Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang sebelumnya dikenal sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), merupakan aset nasional strategis yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Terminologi ini didefinisikan secara resmi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Berdasarkan kerangka hukum tersebut, klasifikasi utama penempatan merujuk pada status legalitas keberangkatan, yaitu PMI Prosedural dan PMI Non-Prosedural (unprocedural atau ilegal).

PMI Prosedural adalah mereka yang melalui mekanisme penempatan resmi yang diatur oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan dilengkapi dengan dokumen kerja serta jaminan sosial yang sah. Sebaliknya, PMI Non-Prosedural adalah individu yang melakukan migrasi tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah, sering kali direkrut melalui jalur ilegal atau sindikat perdagangan manusia. Disparitas antara kedua klasifikasi ini menjadi inti dari tantangan pelindungan dan tata kelola migrasi di Indonesia.

Pilar Hukum Pelindungan PMI

Kerangka hukum utama yang mengatur migrasi pekerja adalah Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Undang-undang ini, yang mulai berlaku sejak 22 November 2017, menandai pergeseran paradigma kebijakan, dari fokus utamanya pada penempatan (placement) menuju fokus yang lebih kuat pada pelindungan (protection). Tujuan utama UU ini adalah memastikan hak-hak dasar PMI terpenuhi sejak pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, hingga pasca-penempatan.

Sebagai peraturan pelaksana dari UU 18/2017, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. PP ini merinci prosedur, tanggung jawab lembaga terkait, dan mekanisme perlindungan yang komprehensif. Meskipun demikian, keberadaan kerangka regulasi yang kuat ini belum sepenuhnya mampu mengatasi realitas di lapangan. Salah satu tantangan terbesarnya adalah disparitas antara mekanisme regulasi formal yang ditetapkan dalam UU 18/2017 dan PP 59/2021 dengan laju migrasi non-prosedural yang didorong oleh kebutuhan mendesak akan pekerjaan dan penghasilan. Kegagalan sistemik ini memungkinkan sindikat ilegal untuk mengisi kekosongan pasar yang gagal dijangkau oleh prosedur resmi yang mungkin dianggap birokratis atau memakan waktu.

Struktur Tata Kelola Migrasi dan Jaminan Sosial

Struktur tata kelola migrasi dipimpin oleh BP2MI, yang bertanggung jawab atas penempatan, pelindungan, dan reintegrasi. Dalam aspek pelindungan, kebijakan Jaminan Sosial memegang peranan vital. Pemerintah telah menetapkan kebijakan jaminan sosial berupa program yang wajib diikuti oleh Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) dan PMI melalui BPJS Ketenagakerjaan.

Program Jaminan Sosial ini mencakup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Iuran yang ditetapkan bagi CPMI atau PMI perseorangan adalah sebesar Rp 332.500,00 per masa perlindungan, yang terbagi atas JKK sebesar Rp 202.000,00 dan JKM sebesar Rp 130.500,00. Masa perlindungan ini mencakup periode sebelum keberangkatan, selama 24 bulan masa kontrak di negara tujuan, dan hingga satu bulan pengurusan kepulangan ke Indonesia. Manfaat ini termasuk santunan, serta pelayanan kesehatan lanjutan akibat Kecelakaan Kerja bagi PMI yang dipulangkan ke Indonesia. Skema jaminan sosial ini berfungsi sebagai penyangga risiko finansial dan medis, namun hanya dapat diakses oleh mereka yang berangkat secara prosedural.

Faktor Pendorong dan Penarik (Push and Pull Factors)

Fenomena migrasi PMI didorong oleh interaksi kompleks antara faktor pendorong (push) di Indonesia dan faktor penarik (pull) di negara tujuan. Faktor pendorong utama meliputi keterbatasan lapangan kerja domestik dan tingkat upah yang relatif rendah di wilayah asal, menciptakan tekanan ekonomi bagi masyarakat kurang maju untuk mencari peluang di luar negeri.   Sebaliknya, faktor penarik didominasi oleh ketersediaan lapangan kerja (terutama di sektor 3D: dirty, difficult, dangerous) dan, yang terpenting, tawaran tingkat upah yang jauh lebih tinggi dibandingkan upah domestik.

