Membingkai Negara Perampok (The Plunder State)
Pembentukan negara-negara yang muncul setelah era eksplorasi Eropa abad ke-15 sering kali disajikan sebagai kisah evolusi kedaulatan dan demokrasi. Namun, analisis kritis mengungkapkan bahwa banyak dari entitas politik ini didirikan bukan melalui proses organik, melainkan sebagai hasil dari proyek imperialis yang dilegitimasi secara hukum dan teologis. Negara-negara yang fondasinya adalah perampasan (plunder) dan penjajahan harus dipahami melalui kerangka Kolonialisme Pemukim (Settler Colonialism), sebuah lensa analitis yang menyoroti sifat opresi yang berkelanjutan dan prasyarat genosida yang mendasarinya.
Tesis utama yang diangkat dalam tulisan ini adalah bahwa negara perampok modern dicirikan oleh kebutuhan struktural untuk menghapus dan menggantikan populasi pribumi, menjadikannya sistem opresi yang berbeda dan berkelanjutan dibandingkan bentuk kolonialisme lainnya.
Diferensiasi Sistem Opresi: Kolonialisme Klasik vs. Kolonialisme Pemukim
Penting untuk membedakan antara Kolonialisme Klasik dan Kolonialisme Pemukim karena perbedaan ini menjelaskan sifat opresi yang terjadi. Kolonialisme Klasik (atau Kolonialisme Eksploitasi) utamanya berorientasi pada kontrol dan ekstraksi sumber daya oleh kekuatan asing (metropole), sambil mempertahankan populasi pribumi sebagai sumber tenaga kerja. Contoh klasik sering terlihat di Afrika dan Asia, di mana populasi pribumi dipertahankan dalam mayoritas, tetapi didominasi secara politik dan ekonomi.
Sebaliknya, Kolonialisme Pemukim memiliki tujuan tambahan yang lebih radikal: penghancuran total dan penggantian populasi serta budaya pribumi (displacement and replacement) untuk menetapkan pemukim sebagai penduduk yang sah dan permanen. Dalam sistem ini, pemukim tidak hanya mengeksploitasi sumber daya dan tanah; mereka berupaya menghapus hak dan budaya pribumi secara mendasar untuk menggantikannya dengan hak dan budaya mereka sendiri. Analis seperti Patrick Wolfe mendefinisikan Kolonialisme Pemukim sebagai sebuah sistem—bukan sekadar peristiwa historis—yang memprasyaratkan penghapusan dan penghancuran penduduk asli sebagai kondisi awal bagi pembentukan negara pemukim dan perampasan tanah. Oleh karena itu, kerangka ini memaksa analisis untuk beralih dari pertanyaan ‘kapan penjajahan berakhir?’ menjadi ‘bagaimana struktur opresif ini terus beroperasi hari ini?’.
Tinjauan Metodologis dan Landasan Teoretis
Analisis ini menggunakan kerangka interdisipliner, menggabungkan Studi Pribumi, Hukum Internasional Kritis, dan Teori Kritis Sosioekonomi. Landasan kolonialisme pemukim tidak hanya terletak pada motivasi ekonomi (perampasan sumber daya), tetapi pada ideologi rasial, sering kali Eurosentrisme dan supremasi kulit putih, yang menganggap nilai-nilai Eropa superior terhadap budaya pribumi. Keyakinan ideologis ini melegitimasi penghancuran hak-hak pribumi dan penghapusan narasi budaya mereka (erasure of tracks). Ini berarti bahwa upaya dekolonisasi harus mengatasi bukan hanya ketidakadilan material, tetapi juga penghapusan budaya dan penggantian narasi, yang akan dibahas lebih lanjut melalui Teori Pascakolonial.
Kolonialisme Pemukim (Settler Colonialism) sebagai Struktur Pembentuk Negara
Bagian ini mendalami teori yang mendefinisikan pembentukan negara perampok sebagai entitas yang memerlukan penghapusan penduduk asli sebagai prasyarat bagi eksistensinya.
