Latar Belakang dan Definisi Filosifis

Donor darah sukarela (DDS) merupakan pilar fundamental dalam sistem pelayanan kesehatan modern dan salah satu bentuk aksi kemanusiaan yang bersifat non-komersial. Konsep ini didasarkan pada prinsip altruisme, di mana darah manusia dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk tujuan penyelamatan nyawa dan pengobatan, bukan untuk kepentingan komersial. Stabilitas pasokan darah adalah indikator penting ketahanan sistem kesehatan suatu negara, memastikan bahwa layanan medis krusial, mulai dari operasi darurat hingga penanganan penyakit kronis, dapat berjalan tanpa hambatan.

Indonesia menghadapi tuntutan kebutuhan darah yang signifikan. Berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kebutuhan ideal adalah sekitar 2% dari total populasi. Palang Merah Indonesia (PMI) menargetkan pengumpulan hingga 4,5 juta kantong darah setiap tahunnya untuk memenuhi standar ini. Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengidentifikasi bahwa kebutuhan nasional yang sesungguhnya mencapai 5,1 juta kantong per tahun. Upaya untuk menutup kesenjangan antara permintaan dan pasokan ini menjadi mandat utama Unit Donor Darah (UDD) PMI dan seluruh entitas yang terlibat dalam pelayanan darah.

Temuan Kunci dan Rekomendasi

Tulisan ini menganalisis tiga dimensi utama donor darah: sejarah, urgensi, dan status operasional saat ini. Analisis menunjukkan keberhasilan signifikan dalam pemenuhan kebutuhan darah nasional; PMI dilaporkan telah mampu memenuhi 93% dari total kebutuhan darah.

Namun, tulisan ini juga mengidentifikasi sejumlah tantangan kritis yang membatasi efisiensi dan keamanan sistem secara keseluruhan. Tantangan tersebut meliputi tingginya tingkat penolakan (deferral) calon donor karena alasan medis , kerentanan rantai pasok darah terhadap guncangan eksternal seperti pandemi , dan masalah inefisiensi ekonomi yang ditimbulkan oleh limbah plasma dalam jumlah besar. Inovasi teknologi dan penguatan regulasi diperlukan untuk menutup kesenjangan 7% yang tersisa dan menjamin keamanan maksimal.

Metodologi Tulisan

Tulisan ahli ini disusun berdasarkan tinjauan literatur ilmiah, regulasi pelayanan darah di Indonesia (termasuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah), serta data operasional dari Unit Transfusi Darah (UDD) PMI. Pendekatan yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi fondasi historis, menilai urgensi klinis, dan menganalisis efektivitas strategi operasional serta teknologi yang berlaku saat ini.

Landasan Historis dan Evolusi Transfusi Darah (Sejarah)

Praktik transfusi darah telah melalui evolusi dramatis, berpindah dari prosedur yang sangat berbahaya menjadi intervensi medis yang terstandarisasi. Evolusi ini ditandai oleh penemuan-penemuan krusial dalam bidang imunologi dan logistik.

Penemuan Kunci Imunologis: Karl Landsteiner dan Sistem Golongan Darah

Titik balik utama dalam sejarah transfusi darah terjadi pada awal abad ke-20 melalui karya Karl Landsteiner. Pada tahun 1900-1901, Landsteiner mengidentifikasi tiga jenis tipe darah manusia: Tipe A, Tipe B, dan Tipe O (atau 0). Penemuan ini menjelaskan mengapa transfusi darah sering kali berakhir dengan reaksi aglutinasi fatal, yang terjadi ketika antibodi penerima menyerang sel darah merah donor dengan antigen asing. Dengan penemuan sistem ABO, praktik transfusi darah menjadi jauh lebih aman karena memungkinkan pencocokan tipe darah dasar antara donor dan penerima.

Sistem ini kemudian disempurnakan pada tahun 1902 dengan penemuan Tipe Darah AB oleh Decastrello dan Sturli. Meskipun sistem ABO mengurangi bahaya secara signifikan, kasus kematian masih terjadi, menimbulkan misteri medis. Landsteiner, bekerja sama dengan Alex Wiener, Philip Levine, dan R.E. Stetson, kembali membuat penemuan monumental pada 1939-1940: Faktor Rhesus (Rh). Penemuan tipe golongan darah Rhesus, yang diklasifikasikan menjadi Positif (+) dan Negatif (-), mengakhiri misteri tersebut dan semakin mengamankan prosedur transfusi, terutama krusial dalam pencegahan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.

