Latar Belakang Geopolitik: Bosnia dalam Reruntuhan Yugoslavia

Bosnia dan Herzegovina (BiH) merupakan wilayah yang secara unik multi-etnis dalam Federasi Sosialis Yugoslavia, berlokasi pada persimpangan historis antara pengaruh Kekaisaran Ottoman (memengaruhi etnis Bosniak, atau Muslim) dan Kekaisaran Austria-Hongaria (memengaruhi etnis Serb Ortodoks dan Kroat Katolik). Keberadaan multi-etnis inilah yang membuat BiH menjadi titik api yang tak terhindarkan ketika Yugoslavia mulai terpecah. Konflik bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Perang Bosnia berlangsung kurang lebih selama tiga setengah tahun, dari April 1992 hingga Desember 1995, sebagai salah satu konflik bersenjata utama dalam serangkaian Perang Yugoslavia yang lebih luas.

Konflik ini menarik perhatian global karena intensitas kekejaman yang terjadi, menandai krisis kemanusiaan terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Analisis mendalam mengenai Perang Bosnia harus berpusat pada korelasi kompleks antara krisis internal struktural Yugoslavia, dinamika kekerasan etno-nasionalis di lapangan (khususnya pembersihan etnis), kegagalan respons internasional untuk melindungi penduduk sipil, dan warisan politik yang diinstitusionalisasi oleh Perjanjian Dayton.

Pihak-pihak yang Bertikai dan Intervensi Internasional

Perang Bosnia melibatkan tiga aktor utama internal yang terpolarisasi berdasarkan garis etnis. Pihak-pihak ini termasuk Tentara Republik Bosnia dan Herzegovina (ARBiH), yang sebagian besar terdiri dari etnis Bosniak; Tentara Republika Srpska (VRS), militer Serbia Bosnia yang didukung oleh Beograd; dan Tentara Kroasia Bosnia (HVO), yang menerima dukungan dari Zagreb.

Respons terhadap konflik ini melibatkan sejumlah besar aktor internasional. Aktor-aktor ini termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui pasukan penjaga perdamaiannya (UNPROFOR), Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) yang terlibat aktif di akhir konflik, Masyarakat Eropa (ME), dan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Disintegrasi Yugoslavia, bersama dengan disintegrasi Uni Soviet, telah menggeser fokus Masyarakat Eropa dari urusan ekonomi ke upaya memformulasikan diplomasi dan kebijakan luar negeri bersama, sekaligus memperjelas peningkatan pengaruh Jerman dalam kebijakan-kebijakan tersebut.

Akar Konflik dan Pemicu Perang (Awal)

Disintegrasi Yugoslavia dan Krisis Internal (1980–1991)

Keruntuhan Yugoslavia pada awal 1990-an bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari ketegangan multi-faktor yang bersifat struktural dan ideologis. Latar belakang yang menjadi fondasi pecahnya federasi komunis tersebut meliputi beberapa aspek mendasar :

Pertama, Konflik Etnis yang berakar pada sejarah panjang permusuhan di Balkan. Sifat bangsa-bangsa Balkan yang dikenal “keras dan gemar berperang” memainkan peran dalam menyuburkan nasionalisme etnis setelah kematian pemimpin kuat Josip Broz Tito pada 1980. Krisis kepemimpinan pasca-Tito menciptakan kekosongan politik yang cepat diisi oleh retorika nasionalistik dari masing-masing republik.

Kedua, Krisis Ekonomi yang melanda Yugoslavia sekitar periode 1980-an. Krisis ini merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi yang dibangun di masa lalu dan berkontribusi pada meningkatnya ketidakpuasan regional dan ketidakstabilan sosial.

Ketiga, Krisis Kepemimpinan yang menyebabkan disfungsi dalam Federasi Komunis Yugoslavia. Salah satu kegagalan ideologis utama adalah prinsip komunisme yang memaksakan pemerataan. Penerapan prinsip ini bertentangan dengan “keniscayaan sosial” adanya kelas-kelas, memicu pemaksaan oleh birokrat absolut yang kemudian dikenal sebagai diktator proletariat, suatu bentuk kekuasaan yang tidak populer di mata rakyat. Fenomena ini memperburuk ketidakpercayaan terhadap otoritas pusat.