Dinamika ini memiliki keterkaitan kausal yang mendasar dengan masalah non-prosedural. Permintaan kuat di pasar kerja negara maju, terutama di sektor informal (seperti pekerjaan domestik), ditambah dengan kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan oleh jalur non-prosedural, menciptakan insentif yang besar bagi CPMI untuk menghindari birokrasi dan potensi biaya yang timbul dari jalur legal. Selama faktor tarik pasar kerja informal tetap dominan dan proses penempatan legal gagal menandingi kecepatan jalur ilegal, pergeseran ke migrasi yang sepenuhnya prosedural akan sulit tercapai.

Profil Dinamika Penempatan, Sebaran, Dan Sektor Pmi

Statistik Tren Penempatan Terkini (2024–2025)

Data penempatan PMI yang tercatat oleh BP2MI menunjukkan volatilitas yang signifikan dalam periode terakhir. Pada tahun 2024, terjadi tren kenaikan penempatan. Data periode Januari hingga Oktober 2024 menunjukkan peningkatan penempatan sebesar 2.72% (sekitar 598 orang), naik dari 21.968 pada Oktober 2023 menjadi 22.566 pada Oktober 2024.

Namun, tren ini tidak berlanjut pada awal tahun 2025. Tulisan BP2MI untuk periode Januari hingga April 2025 mencatat adanya penurunan total penempatan sebesar 20.74%. Penurunan yang tajam ini memerlukan analisis mendalam untuk mengidentifikasi penyebabnya, apakah ini merupakan siklus musiman yang wajar, dampak dari perlambatan permintaan tenaga kerja global, atau akibat langsung dari perubahan kebijakan bilateral, seperti yang terjadi pada kasus penangguhan pengiriman ke Malaysia karena isu Sistem Maid Online (SMO). Volatilitas dalam tren penempatan ini memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas kontribusi devisa yang dihasilkan oleh PMI, sebagaimana yang akan dibahas di Bagian III.

Analisis Sebaran Geografis: Konsentrasi Koridor Migrasi

Penempatan PMI menunjukkan konsentrasi geografis yang sangat tinggi pada koridor migrasi Asia Timur dan Asia Tenggara. Analisis data penempatan periode Januari hingga Oktober 2024 menunjukkan bahwa penempatan terkonsentrasi di lima negara tujuan utama: Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Jepang, dan Singapura. Secara kumulatif, kelima negara ini menyumbang 18.977 penempatan, atau setara dengan 84.1% dari total penempatan resmi PMI pada periode tersebut.

Tingkat konsentrasi yang ekstrem ini menimbulkan risiko sistemik bagi kebijakan migrasi Indonesia. Ketergantungan yang sangat besar pada lima negara saja berarti bahwa jika terjadi krisis ekonomi, perubahan drastis regulasi ketenagakerjaan, atau ketegangan politik di salah satu negara tersebut (misalnya, Malaysia atau Hong Kong), dampaknya terhadap keseluruhan penempatan dan, lebih jauh, terhadap aliran remitansi nasional, akan sangat signifikan. Diversifikasi negara tujuan penempatan adalah mandat kebijakan untuk mengurangi risiko ini dan memastikan ketahanan ekonomi makro.

Tabel Kunci 1: Konsentrasi Penempatan PMI di 5 Negara Tujuan Utama (Januari–Oktober 2024)

Negara Tujuan Utama Karakteristik Sektor Dominan
Hong Kong Informal (Domestik)
Taiwan Formal/Informal
Malaysia Informal (Domestik), Perkebunan, Konstruksi
Jepang Formal (Technical Intern Trainee)
Singapura Formal/Informal
Total Kumulatif 5 Negara Utama 84.1% dari Total Penempatan

Dominasi Sektor: Formalitas vs. Kerentanan

Analisis sektor menunjukkan bahwa migrasi Indonesia masih didominasi oleh penempatan di sektor informal. Data BP2MI mencatat bahwa penempatan informal berkontribusi sebesar 58.38% dari total penempatan pada Oktober 2024. Sektor informal ini umumnya meliputi pekerjaan domestik dan pekerja di perkebunan, yang secara inheren memiliki kerentanan tinggi terhadap eksploitasi, jam kerja yang panjang, kurangnya perlindungan kontrak kerja, dan pengawasan yang minim.

