuk menjamin kepatuhan Wajib Pajak (WP).
Urgensi penagihan pajak yang efektif timbul dari kebutuhan untuk mengamankan sumber penerimaan yang potensial ini. Ketidakpatuhan, terutama dalam bentuk penunggakan utang pajak, tidak hanya mengganggu stabilitas fiskal, tetapi juga merusak prinsip keadilan dalam sistem perpajakan. Dalam konteks ini, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terus memperkuat kerangka hukum penagihan melalui reformasi struktural, termasuk pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan regulasi teknis seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023, yang secara spesifik mengatur prosedur penagihan yang lebih tegas dan modern.
Definisi Yuridis Utang Pajak dan Penanggung Pajak
Pemahaman yang akurat mengenai utang pajak dan subjek yang bertanggung jawab atas pelunasannya adalah prasyarat fundamental dalam analisis penunggakan pajak.
Defenisi Utang Pajak
Utang pajak didefinisikan sebagai kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sejumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak dapat timbul berdasarkan sistem pemungutan yang berlaku, yakni melalui mekanisme self-assessment (perhitungan sendiri) atau melalui penetapan oleh fiskus, yang diwujudkan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Utang pajak inilah yang menjadi dasar bagi pihak fiskus untuk melakukan penagihan secara aktif, guna memastikan terpenuhinya kewajiban perpajakan.
Wajib Pajak (WP) dan Penanggung Pajak (PP)
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan. Namun, dalam konteks penagihan pajak, fokus bergeser kepada Penanggung Pajak (PP). Penanggung Pajak didefinisikan sebagai orang pribadi yang bertanggung jawab atas pembayaran utang pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak, serta bertanggung jawab atas biaya penagihan pajak.
Identifikasi Tanggung Jawab Renteng WP Badan
Kebijakan perpajakan Indonesia telah memperluas cakupan Penanggung Pajak pada entitas badan, khususnya Perseroan Terbatas (PT), untuk mencegah praktik penghindaran utang melalui rekayasa korporasi. Strategi ini merupakan pencerminan implementasi konsep piercing the corporate veil dalam hukum pajak, di mana tanggung jawab tidak lagi terbatas pada entitas badan saja, tetapi juga melebar ke individu-individu di baliknya.
Dalam konteks WP Badan, pihak-pihak yang dapat dikenakan tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak meliputi: Direktur Utama/Presiden Direktur, Wakil Direktur Utama, Direktur yang memiliki wewenang penentuan kebijakan di bidang keuangan, Komisaris Utama/Presiden Komisaris, Wakil Komisaris Utama, Komisaris lainnya, serta seluruh pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Mayoritas/Pengendali (baik langsung maupun tidak langsung). Perluasan ini secara signifikan memperkuat posisi DJP dalam menghadapi penunggakan pajak yang disengaja.
Kerangka Hukum Penagihan Pajak
Penagihan pajak di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000. Ketentuan teknis pelaksanaannya diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. PMK 61/2023, yang menggantikan regulasi sebelumnya, menjadi pedoman utama bagi fiskus dalam melaksanakan tindakan penagihan koersif (memaksa).
Dimensi Statistik dan Profil Non-Kepatuhan di Indonesia
Analisis data statistik memberikan gambaran mendalam mengenai skala permasalahan penunggakan pajak dan profil segmen WP yang memiliki tingkat non-kepatuhan tertinggi.
Skala Makro Utang Pajak yang Belum Terealisasi
Total utang pajak yang menjadi piutang negara mencapai skala triliunan Rupiah, menunjukkan tantangan signifikan bagi penerimaan negara. Data historis penegakan hukum menunjukkan skala tunggakan yang besar:
- Kasus Pencegahan: Sebagai contoh, dalam upaya penegakan hukum, Menteri Keuangan pernah memproses usulan pencegahan terhadap 487 Wajib Pajak yang menunggak di atas Rp 100 juta. Total tagihan pajak dari kelompok ini mencapai Rp 3,32 triliun.
- Piutang Macet: Terdapat pula data yang menyoroti perlunya penindakan terhadap piutang macet yang belum daluwarsa. DJP mencatat piutang macet sebesar Rp 5,38 triliun yang masih harus ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan.
