Definisi Krisis Warisan Budaya dan Skala Kolonial

Keberadaan warisan budaya Indonesia yang masif di Belanda merupakan manifestasi fisik dari hubungan kolonial yang panjang dan problematik. Objek-objek ini, yang sering kali diperoleh melalui paksaan atau rampasan, bertindak sebagai bukti historis dari ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, proses repatriasi yang saat ini tengah berlangsung antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda tidak dapat dipandang hanya sebagai transfer fisik benda, melainkan sebagai proses dekolonisasi diplomasi budaya yang esensial untuk memulihkan kehormatan dan kedaulatan bangsa. Laporan ini bertujuan menganalisis skala koleksi, evolusi kebijakan restitusi Belanda, kasus-kasus repatriasi kunci, serta tantangan struktural dan manajerial yang dihadapi Indonesia pasca-pengembalian.

Inventarisasi Institusional Koleksi Indonesia di Belanda

Koleksi Indonesia tersebar di beberapa institusi museum utama di Belanda. Mayoritas koleksi etnografi disimpan di bawah payung Nationaal Museum van Wereldculturen (NMVW), yang mengelola Tropenmuseum di Amsterdam (Linnaeusstraat 2)  dan Museum Volkenkunde di Leiden. Institusi ini adalah pemegang koleksi benda budaya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terbesar di Eropa.

Sementara itu, Rijksmuseum di Amsterdam (Museumstraat 1), sebagai museum nasional seni dan sejarah Belanda, juga memegang koleksi kolonial signifikan, termasuk lukisan, gambar, dan objek sejarah yang berkaitan langsung dengan narasi Hindia Belanda, seperti lukisan bersejarah yang menggambarkan The Arrest of Diponegoro.

Meskipun institusi-institusi ini telah lama berdiri dan mengelola koleksi kolonial, penelitian menemukan adanya kesulitan dalam menyediakan angka total pasti mengenai jumlah objek spesifik Indonesia yang mereka miliki. Ketidakmampuan untuk memberikan angka definitif menunjukkan bahwa skala koleksi tersebut overwhelming atau bahwa inventarisasi mendetail masih belum sepenuhnya tuntas. Hal ini secara langsung menggarisbawahi kompleksitas logistik dan inventarisasi yang dihadapi oleh tim gabungan Indonesia-Belanda dalam memproses pengembalian koleksi massal hingga 30.000 item yang baru disepakati.

Dasar Etis: Akuisisi Non-Sukarela dan Rampasan Perang

Secara historis, perolehan artefak Indonesia oleh Belanda banyak berakar pada metode akuisisi yang sangat dipertanyakan etika historisnya. Pengakuan dari berbagai sumber menegaskan bahwa banyak warisan budaya ini diperoleh melalui “Perampokan dan Rampasan” (looting and spoils of war) selama periode kolonial. Contoh paling menonjol adalah akuisisi Harta Karun Lombok (Lombokschat), yang dirampas menyusul operasi militer Puputan Lombok pada 1894.

Penggunaan terminologi yang keras dan jujur seperti “perampokan dan rampasan” secara resmi mengakui bahwa kepemilikan Belanda atas objek-objek tersebut merupakan hasil dari kekerasan dan paksaan kolonial. Dengan demikian, keputusan untuk melakukan restitusi berfungsi bukan sekadar negosiasi properti atau pertukaran budaya, melainkan sebagai mekanisme reparasi simbolis yang diperlukan untuk memulihkan kedaulatan budaya, martabat, dan kehormatan nasional yang hilang akibat ketidakadilan historis.

Evolusi Kebijakan Restitusi Belanda: Dari Konservasi ke Keadilan Historis

Awal Debat dan Keterbatasan (Pra-2017)

Selama beberapa dekade setelah kemerdekaan Indonesia, debat mengenai pengembalian koleksi kolonial berjalan lambat. Meskipun terdapat upaya kolaborasi awal dan rekomendasi bersama antara Belanda dan Indonesia pada pertengahan 1970-an, kebijakan pengembalian resmi yang terstruktur tidak pernah terwujud. ada periode ini, fokus kebijakan Belanda cenderung mengutamakan kondisi penyimpanan dan konservasi koleksi di negara asal serta nilai koleksi bagi narasi sejarah kolonial Belanda itu sendiri. Pendekatan ini menekankan kepentingan museum-museum Belanda dalam menceritakan sejarah kolonial berdasarkan objek yang mereka miliki.