Definisi dan Karakteristik Utama SC: Struktur Penghapusan dan Penggantian
Kolonialisme Pemukim didefinisikan sebagai sistem opresi berbasis genosida dan kolonialisme yang bertujuan untuk mengganti populasi suatu bangsa (sering kali masyarakat adat) dengan populasi pemukim baru. Sistem ini menemukan dasarnya pada pencurian dan eksploitasi tanah dan sumber daya yang merupakan milik pribumi. Tujuan utamanya bukanlah tenaga kerja, melainkan tanah itu sendiri. Oleh karena itu, perampasan dalam konteks SC bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi proyek eksistensial. Tujuannya adalah menghapus kedaulatan dan identitas pribumi secara total, memastikan bahwa perlawanan pribumi selalu berpusat pada kedaulatan tanah, bukan sekadar kompensasi moneter.
Mekanisme Institusional Perampasan dan Erasure
Untuk mencapai penggantian total, SC berfungsi melalui penindasan hak dan budaya pribumi, yang kemudian digantikan oleh budaya pemukim. Ada berbagai bentuk Kolonialisme Pemukim yang diidentifikasi, termasuk apartheid, pendudukan militer, kebijakan asimilasi nasional, atau perang biologi.
Di Amerika Serikat, sejarah mencatat penggunaan kebijakan seperti penjatahan tanah (land allotment) dan sekolah paksa (forced schooling) sebagai alat Kolonialisme Pemukim untuk asimilasi. Mekanisme ini bertujuan untuk menormalisasi kekuasaan dominan negara. Selain itu, modifikasi nama kota dan tempat adalah praktik umum yang digunakan untuk menghapus jejak pribumi (erasing the indigenous’ tracks) secara permanen dari lanskap geografis dan historis.
Identifikasi Negara Pemukim Otonom (Settler States)
Negara Pemukim (Settler State) adalah entitas politik otonom atau independen yang didirikan oleh dan untuk pemukim melalui kolonialisme pemukim. Ini terjadi ketika masyarakat migran pemukim memperoleh posisi dominan secara politik atas masyarakat adat dan membentuk negara yang mandiri, beroperasi secara independen dari negara asal imperium (metropole).
Negara-negara yang secara akademis telah didefinisikan sebagai Negara Pemukim mencakup Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Israel, dan Taiwan. Negara-negara yang dulunya beroperasi sebagai negara pemukim termasuk Afrika Selatan (era apartheid) dan Rhodesia. Pembentukan negara-negara ini, meskipun sering kali mengklaim prinsip-prinsip demokrasi, sejarah imperialisme mereka mengkhianati klaim-klaim demokratis tersebut.
Kerangka SC untuk Analisis Ras dan Keadilan
Kerangka Kolonialisme Pemukim sangat penting untuk analisis pembentukan ras dan gender. Kerangka ini mampu mencakup spesifisitas rasisme yang memengaruhi berbagai kelompok rasial—terutama Penduduk Asli Amerika (Native Americans), kulit hitam, Latino, dan Asia Amerika—sambil juga menyoroti faktor struktural dan budaya yang menopang dan menghubungkan rasisme-rasisme ini.
Jika penghapusan penduduk asli adalah syarat dasar bagi pembentukan negara pemukim, maka kehadiran kelompok rasial lain (seperti budak Afrika atau pekerja imigran) disubordinasikan untuk melayani kebutuhan struktur pemukim yang berdiri di atas tanah curian. Ini menunjukkan bahwa rasisme terhadap kelompok non-pribumi adalah konsekuensi, bukan proyek yang terpisah, dari proyek penghapusan pribumi. SC menyediakan lensa di mana semua bentuk rasisme terartikulasi dan terikat pada isu kepemilikan tanah. Implikasi utama dari pengambilan kerangka SC secara serius adalah memajukan dekolonisasi sebagai tujuan yang diperlukan untuk mencapai keadilan ras dan gender, melampaui pencapaian inklusi liberal semata.
