Indonesia memegang posisi yang tak tertandingi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Struktur geografis ini, yang terdiri dari ribuan pulau yang dikelilingi lautan luas, menempatkan isu batas maritim sebagai pilar utama kedaulatan nasional dan stabilitas regional. Penentuan batas laut tidak hanya berfungsi untuk mengamankan wilayah teritorial tetapi juga untuk menjamin hak berdaulat atas sumber daya alam serta menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman luar. Oleh karena itu, kerangka hukum laut Indonesia merupakan hasil perjuangan geopolitik dan diplomatik yang panjang untuk mendapatkan pengakuan internasional atas status uniknya.
Deklarasi Djuanda (1957) sebagai Titik Balik Sejarah Hukum Laut Nasional
Fondasi bagi penetapan batas laut Indonesia saat ini diletakkan pada 13 Desember 1957, melalui Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini dicetuskan oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja, sebagai upaya mendasar untuk memperkokoh kedaulatan negara. Isinya menyatakan kepada dunia bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.
Secara historis, sebelum deklarasi ini, hukum laut kolonial (berdasarkan prinsip mare liberum) memisahkan pulau-pulau Indonesia dengan lautan bebas, yang berarti perairan di antara pulau-pulau besar dianggap sebagai laut lepas dan terbuka bagi pelayaran tanpa izin. Deklarasi Djuanda secara radikal menentang konsep ini dan menjadi landasan filosofis bagi perjuangan Indonesia dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) untuk mendapatkan pengakuan sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State). Keberhasilan perjuangan ini, yang puncaknya diakui dalam UNCLOS 1982, merupakan kemenangan geopolitik yang mentransformasi peta dunia. Tanpa pengakuan ini, wilayah perairan antar-pulau Indonesia akan dianggap Laut Lepas, sebuah kondisi yang akan menciderai ide awal pembentukan nusantara dan berpotensi membahayakan NKRI. Pengakuan status Negara Kepulauan memastikan kedaulatan teritorial yang terpadu, yang vital bagi integrasi nasional.
Kerangka Hukum Internasional dan Prinsip Negara Kepulauan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan Pengesahan Nasional
Kerangka hukum internasional utama yang mengatur batas laut Indonesia adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Konvensi ini, yang dihasilkan dari Konferensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) dan disetujui di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982, diakui sebagai puncak karya PBB tentang hukum laut dan telah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia.
Indonesia secara resmi mengesahkan UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Ratifikasi ini mengikuti prinsip bahwa seluruh ketentuan Konvensi harus diterima sebagai satu kesatuan utuh (one package deal). Konvensi ini secara eksplisit melarang negara-negara melakukan pensyaratan (reservation) terhadap ketentuan-ketentuannya. Konsekuensi langsung dari ratifikasi dan pengakuan asas Negara Kepulauan adalah perairan yang sebelumnya merupakan bagian dari Laut Lepas kini bertransformasi menjadi “perairan kepulauan,” yang berarti perairan tersebut berada di bawah yurisdiksi Republik Indonesia.
Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle)
Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle), yang merupakan inti dari kedaulatan maritim Indonesia, memungkinkan negara yang terdiri dari gugusan pulau untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight baseline) yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluarnya. Prinsip ini pada hakikatnya adalah penerapan prinsip garis pangkal lurus yang secara khusus diperuntukkan bagi negara kepulauan. Dalam delineasi batasnya, Indonesia menggunakan daftar koordinat geodetik (garis lingkar dan garis bujur) untuk mendefinisikan batas terluar dari berbagai wilayah perairan yurisdiksi, termasuk Laut Teritorial, Zona Tambahan, ZEE, dan Landas Kontinen.
Pengakuan kedaulatan penuh melalui UNCLOS 1982 atas Perairan Kepulauan (wilayah di dalam garis pangkal) mengandung kondisi penting yang menciptakan tegangan permanen antara kepentingan keamanan nasional dan kepentingan navigasi internasional. UNCLOS mewajibkan Indonesia untuk menghormati kepentingan masyarakat internasional, khususnya masalah pelayaran dan penerbangan. Oleh karena itu, Indonesia wajib menyediakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes Passage atau ALKI). Hal ini merupakan kompensasi yang disyaratkan oleh komunitas internasional agar bersedia mengakui klaim Archipelagic State. Konsekuensinya, kedaulatan Indonesia di perairan kepulauan bersifat terbatas secara fungsional oleh hak lintas ini, menjadikannya berbeda dari perairan internal murni, namun tetap penting untuk menjaga lalu lintas maritim global melalui jalur strategis Indonesia.