Kerangka Kebijakan Baru: Komite Koleksi Kolonial (CCC)

Perubahan radikal terjadi setelah rekomendasi dari Komite Koleksi Kolonial (CCC), yang dikenal sebagai Advies Gonçalves. Kebijakan ini didorong oleh prinsip “pengakuan ketidakadilan” (recognition of injustice) yang dihasilkan oleh konteks kolonial. Kerangka kebijakan yang baru ini menandai pergeseran etis yang signifikan.

Prinsip kriteria restitusi kini diprioritaskan pada kasus kehilangan kepemilikan secara non-sukarela (involuntary possession loss), seperti rampasan perang, konfiskasi, atau transfer di bawah paksaan. Kebijakan ini menekankan bahwa kerjasama dengan negara-negara asal sangat penting sebagai langkah penting menuju pemulihan ketidakadilan historis. Kebijakan utama berlaku untuk koleksi negara (Rijkscollectie), namun prosedur juga dapat diakses oleh pemilik publik lainnya.

Pergeseran kebijakan ini, dari fokus pada ‘nilai objek bagi Belanda’ menjadi ‘kehilangan kepemilikan non-sukarela’, merupakan penolakan ideologi universal museum kolonial yang pernah dominan. Hal ini menegaskan bahwa nilai etis kedaulatan atas warisan budaya jauh lebih penting daripada nilai edukatif atau konservasi yang diklaim oleh negara bekas penjajah. Selain itu, Komite bahkan dapat mempertimbangkan permintaan restitusi untuk barang budaya yang bukan jarahan atau yang tidak berasal dari bekas koloni Belanda, menunjukkan fleksibilitas maksimal dalam menimbang kepentingan yang berlaku.

Tabel Analisis Pergeseran Kebijakan

Tabel di bawah ini merangkum pergeseran paradigma Belanda dalam menyikapi koleksi kolonial, menunjukkan transisi dari sikap konservatif yang berhati-hati menjadi sikap yang lebih terbuka terhadap keadilan historis dan kolaborasi.

Tabel 2: Poin Utama Pergeseran Kebijakan Restitusi Belanda

Aspek Kebijakan Periode Pra-2017 (Pendekatan Lama) Periode Pasca-2020 (Advies Committee & Uslu)
Asumsi Dasar Fokus pada kebutuhan penyimpanan/konservasi dan nilai objek bagi narasi Belanda Pengakuan ketidakadilan historis; objek diakuisisi secara non-sukarela (involuntary loss)
Kriteria Restitusi Terutama jika terbukti looting pasca-1945 atau permintaan spesifik Luas: Involuntary possession (rampasan perang, transfer di bawah paksaan), atau memiliki makna penting bagi negara asal
Sifat Keputusan Berhati-hati, memprioritaskan “nilai budaya yang luar biasa” bagi Belanda 8 Terbuka pada pengembalian. Keputusan terpusat pada kemauan politik tingkat tinggi
Fokus Kerjasama Pertukaran pengetahuan, penelitian Kerjasama multidimensi: riset, inventarisasi, konservasi, digitalisasi, dan peningkatan kapasitas

Analisis Kasus Repatriasi Simbolis dan Prioritas (2020-2024)

Proses repatriasi warisan budaya Indonesia telah berjalan secara bertahap sejak kebijakan baru Belanda diterapkan, melalui serangkaian pengembalian yang memiliki nilai simbolis dan historis tinggi.

Pengembalian Simbol Nasional: Keris Pangeran Diponegoro (2020)

Momen penting terjadi pada Maret 2020 dengan pengembalian Keris Pangeran Diponegoro. Keris ini melambangkan perlawanan terbesar masyarakat Jawa terhadap Belanda. Pengembalian dilakukan secara simbolis dari Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima kepada Presiden Joko Widodo. Proses ini didahului oleh penelitian bersama yang ekstensif untuk memastikan keaslian keris, melibatkan tim Indonesia, termasuk Dirjen Kebudayaan dan ahli es, untuk konfirmasi. Pengembalian ini berfungsi sebagai trust builder diplomatik, membuka jalan bagi diskusi restitusi yang lebih besar.