- Tunggakan Terkait Pencegahan 2023: Berdasarkan Laporan Keuangan DJP 2023, tindakan pencegahan dilakukan terhadap 330 Penanggung Pajak dalam rangka menagih utang pajak senilai Rp 1,5 triliun.
Skala utang pajak yang belum terealisasi menunjukkan bahwa penegakan hukum pajak bukan hanya isu kepatuhan, tetapi juga isu makroekonomi yang memengaruhi kapasitas fiskal negara.
Analisis Rasio Kepatuhan Formal
Rasio kepatuhan formal, diukur dari persentase penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh, menjadi indikator awal yang penting dalam menilai tingkat kepatuhan.
Data menunjukkan bahwa rasio kepatuhan formal penyampaian SPT Tahunan WP Orang Pribadi (OP) dan WP Badan cenderung mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dari 71,1% pada 2018 menjadi 86,8% pada 2022. Peningkatan ini mencerminkan dampak positif dari upaya modernisasi dan penyuluhan DJP.
Meskipun demikian, jika dilihat berdasarkan jenis wajib pajak, terlihat adanya jurang kepatuhan yang signifikan antara WP Badan dan WP Orang Pribadi.
Indikator Kepatuhan | Tahun 2023 (Realisasi Apr) | Tahun 2024 (Target) | Tahun 2024 (Realisasi Apr) |
Rasio Kepatuhan Formal Total | 67,60% (13,1 Juta SPT) | 83,2% (16,09 Juta SPT) | 73,61% (14,18 Juta SPT) |
Jumlah SPT PPh Badan yang Dilaporkan | 906 ribu | N/A | 1,044 juta |
Rasio Kepatuhan WP Badan (2022) | 47,06% (per Apr 2023) | N/A | N/A |
Perbandingan WP Badan vs. WP Orang Pribadi
Pada tahun 2023, per 31 Maret, DJP mencatat adanya 11,68 juta SPT Tahunan PPh yang dilaporkan oleh WP Orang Pribadi (naik 2,88% dari periode 2022). Sementara itu, WP Badan hanya melaporkan 333.710 SPT (naik 12,76% dari 2022).
Angka rasio kepatuhan formal WP Badan yang rendah, mencapai 47,06% hingga April 2023 , mengindikasikan bahwa entitas bisnis, khususnya perusahaan skala besar dan menengah, merupakan segmen yang paling rentan terhadap non-kepatuhan struktural. Angka ini mencerminkan potensi risiko bahwa masalah penunggakan pajak terbesar kemungkinan berakar pada entitas korporasi, yang mungkin disebabkan oleh perencanaan pajak yang agresif, kompleksitas akuntansi, atau penundaan pembayaran utang yang disengaja. Oleh karena itu, strategi penagihan harus difokuskan pada pengawasan kepatuhan material (PKM) dan penegakan hukum yang menargetkan Penanggung Pajak di dalam struktur korporasi.
Faktor Kausal Penunggakan dan Non-Kepatuhan
Penunggakan pajak tidak terjadi secara tunggal, melainkan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor administratif yang menghasilkan utang dan faktor perilaku (non-kepatuhan) dari Wajib Pajak.
Penyebab Timbulnya Utang Pajak (Sisi Administrasi)
Utang pajak timbul dari beberapa sumber administrasi utama yang menyebabkan kekurangan pembayaran yang harus dilunasi oleh WP.
- Hasil Pemeriksaan Pajak: Utang pajak sering kali muncul sebagai hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP, yang menghasilkan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
- Keterlambatan dan Kesalahan: Keterlambatan dalam pembayaran atau kesalahan perhitungan pajak sendiri (dalam sistem self-assessment) secara otomatis akan menimbulkan utang pajak pokok ditambah sanksi.
- Pengenaan Sanksi Administrasi: Sanksi administratif (bunga dan denda) yang dikenakan akibat pelanggaran kewajiban perpajakan menambah jumlah utang pajak yang harus dilunasi.
