Indonesia mengukuhkan posisinya yang signifikan di kancah konservasi global, terutama sebagai negara mega-biodiversity terbesar ketiga di dunia. Jaringan kawasan konservasi Indonesia mencakup 57 Taman Nasional (TN) yang dikelola secara terpusat dan mencakup area sekitar 16 juta hektar daratan. Keunggulan ini diperkuat oleh pengakuan internasional, termasuk enam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Kerangka hukum konservasi di Indonesia, yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, telah mendorong pengembangan model tata kelola berbasis zonasi yang progresif, termasuk pengakuan terhadap Zona Tradisional untuk kepentingan masyarakat adat. Secara finansial, TN telah menunjukkan potensi yang luar biasa. Pendapatan ekowisata, yang dicatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dapat melampaui biaya operasional konservasi; studi kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menunjukkan bahwa PNBP mampu menutup dana konservasi hingga 343%. Namun, keberlanjutan sektor ini dibayangi oleh tantangan konservasi yang kritis, terutama deforestasi skala besar di bentang alam sekitarnya, dengan Indonesia kehilangan 10.7 Mha hutan primer basah sejak tahun 2002. Selain itu, peningkatan pendapatan dari pariwisata membutuhkan peningkatan mendesak dalam standar keselamatan dan sertifikasi, seperti yang disoroti dalam pengelolaan TN Rinjani.
Dalam konteks regional ASEAN, Indonesia adalah kontributor utama program ASEAN Heritage Parks (AHP). Analisis menunjukkan bahwa efektivitas manajemen kawasan lindung secara positif berkorelasi dengan pengawetan stok karbon hutan di seluruh jaringan PA ASEAN. Meskipun demikian, Indonesia (12.66 juta turis asing pada 2024) masih perlu mengelola volume pariwisata yang lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (>35 juta) dan Malaysia (22.5 juta) , yang mengindikasikan bahwa negara-negara tetangga mungkin memiliki basis pendapatan pariwisata yang lebih besar yang dapat dialokasikan untuk konservasi.
Kerangka Institusional dan Regulasi Taman Nasional Indonesia
Landasan Hukum dan Definisi Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Landasan operasional pengelolaan Taman Nasional (TN) di Indonesia berakar pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Regulasi ini menjadi payung hukum utama yang mengklasifikasikan TN sebagai bagian dari Kawasan Pelestarian Alam (KPA), berbeda dengan Kawasan Suaka Alam (KSA), yang mencakup Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.
Berdasarkan UU 5/1990, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli. Kawasan ini dikelola menggunakan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, termasuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Definisi yang inklusif ini menciptakan mandat ganda bagi pengelola TN: menjaga integritas ekosistem asli sambil mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan. KSA, di sisi lain, ditujukan untuk membiarkan populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
Pilihan kebijakan untuk mendefinisikan TN sebagai KPA, yang memungkinkan pemanfaatan, secara inheren menciptakan ketegangan dalam pengelolaan. TN dituntut untuk menghasilkan pendapatan dari pariwisata (PNBP), yang dapat menempatkan tekanan pada manajer untuk memprioritaskan volume pengunjung. Hal ini berpotensi mengancam tujuan utama pelestarian ekosistem asli jika daya dukung lingkungan terlampaui. Untuk mendukung tujuan konservasi, landasan hukum ini juga mengatur pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta menetapkan ketentuan pidana yang berat. Pelanggaran yang disengaja dapat dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00. Meskipun ancaman hukum ini sangat tegas, prevalensi degradasi lingkungan yang terdeteksi di seluruh bentang alam Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara kekuatan hukum (de jure) dan kapasitas penegakan (de facto), terutama di kawasan TN yang luas dan terpencil.