Analisis terhadap urutan penemuan ini menunjukkan bahwa keamanan transfusi darah harus selalu didasarkan pada pemahaman ilmiah mendalam. Inovasi mendasar dalam transfusi adalah memahami mengapa darah bereaksi (imunologi) sebelum berinvestasi pada bagaimana cara menyimpannya (logistik). Tanpa karya Landsteiner, upaya penyimpanan darah hanya akan menunda bahaya. Oleh karena itu, investasi berkelanjutan dalam keamanan (seperti uji saring infeksi modern) harus diprioritaskan di atas sekadar peningkatan volume donor.

Inovasi Logistik dan Penyimpanan Jangka Panjang

Setelah fondasi keamanan imunologis diletakkan, tantangan berikutnya adalah bagaimana menyimpan dan mengangkut darah. Sebelum 1914, transfusi dilakukan secara real-time, langsung antara dua individu, karena darah membeku dengan cepat saat terpapar udara.

Inovasi antikoagulan mengubah total lanskap pelayanan darah. Pada tahun 1914, para peneliti menemukan bahwa Natrium Sitrat dapat menghentikan pembekuan darah dengan menghilangkan kalsium yang dibutuhkan untuk pembentukan gumpalan. Kemudian, pada tahun 1916, Heparin ditemukan sebagai antikoagulan yang lebih efektif dengan menonaktifkan enzim pembekuan. Penemuan-penemuan ini memungkinkan darah disimpan, menciptakan konsep Bank Darah.

Perkembangan logistik dipercepat oleh kebutuhan medan perang. Selama Perang Dunia I, peneliti Amerika dan Inggris mengembangkan mesin portabel untuk mengangkut darah donor yang telah diawetkan dengan antikoagulan ke medan perang. Kotak portabel sederhana ini kemudian menjadi inspirasi bagi bank darah modern di rumah sakit di seluruh dunia.

Pada tahun 1943, JF Loutit dan Patrick L. Mollison memperkenalkan solusi Asam-Sitrat-Dekstrosa (ACD). Solusi ini memungkinkan volume antikoagulan dikurangi, sehingga transfusi dapat dilakukan dalam volume yang lebih besar dan memperpanjang masa simpan darah. Evolusi logistik berlanjut pada tahun 1950, ketika Carl Walter dan W.P. Murphy Jr. mengganti botol kaca dengan kantong plastik tahan lama. Penggunaan kantong plastik memfasilitasi pengumpulan darah dan memungkinkan pemisahan darah menjadi komponen yang berbeda. Perang dan krisis (seperti yang terlihat dalam kerentanan rantai pasok selama pandemi COVID-19 ) sering berfungsi sebagai pendorong utama inovasi dalam bank darah dan logistik.

Linimasa Penemuan Kunci Transfusi Darah

Tahun Penemuan Kunci Kontributor Utama Dampak Kritis pada Transfusi Modern
1900–1902 Sistem Golongan Darah ABO dan AB Karl Landsteiner, Decastrello, Sturli Landasan keamanan transfusi, mencegah aglutinasi masif
1914-1916 Antikoagulan (Sodium Sitrat, Heparin) Para Peneliti Memungkinkan darah disimpan dan ditransfusikan secara terpisah dari donor, menciptakan konsep Bank Darah
1939–1940 Faktor Rhesus (Rh) Landsteiner, Wiener, Levine, Stetson Mengurangi risiko reaksi transfusi, khususnya penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (HDN)
1950 Kantong Plastik Darah Carl Walter dan W.P. Murphy Jr. Memfasilitasi separasi komponen darah dan meningkatkan mobilitas/logistik

Urgensi Kebutuhan Darah di Indonesia

Kebutuhan akan darah di Indonesia bersifat konstan, didorong oleh dua kategori klinis utama: situasi darurat yang mendadak (akut) dan penanganan penyakit kronis yang memerlukan transfusi rutin.

Kebutuhan Nasional dan Analisis Gap Pemenuhan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Indonesia membutuhkan setidaknya 5,1 juta kantong darah setiap tahun. PMI, sebagai penyelenggara utama pelayanan darah, menargetkan pengumpulan 4,5 juta kantong per tahun sesuai dengan standar WHO. Data terbaru menunjukkan bahwa PMI telah berhasil memenuhi 93% dari kebutuhan darah secara nasional.