Gelombang Restitusi Berdasarkan Rekomendasi Komite (2023)

Pada 2023, terjadi restitusi formal pertama yang didasarkan pada rekomendasi Komite Kolonial, yang menghasilkan pengembalian 472 benda cagar budaya. Kelompok objek ini mencakup empat arca Candi Singosari, sebilah Keris Kerajaan Klungkung, Koleksi Pita Maha, dan yang paling terkenal, Harta Karun Lombok (Lombokschat). Harta Karun Lombok secara spesifik diakui sebagai harta rampasan Perang Lombok 1894. Koleksi ini mencakup perhiasan berlian, cincin, keris, ukiran jendela, hingga sandal anak-anak. Pengembalian kelompok objek ini menargetkan benda-benda yang memiliki dokumentasi perampasan yang jelas, menguji dan menegaskan kerangka kebijakan baru Belanda.

Repatriasi Bertahap dan Kelanjutan MoU (2024)

Proses repatriasi terus berlanjut. Pada akhir 2024, dilaporkan bahwa sebanyak 288 artefak bersejarah lainnya direpatriasi. Objek-objek ini, yang merupakan kelanjutan dari MoU bilateral yang ditandatangani pada 2017, mencakup artefak yang dirampas dari perang Puputan Badung dan Tabanan, serta 84 objek arca (Bairava, Nandi, Ganesa, dan Brahma). Secara kumulatif, setidaknya sudah ada 828 objek budaya yang direpatriasi dari Belanda sebelum adanya kesepakatan besar tahun 2025.

Progresi yang terstruktur ini—dimulai dari pengembalian simbolis Keris Diponegoro, diikuti oleh kelompok objek berstatus jarahan yang jelas (Lombokschat) sebagai legal precedent, dan diakhiri dengan ratusan objek lain sebagai operational scaling—merupakan langkah-langkah krusial yang menunjukkan kematangan diplomatik kedua negara sebelum memasuki fase repatriasi massal 30.000 item.

Babak Baru Diplomasi Warisan Budaya: Kesepakatan 30.000 Item (2025)

Signifikansi Komitmen Repatriasi Terbesar dalam Sejarah

Dalam sebuah langkah diplomatik yang signifikan, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kesepakatan pengembalian sekitar 30.000 item (artefak, dokumen, dan fosil) milik Indonesia setelah kunjungannya ke Belanda dan pertemuan dengan Raja Willem-Alexander. Pengumuman ini menandai repatriasi massal terbesar dalam sejarah hubungan kedua negara.

Pengembalian ini dipandang oleh Pemerintah Indonesia sebagai simbol pemulihan hubungan baik, itikad baik dari Belanda, dan bentuk penghormatan tinggi Kerajaan Belanda. Pengembalian 30.000 item ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan diplomasi puncak, tetapi juga menunjukkan keseriusan Belanda untuk mengimplementasikan kebijakan pengakuan ketidakadilan secara sistemik.

Kasus Sentral: Koleksi Dubois dan Warisan Ilmiah Manusia Jawa

Salah satu komponen paling penting dari kesepakatan 30.000 item ini adalah Fosil Koleksi Dubois. Koleksi ini mencakup sisa-sisa Homo Erectus atau yang dikenal sebagai ‘Manusia Jawa’, yang ditemukan oleh ilmuwan Belanda Eugene Dubois di Trinil pada masa kolonial.

Repatriasi Koleksi Dubois memiliki implikasi ilmiah yang mendalam. Objek prasejarah ini memiliki nilai ilmiah universal, namun dengan mengembalikannya, Belanda secara implisit mengakui bahwa eksploitasi ilmiah yang terjadi di bawah konteks kolonial harus diakhiri. Keputusan ini secara efektif mengembalikan kedaulatan Indonesia atas warisan paleontologisnya sendiri, memungkinkan Indonesia sebagai negara asal untuk menjadi pusat riset primer bagi penemuan prasejarahnya. Hal ini sangat penting untuk membangun narasi sejarah dan ilmu pengetahuan yang Indonesia-sentris.