Jalan Menuju Kemerdekaan dan Eskalasi Kekerasan (1992)

Keputusan BiH untuk merdeka didorong oleh deklarasi kemerdekaan Slovenia dan Kroasia pada Juni 1991. Pada 29 Februari dan 1 Maret 1992, BiH menyelenggarakan referendum kemerdekaan. Referendum ini mencatat partisipasi sebesar 64% dari pemilih terdaftar, di mana 93% dari suara tersebut mendukung kemerdekaan.

Namun, referendum ini menghadapi penolakan keras dari etnis Serb Bosnia, yang merupakan sekitar 34% dari populasi. Anggota majelis Serb Bosnia menyerukan boikot, dan etnis Serb secara umum memboikot proses tersebut. Pimpinan politik Serb menggunakan hasil referendum, yang gagal mencapai ambang batas konstitusional dua pertiga partisipasi , sebagai dalih untuk memicu konfrontasi dan mendirikan penghalang jalan. Bagi pimpinan Serb, referendum itu sendiri inkonstitusional karena Konstitusi Yugoslavia melarang perubahan perbatasan tanpa persetujuan semua republik. Serb Bosnia telah mendeklarasikan pembentukan Republik Rakyat Serb Bosnia pada Januari 1992.

Kemerdekaan BiH secara resmi dideklarasikan oleh parlemen Bosnia pada 3 Maret 1992 dan diakui secara internasional pada April 1992. Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan ini, tanpa mekanisme pengamanan yang kuat untuk minoritas etnis Serb, dianggap oleh faksi Serb sebagai agresi dan pemisahan diri paksa dari Federasi Yugoslavia, yang kemudian membenarkan mobilisasi militer mereka.

Perkembangan politik ini menggarisbawahi bagaimana pertarungan mengenai kedaulatanlah yang memicu perang, bukan sekadar konflik etnis sporadis. Kegagalan prosedural referendum, ditambah dengan deklarasi sepihak entitas Serb, memberikan landasan naratif bagi Beograd dan Serb Bosnia bahwa mereka sedang membela hak-hak konstitusional. Lebih lanjut, peran negara-negara eksternal juga signifikan; disintegrasi tersebut secara nyata meningkatkan pengaruh Jerman dalam kebijakan Masyarakat Eropa. Pengakuan cepat kemerdekaan Kroasia dan Slovenia oleh beberapa negara Eropa tertentu mempercepat ambisi kemerdekaan Bosnia, yang pada gilirannya memicu ketakutan dan reaksi separatis di pihak Serb. Keterlibatan eksternal yang kompleks inilah yang mempercepat eskalasi konflik di BiH.

Dinamika Perang dan Krisis Kemanusiaan (Dampak)

Strategi Perang dan Konsep “Pembersihan Etnis”

Perang Bosnia dicirikan oleh strategi militer yang dikenal sebagai “pembersihan etnis” (ethnic cleansing), suatu kampanye yang bertujuan menciptakan wilayah yang homogen secara etnis melalui metode kekerasan yang sistematis. Pembersihan etnis mencakup pengusiran massal, pembunuhan, pemerkosaan sistematis, dan penghancuran warisan budaya.

Pada awalnya, terdapat perdebatan hukum mengenai apakah kekejaman yang terjadi di Bosnia dapat dikategorikan sebagai war crimes (kejahatan perang), karena status Bosnia belum sepenuhnya diakui sebagai perang antarnegara. Beberapa analisis hukum awal hanya mengklasifikasikannya sebagai crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), meliputi pembunuhan, pembinasaan, perbudakan, dan pengasingan. Namun, rangkaian peristiwa, terutama Genosida Srebrenica, mengubah perspektif ini.

Kampanye pembersihan etnis dilaksanakan terutama oleh Pasukan Serbia Bosnia (VRS) dan juga oleh Pasukan Kroasia. Metode yang digunakan meliputi penghancuran simbol budaya Bosniak secara sistematis. Data menunjukkan bahwa pasukan Serbia menghancurkan 249 masjid dan sejumlah musala, pesantren, madrasah, dan pondok darwis dari total 927 fasilitas yang menjadi sasaran. Tindakan penghancuran ini bertujuan menghilangkan jejak sejarah dan kehadiran Bosniak di wilayah yang ditargetkan untuk homogenisasi etnis.

Kekejaman dan Titik Balik Kritis

Pembersihan etnis berfungsi sebagai alat politik untuk menciptakan fakta teritorial di lapangan sebelum perundingan damai. Kenyataan bahwa strategi ini dapat diterapkan secara luas, sebagian karena impunitas awal dan terbatasnya intervensi, menunjukkan dampak mematikan dari kekosongan kebijakan internasional.

