Insider trading secara fundamental merujuk pada pembelian atau penjualan sekuritas perusahaan yang diperdagangkan secara publik berdasarkan kepemilikan informasi material yang belum tersedia untuk umum, atau dikenal sebagai Material Nonpublic Information (MNPI). Meskipun istilah ini sering menimbulkan konotasi ilegal, perlu ditegaskan bahwa tidak semua transaksi yang dilakukan oleh “orang dalam” adalah melanggar hukum.
Transaksi yang dilakukan oleh pejabat perusahaan, direktur, atau pemegang saham signifikan (sering disebut statutory insiders di AS) adalah legal selama transaksi tersebut sesuai dengan peraturan yang ditetapkan regulator, seperti di Amerika Serikat, di mana tulisan perdagangan harus diajukan kepada U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) melalui Form 4. Legalitas terwujud selama perdagangan tersebut tidak didasarkan pada MNPI.
Sebaliknya, insider trading berubah menjadi tindakan ilegal ketika individu memanfaatkan MNPI untuk membuat keputusan investasi, yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan tidak adil atau menghindari kerugian di pasar. Penggunaan informasi non-publik yang material dan sensitif—baik diterima langsung dari sumber internal maupun secara tidak langsung dari pihak lain—untuk tujuan perdagangan melanggar batas hukum dan dapat dianggap sebagai pelanggaran perdata maupun pidana yang dapat dihukum dengan denda dan penjara.
Kriteria Informasi Material Non-Publik (MNPI): Penentu Pelanggaran
MNPI adalah inti dari pelanggaran insider trading. Definisi MNPI mencakup data perusahaan yang sensitif dan belum diungkapkan kepada publik, namun memiliki potensi untuk secara signifikan memengaruhi harga saham dan, oleh karenanya, keputusan investor untuk membeli atau menjual sekuritas. Kriteria materialitas menekankan bahwa informasi tersebut harus cukup penting dan krusial sehingga dapat berdampak substansial pada harga pasar.
Contoh MNPI meliputi informasi tentang potensi merger atau akuisisi perusahaan, tulisan keuangan yang belum diterbitkan, atau bahkan pengetahuan tentang regulasi pemerintah yang akan disahkan yang dapat menguntungkan atau merugikan sektor industri tertentu.
Untuk menjaga keadilan pasar, prinsip keterbukaan (disclosure principle) mensyaratkan bahwa informasi material harus diungkapkan secara luas (widespread) dan merata. Kegagalan untuk memastikan akses yang setara terhadap informasi ini menjadi dasar utama penindakan hukum. Penting bagi individu yang memiliki akses terhadap data sensitif ini untuk tidak mengungkapkan atau bertindak atas informasi tersebut sampai informasi itu tersedia secara legal di domain publik.
Evolusi Pengaturan Insider Trading (Latar Belakang Global)
Pengaturan insider trading di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di pasar modal utama seperti Amerika Serikat. Di AS, teori pertanggungjawaban telah berkembang dari fokus sempit pada “orang dalam” perusahaan (Teori Klasik) menjadi cakupan yang lebih luas yang menjerat pihak ketiga yang menyalahgunakan informasi (Teori Penyalahgunaan). Pengembangan teori-teori ini menjadi dasar bagi regulator di seluruh dunia, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dasar hukum Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) di Indonesia, untuk mencoba menutup celah hukum dan memastikan bahwa pasar beroperasi berdasarkan prinsip keadilan dan transparansi.
Pilar Hukum dan Regulasi di Indonesia
Landasan Hukum: Analisis Mendalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 (UUPM)
Landasan hukum utama yang mengatur larangan insider trading di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Berdasarkan UUPM, praktik penggunaan informasi rahasia yang belum tersedia untuk umum dalam transaksi efek merupakan tindakan ilegal. Pasal 95 UUPM secara spesifik melarang orang dalam emiten yang memiliki informasi orang dalam untuk melakukan transaksi penjualan atau pembelian efek emiten yang bersangkutan, atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik tersebut.
UUPM memberikan kerangka hukum yang mengatur larangan dan sanksi terhadap pelaku, yang meliputi penerapan sanksi administratif, sanksi pidana, dan sanksi perdata. Namun, meskipun kerangka hukum ini ada, penegakan hukum yang efektif terhadap insider trading masih menghadapi tantangan besar, termasuk kesulitan dalam pembuktian kasus dan adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku.