Mekanisme dan Fokus Jangka Panjang

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, diagendakan untuk segera menindaklanjuti kesepakatan tersebut di Belanda, termasuk mengunjungi Museum Leiden untuk memulai proses inventarisasi dan serah terima awal.

Mengingat skala repatriasi yang mencapai 30.000 objek, fokus kerjasama jangka panjang sangat penting. Kedua negara telah menyepakati pembentukan tim gabungan untuk mengamankan tahapan pemulangan dan, yang lebih krusial, meningkatkan kerja sama intensif dalam riset, inventarisasi, konservasi, publikasi ilmiah, pameran, dan digitalisasi. Kemitraan riset ini merupakan prasyarat bagi repatriasi yang sukses. Keberhasilan repatriasi tidak hanya bergantung pada transfer fisik, tetapi pada transfer pengetahuan mengenai konservasi,

provenance research (penelitian asal-usul), dan manajemen koleksi yang telah dilakukan Belanda selama puluhan tahun. Komitmen pada digitalisasi memastikan akses riset tetap universal, sementara peningkatan kapasitas akan memastikan keberlanjutan warisan yang kembali.

Tabel 1: Ringkasan Gelombang Repatriasi Warisan Budaya Indonesia dari Belanda (2020–2025)

Periode/Tahun Kelompok Objek Utama Jumlah Objek (Estimasi) Signifikansi Budaya/Historis
Maret 2020 Keris Pangeran Diponegoro 1 Simbol perlawanan dan momen diplomatik tingkat kepala negara
2023 Lombokschat, Kris Klungkung, Arca Singosari, Pita Maha collection 472 Restitusi formal pertama berdasarkan rekomendasi Komite Kolonial
Akhir 2024 Berbagai Artefak Warisan Nusantara (termasuk dari Puputan Badung/Tabanan, Arca) 272–288 Kelanjutan repatriasi bertahap (total 828 objek sebelum 2025)
2025 (Kesepakatan) Artefak, Dokumen, Fosil Koleksi Dubois (Homo Erectus) 30.000 Repatriasi terbesar, termasuk warisan ilmiah, hasil diplomasi puncak

Dekolonisasi Narasi Museum Belanda: Evaluasi Kritis Konten dan Kurasi

Seiring dengan pengembalian fisik objek, institusi museum Belanda juga menghadapi tantangan untuk mendemokratisasi dan mendekolonisasi narasi historis mereka, khususnya terkait Indonesia.

Kasus Tropenmuseum: Mengikis Citra Kolonial

Tropenmuseum, yang secara historis didominasi oleh koleksi Hindia Belanda, telah berupaya keras untuk menghilangkan citra kolonialnya sejak Kemerdekaan Indonesia. Museum ini telah beralih menjadi museum etnografi dan mengurangi dominasi objek Indonesia, menggantikannya dengan fokus yang lebih luas pada isu-isu kemanusiaan global seperti perbudakan, pengungsi, agama, dan perubahan iklim. Meskipun demikian, beberapa koleksi, seperti relief yang menggambarkan kisah fabel Indonesia, tetap dipamerkan bersama koleksi antropologi seperti tradisi penguburan Suku Toraja, yang mencerminkan eksplorasi kekayaan Indonesia di Amsterdam.

Ulasan Kritis Pameran Revolusi! Indonesia Independent di Rijksmuseum

Pada 2022, Rijksmuseum menyelenggarakan pameran bertajuk Revolusi! Indonesia Independent, sebuah langkah ambisius untuk menyediakan “perspektif ganda” dan “memecahkan keheningan” seputar konflik dan kekerasan Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia (1945–1949). Kurator pameran memilih untuk berpusat pada kisah-kisah individu—pejuang, seniman, diplomat—melalui objek dan laporan saksi mata. Contohnya, pameran menampilkan potret Tanja Dezentje, seorang wanita Indo-Eropa yang memilih menjadi diplomat Republik Indonesia.