Pengepungan Sarajevo

Salah satu manifestasi kekejaman paling nyata adalah Pengepungan Sarajevo, yang berlangsung dari 5 April 1992 hingga 29 Februari 1996. Pengepungan ini merupakan yang terlama dalam sejarah perang modern, berlangsung selama 3 tahun, 10 bulan, 3 minggu, dan 3 hari. Selama pengepungan, kota Sarajevo mengalami kerusakan parah atau hancur hingga 65%. Perkiraan korban jiwa sipil dan militer sangat tinggi, dengan data yang menunjukkan sekitar 6.137 tentara tewas dan 3.587 terluka, dan total korban jiwa di pihak Bosniak mencapai ribuan. Pengepungan berakhir dengan kota Sarajevo terbagi secara administratif antara Federasi BiH (Bosniaks) dan Republika Srpska (Serb) di Sarajevo Timur.

Genosida Srebrenica

Tragedi terbesar dalam Perang Bosnia adalah Genosida Srebrenica pada Juli 1995. Srebrenica sebelumnya telah ditetapkan sebagai “Zona Aman” PBB (UN Safe Area) pada tahun 1993, bersama dengan Bihac, Gorazde, Sarajevo, Tuzla, dan Zepa, berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 819 dan 824.

Namun, pada Juli 1995, pasukan Serbia Bosnia, di bawah komando Radovan Karadzic dan Ratko Mladic (keduanya kemudian didakwa genosida oleh ICTY ), menyerbu zona aman tersebut. Antara 11 hingga 13 Juli 1995, pasukan Serb Bosnia melakukan eksekusi massal dan sistematis terhadap laki-laki dan anak laki-laki Bosniak. Jumlah korban tewas atau hilang dalam Genosida Srebrenica diperkirakan mencapai 8.372 jiwa. Peristiwa ini menjadi simbol kegagalan komunitas internasional untuk melindungi wilayah yang secara eksplisit berada di bawah perlindungan PBB, sebuah kegagalan yang disebut sebagai “ejekan terhadap komitmen” tersebut.

Dampak Kemanusiaan, Demografi, dan Ekonomi

Dampak kemanusiaan Perang Bosnia sangat masif. Jumlah korban tewas secara umum diterima sekitar 100.000 orang. Data dari  Bosnian Book of the Dead (BBD), sebuah proyek yang dipimpin oleh Mirsad Tokača dari Research and Documentation Centre (RDC) di Sarajevo, mencatat 96.985 kasus kematian terkait perang per Juli 2006.

Pentingnya BBD terletak pada upaya untuk memberikan nama dan wajah pada angka-angka tersebut, yang bertujuan untuk membebaskan narasi pasca-konflik dari mitos, ideologi, dan kepentingan politik/nasional. Upaya ini menegaskan bahwa rekonsiliasi memerlukan pengakuan berbasis bukti yang obyektif atas penderitaan setiap individu korban. Trauma kolektif akibat perang membutuhkan keadilan yang melampaui kepentingan nasionalistik.

Selain korban jiwa, konflik ini juga menghasilkan lebih dari 2.000.000 pengungsi dan displaced persons (DPs) yang melarikan diri dari teror genosida dan kekerasan, meninggalkan Bosnia. Secara demografis, populasi Bosnia dan Herzegovina berkurang secara signifikan, sekitar 13% pasca-perang. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, ribuan korban perang masih dinyatakan hilang.

Tabel 1: Ringkasan Dampak Kemanusiaan Kunci Perang Bosnia (1992-1995)

Indikator Kemanusiaan Estimasi/Data Kunci Sumber Data Primer (Contoh)
Total Korban Jiwa (Tewas/Hilang) Sekitar 100.000 jiwa (96.985 terdata per RDC 2006)
Jumlah Pengungsi dan Displaced Persons (DPs) Lebih dari 2.000.000 orang
Korban Tewas di Srebrenica (Genosida) Sekitar 8.372 laki-laki Bosniak
Durasi Pengepungan Sarajevo 3 Tahun, 10 Bulan, 3 Minggu (April 1992 – Feb 1996)
Penurunan Populasi Nasional Pasca-Perang Sekitar 13%

Respons dan Intervensi Internasional

Keterlibatan dan Kegagalan PBB/UNPROFOR

Respons awal komunitas internasional terhadap Perang Bosnia sangat lamban dan dinilai gagal total dalam mencegah kekejaman sistematis. PBB mengirimkan Pasukan Perlindungan PBB (UNPROFOR), namun mandat mereka sangat terbatas.