- Konsep Pembentukan Utang: Secara teoretis, timbulnya utang pajak dapat dijelaskan melalui dua ajaran: Ajaran Material (utang timbul secara otomatis saat terjadi peristiwa ekonomi yang diatur UU) dan Ajaran Formil (utang baru timbul setelah diterbitkannya ketetapan oleh pejabat pajak/fiskus).
Faktor Non-Kepatuhan (Sisi Wajib Pajak)
Faktor perilaku dan kelembagaan Wajib Pajak memainkan peran utama dalam transisi dari utang pajak menjadi tunggakan pajak (utang yang gagal dibayar).
- Pemahaman Perpajakan yang Rendah: Kurangnya pemahaman yang memadai mengenai peraturan perpajakan merupakan faktor internal pada WP Orang Pribadi yang berkorelasi dengan non-kepatuhan dan potensi tunggakan. Pemahaman dasar perpajakan yang buruk menghambat kesadaran untuk patuh.
- Itikad Buruk dan Peluang Penghindaran: Salah satu pemicu paling signifikan dari penunggakan besar adalah niat buruk WP, yang diekspresikan melalui upaya penggelapan pajak (tax evasion) atau penghindaran pajak yang agresif. WP cenderung menghindari pembayaran jika mereka melihat adanya peluang (opportunity) yang cukup untuk melakukannya. Ketiadaan itikad baik dalam melunasi utang—bukan sekadar ketidakmampuan finansial—adalah prasyarat yuridis bagi DJP untuk menerapkan tindakan koersif ekstrem seperti Pencegahan dan Gijzeling.
- Peran Teknologi dan Kepatuhan: Efektivitas teknologi dalam perpajakan bersifat paradoks. Walaupun sistem daring yang terintegrasi (seperti yang diterapkan DJP) memudahkan fiskus dalam pengawasan dan penagihan , riset menunjukkan bahwa semakin rendah teknologi yang digunakan dalam sistem perpajakan, semakin tinggi peluang terjadinya penggelapan pajak. Hal ini menekankan perlunya DJP terus memodernisasi infrastruktur teknologi untuk menutup celah-celah non-kepatuhan.
Keterkaitan antara faktor perilaku dan administratif ini menuntut strategi DJP yang komprehensif, yaitu melalui penegakan yang ketat (untuk mengatasi niat buruk) dan peningkatan layanan/edukasi (untuk mengatasi kurangnya pemahaman).
Mekanisme Penagihan Pajak Aktif (Prosedur Administratif)
Penagihan Pajak Aktif adalah serangkaian tindakan yang bersifat memaksa dan progresif yang diatur dalam PMK 61/2023, bertujuan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Tahapan Progresif Penagihan Sesuai PMK 61/2023
DJP wajib mengikuti urutan tahapan yang ketat sebelum melakukan tindakan koersif paling ekstrem:
- Surat Teguran: Surat Teguran diterbitkan oleh Pejabat setelah lewat waktu 7 hari sejak tanggal jatuh tempo pembayaran utang pajak. Ini adalah peringatan pertama kepada Penanggung Pajak.
- Surat Paksa: Apabila Penanggung Pajak belum melunasi utang pajak setelah lewat waktu 21 hari terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Pejabat akan menerbitkan Surat Paksa. Surat Paksa ini diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan merupakan dokumen koersif awal.
- Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan: Jika dalam jangka waktu 2 kali 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan, utang pajak tetap tidak dilunasi, Jurusita Pajak berwenang untuk melaksanakan Penyitaan terhadap aset milik Penanggung Pajak (meliputi aset bergerak maupun tidak bergerak). Tindakan penyitaan bertujuan untuk mengamankan kekayaan Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan pelunasan.
- Lelang dan Penjualan Aset Sitaan: Setelah aset berhasil disita, Pejabat akan melakukan pengumuman lelang dan penjualan aset sitaan tersebut untuk mencairkan dana yang digunakan untuk melunasi utang pajak.
Prosedur yang jelas dan terstruktur ini, sebagaimana diperkuat oleh PMK 61/2023, memberikan landasan hukum yang kuat bagi fiskus untuk bertindak cepat setelah tenggat waktu pembayaran terlampaui.