Sistem Zonasi dan Tata Kelola Kawasan
Pengelolaan TN di Indonesia diatur secara ketat melalui sistem zonasi yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang harus dievaluasi secara berkala untuk kepentingan pengelolaan. PP No. 68 Tahun 1998 menegaskan bahwa penetapan zona-zona pada Kawasan Taman Nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasan, yang berarti pembagian zona tidak selalu sama pada setiap TN.
Dalam implementasinya, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) telah mengadopsi strategi pengelolaan modern, termasuk pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort. Strategi ini mencakup upaya perlindungan dan pengamanan intensif serta pemulihan ekosistem. Pendekatan berbasis resort merupakan pergeseran strategis dari manajemen terpusat yang bersifat monolitik menuju unit-unit yang lebih terperinci dan akuntabel di tingkat lokal. Hal ini dirancang untuk meningkatkan efektivitas perlindungan dan mempercepat respons terhadap ancaman di kawasan TN yang luas.
Salah satu aspek kebijakan yang paling progresif adalah integrasi dimensi sosial dan budaya ke dalam zonasi. Pemerintah telah berupaya mengakomodasi kepentingan tradisional, budaya, dan ritual masyarakat adat. Sebagai hasilnya, hampir 22% usulan wilayah adat di kawasan konservasi sudah masuk dalam kategori Zona Tradisional. Formalisasi Zona Tradisional ini secara langsung bertujuan untuk mengurangi konflik historis antara otoritas konservasi dan masyarakat lokal. Dengan memberdayakan masyarakat dan mengakui peran mereka, Indonesia berupaya mencapai tata kelola yang efektif dan adil , menjadikan konservasi sebagai sumber pemberdayaan daripada sumber konflik. Hal ini sangat penting untuk stabilitas jangka panjang TN di pulau-pulau besar seperti Papua dan Kalimantan.
Cakupan dan Skala Taman Nasional Indonesia
Indonesia memiliki salah satu jaringan kawasan konservasi darat dan laut terbesar secara global. Data resmi menunjukkan terdapat 57 Taman Nasional di Indonesia, yang secara keseluruhan mencakup sekitar 16 juta hektar daratan. Angka ini setara dengan lebih dari 18.9% dari total daratan Indonesia. Status Indonesia sebagai negara mega biodiversity terbesar ketiga di dunia didukung oleh keberadaan 13 tipe ekosistem daratan dan enam tipe ekosistem perairan yang dilindungi.
Jaringan TN ini tersebar secara merata, mencerminkan kekayaan ekosistem kepulauan. Misalnya, Pulau Kalimantan memiliki 9 TN yang secara spesifik dirancang untuk melindungi hutan hujan tropis dan habitat Orangutan. Papua memiliki 6 TN, termasuk Taman Nasional Lorentz, yang merupakan salah satu TN terluas di dunia. Sementara itu, wilayah Nusa Tenggara memiliki 5 TN yang melindungi ekosistem savana dan laut yang unik.
Selain kawasan daratan, Indonesia juga menunjukkan komitmen besar terhadap konservasi laut, dengan 9 dari 57 TN didominasi lingkungan perairan. Hingga tahun 2023, Indonesia memiliki lebih dari 411 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang mencakup total 28.4 juta hektar. Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan cakupan KKP menjadi 32.5 juta hektar pada tahun 2030, dan mencapai 97.5 juta hektar (10% dari perairan teritorial) pada tahun 2045. Target jangka panjang ini memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam konservasi laut di tingkat global, khususnya dalam menjaga ekosistem Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).
Profil Ekologis, Satwa Kunci, dan Status Warisan Internasional
Konservasi Satwa Kunci dan Ancaman Kepunahan
Taman Nasional Indonesia berfungsi sebagai benteng konservasi bagi sejumlah spesies endemik dan terancam punah yang sangat vital bagi keanekaragaman hayati global.