Namun, pameran ini memicu kontroversi. Beberapa pengamat mengkritik bahwa meskipun ada pengakuan resmi terhadap kekerasan ekstrem yang digunakan Belanda (yang dirilis bersamaan dengan riset lima tahun), narasi kuratorial masih belum sepenuhnya adil. Terdapat tuduhan bahwa pameran tersebut melakukan “pembungkaman” (silencing) terhadap perspektif komunitas Indo-Eropa, yang juga mengalami trauma selama masa revolusi. Selain itu, representasi kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda disajikan dengan hati-hati; misalnya, satu-satunya penyebutan kekerasan seksual muncul di bagian akhir melalui testimoni video.

Hal ini menunjukkan bahwa restitusi fisik (pengembalian objek) relatif lebih mudah diimplementasikan daripada restitusi narasi (mengubah cara sejarah diceritakan). Kontroversi Revolusi! memperlihatkan adanya ketegangan. Komitmen politik untuk mengakui ketidakadilan  belum sepenuhnya terserap di tingkat kuratorial, dan museum-museum Belanda berisiko menggantikan narasi kolonial lama dengan narasi rekonsiliasi yang terlalu cepat yang pada akhirnya dapat menciptakan “pembungkaman” baru bagi kelompok minoritas yang terdampak.

Tantangan Manajemen Repatriasi dan Kapasitas Indonesia

Keberhasilan diplomasi budaya Indonesia kini bergeser menjadi tantangan teknis dan manajerial yang harus diatasi di dalam negeri, terutama terkait dengan kemampuan Indonesia untuk menerima, merawat, dan mengelola koleksi yang begitu besar.

Isu Kepercayaan: Kapasitas Konservasi Pasca-Kebakaran MusNas

Insiden kebakaran di Museum Nasional (MusNas) Indonesia menimbulkan kekhawatiran signifikan di pihak Belanda. Beberapa pihak di Belanda dilaporkan menyatakan kekhawatiran dan bahkan mengembangkan “hipotesis” mengenai kemampuan Pemerintah Indonesia untuk merawat benda-benda yang dikembalikan. Kritik ini, meskipun dianggap kurang etis oleh beberapa ahli Indonesia, memunculkan dilema penting: apakah warisan budaya Nusantara lebih baik diawetkan di luar negeri, atau dikembalikan meskipun tata kelola di dalam negeri masih dianggap lemah.

Kritik eksternal ini, terlepas dari validitasnya, berfungsi sebagai tekanan yang memaksa Pemerintah Indonesia untuk menjadikan modernisasi infrastruktur museum, khususnya dalam standar keamanan dan konservasi bertaraf internasional, sebagai prioritas nasional yang mendesak. Repatriasi 30.000 objek adalah mandat bagi Kementerian Kebudayaan untuk melakukan reformasi tata kelola besar-besaran.

Tantangan Logistik dan Distribusi Regional

Skala operasi untuk menerima 30.000 item menuntut perencanaan logistik yang cermat. Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa artefak dikembalikan ke konteks budaya dan geografis asalnya. Contoh spesifik menunjukkan adanya masalah kesiapan regional: Harta Karun Lombok, meskipun telah direpatriasi, belum siap untuk dipindahkan ke Museum NTB.

Pengelolaan artefak yang masif ini memerlukan sinergi yang kuat antara Museum Nasional, lembaga ilmiah, dan pemerintah daerah. Harus ada rencana induk yang jelas untuk distribusi regional, memastikan bahwa koleksi yang terkait dengan peristiwa lokal (misalnya, artefak dari Puputan Badung dan Tabanan) dapat kembali ke Bali atau daerah asalnya, dengan disertai investasi infrastruktur yang memadai di museum-museum daerah agar mereka mampu menyimpan dan memamerkan koleksi bernilai tinggi tersebut.