Definisi Yuridis “Orang Dalam” (Insider) Menurut Pasal 95 UUPM
Penjelasan Pasal 95 UUPM memberikan kategori yang luas mengenai siapa yang dapat diklasifikasikan sebagai “orang dalam” (insider) yang dilarang bertransaksi berdasarkan informasi rahasia. Secara umum, kategori ini mencakup: Direktur, Komisaris, pemegang saham utama, atau pegawai perusahaan yang memiliki akses langsung terhadap informasi non-publik. Pihak yang karena hubungan usaha atau profesinya (seperti konsultan, penasihat hukum, atau akuntan) juga memiliki akses informasi orang dalam juga termasuk dalam batasan larangan ini.
Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 95, terlihat bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mencakup pihak selain hanya kelompok inti “orang dalam”. Namun, penafsiran dan struktur UUPM sering kali dianggap masih didominasi oleh Teori Klasik (fokus pada pelanggaran tugas fidusia kepada pemegang saham perusahaan itu sendiri). Terdapat pengakuan akademis mengenai adanya cacat dalam peraturan UUPM, yang memungkinkan seseorang yang memperoleh informasi rahasia secara pasif dari pihak ketiga dapat bertransaksi efek tanpa secara eksplisit melanggar hukum. Kelemahan struktural ini menciptakan celah hukum, khususnya dalam menjerat pelaku yang berada di luar hierarki perusahaan (misalnya, pengacara, bankir investasi, atau keluarga) yang mencuri atau menyalahgunakan informasi MNPI tanpa memiliki tugas fidusia kepada emiten yang sahamnya diperdagangkan. Celah ini mempersulit penegakan hukum terhadap misappropriators atau pelaku non-tradisional.
Peran dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memegang peran sentral dalam pencegahan dan penindakan insider trading di Indonesia. OJK memiliki kewenangan pengawasan penuh terhadap pasar modal, termasuk mengatur bagaimana penuntutan terhadap pelaku dilakukan.
Proses penindakan OJK melibatkan pemeriksaan awal, diikuti oleh penyelidikan yang harus dikoordinasikan di bawah pengawasan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penuntutan formal (sanksi pidana) selanjutnya memerlukan koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum. Selain sanksi pidana, OJK juga menggunakan sanksi administratif sebagai alat penegakan hukum yang cepat dan tegas. Sanksi administratif ini, seperti denda finansial, pencabutan izin usaha, atau tindakan korektif, sangat penting untuk menjaga transparansi pasar dan kepercayaan investor serta regulator. Contoh nyata penerapan sanksi administratif termasuk denda yang dikenakan kepada individu terkait kasus perdagangan saham PT AGIS Tbk (TMPI) dan pencabutan izin usaha Manajer Investasi (MI) seperti PT Maseri Aset Manajemen.
Teori Pertanggungjawaban dan Bentuk Pelanggaran
Teori Klasik (Classical Theory) dan Kewajiban Fiduciary
Teori Klasik (atau Classical Theory) adalah dasar awal dari penegakan hukum insider trading. Teori ini menyatakan bahwa insider trading terjadi ketika seorang “orang dalam” (seperti direktur atau eksekutif) membeli atau menjual sekuritas perusahaan berdasarkan MNPI, sehingga melanggar tugas fidusia (kepercayaan) yang ia miliki terhadap pemegang saham perusahaan itu sendiri. Pelanggaran ini didasarkan pada prinsip bahwa orang dalam menggunakan informasi yang dipercayakan kepada mereka—yang seharusnya digunakan untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham—untuk keuntungan pribadi. Konsep ini sangat relevan dengan fokus Pasal 95 UUPM terhadap “orang dalam” perusahaan.
Teori Penyalahgunaan Informasi (Misappropriation Theory): Mengatasi Celah UUPM
Misappropriation Theory (Teori Penyalahgunaan Informasi) dikembangkan untuk menjembatani celah yang tidak dapat dijangkau oleh Teori Klasik. Teori ini berfokus pada individu yang mencuri atau menyalahgunakan MNPI dari sumber mana pun—bahkan jika sumber tersebut bukan perusahaan yang sahamnya diperdagangkan—sehingga melanggar kewajiban kerahasiaan kepada sumber informasi tersebut.