Rezim Yurisdiksi Maritim Indonesia (Delineasi dan Hak Berdaulat)
Batas laut Indonesia ditarik dari Garis Pangkal Kepulauan dan secara hierarkis terbagi menjadi empat rezim yurisdiksi maritim utama yang diatur oleh UNCLOS 1982.
Laut Teritorial (Territorial Sea)
Laut Teritorial merupakan wilayah kedaulatan penuh Indonesia. Delineasi Laut Teritorial diukur dari garis dasar atau garis pangkal hingga maksimal 12 mil laut (sekitar 22,224 km). Di wilayah ini, Indonesia memiliki kedaulatan penuh yang mencakup perairan laut, dasar laut, subsoil di bawahnya, dan ruang udara di atasnya. Kedaulatan ini hanya dibatasi oleh kewajiban untuk memberikan hak lintas damai (innocent passage) bagi kapal asing, meskipun negara berhak mencegah atau menghentikan kapal yang aktivitasnya merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan nasional.
Zona Tambahan (Contiguous Zone – ZT)
Zona Tambahan adalah sabuk perairan yang meluas hingga 24 mil laut dari garis pangkal. Berbeda dari Laut Teritorial, ZT bukan wilayah kedaulatan penuh melainkan wilayah
yurisdiksi fungsional. Kewenangan Indonesia di ZT terbatas pada pelaksanaan fungsi pengawasan dan penegakan hukum dalam rangka mencegah dan menghukum pelanggaran yang terjadi di luar ZT, khususnya di empat bidang spesifik (dikenal sebagai CFIS) :
- Customs (Bea Cukai)
- Fiscal (Fiskal)
- Immigration (Imigrasi)
- Sanitary (Sanitasi)
Meskipun Pasal 33 UNCLOS 1982 telah memberikan kewenangan ini, Indonesia hingga saat ini belum mengundangkan rezim Zona Tambahan secara spesifik. Ketiadaan regulasi ini menimbulkan legal vacuum dalam pencegahan kejahatan maritim fungsional. Pakar hukum laut Indonesia telah menekankan bahwa belum adanya undang-undang ZT membatasi penerapan hak pengejaran seketika (hot pursuit) dan mempersulit penanggulangan kejahatan transnasional, seperti penyelundupan manusia atau barang, yang sering terjadi di zona antara 12 dan 24 mil laut. Kegagalan mengundangkan UU ZT (padahal negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Australia telah melakukannya) melemahkan daya tangkal preventif Indonesia dan menuntut penegak hukum menunggu kapal pelanggar masuk ke Laut Teritorial (12 mil) sebelum dapat bertindak secara hukum yang kuat.
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone – ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah daerah di luar Laut Teritorial yang membentang hingga 200 mil laut dari garis pangkal. Indonesia mengumumkan penetapan ZEE selebar 200 mil ini pada Maret 1980. Di ZEE, Indonesia tidak memiliki kedaulatan penuh, melainkan hak berdaulat (sovereign rights) atas pemanfaatan sumber daya. Hak-hak berdaulat ini mencakup eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan konservasi seluruh sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati. Selain itu, Indonesia memiliki yurisdiksi terkait penelitian ilmiah kelautan dan perlindungan lingkungan laut. Meskipun demikian, negara lain tetap menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE Indonesia, selama aktivitas mereka tidak melanggar hak berdaulat Indonesia.
Landas Kontinen (Continental Shelf – LC)
Landas Kontinen adalah perpanjangan geologis dari massa daratan Negara Pantai yang mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya (subsoil). Di Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral. Secara jarak, LC meluas minimal 200 mil laut dari garis pangkal, dan berpotensi diperpanjang hingga maksimal 350 mil laut (Landas Kontinen Ekstensi), asalkan memenuhi kriteria geologis dan geomorfologis ketat yang diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982.