Dukungan dan Pembatasan Layanan Publik
Selain tindakan penyitaan fisik, PMK 61/2023 juga mengatur sanksi non-moneter yang bertujuan untuk menekan Penanggung Pajak agar memenuhi kewajiban.
DJP dapat mengajukan permohonan pembatasan atau pemblokiran layanan publik terhadap Penanggung Pajak yang menunggak. Tindakan ini meliputi:
- Pemblokiran Aset Keuangan: Pemblokiran dilakukan untuk mengamankan aset keuangan milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh pihak ketiga (bank, perusahaan efek, asuransi). Aset yang diblokir meliputi rekening bank, sub-rekening efek, dan polis asuransi. Tujuan pemblokiran adalah mencegah Penanggung Pajak memindahtangankan atau mengubah nilai aset tersebut, kecuali penambahan jumlah atau nilai.
Penggunaan sanksi non-moneter ini menunjukkan bahwa pemerintah memanfaatkan integrasi data antar-lembaga untuk meningkatkan tekanan koersif, jauh sebelum tindakan gijzeling dilakukan.
Analisis Tindakan Koersif Ekstrem: Pencegahan dan Gijzeling
Apabila upaya penagihan aktif melalui Surat Paksa, penyitaan, dan pemblokiran belum membuahkan hasil, atau jika Penanggung Pajak terindikasi tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utang, DJP dapat mengusulkan tindakan koersif yang paling ketat, yaitu Pencegahan dan Penyanderaan (Gijzeling).
Pencegahan (Larangan Bepergian ke Luar Negeri)
Pencegahan merupakan larangan sementara bagi Penanggung Pajak untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kriteria dan Durasi
Tindakan ini dilakukan secara selektif terhadap Penanggung Pajak yang memenuhi dua kriteria utama:
- Memiliki utang pajak minimal Rp 100 juta atau lebih.
- Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Sesuai dengan UU PPSP, jangka waktu pencegahan paling lama adalah 6 bulan, dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 bulan berikutnya.
Statistik dan Dampak Deterensi
Pencegahan memiliki peran penting sebagai deterrent effect, terutama bagi penunggak pajak kelas kakap yang memiliki kepentingan bisnis atau rekreasi di luar negeri. Berdasarkan data tahun 2023, DJP menetapkan dan memperpanjang pencegahan terhadap 330 Penanggung Pajak yang terkait dengan utang pajak sebesar Rp 1,5 triliun. Dari jumlah tersebut, 29 Penanggung Pajak mencabut pencegahannya karena telah melunasi tunggakan pajak senilai Rp 50,41 miliar. Meskipun angka pelunasan tersebut relatif kecil dibandingkan total tunggakan yang ditargetkan (sekitar 3,36% dari Rp 1,5 triliun), tindakan ini berhasil memaksa pelunasan dari sebagian Penanggung Pajak yang sebelumnya tidak kooperatif.
5.2 Gijzeling (Penyanderaan)
Gijzeling adalah tindakan pengekangan sementara kebebasan Penanggung Pajak di tempat tertentu yang tertutup dan terasing dari masyarakat, seperti Lapas. Ini adalah upaya terakhir dalam penagihan aktif, bertujuan memaksa Penanggung Pajak untuk melunasi utangnya.
Kriteria dan Prosedur (PMK 61/2023)
Kriteria Penanggung Pajak yang dapat disandera mirip dengan pencegahan:
- Memiliki utang pajak minimal Rp 100 juta.
- Tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya.
Penyanderaan dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan. Prosedur penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat 14 hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, terutama jika hak penagihan pajak akan daluwarsa dalam waktu kurang dari 2 tahun, atau jika terdapat indikasi bahwa WP Badan akan dibubarkan atau dipindahtangankan.
Jangka Waktu dan Penanggung Jawab
Berdasarkan Pasal 66 ayat (3) PMK 61/2023, jangka waktu penyanderaan ditetapkan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 bulan.
Perlu ditekankan kembali bahwa Penanggung Pajak yang dapat disandera tidak hanya terbatas pada WP Orang Pribadi, tetapi juga mencakup pihak-pihak yang bertanggung jawab renteng di WP Badan, seperti direktur utama, komisaris utama, dan pemegang saham pengendali.