Legitimasi Perampasan: Doktrin Hukum, Teologi, dan Fiksi Terra Nullius
Tindakan perampokan yang mendefinisikan pembentukan negara perampok dilegitimasi secara sistematis melalui kerangka hukum internasional yang bersifat Eurosentris. Hukum, dalam konteks ini, berfungsi sebagai alat untuk mengesahkan perampasan.
Doctrine of Discovery (DoD): Landasan Hukum Kolonial
Doctrine of Discovery (DoD) adalah konsep hukum dan agama yang telah digunakan selama berabad-abad untuk membenarkan penaklukan kolonial Kristen. Doktrin ini menetapkan prinsip dalam hukum internasional publik bahwa ketika suatu bangsa “menemukan” suatu tanah, bangsa tersebut secara langsung memperoleh hak atas tanah itu, termasuk hak properti dan kedaulatan. Doktrin ini diumumkan melalui serangkaian deklarasi kepausan (papal bulls) pada abad ke-15, yang memberikan otoritas agama kepada kerajaan Kristen untuk menyerbu, menaklukkan, dan mengklaim sumber daya di tanah non-Kristen.
Doktrin ini secara fundamental mengabaikan fakta bahwa tanah itu sering kali sudah dihuni oleh bangsa lain. DoD memberikan otorisasi kepada penjelajah untuk mengklaim terra nullius—yaitu, tanah yang dikatakan tidak dihuni oleh orang Kristen. Ini membuktikan bahwa perampasan yang mendasari negara pemukim tidak terjadi secara anarki, tetapi dilegitimasi oleh sistem hukum yang dirancang khusus untuk mengesahkan perampokan. Hukum internasional abad ke-15 hingga ke-19 adalah alat untuk plunder, menunjukkan bahwa pembentukan negara perampok bersifat intentional dan systemic dari awal.
Fungsi Terra Nullius (Tanah Tak Bertuan)
Konsep terra nullius adalah fiksi hukum yang erat kaitannya dengan DoD. Klaim bahwa tanah itu terra nullius meskipun berpenghuni didasarkan pada asumsi superioritas Eropa/Kristen. Penjajah berpendapat bahwa masyarakat pribumi hanya menduduki tanah (occupied) tetapi tidak memilikinya (did not own them) berdasarkan definisi kepemilikan ala Eropa.
Klaim kedaulatan yang tidak setara ini menciptakan hubungan kausal di mana kedaulatan pribumi dianggap tidak sah (non-sovereign). Doktrin ini secara fundamental menyangkal validitas sistem tata kelola dan kedaulatan pribumi (Indigenous governance and sovereignty) , yang merupakan langkah penting menuju penghapusan total yang diperlukan oleh Kolonialisme Pemukim.
Warisan Hukum dan Dampak Kontemporer
Meskipun dunia saat ini dianggap terbatas dan tidak ada lagi terra nullius yang tersisa , warisan hukum kolonial tetap hidup. DoD diadopsi ke dalam kerangka hukum negara-negara yang dijajah—Thomas Jefferson bahkan menegaskan pada tahun 1792 bahwa doktrin ini berlaku untuk pemerintah AS, dan doktrin ini masih disebutkan dalam kaitannya dengan Imperialisme Amerika.
Konsep terra nullius dan DoD terus memengaruhi hak-hak Masyarakat Adat, termasuk dalam penentuan gelar Aborigin (Aboriginal titles). Meskipun Mahkamah Agung Kanada pada tahun 2014 menyatakan bahwa terra nullius secara eksplisit tidak pernah berlaku di Kanada , Doktrin Penemuan tetap memengaruhi penentuan hukum kedaulatan dan perampasan tanah pribumi. Hal ini menunjukkan bagaimana landasan legalitas opresif terus membentuk realitas kontemporer.