Menyadari kerentanan ini, pemerintah, melalui BP2MI, telah menekankan pentingnya transisi menuju penempatan yang skilled dan prosedural (formal). Upaya negara diwujudkan melalui peningkatan pelatihan vokasional (upskilling), misalnya program pelatihan housekeeping bagi Calon PMI. Tujuannya adalah memastikan bahwa Calon PMI memiliki skill yang memadai sebelum penempatan, sebagai bentuk kehadiran negara untuk meningkatkan perlindungan.

Namun, terdapat pertukaran risiko-keterampilan (skill-risk tradeoff) yang harus diakui. Meskipun dorongan kebijakan diarahkan untuk meningkatkan formalitas dan keterampilan, mayoritas pasar kerja yang tersedia dan dibutuhkan oleh negara-negara tujuan masih berada di sektor low-skilled dan informal. Transisi penuh ke penempatan formal membutuhkan investasi besar dan waktu. Selama kesenjangan ini masih ada, kerentanan yang ditimbulkan oleh dominasi sektor informal akan terus menjadi tantangan pelindungan utama.

Dampak Multidimensi Pmi Terhadap Pembangunan Nasional

Dampak Ekonomi Makro: Pilar Devisa Nasional

Kontribusi Pekerja Migran Indonesia terhadap perekonomian nasional sangat besar dan telah diakui secara resmi. PMI merupakan penyumbang devisa terbesar kedua bagi negara. Aliran dana dari hasil kerja PMI (remitansi) menjadi pilar penting dalam menjaga keseimbangan neraca pembayaran Indonesia.

Data Bank Indonesia mencatat bahwa total remitansi yang disumbangkan oleh PMI pada tahun 2023 mencapai US14.22Miliar.[17]BerdasarkandataTradingEconomics,remitansitriwulanan(Q2)perJuni2025mencapaiUS4,248.27 Juta. Besarnya kontribusi ini memicu target yang ambisius dari pemerintah. Sumbangan devisa dari PMI pada tahun 2024 telah menembus Rp 241 Triliun, dan pemerintah menargetkan pencapaian Rp 300 Triliun pada tahun 2025. Peningkatan pesat ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi volatilitas penempatan, aliran remitansi tetap kuat, menegaskan peran strategis PMI sebagai sumber likuiditas mata uang asing.

Tabel Kunci 2: Kontribusi Remitansi PMI ke Indonesia (2023–2025)

Indikator Ekonomi Nilai Satuan Catatan/Analisis
Total Remitansi (2023) 14.22 US$ Miliar Penyumbang Devisa Terbesar Kedua
Sumber Remitansi Terbesar (Malaysia, 2023) 4.59 US$ Miliar Signifikansi koridor Malaysia
Realisasi Devisa (2024) 241 Rp Triliun Capaian devisa
Target Devisa (2025) 300 Rp Triliun Target pertumbuhan ambisius
Remitansi Triwulanan (Q2 2025) 4,248.27 US$ Juta Data Bank Indonesia

Analisis Struktur Remitansi dan Alokasi Penggunaan

Secara struktural, remitansi PMI sangat bergantung pada koridor-koridor migrasi utama. Pada tahun 2023, Malaysia menjadi penyumbang remitansi terbesar, mencapai US$4.59 Miliar. Data ini secara langsung mencerminkan signifikansi koridor Malaysia, meskipun koridor ini juga dikenal memiliki tingkat kerentanan pelindungan yang tinggi.

Di tingkat mikro, remitansi yang diterima oleh keluarga migran dialokasikan untuk berbagai kebutuhan, baik pangan maupun non-pangan. Penggunaan utama remitansi seringkali diarahkan untuk perbaikan rumah dan memenuhi kebutuhan konsumtif, termasuk belanja kebutuhan sehari-hari dan pemenuhan keinginan anak.