- Biawak Komodo dan Keanekaragaman Laut: Taman Nasional Komodo (TN Komodo), ditetapkan pada 1980, merupakan satu-satunya habitat alami kadal terbesar di dunia, Varanus komodoensis. Konservasi Biawak Komodo dijaga ketat dengan melibatkan masyarakat setempat. Selain satwa darat, perairan Komodo diakui oleh para penyelam sebagai salah satu tempat menyelam terbaik di dunia, berkat biota bawah lautnya yang menakjubkan.
- Mega-fauna Sumatera: Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah rumah terbesar bagi Orangutan Sumatera (Pongo abelii). TNGL, bersama dengan TN Kerinci Seblat dan TN Bukit Barisan Selatan, merupakan komponen utama dari Situs Warisan Dunia UNESCO Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS). Selain Orangutan, TNGL juga merupakan habitat kunci bagi Harimau Sumatera dan Gajah Sumatera.
- Konservasi Badak: Upaya perlindungan badak menunjukkan keragaman model pengelolaan. Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di TN Ujung Kulon telah menunjukkan peningkatan. Pengelolaan TN Ujung Kulon, yang merupakan lingkungan terisolasi dan terkontrol, memungkinkan keberhasilan perlindungan insitu. Sebaliknya, Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) menghadapi tantangan yang lebih besar karena populasi yang tersebar di Kawasan Ekosistem Leuser. Upaya konservasi Badak Sumatera memerlukan intervensi intensif, termasuk konsolidasi populasi dan translokasi ke pusat penangkaran semi-situ (Sumatran Rhino Sanctuary) di TN Way Kambas. Perbedaan status konservasi ini menunjukkan bahwa kompleksitas tantangan konservasi sangat bergantung pada skala dan fragmentasi habitat, yang menuntut model manajemen yang berbeda secara fundamental (perlindungan pasif versus intervensi aktif).
Pengakuan Internasional (UNESCO dan AHP)
Pengakuan dari lembaga internasional seperti UNESCO dan ASEAN memberikan validasi pentingnya TN Indonesia dalam konteks warisan alam global. Indonesia memiliki jaringan TN yang diakui secara luas, termasuk enam Situs Warisan Dunia UNESCO. Situs-situs ini meliputi Taman Nasional Komodo (diakui 1991), Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz di Papua (diakui 1999), dan tiga TN yang tergabung dalam Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan).
Selain itu, Indonesia berperan aktif dalam Program ASEAN Heritage Parks (AHP), sebuah jaringan kawasan lindung yang ditetapkan untuk menyoroti area konservasi penting di kawasan ASEAN. Hingga tahun 2024, terdapat 57 kawasan lindung di bawah Program AHP. Indonesia telah berhasil menominasikan dan menetapkan beberapa TN sebagai AHP, termasuk Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan Taman Nasional Wakatobi. TN Wakatobi, yang dikenal memiliki keragaman karang dan sumber daya laut tertinggi di dunia, juga diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Pengakuan berlipat ganda ini—WHS, AHP, dan Cagar Biosfer—menggarisbawahi nilai ekologis global TN Indonesia dan memicu tanggung jawab global serta potensi untuk mobilisasi pendanaan internasional.