Meskipun tingkat pemenuhan 93% adalah pencapaian signifikan, defisit 7% sisanya (setara dengan sekitar 357.000 kantong darah per tahun berdasarkan estimasi kebutuhan Kemenkes) menimbulkan tekanan besar pada sistem pelayanan darah, terutama di daerah yang sulit dijangkau. Kesenjangan pasokan ini berpotensi menyebabkan krisis kronis yang tidak terekspos, yang berdampak paling parah pada pasien yang bergantung pada transfusi darah terjadwal.

Indikasi Klinis Kritis (Akut vs. Kronis)

Donor darah memiliki peran krusial di seluruh spektrum penanganan klinis:

  1. Kasus Darurat (Akut): Donor darah sangat diperlukan dalam penanganan trauma berat akibat kecelakaan, prosedur operasi besar, atau kasus komplikasi kehamilan yang melibatkan kehilangan darah masif. Dalam situasi ini, ketersediaan darah dalam hitungan menit sering menjadi penentu hidup pasien.
  2. Kondisi Kronis: Donor darah berfungsi sebagai terapi penunjang hidup untuk penyakit darah bawaan.
    • Talasemia Mayor: Bagi sebagian besar penderita talasemia mayor, transfusi sel darah merah (PRC) diindikasikan seumur hidup karena adanya proses hemolitik yang terjadi terus menerus. Transfusi reguler diperlukan untuk mempertahankan kadar Hemoglobin sekitar 11 g/dL, yang secara efektif memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Ketidakstabilan pasokan darah secara langsung memengaruhi kualitas hidup dan harapan hidup ribuan pasien ini, menjadikan stabilitas stok darah sebagai isu keadilan sosial dalam penanganan penyakit kronis.
    • Hemofilia: Penyakit ini sering diobati dengan produk darah turunan, terutama Kriopresipitat, yang kaya akan Faktor VIII, Faktor von Willebrand (vWF), Faktor XIII, dan fibrinogen. Kriopresipitat digunakan sebagai terapi sulih untuk mencegah atau menghentikan episode perdarahan.

Pemanfaatan Komponen Darah Spesifik

Sistem pelayanan darah modern mengadopsi konsep Component Therapy, di mana darah utuh yang didonorkan diproses dan dipisahkan menjadi komponen spesifik untuk mengoptimalkan terapi yang ditargetkan. Komponen utama darah yang diproduksi oleh UDD PMI meliputi  Whole Blood (WB), Packed Red Cell (PRC), Trombosit (TC/Platelet), Fresh Frozen Plasma (FFP), dan Antihemophilic Factor (AHF).

Prosedur Apheresis juga dilakukan, yang memungkinkan pengambilan komponen darah spesifik (misalnya trombosit atau plasma) sementara sel dan plasma sisanya dikembalikan ke tubuh donor. Selain komponen dasar, Kriopresipitat merupakan produk spesifik yang sangat dibutuhkan untuk defisiensi faktor pembekuan, meskipun Kriopresipitat konvensional memiliki masalah terkait kandungan Faktor VIII yang belum memadai dan masalah keamanan dibandingkan konsentrat modern.

Standar Operasional dan Keamanan Darah Masa Kini

Keamanan darah adalah prioritas tertinggi dalam pelayanan transfusi. Untuk menjamin darah yang aman bagi penerima, PMI menerapkan protokol seleksi donor yang ketat diikuti dengan uji saring infeksi yang berlapis.

Kriteria Kelayakan Donor Darah Sukarela (DDS)

Calon Donor Darah Sukarela harus melalui pemeriksaan pendahuluan yang ketat. Syarat umum yang diwajibkan oleh PMI adalah:

  1. Kondisi Umum: Sehat jasmani dan rohani.
  2. Usia dan Berat Badan: Berusia antara 17 hingga 65 tahun. Calon donor berusia 17 tahun diizinkan dengan izin tertulis orang tua. Berat badan minimal harus 45 kg, mengingat jumlah darah yang diambil harus proporsional dengan volume darah total donor. Orang dengan berat badan kurang dari 45 kg memiliki jumlah darah yang dianggap terlalu sedikit untuk didonorkan.
  3. Parameter Fisiologis:
    • Tekanan Darah: Sistolik harus berkisar antara 100-170 mmHg, dan Diastolik antara 70-100 mmHg. Orang dengan hipertensi, atau yang baru mengonsumsi obat hipertensi (dalam 28 hari terakhir), tidak diperkenankan berdonor hingga tekanan darahnya stabil.
    • Kadar Hemoglobin (Hb): Minimal 12,5 g% atau 12,5 gr/dl untuk pria dan minimal 12 gr/dl untuk wanita.
  4. Interval Donasi: Donor darah hanya dapat dilakukan maksimal 5 kali dalam setahun, dengan interval minimal 12 minggu atau 3 bulan sejak donasi terakhir.
  5. Kriteria Eksklusi: Calon donor tidak boleh menderita penyakit menular seperti Hepatitis, Sifilis, atau penyakit menular lainnya. Wanita juga tidak diperbolehkan berdonor saat sedang hamil, menyusui, atau menstruasi.

Tingginya kriteria kelayakan ini merupakan filter ganda yang berfungsi untuk melindungi baik kesehatan donor maupun penerima darah. Namun, kriteria ketat ini juga menjadi penyebab utama tingginya angka penolakan (deferral), yang kemudian menjadi kendala operasional utama bagi UDD.

Protokol Uji Saring Infeksi (Keamanan Darah Maksimal)

Setiap kantong darah yang terkumpul harus melalui uji saring infeksi yang ketat untuk memastikan tidak adanya risiko penularan penyakit menular kepada pasien. Uji saring wajib ditujukan terhadap empat patogen utama: HIV, Hepatitis B (HBsAg), Hepatitis C (anti-HCV), dan Sifilis (antibodi Treponema pallidum). Uji saring Sifilis sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 1975 menggunakan reagensia TPHA.

Metode Uji Saring Infeksi Wajib pada Darah Donor UDD PMI

Infeksi yang Diuji Target Uji Saring Metode Mayor Saat Ini Keunggulan NAT (Nucleic Acid Test)
HIV Anti-HIV ELISA (70%), Rapid Test (30%) Mengurangi window period infeksi, meningkatkan keamanan secara substansial
Hepatitis B HBsAg ELISA (70%), Rapid Test (30%) Menguji materi genetik virus, lebih sensitif dan cepat
Hepatitis C Anti-HCV ELISA (70%), Rapid Test (30%) Standar tertinggi untuk membebaskan darah dari virus berbahaya
Sifilis Antibodi Treponema pallidum TPHA Tes tradisional yang diwajibkan sejak 1975

Meskipun ELISA dan Rapid Test masih menjadi metode mayoritas (70% dan 30% donasi),  Nucleic Acid Test (NAT) merupakan teknologi skrining keamanan darah tertinggi saat ini. NAT mampu mendeteksi materi genetik virus secara langsung, jauh lebih cepat daripada deteksi antibodi, sehingga secara signifikan memperpendek window period infeksi dan meningkatkan keamanan. Saat ini, penggunaan NAT sering dikombinasikan dengan prosedur Apheresis (Apheresis Leukodepleted NAT) , menunjukkan bahwa implementasi 100% NAT secara nasional masih terkendala oleh faktor biaya.

Proses Pengolahan dan Jaminan Kompatibilitas

Setelah darah diambil dan melalui uji saring, UDD melakukan pemrosesan untuk memisahkan komponen darah yang dibutuhkan. Prosedur lanjutan seperti Apheresis juga dilaksanakan, yang memungkinkan pengumpulan komponen darah spesifik, seperti trombosit, dengan keamanan dan kemurnian yang tinggi.

Tahap terakhir sebelum transfusi adalah memastikan kompatibilitas antara darah donor dan penerima. Proses ini mencakup Crossmatch (Uji Silang Serasi) dan pemeriksaan inkompatibilitas. Tes ini menguji interaksi antara plasma penerima dan sel darah merah donor, serta memeriksa kecocokan antara antibodi penerima dengan antigen donor, yang bertujuan untuk mencegah reaksi hemolitik dan reaksi transfusi merugikan lainnya.

Regulasi dan Kerangka Hukum Pelayanan Darah

Pelayanan darah di Indonesia diatur oleh kerangka hukum yang jelas, yang menetapkan peran dan tanggung jawab antara Pemerintah dan Palang Merah Indonesia (PMI).