Pentingnya teori ini terlihat jelas dalam konteks Pasar Modal Indonesia. Mengingat adanya “cacat” atau keterbatasan dalam UUPM Pasal 95 , adopsi formal dan eksplisit atas Misappropriation Theory adalah krusial. Kasus-kasus besar internasional sering melibatkan pihak ketiga—seperti bank investasi, konsultan, atau bahkan jurnalis—yang mencuri informasi rahasia dari klien mereka (sumber informasi) dan bertransaksi. Pihak ini tidak memiliki tugas fidusia kepada pemegang saham perusahaan target, namun jelas melanggar etika dan hukum. Tanpa teori ini, UUPM kesulitan menjerat pelaku yang menyalahgunakan rahasia yang diperoleh dari pihak yang memiliki kewajiban kerahasiaan, sehingga menutup celah hukum yang menghambat penegakan terhadap pelaku non-tradisional.
Mekanisme Pertanggungjawaban Berantai: Konsep Tipper dan Tippee
Praktik insider trading sering melibatkan rantai informasi antara tipper dan tippee. Tipper adalah orang dalam yang membocorkan MNPI, dan tippee adalah pihak yang menerima informasi tersebut dan kemudian melakukan transaksi.
Liabilitas tippee bersifat turunan (derivative) dari pelanggaran tugas yang dilakukan oleh tipper. Dalam yurisdiksi yang dipengaruhi oleh standar Dirks (AS), untuk menetapkan liabilitas tippee, regulator harus membuktikan bahwa tipper mendapatkan manfaat pribadi (personal benefit)—baik secara langsung maupun tidak langsung—dari pengungkapan informasi rahasia tersebut. Jika tidak ada bukti manfaat pribadi yang diperoleh tipper, maka dianggap tidak ada pelanggaran tugas fidusia, dan oleh karena itu, tidak ada pelanggaran turunan oleh tippee.
Ketentuan mengenai “manfaat pribadi” ini menambah kompleksitas dalam pembuktian. Hal ini menjelaskan mengapa dalam beberapa kasus, juri dapat membebaskan tipper (karena kurangnya bukti manfaat pribadi) tetapi menghukum tippee yang jelas-jelas bertransaksi secara ilegal berdasarkan informasi tersebut. Penegak hukum di Indonesia harus fokus pada pembuktian motif keuntungan pribadi tipper, bukan hanya hubungan sebab-akibat antara pemberian informasi dan perdagangan.
Modus Operandi Terkait: Analisis Front-Running dan Warehousing
Selain insider trading tradisional, terdapat modus operandi terkait yang juga merusak integritas pasar:
- Front-Running: Tindakan ilegal ini terjadi ketika broker atau pihak perantara membeli atau menjual sekuritas berdasarkan pengetahuan internal mengenai transaksi besar klien yang akan datang (pending order) yang diyakini akan memengaruhi harga sekuritas tersebut. Setelah transaksi besar klien dieksekusi dan harga bergerak, broker tersebut segera menjual atau membeli sekuritas yang sebelumnya telah mereka posisikan, sehingga meraup keuntungan instan. Meskipun mirip insider trading, informasinya terkait dengan order pasar, bukan informasi internal perusahaan.
- Warehousing: Dalam konteks ilegal insider trading, warehousing merujuk pada praktik akumulasi saham secara diam-diam oleh pihak yang memiliki MNPI, sebelum pengumuman besar yang diketahui akan menyebabkan kenaikan harga (misalnya, pengambilalihan atau takeover). Praktik ini harus dibedakan dari definisi legal
Trade Warehousing, yang diartikan sebagai proses agregasi mandat klien untuk membeli sekuritas dalam volume kecil selama beberapa sesi perdagangan menjadi satu penagihan tunggal.
Tabel III.1 di bawah ini merangkum perbandingan antara tiga kerangka pertanggungjawaban utama dalam hukum insider trading:
Aspek | Teori Klasik (Classical Theory) | Teori Penyalahgunaan (Misappropriation Theory) | Tipper/Tippee (Derivative Liability) |
Fokus Utama | Pelanggaran tugas fidusia terhadap perusahaan sendiri (pemegang saham). | Pelanggaran tugas fidusia terhadap sumber informasi (yang memberikan rahasia). | Pelanggaran turunan berdasarkan manfaat pribadi tipper (insider). |
Pelaku Utama | Orang Dalam Perusahaan (Direktur, Komisaris, Karyawan Kunci). | Pihak Luar (Konsultan, Bankir Investasi, Pengacara) yang mencuri informasi. | Penerima Informasi Rahasia (Tippee). |
Relevansi UUPM | Sejalan dengan Pasal 95 UUPM. | Diperlukan untuk menutupi celah UUPM dan menjerat pihak ketiga. | Membutuhkan pembuktian personal benefit tipper. |
Pilar Hukum dan Regulasi di Indonesia
Esensi Prinsip Keterbukaan (Disclosure Principle) sebagai Jiwa Pasar Modal
Prinsip keterbukaan adalah fondasi dan jiwa dari pasar modal. Prinsip ini memastikan bahwa investor memiliki akses yang memadai terhadap informasi, yang memungkinkan mereka membuat keputusan investasi yang rasional. Insider trading secara inheren merupakan bentuk pelanggaran fundamental terhadap prinsip keterbukaan ini, karena ia memanfaatkan kesenjangan informasi untuk keuntungan sepihak.