Table 1: Perbedaan Struktural dan Filsafat Kolonialisme Klasik vs. Pemukim (Settler Colonialism)
Aspek Kritis | Kolonialisme Klasik (Exploitation Colonialism) | Kolonialisme Pemukim (Settler Colonialism) |
Tujuan Utama | Eksploitasi tenaga kerja dan ekstraksi sumber daya untuk metropole. | Penggantian (replacement) populasi pribumi; kedaulatan permanen oleh pemukim atas tanah. |
Relasi dengan Penduduk Asli | Diperlukan, tetapi didominasi; pemukim sering kali merupakan minoritas pengelola. | Harus dihapus (erasure) atau diasimilasi total; pribumi dilihat sebagai hambatan eksistensial. |
Status Hukum Plunder | Legitimasi kekuasaan politik atas populasi. | Legitimasi kepemilikan tanah dan kedaulatan melalui doktrin terra nullius. |
Sifat Berkelanjutan | Berakhir secara formal dengan dekolonisasi politik dan penarikan kekuasaan. | Dianggap sebagai sistem yang berkelanjutan (ongoing structure), di mana ancaman penghapusan terus ada. |
Analisis Ekonomi dan Politik Kritis: Warisan Ketergantungan dan Dominasi
Warisan pembentukan negara perampok tidak hanya bersifat hukum dan militer, tetapi juga struktural dan kultural. Dua kerangka teori utama—Teori Dependensi dan Teori Pascakolonial—memberikan pemahaman mendalam tentang dampak jangka panjang ini.
Teori Dependensi (DT): Fokus Strukturalis dan Ekonomi
Teori Dependensi (DT) menawarkan perspektif strukturalis dan sosioekonomi, melihat imperialisme dan pembangunan sebagai terikat pada perkembangan kapitalisme global. DT berpendapat bahwa keterbelakangan negara-negara periferi adalah hasil langsung dari eksploitasi oleh negara-negara inti (Pusat). Teori ini muncul dari kritik terhadap tesis ‘masyarakat ganda’ modernisasi, yang gagal menjelaskan mengapa eksploitasi justru memperdalam kesenjangan struktural.
Dalam konteks negara pemukim, DT membantu menjelaskan mekanisme eksploitasi. Negara perampok awalnya berfungsi merampok sumber daya yang mengalir ke metropole, namun yang lebih penting, perampokan sumber daya yang mendanai pembentukan negara baru digunakan untuk membangun infrastruktur kapitalis internal bagi pemukim. Oleh karena itu, Dependensi yang terjadi bukan hanya eksternal, tetapi juga kolonisasi internal yang berkelanjutan. Masyarakat Adat menjadi “pinggiran” dalam perbatasan negara mereka sendiri, terkunci dalam struktur ketidaksetaraan ekonomi yang didirikan di atas perampasan modal (tanah dan sumber daya).
Teori Pascakolonial (PT): Fokus Diskursus dan Representasi
Berbeda dengan fokus sosioekonomi DT, Teori Pascakolonial (PT) memilih perspektif pasca-strukturalis dan kultural, menghubungkan imperialisme dan agensi dengan diskursus dan politik representasi. PT memeriksa dampak kolonialisme pada penjajah dan yang dijajah, menantang narasi dominan yang dilembagakan oleh kekuatan kolonial.
Analisis PT terhadap konstruksi “Liyan” (The Other) sangat relevan. Ideologi superioritas Eropa (Eurocentrism) yang membenarkan Doktrin Penemuan diterjemahkan menjadi Orientalisme, yaitu penggambaran Timur sebagai “Liyan” yang inferior, yang diperlukan untuk membenarkan dominasi dan perampasan. PT juga mengeksplorasi dinamika kultural, seperti agensi, hibriditas, dan asimilasi, untuk memahami bagaimana individu dan budaya yang terjajah merespons dan menentang dominasi.
Integrasi Kritis: Sintesis Struktural dan Kultural
Meskipun DT dan PT sering kali dikontraskan, integrasi keduanya penting untuk memahami warisan negara perampok secara holistik. Kritik Marxist terhadap PT dapat digunakan untuk menghubungkan kembali isu-isu kultural dengan basis material eksploitasi (Dependensi). Sintesis ini menghasilkan pemahaman bahwa negara perampok menghasilkan warisan ganda:
Ketergantungan Struktural (basis ekonomi didirikan melalui perampasan yang menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang tidak dapat diubah) dan Ketergantungan Diskursif (upaya terus-menerus untuk melegitimasi keberadaan melalui penindasan identitas dan budaya pribumi).
