Latar Belakang Historis dan Dikotomi Estetika Pasca-Giyanti
Warisan budaya keraton di Jawa—terutama yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta—tidak dapat dipisahkan dari peristiwa politik fundamental, yakni Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini memecah Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembagian kedaulatan ini tidak hanya bersifat teritorial, tetapi juga berimplikasi langsung pada pembentukan identitas kultural dan estetika kedua istana.
Secara strategis, pembagian ini memunculkan amanat kultural yang berbeda bagi para penguasa baru. Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) diamanatkan untuk mempertahankan budaya Mataram lama. Oleh karena itu, seni dan budaya Yogyakarta cenderung mengedepankan karakter yang gagah, heroik, dan patriotik. Sebaliknya, pemimpin Surakarta diminta untuk menciptakan inovasi kebudayaan baru. Analisis ini menunjukkan bahwa divergensi budaya (gagah versus halus) berfungsi sebagai strategi politik untuk memperkuat identitas kedua negara baru dan secara tidak langsung mencegah rekonsiliasi politik, suatu manuver yang menguntungkan kekuatan kolonial. Keraton, sejak saat itu, berfungsi sebagai pusat ganda: sebagai pemerintahan daerah (khusus DIY) dan sebagai pengawas pelestarian seni tradisional seperti gamelan, tari, dan wayang kulit.
Filosofi Keseimbangan Kosmis
Inti dari peradaban keraton Jawa adalah konsep filosofis yang mendalam, yakni Manunggaling Kawula Gusti, yang mengajarkan keseimbangan kosmis antara kekuatan spiritual dan duniawi. Filosofi ini terpatri dalam arsitektur kompleks keraton—seperti Pagelaran, Siti Hinggil, dan Bangsal Kencono—yang dirancang megah dan memiliki fungsi serta makna tersendiri, merefleksikan hubungan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Ketika Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaannya, seni tidak hanya dipandang sebagai estetika, tetapi sebagai alat
nation-building internal untuk membangun karakter kerajaan yang kuat dan besar. Karakter maskulin, heroik, dan patriotik yang sengaja ditanamkan melalui seni berfungsi sebagai manifestasi kedaulatan psikologis terhadap tekanan eksternal pada masa itu.
Aspek Estetika | Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat | Kasunanan Surakarta Hadiningrat |
Karakter Utama | Maskulin, Heroik, Patriotik (Gagah, Mrabu) | Feminim, Halus, Inovatif (Luwes) |
Amanat Kultural | Mempertahankan Budaya Mataram Lama | Menciptakan Inovasi Kebudayaan Baru |
Fungsi Seni Utama | Manifestasi Kedaulatan dan Semangat Kepahlawanan | Ekspresi Kehalusan dan Spiritualisme Kejawen |
Konsep Arsitektur | Keseimbangan Kosmis, Megah (termasuk arsitektur Jawa seperti Siti Hinggil, Bangsal Kencono) | Kompleksitas dan Sentralitas Filosofis |
Seni Tari — Refleksi Kesakralan Dan Sikap Keprajuritan
Bedhaya dan Srimpi: Fungsi Sakral dan Hierarki Gerak
Tari-tarian klasik keraton, seperti Bedhaya dan Srimpi, adalah tarian pusaka yang bersifat sakral, tidak dimaksudkan sebagai hiburan publik semata. Tarian-tarian ini merupakan representasi simbolis dari narasi sejarah, mitologi, atau upaya mencapai keseimbangan kosmos. Sajian tari klasik Jawa umumnya mengikuti struktur baku: maju beksan, beksan (inti pertunjukan), dan mundur beksan.
Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Aksiologi Heroisme
Gaya Yogyakarta dijiwai oleh nilai-nilai etis dan estetis yang menekankan kegagahan, sejalan dengan karakter maskulin pendirinya. Gerakannya cenderung lebih tegas, meskipun tetap mempertahankan keanggunan.
Bedhaya Sumreg adalah studi kasus utama dari estetika ini. Tarian tersebut secara spesifik memuat cerita kepahlawanan Pangeran Mangkubumi saat mempersiapkan pasukannya menghadapi musuh. Dalam rakit gelar—bagian inti cerita tarian—penari yang disebut Batak secara khusus memerankan Pangeran Mangkubumi, berdiri sendiri dalam formasi seolah-olah memimpin persiapan perang. Motif gerak kakinya mencakup langkah lambat (ingsutan tumit, gedruk, tanjak) dan langkah cepat (kicat, kengser, trisig), yang secara kolektif menguatkan kesan militeristik dan heroik, selaras dengan semangat patriotik yang ingin ditanamkan Sultan HB I kepada rakyatnya.