Kesulitan Struktural dalam Pembuktian Insider Trading (Aspek Hukum dan Teknis)
Secara praktis, pembuktian kejahatan insider trading di pasar modal sangatlah sulit. Kesulitan ini bersumber dari beberapa faktor, termasuk instrumen hukum yang dianggap masih lemah—seperti celah dalam UUPM yang telah dibahas—dan batas yang tidak jelas mengenai kapan suatu fakta material dianggap telah tersedia secara publik dan terbuka. Pembuktian harus melampaui sekadar menunjukkan bahwa perdagangan terjadi sebelum pengumuman, tetapi juga membuktikan bahwa pelaku bertransaksi atas dasar (on the basis of) MNPI, dan dalam kasus tipping, membuktikan niat keuntungan pribadi (personal benefit) dari tipper.
Mengingat tantangan besar dalam membuktikan elemen niat (mens rea) dan penggunaan MNPI secara langsung, otoritas penegak hukum di seluruh dunia sering mengubah strategi penuntutan. Contoh presedennya adalah kasus Martha Stewart di AS. Meskipun ia dicurigai melakukan insider trading, ia pada akhirnya divonis bukan atas kejahatan tersebut, melainkan karena berbohong dan menghalangi penyidikan pemerintah. Pergeseran ini menegaskan bahwa ketika inti kejahatan sulit dibuktikan, penegak hukum akan menargetkan pelanggaran terkait (seperti sumpah palsu, konspirasi, atau pelanggaran prosedur). Dalam konteks Indonesia, strategi ini berarti OJK dan lembaga penegak hukum harus memperkuat kemampuan investigasi untuk mencari bukti pelanggaran prosedural atau keterlibatan perantara, seperti broker lokal, yang mungkin dimanfaatkan oleh insider trader.
Mekanisme Sanksi yang Diterapkan di Indonesia
UUPM memungkinkan penegak hukum untuk menjatuhkan tiga jenis sanksi utama terhadap pelaku insider trading :
- Sanksi Administratif: Sanksi ini diterapkan secara langsung oleh OJK dan berfungsi sebagai alat penegakan hukum yang cepat. Bentuknya meliputi denda finansial, pembatasan atau pencabutan izin usaha, dan tindakan korektif. Sebagai contoh, OJK pernah mengenakan sanksi denda sebesar Rp410 juta kepada seorang individu dalam Kasus Perdagangan Saham TMPI , dan juga mencabut izin usaha Manajer Investasi (MI) dalam kasus pelanggaran lainnya untuk memastikan transparansi dan kepercayaan regulator.
- Sanksi Pidana: Melibatkan hukuman penjara dan denda finansial yang besar. Penerapan sanksi pidana ini memerlukan koordinasi formal yang ketat antara OJK sebagai penyidik, Kepolisian, dan Kejaksaan.
- Sanksi Perdata: Ini adalah tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat praktik insider trading.
Tabel IV.1: Rangkuman Sanksi Hukum Insider Trading di Pasar Modal Indonesia
Jenis Sanksi | Dasar Hukum (UUPM No. 8/1995) | Bentuk Hukuman Kunci | Contoh Penerapan |
Sanksi Administratif | Kewenangan OJK (Pasal terkait). | Denda finansial, pembatasan/pencabutan izin usaha, pembekuan kegiatan. | Denda kepada Vivilia Valentina , Pencabutan izin MI (PT Maseri Aset Manajemen). |
Sanksi Pidana | Pasal UUPM terkait Kejahatan Pasar Modal. | Hukuman penjara dan/atau denda. | Memerlukan koordinasi OJK, Polri, dan Kejaksaan. |
Sanksi Perdata | Tuntutan ganti rugi oleh pihak yang dirugikan. | Kewajiban membayar ganti rugi kepada investor atau perusahaan. | Penekanan pada perlindungan hukum bagi investor. |
Dampak dan Debat Ekonomi Insider Trading
Kerusakan Integritas Pasar dan Penurunan Kepercayaan Investor
Dampak utama dan paling merusak dari insider trading adalah erosi terhadap integritas pasar modal secara keseluruhan. Praktik ini secara langsung mengancam keyakinan dan kepercayaan investor terhadap pasar saham sebagai instrumen investasi yang adil dan efisien. Jika investor umum merasa bahwa pasar dimanipulasi dan bahwa mereka selalu berdagang melawan pihak yang memiliki informasi superior secara ilegal, mereka akan menarik diri, mengurangi likuiditas pasar, dan secara substansial meningkatkan biaya transaksi bagi semua pihak. Untuk membangun kembali keadilan, transparansi, dan kepercayaan, regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang tegas sangatlah diperlukan. Selain itu, perusahaan memiliki peran krusial dalam mengelola dan membatasi akses karyawan terhadap informasi rahasia untuk mencegah potensi pelanggaran.