Sintesis ini juga menggarisbawahi sifat resistensi. Sementara PT menyoroti agensi dan resistensi kultural , kerangka Kolonialisme Pemukim menuntut agar resistensi tidak hanya bersifat naratif, tetapi juga material—yaitu, berfokus pada pengembalian tanah (dekolonisasi), bukan hanya pada pengakuan budaya (inklusi liberal).
Table 2: Perbandingan Kerangka Teori Kritis dalam Menganalisis Warisan Negara Perampok
Kerangka Teori | Fokus Utama | Tesis Inti Mengenai Kolonialisme | Relevansi Terhadap Plunder State |
Settler Colonialism | Hubungan Tanah, Genosida, dan Penggantian | Penghapusan penduduk asli adalah syarat pendirian negara; SC adalah struktur berkelanjutan. | Menyediakan kerangka untuk menganalisis perampasan tanah de jure dan de facto (misalnya kasus AS/Israel). |
Teori Dependensi | Struktur Sosioekonomi, Kapitalisme Global | Keterbelakangan negara periferi adalah hasil dari eksploitasi oleh pusat kapitalis. | Menjelaskan bagaimana perampasan sumber daya awal mengintegrasikan negara baru ke dalam struktur ketidaksetaraan ekonomi global. |
Teori Pascakolonial | Diskursus, Budaya, Politik Representasi | Menantang narasi dominan (Orientalisme); menganalisis respons budaya (hibriditas, subaltern). | Menganalisis bagaimana ideologi rasis (Eurocentrism) membenarkan Doctrine of Discovery dan menghapus identitas pribumi. |
Manifestasi Kontemporer dan Struktur Opresi Berkelanjutan
Struktur Kolonialisme Pemukim memastikan bahwa perampasan dan opresi tidak berakhir setelah deklarasi kemerdekaan formal; sebaliknya, sistem tersebut terus berevolusi untuk mempertahankan hegemoni pemukim.
Warisan Hukum dan Tanah yang Belum Terselesaikan
Doktrin hukum kolonial lama seperti Doctrine of Discovery terus membatasi kedaulatan pribumi di era modern. Sengketa tanah yang berkelanjutan di negara-negara seperti Amerika Serikat (melalui warisan land allotment) dan konflik wilayah di Israel adalah bukti nyata bahwa SC masih berfungsi sebagai sistem yang berkelanjutan, bukan sekadar sejarah masa lalu. Meskipun beberapa negara (seperti Kanada) telah menolak terra nullius secara eksplisit, dampaknya tetap terasa dalam cara hukum properti modern mendefinisikan dan membatasi gelar dan hak Aborigin.
Rasisme Struktural dan Kegagalan Inklusi Liberal
Kerangka SC diperlukan untuk memahami mengapa rasisme dan seksisme yang berbeda terjalin dalam negara pemukim. Semua diskriminasi rasial ditopang oleh proyek penghapusan dan perampasan tanah yang mendasar. Ketika kelompok pribumi secara eksistensial harus dihapus agar negara pemukim dapat berfungsi , maka rasisme terhadap mereka menjadi struktural.
Oleh karena itu, keadilan ras tidak dapat dicapai melalui “inklusi liberal” sederhana. Inklusi liberal pada dasarnya meminta kelompok yang dirampas untuk berpartisipasi dalam sistem yang fondasinya adalah penghapusan mereka sendiri. Upaya ini gagal karena aktivisme yang berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka hukum kolonial secara tidak langsung mengesahkan plunder yang mendasarinya. Analisis kritis menekankan bahwa untuk membongkar rasisme struktural, diperlukan agenda dekolonisasi yang melampaui reformasi kosmetik.