Kritik paling tajam ditujukan pada kebijakan embargo senjata yang diberlakukan PBB. Meskipun dimaksudkan untuk menahan konflik, embargo tersebut secara efektif melucuti kemampuan Bosniak untuk membela diri. Sebaliknya, pasukan Serbia Bosnia sudah dipersenjatai dengan sangat baik oleh bekas Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA). Dalam konteks ini, PBB, melalui UNPROFOR, secara efektif menjadi penghalang yang pasif, bukan kekuatan pencegah yang aktif. Serb Bosnia mengetahui keterbatasan mandat ini, yang memungkinkan mereka melanjutkan tujuan militer mereka dengan impunitas.

Puncak kegagalan ini terlihat di Srebrenica pada Juli 1995. UNPROFOR tidak bersedia memenuhi permintaan dukungan dari pasukan mereka sendiri yang ditempatkan di enklave tersebut. Keengganan ini, yang didorong oleh prioritas diplomatik untuk menjaga netralitas dan menghindari eskalasi militer, memungkinkan pasukan Serb Bosnia menyerbu zona aman dan melaksanakan eksekusi massal tanpa campur tangan, yang merupakan kegagalan moral dan operasional yang sangat mahal.

Perubahan Kebijakan dan Intervensi NATO

Setelah serangkaian kekejaman, termasuk kejatuhan Srebrenica dan serangan pasar Markale di Sarajevo, kebijakan internasional akhirnya berubah. NATO meluncurkan Operasi Deliberate Force pada tahun 1995, sebuah kampanye serangan udara skala besar terhadap posisi militer Serb Bosnia.

Intervensi ini, bersamaan dengan ofensif militer Kroasia dan Bosniak di lapangan, secara drastis mengubah keseimbangan kekuatan militer. Tekanan gabungan ini memaksa kepemimpinan Serb Bosnia untuk mengakhiri agresi dan kembali ke meja perundingan damai.

Aktor Internasional Lain

Di luar PBB dan NATO, terdapat aktor penting lainnya. Masyarakat Eropa (ME) mulai mengalihkan perhatian dari agenda ekonomi internal mereka ke masalah luar negeri, menunjukkan dorongan untuk diplomasi kolektif. Sementara itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengambil sikap yang lebih tegas dalam membela Bosniak Muslim. OKI mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mencabut embargo senjata bagi Bosnia jika perdamaian tidak terlihat, dan negara-negara anggotanya menyatakan kesiapan untuk memasok senjata. Hal ini menunjukkan adanya polarisasi respons yang mencerminkan ketidakpuasan dunia Islam terhadap keengganan negara-negara Barat untuk menghentikan genosida.

Perjanjian Dayton dan Penyelesaian Konflik (Penyelesaian)

Proses Diplomatik Dayton (1995)

Perjanjian damai yang mengakhiri Perang Bosnia dicapai berkat intervensi diplomatik intensif Amerika Serikat, setelah pergeseran keseimbangan militer yang disebabkan oleh intervensi NATO dan ofensif Kroasia. Negosiasi dilakukan di Pangkalan Angkatan Udara Wright-Patterson, Dayton, Ohio, AS, pada November 1995. Perjanjian ini secara resmi diinisiasi (ditandatangani secara legal) di Dayton pada 21 November 1995 dan kemudian ditandatangani secara seremonial di Paris pada 14 Desember 1995.

Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian tersebut adalah Presiden Republik Bosnia dan Herzegovina, Alija Izetbegović; Presiden Kroasia, Franjo Tuđman; dan Presiden Republik Federal Yugoslavia, Slobodan Milošević. Tujuan utama dari perjanjian ini, yang secara resmi dikenal sebagai General Framework Agreement for Peace in Bosnia and Herzegovina (DPA), adalah mengakhiri perang, mempromosikan perdamaian dan stabilitas di BiH, serta menjaga keseimbangan regional.

Arsitektur Politik Negara Pasca-Perang

Perjanjian Dayton menetapkan arsitektur politik yang sangat kompleks dan terfragmentasi untuk BiH. Negara ini ditetapkan sebagai negara berdaulat tunggal (single sovereign state) yang terdiri dari dua entitas otonom tinggi. Perjanjian tersebut secara tegas menyatakan bahwa tidak ada entitas yang dapat memisahkan diri dari BiH, kecuali melalui proses hukum yang benar. Konstitusi BiH yang berlaku hingga saat ini adalah Lampiran 4 (Annex 4) dari DPA.