Table 3.3: Status Konservasi Internasional Taman Nasional Kunci Indonesia
Taman Nasional (TN) | Pulau/Wilayah | Status UNESCO WHS | Status ASEAN Heritage Park (AHP) | Spesies Kunci Indikator | Tahun WHS/AHP |
Komodo | Nusa Tenggara Timur | Ya (1991) | Ya | Biawak Komodo, Biota Laut | 1991 |
Lorentz | Papua | Ya (1999) | Ya | Ekosistem Terluas & Puncak Bersalju | 1999 |
TRHS (Leuser, Kerinci, Bukit Barisan) | Sumatera | Ya (WHS Tunggal) | Ya (Leuser) | Badak, Harimau, Gajah, Orangutan Sumatera | WHS |
Ujung Kulon | Jawa Barat | Ya | Ya | Badak Jawa | WHS |
Wakatobi | Sulawesi Tenggara | Biosphere Reserve | Ya | Keanekaragaman Karang Tertinggi | 2017 (AHP) |
Model Pengelolaan dan Kontribusi Ekonomi Ekowisata
Analisis Keuangan: Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Pengelolaan TN di Indonesia semakin terintegrasi dengan fungsi ekonomi, di mana ekowisata dipandang sebagai mekanisme kritis untuk mencapai swasembada finansial konservasi. Penerimaan dari kegiatan ekowisata dikategorikan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang wajib disetor langsung ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Potensi keberlanjutan finansial ini telah terbukti secara empiris. Studi mengenai manfaat ekonomi di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas wisata alam tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional, tetapi juga mencapai 343% dari dana konservasi yang dibutuhkan. Selain itu, aktivitas ini memberikan dampak sosial-ekonomi yang signifikan, menyumbang 66% dari total pendapatan rumah tangga masyarakat sekitar kawasan, yang secara langsung menghubungkan konservasi dengan pengentasan kemiskinan lokal.
Struktur PNBP terbaru, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024, mencakup tarif yang detail. Tarif tiket masuk untuk wisatawan nusantara (Wisnus) adalah sekitar Rp 1.500 per orang per hari untuk kelas 2 , menunjukkan aksesibilitas yang tinggi bagi masyarakat domestik. Selain tiket masuk, pungutan juga dikenakan untuk berbagai kegiatan khusus, seperti pengambilan gambar, penggunaan fasilitas, dan menerbangkan drone, dengan tarif yang lebih tinggi.
Kasus TN Gunung Rinjani mencontohkan keberhasilan finansial ini, di mana PNBP mencapai Rp 22.5 Miliar. Namun, tingginya pendapatan ini memunculkan paradoks PNBP: tuntutan untuk memaksimalkan pendapatan harus diimbangi dengan keharusan untuk menjaga integritas konservasi dan keselamatan pengunjung. Anggota parlemen telah menyoroti perlunya penguatan sertifikasi pemandu, pembatasan jumlah pendaki harian, dan peningkatan pengawasan keselamatan. Kegagalan dalam menginvestasikan PNBP secara efektif untuk meningkatkan standar manajemen, keselamatan, dan pemulihan ekosistem dapat membahayakan tujuan konservasi jangka panjang.
Table 4.2: Dampak Ekonomi Ekowisata TN Indonesia (Data Kunci)
Indikator Ekonomi/Pendanaan | Nilai Kuantitatif | Implikasi Pengelolaan | Sumber Data/Studi |
Kontribusi Pendapatan Masyarakat | 66% dari total pendapatan rumah tangga | Ekowisata berperan sentral dalam pengentasan kemiskinan di sekitar kawasan konservasi. | TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) |
Pemenuhan Biaya Konservasi (PNBP) | Mencapai 343% dari dana konservasi | Menunjukkan potensi swasembada finansial yang sangat tinggi. | TNGHS |
Target Kunjungan Wisnus (2015-2019) | 20 Juta Orang (Tercapai 31.8 Juta) | Target berhasil dilampaui, menunjukkan tingginya permintaan domestik. | Renstra KSDAE |
Penerimaan PNBP Rinjani | Rp 22.5 Miliar | Indikator potensi pendapatan tinggi di TN favorit. | TN Gunung Rinjani |
Tantangan Konservasi dan Mitigasi Risiko
Meskipun memiliki kerangka hukum yang kuat dan potensi pendanaan yang besar, Taman Nasional di Indonesia menghadapi tekanan antropogenik yang terus menerus.
Deforestasi dan Kehilangan Hutan Primer
Laju kehilangan hutan di bentang alam Indonesia merupakan ancaman struktural terhadap integritas TN. Data menunjukkan bahwa dari tahun 2002 hingga 2024, Indonesia kehilangan 10.7 Mha hutan primer basah, yang menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon secara nasional. Secara keseluruhan, kehilangan tutupan pohon mencapai 32.0 Mha antara 2001 dan 2024, setara dengan emisi 23.2 Gt CO2.