Tari Klasik Gaya Surakarta: Kehalusan dan Simbolisme Kosmis
Sebaliknya, gaya Surakarta menekankan pada gerakan tradisi putri yang lebih halus, luwes, dan terikat pada pakem yang ketat.
Bedhaya Ketawang adalah tarian pusaka paling sakral di Solo.
Dalam tarian seperti Srimpi Sangupati (Surakarta), terdapat kompleksitas simbolik. Meskipun ditarikan oleh penari putri, properti aslinya di Keraton Kasunanan Surakarta mencakup benda bernuansa militeristik, seperti pistol, kenthi, dan sloki. Kontradiksi antara kelembutan penari dan properti perang mengindikasikan bahwa tarian ini menyajikan narasi alegoris peperangan batin atau konflik historis. Dalam perkembangan modern, properti ini sering diganti dengan sekaran (gerak bunga) menggunakan sampur.
Di luar tembok keraton, simbolisme tarian Surakarta meresap ke dalam ritual masyarakat. Misalnya, Srimpi Lima, yang digunakan dalam upacara ruwatan (pembersihan jiwa) bagi anak sukerta (yang dianggap mangsa Bethara Kala). Tarian ini ditarikan oleh lima orang penari dan merefleksikan makna simbolis sedulur papat lima pancer (empat saudara penjaga dan satu pusat/manusia), melambangkan pembersihan dan pembebasan jiwa.
Pelestarian tarian adiluhung ini menghadapi risiko pengaburan nilai di era digital. Jika fokus masyarakat hanya pada tampilan luar yang dilihat melalui media sosial, detail filosofis dan historis (seperti makna spesifik rakit gelar atau penggunaan properti asli Solo) dapat hilang. Oleh karena itu, pelestarian harus mencakup transmisi nilai dan sejarah (aksiologi) di balik koreografi.
Fitur Tari | Gaya Yogyakarta (Gagah) | Gaya Surakarta (Halus) |
Fokus Estetika | Aksiologi, Etis, Estetis | Simbolik, Kehalusan Gerak Putri |
Contoh Repertoar | Bedhaya Sumreg | Bedhaya Ketawang , Srimpi Sangupati |
Narasi Inti | Kepahlawanan Pangeran Mangkubumi (Perang) | Pertempuran Batin atau Ritual Pemujaan |
Gerak Khas | Kicat, Kengser, Trisig (cepat); Ingsutan Tumit (lambat) | Gerak tradisi putri yang memiliki pakem spesifik |
Properti Asli | Tidak disebutkan properti militer eksplisit | Pistol, Kenthi, Sloki (meskipun sering diganti Sekaran) |
Simbolisme Kosmis | Terkandung dalam filosofi formasi dan narasi pahlawan | Sedulur Papat Lima Pancer (dalam konteks Srimpi Lima) |
SENI MUSIK (KARAWITAN) — IDENTITAS SONIK DAN KEKUATAN SPIRITUAL
Gamelan sebagai Pusaka dan Manifestasi Karakter
Seni musik Gamelan, atau karawitan, dicirikan sebagai seni yang halus dan rumit. Elemen musikalnya—terutama rasa larasan (kesesuaian nada) dan embat (kecepatan atau tempo)—digunakan oleh juru laras dan pangrawit untuk membentuk karakter sonik spesifik yang berfungsi sebagai identitas kerajaan. Fungsi gamelan di awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta adalah untuk mengendalikan emosi masyarakat dan membangkitkan semangat kepahlawanan dan cinta tanah air.
Karawitan Gaya Yogyakarta: Maskulinitas Sonik
Gamelan gaya Yogyakarta dirancang untuk merefleksikan karakter maskulin pendirinya. Secara fisik, instrumen gamelan Yogya lebih besar, memiliki lebih banyak instrumen, dan menghasilkan nada yang lebih rendah. Suara yang dihasilkan berkesan
gagah dan mrabu (seperti seorang raja). Ukiran pada instrumen cenderung sederhana, yang berfokus pada kekuatan sonik daripada detail visual.
Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18 hingga 19 set gamelan pusaka, yang diperlakukan dengan hormat dan dianggap sakral. Tiga set yang paling keramat berasal dari masa pra-Giyanti: Gamelan Monggang (KK Guntur Laut), Gamelan Kodhok Ngorek (KK Maeso Ganggang), dan Gamelan Sekati (KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga). Gamelan Sekaten hanya dibunyikan untuk perayaan Sekaten (Maulid Nabi), menegaskan peran ganda keraton sebagai pusat budaya dan pusat agama yang strategis dalam memadukan tradisi Kejawen dan Islam. Ritual Kondur Gongso menandai kembalinya Gamelan Sekaten dari Masjid Kauman ke istana.
Karawitan Gaya Surakarta: Kehalusan dan Detail
Gamelan Surakarta, sesuai dengan amanat inovasi, cenderung lebih kecil, ramping, dan dianggap feminin, dengan ukiran yang mencolok. Karawitan gaya Solo dikenal karena kehalusan dan kerumitan komposisinya.
Upaya pelestarian karawitan kini mencakup dimensi teknologi tinggi. Karena gamelan pusaka menghadapi kerusakan seiring waktu , penelitian akademis telah dilakukan untuk menganalisis dan merekonstruksi karakter sonik (termasuk larasan dan embat) dari gamelan keramat, seperti KK Guntur Madu, melalui karakterisasi spektrum audio. Inovasi ini memungkinkan dilakukannya proses editing dan rekonstruksi bunyi gamelan untuk diaplikasikan pada instrumen musik modern, yang merupakan bentuk pelestarian epistemologis yang memastikan bahwa ilmu pengetahuan dan filosofi akustik keraton dapat mendukung industri kreatif masa depan.
BAGIAN III: SENI KULINER — FILOSOFI KEHIDUPAN DAN GASTRONOMI ISTANA
Gastronomi Keraton: Hidangan Status dan Preferensi Sultan
Kuliner keraton mencerminkan status sosial dan penggunaan rempah yang kompleks. Hidangan istana seringkali merupakan menu khusus yang dikaitkan dengan selera penguasa. Beberapa hidangan favorit di Keraton Yogyakarta mencakup Gecok Ganem—cacahan daging dengan bumbu kompleks, santan, dan belimbing wuluh, yang merupakan kesukaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Lombok Kethok, daging sapi iris tipis dengan rasa pedas dan gurih, populer dari masa HB VI hingga HB IX. Sementara itu, Semur Piyik, olahan burung dara kecil (piyik), merupakan favorit Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Hidangan-hidangan ini melambangkan tingkat kemewahan dan kerumitan cita rasa bangsawan.
Kuliner Seremonial dan Makna Ritual
Kuliner memiliki peran esensial dalam ritual Jawa. Makanan (sajen atau sesajen) digunakan sebagai bagian integral dari upacara adat untuk memohon keselamatan dan menjaga keseimbangan.
Kuliner seremonial paling ikonik adalah Endog Abang (Telur Merah) , yang secara eksklusif muncul pada perayaan Grebeg Maulud (Sekaten). Kemunculan eksklusif ini menjadikan kuliner sebagai penanda siklus waktu liturgis, memperkuat momen sakral tersebut bagi masyarakat.
Endog Abang memiliki filosofi mendalam. Warna merah dan putih melambangkan bapa biyung (ayah dan ibu), dan telur melambangkan keturunan atau awal kehidupan. Mengonsumsi endog abang adalah tindakan simbolis memelihara tradisi luhur dan memaknai hidup.
Di era modern, warisan gastronomi keraton telah bertransformasi menjadi kapital budaya pariwisata. Beberapa restoran di Yogyakarta menggunakan branding “makanan kerajaan” dan dekorasi yang menyerupai istana. Fenomena ini menunjukkan bahwa warisan eksklusif keraton kini dimonetisasi untuk menarik wisatawan yang mencari pengalaman budaya khusus.
Tantangan Dan Dinamika Pelestarian Di Era Modern
Peran Lembaga Keraton dan Adaptasi Budaya
Keraton berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pendidikan seni, dengan lembaga internal seperti kantor Kridhamardawa yang mengelola musisi istana untuk fokus pada acara seremonial.