Kedua entitas otonom tersebut adalah:

  1. Republika Srpska (RS): Wilayah yang didominasi oleh etnis Serb Bosnia.
  2. Federasi Bosnia dan Herzegovina (FBiH): Sebuah federasi terdesentralisasi yang terdiri dari etnis Bosniak dan Kroat.

Sebuah komponen kunci dari perjanjian adalah penentuan Garis Batas Antar-Entitas (Inter-Entity Boundary Line / IEBL) , yang secara kasar membagi wilayah berdasarkan garis depan militer yang ada pada saat itu. IEBL ini secara geografis mengabadikan hasil teritorial yang sebagian besar dicapai melalui strategi pembersihan etnis.

Dayton juga mendirikan sistem pemerintahan konsosiasional, di mana kekuasaan dibagi di antara elit yang mewakili tiga kelompok etnis konstituen utama. Struktur eksekutif sentral yang paling menonjol adalah Kepresidenan Tripartit, yang terdiri dari satu anggota Bosniak, satu Serb, dan satu Kroat, yang bergiliran menjabat sebagai kepala negara setiap delapan bulan. Meskipun sistem ini menjamin representasi etnis di tingkat pusat, hal ini kemudian menjadi sumber utama inefisiensi negara.

Tabel 2: Struktur Pemerintahan Bosnia dan Herzegovina Pasca-Dayton

Komponen Struktural Deskripsi Kunci Fungsi/Implikasi Utama
Negara Berdaulat Republik Bosnia dan Herzegovina (BiH) Kedaulatan tunggal; tidak ada entitas yang memiliki hak memisahkan diri.
Entitas Otonom (2) Federasi Bosnia dan Herzegovina (FBiH) & Republika Srpska (RS) Otonomi tinggi; memiliki konstitusi dan legislatif sendiri.
Kepresidenan Tripartit (1 Bosniak, 1 Serb, 1 Kroat) Kepala Negara rotasi 8 bulanan; sistem konsosiasional untuk menjamin representasi etnis.
Garis Batas Inter-Entity Boundary Line (IEBL) Delineasi perbatasan antar entitas; secara politik mengabadikan divisi teritorial perang.
Keadilan Hukum ICTY Mendakwa pelaku kejahatan perang/genosida (misalnya Karadzic, Mladic).

Mandat Implementasi dan Keadilan

Perjanjian Dayton juga mencakup mandat penting untuk implementasi dan keadilan. Pasukan yang dipimpin NATO, IFOR (Implementation Force), ditugaskan untuk mengimplementasikan aspek militer perjanjian.

Secara kemanusiaan, Lampiran 7 (Annex 7) Perjanjian Dayton menjamin Hak Pengembalian Pengungsi. Dokumen ini secara eksplisit menyatakan bahwa semua pengungsi dan displaced persons (DPs) memiliki hak untuk kembali secara bebas dan aman ke rumah asal mereka, tanpa risiko pelecehan, diskriminasi, atau persekusi berdasarkan asal etnis, agama, atau pandangan politik. Para pihak yang bertikai diwajibkan untuk menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang kondusif untuk kepulangan sukarela dan reintegrasi yang harmonis.

Meskipun demikian, terdapat kontradiksi mendasar dalam Dayton. Sementara Annex 7 menjamin hak individu untuk kembali, IEBL dan pembagian teritorial menjadi dua entitas otonom tinggi secara geografis melegitimasi hasil pembersihan etnis. Perjanjian ini berhasil menghentikan kekerasan tetapi mengabadikan pembagian.

Dalam hal keadilan, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY) memainkan peran krusial. ICTY bertanggung jawab untuk menuntut individu yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan genosida, termasuk para pemimpin militer dan politik kunci seperti Radovan Karadzic dan Ratko Mladic atas kejahatan di Srebrenica. Warisan ICTY sangat penting dalam memastikan bahwa kebenaran hukum mengenai genosida ditetapkan secara internasional.

Warisan dan Tantangan Jangka Panjang Pasca-Dayton

Dilema Pemerintahan Konsosiasional

Perjanjian Dayton berhasil menghentikan perang, namun menciptakan negara yang secara politik sangat rapuh. Sistem konsosiasional yang dirancang untuk menjamin representasi setiap kelompok etnis justru menghasilkan inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan politik yang kronis, dan pengambilan keputusan yang lambat.