Pola alokasi ini mengungkapkan adanya sustainability gap (kesenjangan keberlanjutan) dalam pemanfaatan remitansi. Meskipun dana yang masuk sangat besar (dampak makro), alokasi di tingkat keluarga cenderung berfokus pada peningkatan konsumsi dan aset non-produktif (seperti perbaikan rumah), ketimbang investasi produktif atau kewirausahaan yang dapat menciptakan pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Untuk mentransformasi remitansi menjadi instrumen pembangunan daerah yang efektif, intervensi kebijakan yang terstruktur melalui edukasi keuangan dan fasilitasi investasi produktif menjadi esensial.

Dampak Sosial dan Kesejahteraan Keluarga

Meskipun secara ekonomi menguntungkan, migrasi internasional memiliki dampak sosial yang signifikan, khususnya pada unit keluarga yang ditinggalkan. Salah satu tantangan kritis adalah perlunya peningkatan kesadaran keluarga untuk menjaga kesehatan psikososial anak-anak pekerja migran. Ketiadaan salah satu atau kedua orang tua dapat menimbulkan tekanan sosial dan psikologis yang memerlukan program pendampingan yang intensif.

Dari sisi ekonomi sosial, kelompok keluarga PMI juga sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Sebagai contoh, remitansi mengalami penurunan sebesar 10.28% selama masa pandemi COVID-19, sebuah kondisi yang memperburuk kondisi ekonomi keluarga migran dan menyoroti kebutuhan akan jaminan sosial yang lebih luas bagi mereka yang terdampak.

Sebagai bagian dari upaya mitigasi, pemerintah juga fokus pada program pemberdayaan untuk Pekerja Migran Indonesia Purna, yaitu mereka yang telah kembali ke tanah air. Program pemberdayaan ini bertujuan untuk memastikan PMI Purna dapat memanfaatkan pengalaman dan modal mereka untuk keberlanjutan ekonomi, salah satunya melalui akses ke program Kredit Usaha Rakyat (KUR) penempatan Pekerja Migran Indonesia.

Krisis Pelindungan Dan Fenomena Migran Non-Prosedural (Ilegal)

Korelasi Kausalitas: Status Legalitas dan Eksploitasi (The 95% Problem)

Isu krusial yang mendominasi diskursus perlindungan PMI adalah korelasi kausalitas yang kuat antara status penempatan non-prosedural (ilegal) dengan risiko eksploitasi, yang dikenal sebagai The 95% Problem. Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengungkapkan bahwa rata-rata 90% hingga 95% kasus permasalahan yang dialami PMI, termasuk eksploitasi, perlakuan tidak adil, kekerasan, dan perdagangan orang (human trafficking), berasal dari penempatan yang tidak prosedural.

Fenomena ini menunjukkan kegagalan pelindungan yang mendasar. Rantai kausalitasnya adalah sebagai berikut: Pertama, PMI Ilegal tidak terdaftar di BP2MI, sehingga tidak memiliki kontrak kerja yang diakui dan tidak tercakup dalam program Jaminan Sosial (JKK/JKM). Kedua, mereka direkrut oleh sindikat perdagangan orang yang beroperasi di luar pengawasan negara , seringkali terbuai janji gaji besar dan kemudahan proses. Ketiga, tanpa perlindungan kontrak dan legalitas status di negara tujuan, mereka menjadi pihak sub-altern yang sangat rentan terhadap perdagangan orang, kekerasan, hingga dipaksa melakukan pekerjaan non-kontraktual (seperti eksploitasi seksual). Akibatnya, pelindungan hukum oleh perwakilan diplomatik menjadi sangat sulit karena status hukum mereka di negara tujuan adalah melanggar hukum.