Kerangka Hukum Utama

Kerangka hukum pelayanan darah didasarkan pada tiga regulasi utama:

  1. Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan: UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi PMI, menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Jenewa 1958 tentang Kepalangmerahan. UU ini memperkuat posisi PMI dalam menjalankan tugas kemanusiaan, termasuk penyelenggaraan pelayanan darah.
  2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah: PP ini secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Donor Darah (UDD), yang harus diselenggarakan oleh organisasi sosial dengan tugas pokok dan fungsi di bidang Kepalangmerahan (PMI).
  3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: UU ini, bersama PP No. 7/2011, menegaskan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda). Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tanggung jawab ini mencakup pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan yang paling krusial, pendanaan pelayanan darah untuk kepentingan kesehatan. Jaminan pendanaan ini diwujudkan dalam bentuk subsidi kepada UDD dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan bantuan lainnya.

Peran Sentral PMI dan UDD

Dalam rantai pasok darah, PMI melalui UDD berfungsi sebagai entitas pemasok darah. Layanan yang dilakukan UDD meliputi mobilisasi dan pelestarian donor, pengumpulan darah, pemrosesan komponen, skrining infeksi, penyimpanan, dan distribusi ke Bank Darah Rumah Sakit (BDRS).

Mekanisme regulasi yang berlaku menciptakan dualitas tanggung jawab: PMI adalah pelaksana teknis operasional, sementara Pemerintah adalah regulator dan penjamin pendanaan. Meskipun model ini memastikan sifat operasi yang non-komersial, hal ini juga dapat menimbulkan ketegangan dalam pembiayaan infrastruktur mahal, seperti teknologi NAT, yang ketersediaannya menjadi sangat tergantung pada kebijakan fiskal dan subsidi APBN/APBD. PMI juga didorong untuk memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah dan membina unit-unit sukarela di institusi pendidikan (Palang Merah Remaja/PMR dan Korps Sukarela/KSR) untuk memperluas jangkauan Donor Darah Sukarela (DDS).

Tantangan Operasional dan Strategi Peningkatan Donor (Masa Kini)

Meskipun kerangka hukum dan standar keamanan telah mapan, UDD PMI menghadapi sejumlah tantangan operasional dalam mempertahankan dan meningkatkan pasokan darah sukarela yang aman.

Tantangan Rekrutmen dan Retensi Donor

  1. Kesadaran yang Fluktuatif: Kesadaran masyarakat untuk berdonor masih cenderung fluktuatif, seringkali hanya meningkat selama periode kampanye atau krisis.
  2. Tingginya Tingkat Penolakan (Deferral): Salah satu kendala terbesar adalah banyaknya calon donor yang tidak memenuhi syarat medis yang ketat. Dalam sebuah kegiatan donor darah di Universitas Jambi, dari 130 pendaftar, hanya 46 orang yang berhasil mendonorkan darah setelah melalui seleksi kesehatan. Tingkat penolakan (sekitar 64% dalam kasus ini) menunjukkan inefisiensi operasional UDD karena membuang waktu dan sumber daya untuk skrining individu yang pada dasarnya tidak layak. Angka penolakan yang tinggi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai indikator kesehatan masyarakat, menunjukkan prevalensi masalah seperti anemia (Hb rendah) atau tekanan darah tinggi di kalangan populasi yang berpotensi menjadi donor.
  3. Ketergantungan Donor Pengganti: PMI terus berupaya keras untuk memastikan ketersediaan darah yang aman dan mencukupi, yang hanya dapat dijamin melalui Donor Darah Sukarela (DDS). Hal ini untuk mengurangi ketergantungan pada “donor pengganti” yang seringkali dicari secara mendadak oleh keluarga pasien, sebuah praktik yang dinilai kurang aman dan terencana.

Tantangan Logistik dan Rantai Pasok Darah

Rantai pasok darah yang melibatkan PMI (sebagai pemasok) dan Bank Darah Rumah Sakit/BDRS (sebagai penyalur) rentan terhadap gangguan. Sebagai contoh, selama masa pandemi COVID-19, kemampuan pemenuhan produk darah di BDRS Kota Bandung mengalami penurunan signifikan, menunjukkan kerentanan sistem terhadap shock eksternal. Identifikasi risiko dan analisis penyebab risiko dalam rantai pasok darah menjadi krusial untuk meminimalkan dampak negatif di masa depan.

Isu logistik yang besar adalah mengenai Limbah Plasma. Karena tingginya permintaan untuk Packed Red Cell (PRC) dan Trombosit, sebagian besar plasma sisa dari pengolahan darah utuh belum terserap optimal untuk fraksinasi atau dijadikan produk turunan. Akibatnya, pada tahun 2018 saja, sekitar 60.000 liter plasma terbuang sebagai limbah, dengan biaya pemusnahan yang mencapai lebih dari Rp 6 Miliar per tahun. Limbah ini merupakan pemborosan sumber daya medis yang langka dan mahal.