Faktanya, BiH pasca-Dayton sering dianggap sebagai “protektorat tak resmi” (undeclared protectorate) karena adanya pengawasan internasional yang kuat (misalnya melalui Kantor Perwakilan Tinggi). Sistem ini juga memberikan insentif kepada elit etnis untuk terus memperkuat perbedaan nasionalistik, alih-alih membangun identitas Bosniak yang terpadu, demi mempertahankan basis kekuasaan mereka di entitas masing-masing. The Economist Intelligence Unit bahkan mengklasifikasikan BiH sebagai “hybrid regime” pada tahun 2022.

Isu Pengembalian Pengungsi dan Diskriminasi

Implementasi Annex 7 menjadi salah satu tantangan pasca-Dayton yang paling sulit. Meskipun hak untuk kembali dijamin secara hukum, prosesnya menuai banyak masalah. Pengungsi yang kembali ke wilayah yang kini didominasi oleh kelompok etnis yang berbeda sering menghadapi diskriminasi yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Diskriminasi ini meluas ke bidang pendidikan dan pemerintahan.

Secara sosial dan keagamaan, tantangan pasca-Dayton juga terlihat dalam munculnya isu-isu baru. Misalnya, terdapat tulisan mengenai munculnya kelompok-kelompok yang menggesek Islam Konservatif, seperti kelompok Wahhabi, yang dapat menambah ketegangan sosial dan polarisasi di kalangan komunitas Bosniak sendiri.

Keadilan, Memori Kolektif, dan Impunitas

Meskipun ICTY telah menyelesaikan dakwaan terhadap para pelaku tingkat tinggi, keadilan transisional masih menjadi pekerjaan yang belum selesai. Salah satu luka yang paling dalam bagi proses rekonsiliasi adalah jumlah korban perang yang masih hilang. Meskipun tahun-tahun berlalu sejak perjanjian damai, lebih dari 7.000 korban perang Bosnia masih hilang. Upaya berkelanjutan dalam identifikasi jenazah dan penguburan di pusat memorial Potocari di dekat Srebrenica menunjukkan betapa panjang dan sulitnya proses pemulihan dan pengakuan.

Kesimpulan

Perang Bosnia adalah akibat dari kombinasi ketegangan etnis historis, krisis ekonomi dan kepemimpinan di Yugoslavia, dan katalis berupa Referendum Kemerdekaan 1992 yang diperdebatkan. Konflik ini dicirikan oleh kekejaman sistematis pembersihan etnis dan genosida, yang diperburuk oleh kegagalan diplomatik dan militer PBB.

Perjanjian Dayton (1995) berhasil mengakhiri kekerasan dan menginstitusionalisasikan perdamaian. Namun, dengan pembagian negara menjadi dua entitas otonom dan sistem pemerintahan konsosiasional tripartit, Dayton menciptakan negara yang stabil secara eksternal tetapi terfragmentasi dan inefisien secara internal. Perjanjian ini, dalam upaya mencapai perdamaian segera, secara tidak sengaja mengabadikan divisi teritorial yang merupakan hasil dari kekerasan etnis.

Untuk mencapai stabilitas jangka panjang dan mengintegrasikan BiH sepenuhnya ke dalam struktur Eropa, diperlukan beberapa langkah strategis:

  1. Reformasi Struktural Dayton: Diperlukan reformasi konstitusional yang serius untuk memindahkan fokus politik dari representasi etnis ke fungsionalitas negara dan perlindungan hak-hak individu. Stagnasi birokrasi saat ini tidak berkelanjutan.
  2. Penegakan Annex 7: Komunitas internasional dan pemerintah BiH harus memastikan implementasi penuh dan tanpa diskriminasi terhadap hak pengembalian pengungsi, termasuk jaminan keamanan, pekerjaan, dan pendidikan bagi mereka yang kembali ke wilayah mayoritas etnis lain.
  3. Penguatan Memori Kolektif: Dukungan terhadap proyek-proyek seperti Bosnian Book of the Dead dan pendidikan inklusif penting untuk membangun generasi yang dapat mengatasi perpecahan masa lalu, menjauhkan diri dari narasi yang didorong oleh kepentingan nasionalistik. Integrasi pendidikan adalah kunci untuk melawan diskriminasi yang diwariskan oleh konflik.
  4. Integrasi Eropa sebagai Pendorong: Aspirasi BiH untuk bergabung dengan Uni Eropa harus dimanfaatkan sebagai alat leverage yang efektif untuk mendorong reformasi tata kelola struktural dan akuntabilitas politik yang diperlukan untuk mengatasi warisan fragmentasi Dayton.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

55 + = 62
Powered by MathCaptcha