Perampasan Sumber Daya Modern dan Krisis Lingkungan
Di era modern, perampasan tanah fisik telah berkembang menjadi perampasan ekologis. Negara pemukim, melalui kekuatan hukum yang diwarisi dari DoD , memberikan izin kepada korporasi (yang sering kali merupakan kepentingan pemukim) untuk mengeksploitasi sumber daya vital—pertambangan, energi, air—di wilayah adat. Ini adalah fase lanjutan dari genosida yang digambarkan oleh SC: menghancurkan hubungan antara penduduk asli dan tanah mereka melalui cara-cara non-militer. Struktur politik negara pemukim secara inheren memfasilitasi kepentingan korporasi pemukim di atas hak kedaulatan dan lingkungan pribumi.
Politik Asimilasi dan Penghapusan Kultural
Kebijakan negara terus berupaya mencapai “penggantian” budaya yang diidentifikasi sebagai tujuan SC. Kebijakan asimilasi kontemporer—melalui pendidikan, media, dan kebijakan identitas—mencerminkan upaya untuk menghancurkan budaya pribumi. Contoh historis seperti Residential Schools di Kanada (yang merupakan alat SC untuk asimilasi ) menunjukkan bagaimana sistem negara secara sistematis diarahkan untuk menghapus identitas pribumi dan menggantinya dengan budaya pemukim, memastikan bahwa opresi tetap menjadi sistem yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Sintesis Argumen: Realitas Sistemik Negara Perampok
Negara yang didirikan di atas perampasan dan penjajahan harus diakui sebagai entitas yang dibentuk oleh Settler Colonialism, sebuah sistem yang mendasarinya adalah genosida, penghapusan, dan penggantian. Negara-negara yang dicontohkan seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Israel menunjukkan bagaimana pendirian mereka dilegitimasi oleh fiksi hukum seperti Doctrine of Discovery dan terra nullius. Meskipun negara-negara ini mengklaim diri sebagai pelopor demokrasi, sejarah imperialisme mereka mengkhianati prinsip-prinsip tersebut dengan secara struktural menempatkan penghapusan pribumi sebagai prasyarat bagi eksistensi mereka. Formasi negara perampok tidak ditandai oleh perampasan historis semata, tetapi oleh struktur opresi yang berkelanjutan.
Implikasi Etis dan Politik: Mengapa Dekolonisasi adalah Tujuan yang Diperlukan
Karena fondasi negara pemukim didasarkan pada perampasan tanah dan penghapusan identitas, keadilan struktural tidak dapat dicapai tanpa menantang fondasi tersebut. Penting untuk mengedepankan dekolonisasi sebagai tujuan yang diperlukan. Dekolonisasi tidak harus diartikan sebagai pengembalian total ke status pra-kontak, tetapi sebagai restrukturisasi fundamental kekuasaan dan kedaulatan atas tanah, menantang hegemoni politik dan hukum pemukim yang telah mapan.
Rekomendasi Kebijakan dan Aksi Kritis untuk Keadilan Struktural
Untuk mengatasi warisan Negara Perampok secara efektif, tindakan harus berfokus pada perubahan struktural yang fundamental:
- Penghapusan Doktrin Hukum Kolonial: Perlu adanya upaya internasional dan nasional untuk secara eksplisit menantang dan menghapus semua doktrin hukum yang berasal dari kolonialisme, khususnya warisan Doctrine of Discovery dan terra nullius dalam hukum properti modern.
- Pengembalian Kedaulatan: Mendorong pengakuan dan pengembalian kedaulatan penuh (bukan hanya hak konsultasi) kepada sistem tata kelola pribumi (Indigenous governance systems). Hal ini mengakui validitas kedaulatan yang ditolak oleh Doctrine of Discovery.
- Aksi Berbasis SC: Menggunakan kerangka Kolonialisme Pemukim untuk mengaitkan perjuangan rasial yang berbeda dan keadilan lingkungan kembali ke akar perampasan tanah. Keadilan ekologis harus diakui sebagai fase lanjutan dari perampasan tanah, dan oleh karena itu, tuntutan untuk melindungi lingkungan harus dikaitkan dengan pengembalian kedaulatan adat atas wilayah tersebut. Keadilan sejati hanya mungkin terjadi ketika struktur opresif yang mendasari negara perampok dibongkar.