Strategi PMI dalam Mendorong Donor Darah Sukarela

Untuk mengatasi tantangan rekrutmen dan retensi, PMI mengimplementasikan berbagai strategi:

  1. Komunikasi Persuasif: UDD PMI menggunakan strategi komunikasi yang melibatkan aspek psikodinamika (melibatkan emosi untuk melihat fenomena lingkungan), sosiokultural (memanfaatkan faktor dari luar diri individu), dan meaning construction (kampanye dan pemberian pengetahuan) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Upaya sosialisasi ini dilakukan secara rutin di berbagai tingkatan, dari kampus hingga desa.
  2. Sistem Penghargaan dan Retensi: PMI memiliki sistem apresiasi formal yang efektif untuk mendorong loyalitas donor berulang. Penghargaan ini diberikan secara bertahap, mulai dari 10 kali (PMI Setempat), 25 kali (Bupati/Walikota), 50 dan 75 kali (Gubernur), hingga penghargaan tertinggi Satya Lancana Kebaktian Sosial dari Presiden RI untuk donor 100 kali. Sistem penghargaan ini membantu menjaga retensi donor yang sudah memenuhi syarat.

Tantangan Kritis dan Strategi Respons PMI

Tantangan Kritis Data Kuantitatif/Kualitatif Strategi Respons PMI Implikasi Strategis
Kebutuhan Mendesak Defisit 7% dari 5,1 juta kantong/tahun Kampanye Rutin dan Penghargaan DDS Memerlukan database donor terkelola untuk memenuhi kebutuhan kronis yang terjadwal.
Tingginya Angka Deferral Contoh: 64% penolakan di satu event (46/130 berhasil) Komunikasi persuasif & edukasi pra-donor Perlu integrasi teknologi pra-skrining untuk efisiensi operasional UDD.
Logistik Rantai Pasok Kerentanan selama pandemi COVID-19 di BDRS Peningkatan koordinasi PMI/BDRS, standarisasi prosedur Diperlukan investasi dalam infrastruktur pendingin yang tangguh dan terintegrasi.
Limbah Plasma 60.000 liter terbuang; biaya pemusnahan > Rp 6 Miliar/tahun Pengembangan Minipool Cryoprecipitate (MC) Mendesak pengembangan fasilitas fraksinasi plasma nasional untuk efisiensi dan ketersediaan produk turunan.

Inovasi Teknologi dan Prospek Masa Depan

Masa depan pelayanan darah global dan nasional sangat bergantung pada adopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi operasional, keamanan produk darah, dan manajemen donor.

Digitalisasi Manajemen Donor

Digitalisasi terbukti menjadi alat penting dalam manajemen donor dan retensi. Tren global menunjukkan penggunaan aplikasi donor darah seluler yang memfasilitasi pengisian kuesioner kesehatan secara digital sebelum donasi. Penerapan kuesioner digital ini mampu mengurangi angka penolakan (deferral) hingga 31.9% dibandingkan dengan kuesioner kertas konvensional. Selain itu, donor yang menggunakan aplikasi digital menunjukkan interval donasi yang lebih pendek, membuktikan efektivitas teknologi dalam meningkatkan loyalitas dan retensi donor.

Di Indonesia, inovasi lokal seperti SI NORAH Moewardi telah dikembangkan untuk memanfaatkan teknologi informasi guna meningkatkan jumlah pendonor, mengefektifkan waktu skrining, mengurangi penggunaan kertas, dan meningkatkan efisiensi SDM UTDRS. Penggunaan sistem digital memungkinkan PMI bergeser dari sekadar kampanye massa menjadi strategi yang lebih terfokus pada “mempersiapkan donor” melalui edukasi pra-skrining, yang secara langsung mengatasi masalah tingginya deferral rate yang dihadapi UDD.