Tabel Kunci 3: Korelasi Kasus Permasalahan PMI dengan Status Penempatan

Kategori Kasus Pelindungan Estimasi Persentase Terkait PMI Non-Prosedural Implikasi Kritis
Eksploitasi dan Perdagangan Orang (TPPO) 90% – 95% Kegagalan pelindungan preventif di hulu
Kekerasan/Perlakuan Tidak Adil 90% – 95% Tingkat kerentanan yang ekstrem akibat status ilegal

Bentuk-Bentuk Kasus Eksploitasi Kritis

Kasus-kasus eksploitasi yang terungkap menunjukkan beragamnya modus operandi sindikat perdagangan orang. Salah satu contoh kasus kritis yang melibatkan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah pengiriman PMI ilegal ke Jerman, yang berhasil dibongkar oleh kepolisian, dengan penetapan tersangka yang melanggar UU No. 18 Tahun 2017.

Kasus eksploitasi lain melibatkan kerentanan PMI informal di Timur Tengah. Sebanyak 19 PMI yang bekerja di Dubai, setelah terbuai janji gaji besar dan kemudian kabur dari majikan, justru dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Kasus-kasus ini menegaskan bahwa migrasi non-prosedural secara langsung membuka pintu bagi praktik kejahatan transnasional.

Di tingkat bilateral, isu pelindungan juga menghadapi tantangan kebijakan. Pemerintah Indonesia, misalnya, pernah memutuskan menghentikan pengiriman PMI ke Malaysia pada Juli 2022. Keputusan ini diambil karena Malaysia disinyalir merekrut pekerja domestik melalui Sistem Maid Online (SMO), yang dianggap melanggar Nota Kesepahaman (MoU) yang telah disepakati kedua negara. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kerangka pelindungan hukum domestik tidak akan efektif tanpa komitmen penegakan yang jujur dan tegas dari negara penerima, serta kesediaan untuk menindak praktik-praktik ilegal oleh sindikat.

Tantangan Penegakan Hukum dan Penindakan Sindikat

Tantangan utama dalam pelindungan bukan hanya terletak pada pencegahan di hulu, tetapi juga penindakan yang tegas di hilir. Kepolisian telah menyatakan komitmennya untuk menindak tegas segala bentuk praktik penempatan ilegal, sebagai bagian dari upaya pelindungan WNI dari potensi eksploitasi.

Namun, penegakan hukum ini harus didukung oleh kerja sama internasional yang efektif. Diplomasi pelindungan harus memastikan bahwa negara tujuan menghormati perjanjian bilateral dan bersedia menindak tegas praktik ilegal yang dikendalikan oleh sindikat perdagangan manusia. Peningkatan kolaborasi lintas lembaga, termasuk kerja sama antara Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) dengan Palang Merah Indonesia (PMI) , menjadi langkah penting untuk memperkuat jaringan pelindungan global dan memitigasi dampak buruk dari praktik migrasi non-prosedural.

Strategi Dan Rekomendasi Kebijakan Masa Depan

Strategi Peningkatan Kualitas SDM dan Vokasionalisasi

Mengingat tingginya risiko pada penempatan informal, kebijakan harus diarahkan secara agresif untuk mengubah komposisi penempatan. Strategi utama adalah memaksimalkan penempatan PMI yang memiliki skill dan berangkat secara prosedural. Hal ini diimplementasikan melalui pelatihan vokasional yang terstruktur. Menteri P2MI telah menekankan bahwa pelatihan vokasional adalah manifestasi dari kehadiran negara bagi Pekerja Migran Indonesia.

Program pelatihan upskilling, seperti program housekeeping di Balai Besar Pelatihan dan Produktivitas Kerja (BBPLK) , serta upaya peningkatan keterampilan oleh Lembaga Terpadu Satu Atap Pelayanan Pekerja Migran Indonesia (LTSA PMI) di tingkat provinsi , harus terus diperkuat. Rekomendasi kebijakan untuk masa depan adalah integrasi sertifikasi keterampilan berstandar internasional dalam kurikulum pelatihan vokasional untuk meningkatkan daya saing PMI, khususnya dalam skema formal  Government to Government (G-to-G) seperti ke Korea Selatan.