Implikasi Ekonomi: Peningkatan Biaya Modal dan Inefisiensi Harga
Dari sudut pandang ekonomi, insider trading ilegal memiliki konsekuensi nyata. Studi menunjukkan bahwa praktik ini meningkatkan biaya modal bagi penerbit sekuritas. Meskipun informasi material pada akhirnya akan tercermin dalam harga sekuritas, penggunaan MNPI oleh insider menciptakan distorsi, menghasilkan harga yang tidak efisien dalam jangka pendek dan mengurangi alokasi modal yang optimal.
Analisis Argumen Pro-Insider Trading (Henry Manne dan Aliran Chicago School)
Secara akademis, terdapat perdebatan kontroversial yang dipelopori oleh ekonom seperti Henry Manne lebih dari tiga dekade lalu. Manne berpendapat bahwa insider trading tidaklah salah dan bahkan mungkin bermanfaat bagi perekonomian dan pemegang saham perusahaan. Argumen utamanya adalah bahwa insider trading memungkinkan informasi rahasia diinternalisasi ke dalam harga saham lebih cepat daripada melalui mekanisme pengungkapan formal, sehingga mempercepat efisiensi pasar. Selain itu, ia melihat praktik ini sebagai bentuk kompensasi non-moneter yang efektif bagi eksekutif yang inovatif.
Namun, argumen ekonomi ini sebagian besar ditolak oleh regulator dan sistem hukum modern. Meskipun Manne memaksa regulator untuk mengartikulasikan alasan pelarangan di luar sekadar “tidak adil,” pelarangan saat ini didasarkan pada prinsip yang lebih mendalam: pencegahan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan pelanggaran tugas fidusia. Prinsip inilah yang melindungi partisipasi publik; tanpa perlindungan hukum yang kuat, ketidakseimbangan informasi yang ekstrim akan merusak kepercayaan, yang merupakan komoditas terpenting dalam pasar modal.
Studi Kasus dan Preseden (Case Studies)
Kasus Domestik Pilihan (Indonesia)
Salah satu kasus insider trading yang menonjol di Indonesia melibatkan perdagangan saham Bank Danamon terkait penawaran akuisisi oleh DBS pada tahun 2012. Kasus ini melibatkan individu bernama Rajiv, yang dilaporkan meraup keuntungan hingga S$173.965 setelah memperoleh MNPI mengenai penawaran tersebut. Rajiv adalah managing director di Carlyle Group LP ketika ia melakukan transaksi ilegal tersebut. Penetapan Rajiv sebagai pelaku insider trading menyebabkan ia dipecat dari jabatan tersebut. Kasus ini menggambarkan bagaimana informasi akuisisi—sebuah bentuk MNPI yang klasik—dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ilegal.
Di sisi penegakan hukum, OJK juga menunjukkan ketegasannya melalui sanksi administratif, yang sering kali merupakan respons tercepat. Contohnya adalah Kasus Perdagangan Saham PT AGIS Tbk (TMPI) pada periode 1 April hingga 30 September 2012, di mana OJK menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp410 juta kepada salah satu pihak yang terlibat, Sdr. Vivilia Valentina, atas pelanggaran peraturan pasar modal. Sanksi administratif ini, dan juga pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang melanggar ketentuan seperti PT Maseri Aset Manajemen , berfungsi sebagai pencegahan penting dan alat untuk menjaga transparansi pasar.