Kehilangan hutan dalam skala lanskap ini menciptakan “efek tumpahan” (spillover effect) yang mengisolasi kawasan TN. Meskipun batas-batas TN dilindungi secara hukum, deforestasi di sekitarnya mengurangi konektivitas ekologis yang penting bagi mega-fauna (misalnya, koridor jelajah Orangutan Sumatera dari TNGL) dan meningkatkan kerentanan TN terhadap kebakaran hutan dan invasi spesies. Kenyataan bahwa 57% kehilangan tutupan pohon terjadi di hutan alam menunjukkan bahwa tantangan konservasi tidak hanya ada di batas-batas TN, tetapi juga dalam pengelolaan wilayah buffer dan hutan di sekitarnya. Kerusakan ini juga memiliki implikasi kritis terhadap iklim; kehilangan 23.2 Gt CO2 menempatkan integritas TN sebagai aset penting dalam mencapai target mitigasi iklim nasional dan global (Perjanjian Paris).
Perlindungan, Penegakan Hukum, dan Perburuan Liar
Perlindungan kawasan konservasi didukung oleh rangkaian regulasi yang komprehensif, termasuk UU No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ancaman utama yang harus dihadapi adalah perburuan liar, yang seringkali merupakan bagian dari aktivitas kriminal terorganisir dan dapat melibatkan pembakaran hutan.
Untuk mengatasi ancaman ini, strategi pengelolaan telah difokuskan pada perlindungan dan pengamanan intensif kawasan konservasi, yang merupakan salah satu arahan kebijakan utama KSDAE. Namun, insiden perburuan dan penebangan ilegal, seperti pembabatan pohon jati di TN Baluran , menunjukkan bahwa penegakan hukum harus terus diperkuat. Pengelolaan yang efektif memerlukan alokasi sumber daya yang memadai untuk unit manajemen berbasis resort agar dapat memberikan respons cepat dan mencegah aktivitas ilegal secara proaktif.
Benchmarking Regional: Perbandingan Tata Kelola Konservasi di ASEAN
Jaringan Kawasan Lindung ASEAN
Asia Tenggara merupakan titik panas keanekaragaman hayati dan menghadapi tekanan deforestasi yang serupa. Jaringan kawasan lindung di delapan negara ASEAN—termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina—memainkan peran yang tak tergantikan dalam konservasi global. Analisis menunjukkan bahwa jaringan PA di kawasan ini secara efektif melindungi hutan dan stok karbonnya.
Hubungan langsung ditemukan antara efektivitas manajemen kawasan lindung dan hasil konservasi: tingkat sumber daya dan efektivitas manajemen yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan pengurangan emisi karbon yang lebih besar. Hal ini menjadi justifikasi penting bahwa kawasan tropis seperti TN Indonesia bukan hanya benteng biodiversitas, tetapi juga infrastruktur mitigasi iklim yang penting. Temuan ini mendukung rekomendasi kepada para penyandang dana untuk meningkatkan stimulus finansial untuk perlindungan, mengingat kurang dari 3% pendanaan mitigasi iklim global saat ini diarahkan pada strategi berbasis hutan.
ASEAN Heritage Parks (AHP)
Program AHP adalah program unggulan regional yang bertujuan untuk menghasilkan kesadaran, apresiasi, dan kolaborasi yang lebih besar di antara negara-negara anggota ASEAN (AMS) dalam melestarikan warisan alam bersama. Hingga tahun 2024, program AHP mencakup 57 kawasan lindung, yang totalnya mencakup area 136,600 km persegi.