Reformasi Tata Kelola Penempatan Prosedural

Untuk mengatasi daya tarik jalur ilegal, jalur legal harus dibuat lebih cepat, efisien, dan terjangkau. Reformasi tata kelola penempatan prosedural harus fokus pada simplifikasi dan digitalisasi proses pra-penempatan, mengurangi biaya, dan memangkas rantai birokrasi yang panjang.

Analisis menunjukkan bahwa insentif untuk mengambil jalur non-prosedural akan berkurang secara signifikan jika jalur legal dapat menyaingi kecepatan dan kemudahan jalur ilegal, sambil secara inheren menawarkan jaminan perlindungan dan jaminan sosial (JKK/JKM). Oleh karena itu, mandat kebijakan adalah menjadikan proses prosedural sebagai opsi yang lebih kompetitif dan menarik dibandingkan risiko yang ditawarkan oleh sindikat ilegal.

Penguatan Mekanisme Pelindungan Komprehensif

Penguatan pelindungan memerlukan upaya di tiga tingkatan: hukum, bilateral, dan sosial. Secara hukum, penegakan PP No. 59 Tahun 2021 harus menjadi prioritas. Secara bilateral, pemerintah harus menggunakan diplomasi berbasis penegakan hukum, memastikan bahwa negara-negara penerima menghormati MoU yang telah disepakati. Kasus penangguhan ke Malaysia (karena isu SMO) menunjukkan perlunya sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran sistemik terhadap perjanjian perlindungan.

Selain itu, perluasan jangkauan jaminan sosial menjadi krusial. Jaminan sosial harus diperkuat dan diintegrasikan sejak CPMI berada di Indonesia hingga masa reintegrasi, mencakup pelindungan kesehatan lanjutan. Kerja sama dengan organisasi non-pemerintah dan institusi global, seperti Palang Merah Indonesia , juga penting untuk memperluas jangkauan dan kualitas bantuan kemanusiaan dan perlindungan di luar negeri.

Program Mitigasi Dampak Sosial dan Reintegrasi Berkelanjutan

Dampak sosial migrasi pada keluarga harus ditangani melalui program pendampingan yang intensif, khususnya yang berfokus pada kesehatan psikososial anak-anak PMI.  Untuk memastikan remitansi tidak hanya bersifat konsumtif, program pemberdayaan ekonomi bagi PMI Purna harus ditingkatkan. Ini termasuk peningkatan akses terhadap modal usaha (KUR) dan pelatihan kewirausahaan. Untuk mentransformasi remitansi dari sumber konsumsi menjadi instrumen pembangunan produktif di daerah asal, diperlukan mandat kebijakan untuk menerapkan program edukasi keuangan wajib bagi keluarga PMI purna, yang didukung oleh pemerintah daerah dan LTSA PMI.

Penutup dan Proyeksi Kebijakan Migrasi 5 Tahun Mendatang

Pekerja Migran Indonesia adalah aset strategis yang memberikan kontribusi devisa yang vital, menjadikannya pilar ekonomi nasional terbesar kedua. Namun, kontribusi ini terancam oleh risiko tinggi yang diakibatkan oleh migrasi non-prosedural, di mana 90-95% kasus eksploitasi berasal dari jalur ilegal.

Proyeksi kebijakan migrasi lima tahun ke depan harus berorientasi pada tujuan zero non-procedural placement. Pencapaian tujuan ini mensyaratkan dua pilar strategis: (1) Reformasi total tata kelola penempatan legal agar menjadi lebih cepat, murah, dan efisien, sehingga menghilangkan insentif untuk memilih jalur ilegal; dan (2) Investasi besar dalam vokasionalisasi untuk secara bertahap menggeser dominasi sektor informal (58.38% per Oktober 2024) menuju penempatan formal yang berketerampilan tinggi. Dengan penguatan pelindungan di hulu dan penindakan tegas terhadap sindikat TPPO, Indonesia dapat memastikan bahwa kontribusi devisa yang vital ini dapat dipertahankan, seiring dengan pemenuhan hak-hak dasar dan martabat para pekerja migran.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 87 = 92
Powered by MathCaptcha