Kemitraan Kapasitas Jangka Panjang

Solusi praktis dan strategis untuk mengatasi kekurangan kapasitas terletak pada pengaktifan penuh tim gabungan Indonesia-Belanda yang telah disepakati. Kemitraan ini harus berfokus secara intensif pada:

  1. Konservasi: Transfer teknologi dan keahlian untuk merawat koleksi yang rentan, seperti fosil dan naskah kuno.
  2. Digitalisasi: Proses digitalisasi koleksi yang masif untuk memastikan akses riset yang universal dan mendokumentasikan provenance secara transparan.
  3. Peningkatan Kapasitas: Pelatihan staf Indonesia dalam provenance research, manajemen risiko koleksi, dan teknik konservasi skala besar.

Kemitraan ini harus dilihat sebagai prasyarat bagi repatriasi yang sukses, mengubah proses transfer objek menjadi transfer pengetahuan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Komitmen Belanda untuk mengembalikan 30.000 artefak, fosil, dan dokumen menutup babak hubungan kolonial yang panjang dan dipandang sebagai kemenangan signifikan bagi diplomasi budaya Indonesia. Keputusan ini didorong oleh perubahan kebijakan etis Belanda, yang kini memprioritaskan “kehilangan kepemilikan non-sukarela” dan pengakuan ketidakadilan historis.

Namun, keberhasilan diplomatik ini kini berpindah sepenuhnya ke ranah teknis dan manajerial. Indonesia menghadapi tantangan mendesak untuk membuktikan kapabilitasnya, tidak hanya dalam konteks logistik menerima 30.000 objek, tetapi juga dalam mengatasi keraguan internasional yang muncul akibat isu tata kelola dan keamanan museum di dalam negeri. Repatriasi ini menuntut tanggung jawab dan investasi besar-besaran agar warisan yang kembali tidak berisiko hancur atau terlantar.

Rekomendasi Kebijakan Strategis untuk Pemerintah Indonesia

Berdasarkan analisis terhadap data historis, kebijakan baru Belanda, dan tantangan infrastruktur di Indonesia, laporan ini merekomendasikan tiga prioritas kebijakan strategis:

  1. Prioritas 1: Reformasi Infrastruktur Museum Nasional dan Regional:
    Mendesak pengalokasian dana darurat dan jangka panjang untuk mencapai standar keamanan dan konservasi museum bertaraf internasional. Reformasi ini harus dilakukan secara transparan untuk menghilangkan keraguan pihak Belanda dan memastikan bahwa reputasi tata kelola Indonesia sebanding dengan keberhasilan diplomatiknya.37
  2. Prioritas 2: Memaksimalkan Transfer Pengetahuan dan Digitalisasi:
    Mengaktifkan tim gabungan Indonesia-Belanda secara maksimal, terutama dalam aspek riset dan digitalisasi.5 Hal ini mencakup pelatihan staf Indonesia dalam teknik konservasi koleksi massal (termasuk artefak non-budaya seperti fosil Dubois) dan memastikan bahwa hasil digitalisasi koleksi ini segera diakses publik dan akademisi global.
  3. Prioritas 3: Strategi Desentralisasi dan Penguatan Regional:
    Menyusun strategi distribusi regional yang jelas dan memprioritaskan investasi infrastruktur di museum daerah. Strategi ini harus memastikan bahwa warisan budaya yang memiliki konteks lokal yang kuat (seperti Harta Karun Lombok atau artefak Puputan Badung) kembali ke daerah asalnya, namun hanya setelah museum daerah tersebut siap secara fisik dan manajerial untuk menerima koleksi bernilai puluhan miliar Rupiah.7

Visi Jangka Panjang: Kedaulatan Pengetahuan

Indonesia harus mengubah momentum repatriasi ini menjadi landasan untuk menegaskan kedaulatan pengetahuan. Pengembalian Koleksi Dubois, khususnya, harus menjadi pendorong bagi kebangkitan riset prasejarah Indonesia yang berdaulat, memungkinkan peneliti Indonesia memimpin studi kritis atas warisan kemanusiaan purba di Asia Tenggara. Visi jangka panjangnya adalah mengubah Indonesia dari sekadar sumber objek warisan budaya kolonial menjadi pusat studi, konservasi, dan pengetahuan global yang berdaulat di kawasan tersebut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 1 =
Powered by MathCaptcha