Indonesia adalah salah satu kontributor utama program ini, dengan TN Komodo dan TN Lorentz termasuk dalam daftar AHP , serta penetapan TN Kepulauan Seribu dan TN Wakatobi. Kontribusi ini menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam penetapan standar konservasi regional. Negara-negara anggota lainnya juga menunjukkan komitmen yang kuat, seperti:
- Malaysia: TN Taman Negara dan TN Gunung Mulu, yang berfokus pada hutan hujan primer tropis.
- Thailand: TN Khao Yai dan TN Tarutao, yang fokus pada keanekaragaman satwa liar dan ekowisata darat/pulau.
- Vietnam: TN Bidoup Núi Bà dan TN Côn Đảo, yang melindungi hutan pegunungan dan ekosistem pesisir.
Perbedaan fokus ini menunjukkan spesialisasi masing-masing negara; Indonesia menunjukkan keunggulan khusus dalam konservasi laut dan kepulauan (Wakatobi, Kepulauan Seribu), sementara negara-negara ASEAN daratan sering menyoroti taman nasional berbasis hutan hujan kontinental. AHP berfungsi sebagai platform penting bagi Indonesia untuk membandingkan praktik manajemen, termasuk model berbasis resort , dengan standar regional. Table 6.2: Perbandingan Partisipasi Program AHP di ASEAN (2024)
Negara Anggota | Jumlah ASEAN Heritage Parks (AHP) | Contoh AHP Kunci | Fokus Utama yang Tercermin |
Indonesia | Terdapat lebih dari 12 AHP | Lorentz NP, Wakatobi NP | Mega-biodiversity daratan, Konservasi Laut (Coral Triangle) |
Malaysia | Terdapat lebih dari 6 AHP | Taman Negara NP, Endau-Rompin NP | Hutan Hujan Primer Tropis, Ekosistem Pegunungan |
Thailand | Terdapat lebih dari 8 AHP | Khao Yai NP, Mu Ko Ang Thong NP | Keanekaragaman Satwa Liar, Ekowisata Darat dan Pulau |
Filipina | Terdapat lebih dari 4 AHP | Pasonanca Natural Park, Mt. Inayawan Range Natural Park | Gunung Berapi dan Konservasi Pegunungan |
Vietnam | Terdapat lebih dari 6 AHP | Bidoup Núi Bà NP, Côn Đảo NP | Hutan Pegunungan dan Pesisir |
Perbandingan Tren Pariwisata dan Pendanaan
Sektor pariwisata internasional di ASEAN menunjukkan pemulihan pasca-pandemi yang kuat, meskipun dengan distribusi yang asimetris. Pada tahun 2024, Thailand mencatat lebih dari 35 juta pengunjung, Vietnam mencapai rekor 17.5 juta, dan Malaysia menyambut 22.5 juta turis. Indonesia, dengan 12.66 juta turis asing pada periode yang sama, mencatat pertumbuhan yang signifikan, tetapi volume absolutnya masih di bawah beberapa negara tetangga utama.
Tingginya volume pariwisata di negara-negara tetangga menunjukkan potensi pendapatan pariwisata yang sangat besar yang dapat dialokasikan untuk konservasi. Bagi Indonesia, metrik kunci adalah efisiensi dalam mengkonversi PNBP yang dihasilkan dari ekowisata menjadi dana konservasi yang efektif di seluruh jaringan TN (57 situs). Pendapatan tinggi dari TN populer, seperti Rinjani, harus dialokasikan secara adil untuk mendukung unit-unit di wilayah terpencil (Papua, Kalimantan) yang mungkin memiliki volume pariwisata rendah, tetapi signifikansi ekologis yang tinggi. Hal ini menuntut sistem manajemen anggaran yang transparan dan terdistribusi untuk memastikan efektivitas pengelolaan merata di seluruh kawasan konservasi.