Teknologi Penyimpanan Canggih

Teknologi penyimpanan darah terus berkembang untuk mengatasi keterbatasan masa simpan darah konvensional:

  1. Cryopreservation: Inovasi ini melibatkan pembekuan sel darah merah pada suhu sangat rendah, menjadikannya solusi strategis untuk penyimpanan jangka panjang. Cryopreservation memungkinkan pembangunan stok pertahanan nasional, terutama untuk golongan darah langka yang sulit dicari atau untuk persiapan menghadapi bencana besar, menunjukkan pergeseran dari manajemen stok harian menjadi manajemen risiko nasional.
  2. Apheresis Lanjutan: Prosedur Apheresis kini sering dikombinasikan dengan Leukodepletion (penghilangan leukosit) dan uji saring NAT, menghasilkan produk darah dengan keamanan tertinggi. Prosedur ini menjamin darah bebas leukosit dan bebas dari virus berbahaya seperti HIV, Hepatitis B, dan C, sehingga meningkatkan efektivitas transfusi.

Pengembangan Produk Darah Turunan

Untuk mengatasi masalah efisiensi dan keamanan produk darah turunan, pengembangan Kriopresipitat telah diinovasi. Minipool Cryoprecipitate (MC) dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan keamanan dan kandungan Kriopresipitat konvensional yang belum memadai, khususnya untuk pengobatan hemofilia A. MC melibatkan penggabungan Kriopresipitat dari beberapa kantong (hingga 35 kantong), menghasilkan kandungan Faktor VIII yang lebih tinggi dan tingkat keamanan yang lebih baik. Pengembangan produk seperti MC dan upaya untuk memanfaatkan limbah plasma secara keseluruhan merupakan langkah penting menuju kemandirian Indonesia dalam produk farmasi turunan darah, yang saat ini masih terbatas ketersediaannya.

Kesimpulan

Pelayanan donor darah di Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan, berhasil memenuhi 93% dari kebutuhan nasional dan mengadopsi standar keamanan internasional seperti uji saring berlapis (ELISA, Rapid Test, dan NAT untuk kasus tertentu). Keberhasilan historis yang dibangun di atas penemuan imunologi Landsteiner telah menghasilkan sistem UDD yang terstruktur, didukung oleh kerangka regulasi (UU No. 1/2018 dan PP No. 7/2011) yang memosisikan PMI sebagai operator dan Pemerintah sebagai regulator dan penjamin pendanaan.

Meskipun demikian, stabilitas pasokan untuk kebutuhan kronis (misalnya Talasemia) dan efisiensi operasional masih menjadi kendala besar. Tantangan utamanya adalah tingginya deferral rate yang menyiratkan inefisiensi rekrutmen dan kurangnya fraksinasi plasma yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan medis dari limbah plasma yang terbuang.

Berdasarkan analisis terperinci mengenai tantangan operasional dan kemajuan teknologi, tulisan ini menyajikan tiga rekomendasi strategis untuk menjamin pelayanan darah yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan di Indonesia:

  1. Prioritas 1: Implementasi Uji Saring NAT Secara Universal: Pemerintah (Kemenkes dan Pemda) harus memprioritaskan alokasi pendanaan melalui subsidi APBN/APBD untuk mewujudkan implementasi Nucleic Acid Test (NAT) pada 100% donasi darah. Meskipun mahal, NAT adalah standar emas keamanan yang krusial untuk menutup window period infeksi, menjamin darah yang paling aman bagi masyarakat, dan mengurangi risiko penularan penyakit melalui transfusi.
  2. Prioritas 2: Pembangunan dan Kemitraan Fraksinasi Plasma Nasional: Untuk mengatasi pemborosan limbah plasma (60.000 liter/tahun dengan biaya pemusnahan miliaran rupiah), PMI dan Pemerintah harus berinvestasi dalam fasilitas fraksinasi plasma skala nasional. Pemanfaatan plasma ini tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi tetapi juga menjamin ketersediaan produk turunan vital seperti Albumin, Immunoglobulin, dan Minipool Cryoprecipitate (MC) secara mandiri di dalam negeri.
  3. Prioritas 3: Adopsi Digitalisasi untuk Pra-Skrining: Strategi rekrutmen donor harus bergeser dari fokus volume menjadi fokus kualitas. UDD harus mengadopsi teknologi digital secara luas, mencontoh aplikasi donor yang mampu mengurangi angka deferral. Digitalisasi pra-skrining akan memberikan edukasi kesehatan mendalam kepada calon donor sebelum datang, menghemat sumber daya UDD, dan memastikan bahwa hanya donor yang benar-benar memenuhi syarat yang diproses, sehingga meningkatkan efisiensi operasional secara keseluruhan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 24 = 27
Powered by MathCaptcha