Abdi Dalem berperan penting dalam menjaga martabat keraton dan berpartisipasi dalam upacara adat. Lembaga pendukung di Surakarta, seperti Sanggar Pasinaon Pambiwara, berperan melestarikan nilai-nilai Jawa melalui tembang macapat.
Upaya pelestarian ini diarahkan untuk mencapai harmoni antara tradisi dan modernisasi. Sultan HB X menyatakan bahwa perubahan budaya tidak selalu berarti kemunduran, melainkan transformasi dan akulturasi yang menafsirkan ulang konsep harmoni dalam pola pikir dan pola hidup. Adaptasi terlihat jelas dalam seni kontemporer, di mana warisan keraton diintegrasikan. Contohnya adalah upaya merevitalisasi bunyi gamelan pusaka dan mengaplikasikannya pada instrumen modern, mendukung industri kreatif.
Isu Revitalisasi Fisik dan Keberlanjutan Struktural
Keberlanjutan warisan keraton sangat dipengaruhi oleh dukungan politik dan hukum. Yogyakarta mendapat dukungan kuat melalui status Daerah Istimewa (DIY) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, yang memberikan kewenangan khusus dalam urusan kebudayaan dan pelestarian nilai-nilai luhur.
Namun, Keraton Kasunanan Surakarta menghadapi tantangan yang lebih signifikan dalam hal revitalisasi fisik dan administratif. Lembaga Dewan Adat (LDA) Surakarta telah meminta pemerintah daerah menyelesaikan permasalahan struktural dan sengketa lahan dari revitalisasi masa lalu. Isu termasuk penempatan pedagang di lahan keraton tanpa melibatkan istana, penambahan luas bangunan liar, dan bahkan penjualan kios ilegal di atas tanah keraton oleh oknum nakal.
Revitalisasi sangat mendesak karena kerusakan fisik yang parah, seperti pada Sasana Mulya dan Pringgitan, yang memerlukan perbaikan struktur tulang dan bagian yang ambrol. Proyek perbaikan ini didanai melalui APBD dan hibah (misalnya dari UEA untuk Masjid Gedhe dan Siti Hinggil). Perbedaan dalam kerangka hukum administratif (dukungan DIY yang kuat vs. Surakarta) menyebabkan kerentanan Surakarta terhadap kerusakan fisik dan sengketa lahan, menunjukkan bahwa pelestarian adiluhung memerlukan dukungan hukum dan politik yang terstruktur.
Kesimpulan
Warisan keraton di Jawa merupakan sistem budaya yang terintegrasi dan memiliki kedalaman filosofis yang luar biasa. Perbedaan estetika antara Yogyakarta (maskulin, heroik) dan Surakarta (feminin, halus) yang berakar pada Perjanjian Giyanti, telah melahirkan kekayaan seni tari, musik, dan kuliner yang unik. Gamelan dan tari klasik berfungsi sebagai penjaga identitas kedaulatan, sementara kuliner seremonial seperti Endog Abang menandai siklus waktu ritual dan makna kehidupan.
Kebutuhan Strategis Pelestarian
- Penguatan Integritas Fisik dan Administrasi di Surakarta: Rekomendasi utama adalah intervensi pemerintah yang tegas untuk menyelesaikan sisa-sisa masalah revitalisasi di Keraton Kasunanan Surakarta. Diperlukan penguatan kemitraan antara keraton dan pemerintah daerah untuk mengamankan aset lahan dan mencegah perusakan fisik lebih lanjut guna menjamin integritas warisan historis.
- Transmisi Nilai Filosofis Melalui Teknologi: Lembaga pendidikan dan kebudayaan harus memprioritaskan transmisi makna simbolis yang mendalam (seperti sedulur papat lima pancer atau filosofi Endog Abang). Pemanfaatan teknologi, seperti analisis spektrum audio untuk merekonstruksi dan mendokumentasikan rasa Gamelan pusaka , harus didorong agar nilai-nilai akustik keraton dapat diwariska dalam format digital, melampaui keausan artefak fisik.
- Pengelolaan Budaya yang Terkurasi: Meskipun warisan keraton memberikan dorongan besar bagi pariwisata dan industri kreatif (kuliner, pertunjukan harian) , diperlukan kurasi yang ketat. Hal ini untuk memastikan bahwa komersialisasi tidak mengaburkan batas antara keaslian ritual dan narasi yang dikomersialkan, sehingga martabat tradisi adiluhung tetap terjaga.