Kesimpulan
Indonesia mempertahankan posisi kepemimpinan dalam konservasi biodiversitas tropis melalui jaringan 57 Taman Nasional yang didukung oleh kerangka hukum komprehensif (UU 5/1990). Model pembiayaan berbasis ekowisata (PNBP) telah terbukti mampu mencapai swasembada finansial konservasi, bahkan di tingkat operasional. Namun, dualitas mandat antara pemanfaatan dan pelestarian menghadirkan risiko kritis. Tekanan deforestasi eksternal yang masif (kehilangan 10.7 Mha hutan primer) secara fundamental mengancam integritas TN, sementara keberhasilan pariwisata internal harus dikelola dengan pembatasan daya dukung dan peningkatan standar keselamatan. Secara regional, Indonesia berperan penting dalam AHP dan konservasi laut, tetapi harus memanfaatkan korelasi antara manajemen yang efektif dan pengawetan karbon untuk menarik pendanaan iklim yang lebih besar.
Rekomendasi Strategis untuk Peningkatan Kinerja Taman Nasional
Berdasarkan analisis kondisi internal dan perbandingan regional, strategi pengelolaan Taman Nasional Indonesia harus fokus pada penguatan kapasitas manajemen, keberlanjutan finansial yang bertanggung jawab, dan integrasi lanskap yang lebih luas.
- Meningkatkan Kualitas PNBP Melalui Pengelolaan Daya Dukung: Prioritas harus dialihkan dari memaksimalkan volume kunjungan ke peningkatan kualitas pengalaman dan kepatuhan konservasi. Penerapan pembatasan jumlah pengunjung harian (seperti yang didorong di Rinjani) harus distandardisasi di semua TN berkapasitas tinggi. Sebagian besar PNBP harus dialokasikan kembali secara transparan untuk meningkatkan infrastruktur keselamatan, sertifikasi pemandu, dan patroli perlindungan.
- Mengintegrasikan Konservasi Karbon untuk Menarik Pendanaan Iklim: Karena data regional menunjukkan bahwa efektivitas manajemen berkorelasi langsung dengan pengurangan emisi karbon , Indonesia harus secara eksplisit mengintegrasikan metrik efektivitas manajemen (seperti Management Effectiveness Tracking Tool atau METT) dengan pengukuran stok karbon. Hal ini akan memperkuat justifikasi bagi lembaga keuangan global untuk mengalokasikan stimulus pendanaan konservasi dan REDD+ kepada TN Indonesia, yang berfungsi sebagai penyimpan karbon utama.
- Akselerasi Pengakuan Wilayah Adat: Untuk memitigasi konflik tenurial dan meningkatkan tata kelola kawasan yang adil, proses penetapan Zona Tradisional dan pengakuan wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi harus dipercepat. Kolaborasi yang diformalisasi dengan masyarakat adat akan meningkatkan efektivitas pengamanan dan pengelolaan kawasan lindung berbasis resort.
- Menerapkan Strategi Konservasi Berbasis Lanskap (Beyond Boundaries): Mengatasi ancaman deforestasi tidak dapat dilakukan hanya di dalam batas TN. Diperlukan pengembangan kebijakan dan kerja sama multi-sektor yang kuat untuk melindungi koridor satwa liar di luar batas TN, khususnya di ekosistem terancam seperti Sumatera dan Kalimantan, untuk mengurangi efek isolasi ekologis akibat kehilangan 10.7 Mha hutan primer.
- Memperkuat Kepemimpinan Konservasi Perairan: Investasi harus diprioritaskan untuk mencapai target KKP sebesar 97.5 juta hektar pada 2045. Pengalaman sukses di TN Wakatobi harus direplikasi, dengan fokus pada pengelolaan terumbu karang dan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan ilegal di dalam KKP.
- Peningkatan Kapasitas Penegakan Hukum Regional: Mengintensifkan kolaborasi regional dalam kerangka AHP untuk memerangi perburuan liar dan perdagangan satwa liar transnasional. Meskipun sanksi hukum di Indonesia sudah berat , koordinasi lintas batas sangat penting mengingat sifat transnasional dari ancaman-ancaman ini.