Kasus Internasional yang Membentuk Hukum (AS)
Kasus Raj Rajaratnam dan Galleon Group: Kasus ini merupakan salah satu kasus insider trading terbesar dan paling kompleks di AS, melibatkan Raj Rajaratnam (Hedge Fund Manager) dan eksekutif korporasi tingkat tinggi seperti Rajat Gupta (dewan direksi Goldman Sachs). Gupta dituduh membocorkan informasi rahasia kepada Rajaratnam, yang menghasilkan keuntungan ilegal dan penghindaran kerugian lebih dari $23 juta. Kasus ini menjadi preseden penting untuk penerapan
Teori Penyalahgunaan (Misappropriation Theory), di mana Gupta dihukum karena melanggar tugas kerahasiaan kepada perusahaannya (sumber informasi), meskipun ia tidak bertransaksi sendiri dan awalnya menyangkal adanya pembagian keuntungan (quid pro quo) secara langsung.
Kasus Martha Stewart: Kasus ini menarik karena menunjukkan tantangan dalam pembuktian. Martha Stewart, seorang tokoh home-design, menjual saham ImClone Systems Inc. tepat sebelum saham tersebut diperkirakan turun nilainya. Meskipun dicurigai melakukan insider trading, Martha Stewart pada akhirnya divonis bukan atas kejahatan tersebut, melainkan karena berbohong kepada agen pemerintah dan menghalangi penyidikan terkait perdagangan sahamnya. Kasusnya berfungsi sebagai contoh bagaimana otoritas penegak hukum, ketika menghadapi kesulitan dalam membuktikan elemen inti insider trading, dapat berhasil menuntut berdasarkan pelanggaran terkait (obstruksi keadilan atau sumpah palsu), demi memastikan keadilan ditegakkan.
Penutup dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan Analisis Komprehensif
Praktik insider trading merupakan ancaman serius terhadap prinsip keadilan, transparansi, dan efisiensi di pasar modal, yang secara langsung merusak kepercayaan investor. Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum melalui UUPM No. 8 Tahun 1995, penegakan hukum menghadapi hambatan signifikan. Hambatan ini terutama berasal dari kesulitan pembuktian elemen niat pelaku dan adanya celah struktural dalam UUPM, yang didominasi oleh Teori Klasik, sehingga sulit menjerat pihak-pihak ketiga yang menyalahgunakan informasi (misappropriators) yang tidak memiliki kewajiban fidusia langsung kepada pemegang saham emiten.
Rekomendasi Penguatan Kerangka Hukum
Untuk mengatasi keterbatasan struktural UUPM, rekomendasi kebijakan harus fokus pada modernisasi dan perluasan ruang lingkup hukum:
- Adopsi Penuh Misappropriation Theory: Regulasi Pasar Modal harus secara eksplisit mengakui dan mengkriminalisasi penyalahgunaan MNPI oleh pihak ketiga mana pun yang melanggar kewajiban kerahasiaan, terlepas dari apakah kewajiban tersebut ditujukan kepada pemegang saham emiten atau hanya kepada sumber informasi. Adopsi ini sangat penting untuk menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh konsultan, bankir, atau pihak non-tradisional yang mencuri rahasia.
- Klarifikasi Definisi MNPI: Peraturan pelaksana perlu memberikan panduan yang lebih jelas mengenai batas kapan suatu informasi non-publik dianggap telah diungkapkan secara memadai kepada publik, serta perbedaan antara informasi yang pasif diterima dan informasi yang secara aktif dicuri atau disalahgunakan.
Rekomendasi Peningkatan Kapasitas Pengawasan dan Penegakan OJK
Mengingat kesulitan pembuktian kasus, terutama dalam menemukan bukti komunikasi atau motif keuntungan pribadi (personal benefit) , OJK perlu melakukan peningkatan kapasitas penegakan hukum:
- Peningkatan Kapasitas Forensik Digital: OJK harus memperkuat kemampuan investigasi dan forensik digitalnya untuk melacak jejak komunikasi (e-mail, pesan instan) dan transaksi keuangan yang membuktikan adanya tipping dan motif keuntungan pribadi tipper.
- Penguatan Koordinasi Penuntutan: Perlu ditingkatkan efektivitas koordinasi formal antara OJK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Koordinasi yang lebih baik ini akan memastikan bahwa kasus-kasus yang ditemukan melalui investigasi OJK dapat ditindaklanjuti secara pidana dengan tegas dan efisien, sehingga sanksi pidana (penjara dan denda) dapat diterapkan lebih konsisten, melengkapi sanksi administratif yang sudah berjalan. Penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memulihkan dan