Tindakan Koersif | Kriteria Utang Pajak Min. | Syarat Non-Moneter | Durasi Awal | Durasi Maksimal | Dasar Hukum Utama |
Pencegahan | Rp 100 Juta | Diragukan Itikad Baiknya | 6 Bulan | 12 Bulan (dapat diperpanjang) | UU 19/2000 & PMK 61/2023 |
Penyanderaan (Gijzeling) | Rp 100 Juta | Diragukan Itikad Baiknya | 6 Bulan | 12 Bulan (dapat diperpanjang) | PMK 61/2023, Pasal 66 (3) |
Legitimasi dan Efektivitas
Tujuan gijzeling adalah untuk memberikan efek jera (deterrent effect) yang kuat dan mendorong pelunasan. Data menunjukkan bahwa penerapan gijzeling memiliki dampak positif pada pelunasan utang pajak. Legitimasi tindakan ini juga telah diperkuat di tingkat yudikatif. Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohonan kasasi dan membenarkan tindakan penyanderaan yang dilakukan oleh DJP, menegaskan bahwa tindakan ini merupakan instrumen penegakan hukum yang sah untuk menagih utang pajak dari pengemplang pajak.
Solusi Non-Koersif, Reformasi, dan Insentif Kepatuhan
Di samping penegakan hukum yang tegas, pemerintah juga menerapkan pendekatan restoratif dan fasilitatif, terutama melalui reformasi yang diatur dalam UU HPP (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021) dan program pengangsuran.
Dampak UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
UU HPP membawa perubahan signifikan dalam sanksi administratif dan prosedur sengketa pajak, menciptakan keseimbangan antara ketegasan dan keadilan prosedural.
Pembaruan Sanksi Administrasi
Pasca-UU HPP dan UU Cipta Kerja, perhitungan sanksi bunga administrasi, seperti denda keterlambatan atau kekurangan bayar, tidak lagi menggunakan tarif tetap 2%. Sebaliknya, tarif bunga kini mengacu pada Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI Rate), ditambah persentase denda sesuai ketentuan, dibagi 12 bulan. Sanksi bunga ini dikenakan paling lama 24 bulan. Fleksibilitas ini membuat sanksi lebih responsif terhadap kondisi moneter terkini.
Penyesuaian Sanksi Sengketa
UU HPP juga memberikan relaksasi berupa pengurangan tarif sanksi denda yang dikenakan apabila Wajib Pajak mengajukan sengketa (Keberatan, Banding, atau Peninjauan Kembali) dan permohonannya ditolak. Sebelumnya, tarif sanksi denda bisa mencapai 50% hingga 100%, kini disesuaikan menjadi 30% untuk Keberatan, 60% untuk Banding, dan 80% untuk Peninjauan Kembali. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendorong WP mencari keadilan tanpa dibebani risiko denda yang terlalu tinggi.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS)
Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang dilaksanakan dari 1 Januari hingga 30 Juni 2022, merupakan upaya rekonsiliasi fiskal yang masif. Program ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan aset yang belum atau kurang diungkapkan sebelumnya.
Manfaat utama bagi peserta PPS adalah pembebasan dari sanksi administrasi Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak (200% dari PPh yang kurang dibayar). Selain itu, data dan informasi yang bersumber dari PPS tidak dapat dijadikan dasar untuk penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP. Program ini berfungsi sebagai jalur restoratif yang memungkinkan penunggak pajak untuk membersihkan kewajiban masa lalu dan meningkatkan kepatuhan di masa depan, tanpa harus menghadapi sanksi pidana.
Fasilitas Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran
Bagi Wajib Pajak yang memiliki utang pajak namun menghadapi kesulitan likuiditas, DJP menyediakan mekanisme non-koersif berupa permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak.
Ketentuan dan Jaminan
Jenis utang pajak yang dapat diangsur atau ditunda meliputi Pajak Penghasilan Pasal 29 dan Surat Ketetapan/Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jangka waktu angsuran PPh Pasal 29 dapat diberikan paling lama sampai bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya.
Permohonan ini harus disertai dengan jaminan aset berwujud milik Penanggung Pajak, yang dibuktikan kepemilikannya dan harus dipastikan tidak sedang dijadikan jaminan atas utang lainnya. Adanya fasilitas ini menunjukkan bahwa tindakan penagihan aktif melalui surat paksa dan gijzeling hanya diterapkan sebagai upaya terakhir terhadap WP yang jelas-jelas menolak beritikad baik, bukan karena ketidakmampuan sementara.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Evaluasi Efektivitas Penegakan Hukum Pajak
Direktorat Jenderal Pajak telah menunjukkan peningkatan kapabilitas dan ketegasan dalam penegakan hukum, terutama melalui pembaruan regulasi teknis (PMK 61/2023) yang memperjelas prosedur penagihan aktif. Perluasan definisi Penanggung Pajak untuk WP Badan, yang memungkinkan penagihan renteng kepada direksi, komisaris, dan pemegang saham , merupakan langkah strategis yang sangat penting untuk mengatasi non-kepatuhan struktural dan manipulasi korporasi. Penerapan tindakan Pencegahan dan Gijzeling telah memberikan efek jera yang nyata, yang didukung secara yuridis oleh Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, tantangan tetap signifikan. Piutang pajak yang belum daluwarsa dan tunggakan yang terkait dengan tindakan pencegahan masih bernilai triliunan Rupiah. Rasio kepatuhan formal yang rendah pada WP Badan (47,06% per April 2023) menunjukkan bahwa segmen korporasi harus menjadi fokus utama pengawasan ketat. Efektivitas penegakan hukum harus diukur bukan hanya dari jumlah tindakan koersif yang dilakukan, tetapi dari peningkatan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dan pelunasan piutang secara keseluruhan.
Rekomendasi Strategis untuk Pengurangan Tunggakan Pajak
Berdasarkan analisis kerangka hukum, data statistik, dan faktor kausal, direkomendasikan beberapa langkah strategis untuk mengoptimalkan penagihan dan mengurangi tunggakan pajak di masa depan:
- Optimalisasi Penagihan Terhadap Penanggung Jawab Korporasi: DJP harus secara konsisten dan proaktif menerapkan ketentuan tanggung jawab renteng kepada Direktur, Komisaris, dan Pemegang Saham Mayoritas, sebagaimana diatur dalam PMK 61/2023. Penindakan tegas terhadap individu di balik WP Badan yang menunggak akan menekan non-kepatuhan struktural.
- Peningkatan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) Berbasis Risiko: Mengingat WP Badan memiliki rasio kepatuhan formal yang rendah, alokasi sumber daya harus diintensifkan untuk kegiatan Pengujian Kepatuhan Material (PKM) yang terarah. Pengawasan ini harus didukung oleh integrasi data yang lebih baik untuk meminimalisasi peluang penghindaran pajak, sejalan dengan saran ahli mengenai tax compliance strategy.
- Memanfaatkan Bantuan Penagihan Pajak Internasional: DJP perlu secara aktif memanfaatkan kerangka kerjasama internasional, sebagaimana dimungkinkan oleh UU HPP, untuk menagih klaim pajak (piutang) dari Penanggung Pajak yang asetnya berada di luar negeri (yurisdiksi mitra).
- Sistem Kepatuhan yang Terintegrasi dan Mengedepankan Edukasi: Selain penegakan yang ketat, program edukasi perpajakan yang berkelanjutan dan masif harus dilanjutkan untuk meningkatkan literasi fiskal WP Orang Pribadi dan UMKM. Sistem perpajakan harus terus diintegrasikan secara online untuk meminimalisasi celah-celah administrasi yang dapat dieksploitasi untuk penggelapan pajak.
- Penguatan Tindakan Preventif: Langkah-langkah preventif, seperti penawaran angsuran dan penundaan pembayaran utang, harus dikomunikasikan secara efektif, memastikan bahwa tindakan koersif (termasuk Gijzeling) benar-benar menjadi ultima ratio yang hanya diterapkan pada kasus-kasus yang ditandai dengan itikad buruk yang terbukti.