Secara nasional, Landas Kontinen Indonesia masih diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973. UU ini, yang didasarkan pada kerangka hukum sebelum UNCLOS 1982, memerlukan penyesuaian signifikan agar selaras dengan ketentuan konvensi yang lebih baru. Ketidakselarasan hukum ini menghambat upaya Indonesia untuk secara efektif mengajukan klaim Landas Kontinen Ekstensi di wilayah strategis (seperti di sebelah utara Papua, Aceh, dan selatan Jawa/Nusa Tenggara) kepada Komisi Batas-batas Landas Kontinen (CLCS). Penyesuaian hukum nasional adalah prasyarat teknis dan legal untuk memaksimalkan hak berdaulat atas potensi mineral di Landas Kontinen Ekstensi. Penetapan batas LC dengan negara tetangga dilakukan melalui perundingan kesepakatan.
Perbedaan mendasar dalam tipe yurisdiksi dan kewenangan yang dimiliki Indonesia atas berbagai zona maritim dapat dirangkum dalam tabel komparatif berikut:
Table 1: Perbandingan Rezim Yurisdiksi Maritim Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982
Zona Maritim | Lebar Maksimal (Dari Garis Pangkal) | Tipe Yurisdiksi | Hak Utama Indonesia | Hak Negara Lain (Pembatasan Kedaulatan/Yurisdiksi) |
Perairan Kepulauan | Di dalam Garis Pangkal Kepulauan | Kedaulatan Penuh | Kedaulatan penuh atas air, dasar laut, subsoil, dan udara. | Wajib menghormati Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (ALKI). |
Laut Teritorial (LT) | 12 Mil Laut | Kedaulatan Penuh | Kedaulatan Penuh. | Tunduk pada Hak Lintas Damai (Innocent Passage). |
Zona Tambahan (ZT) | 24 Mil Laut | Yurisdiksi Fungsional | Pencegahan pelanggaran Pabean, Fiskal, Imigrasi, dan Sanitasi (CFIS). | Bebas navigasi penuh selain yurisdiksi CFIS. |
ZEE (Exclusive Economic Zone) | 200 Mil Laut | Hak Berdaulat | Eksplorasi/Eksploitasi SDA (hayati & non-hayati), yurisdiksi perlindungan lingkungan. | Kebebasan pelayaran dan penerbangan (Hak ZEE). |
Landas Kontinen (LC) | 200 Mil hingga 350 Mil | Hak Berdaulat | Eksplorasi/Eksploitasi mineral di dasar laut dan subsoil. | Air di atas Landas Kontinen tetap rezim Laut Lepas atau ZEE. |
Tantangan Geopolitik dan Status Perundingan Batas Maritim
Penetapan batas maritim membutuhkan proses diplomasi bilateral yang intens. Indonesia menghadapi beberapa sengketa dan perundingan batas yang kompleks, terutama dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Sengketa Landas Kontinen/ZEE Ambalat (Indonesia–Malaysia)
Sengketa Ambalat merupakan salah satu isu maritim terpanjang Indonesia, melibatkan klaim tumpang tindih atas Landas Kontinen dan ZEE di Laut Sulawesi (wilayah yang disebut Malaysia sebagai Blok ND6 dan ND7). Sengketa ini telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan setelah Perjanjian Batas Landas Kontinen RI-Malaysia tahun 1969. Sengketa ini dipicu oleh peta Malaysia tahun 1979 yang mengklaim wilayah tersebut.
Perundingan untuk menyelesaikan sengketa Landas Kontinen Ambalat telah mencapai 43 putaran sejak tahun 2005 dan masih terus berlanjut karena kompleksitasnya. Pada tahun 2024, baik Indonesia maupun Malaysia menegaskan komitmen untuk menyelesaikan masalah ini secara damai melalui jalur diplomasi, sejalan dengan prinsip-prinsip ASEAN. Sebagai pendekatan pragmatis terhadap potensi sumber daya non-hayati di wilayah irisan, Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyepakati wacana pengelolaan bersama (joint development) jika ditemukan adanya peluang ekonomi. Strategi joint development ini memungkinkan kedua negara untuk melanjutkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral statis (minyak dan gas) tanpa harus segera menyelesaikan delineasi garis batas permanen, yang secara politis jauh lebih sulit untuk disepakati daripada batas ZEE.
Tantangan Klaim Nine-Dash Line di Laut Natuna Utara (LNU)
Laut Natuna Utara (LNU), yang merupakan bagian dari Laut Tiongkok Selatan, adalah wilayah ZEE Indonesia di mana Indonesia memiliki hak berdaulat penuh berdasarkan UNCLOS 1982. Namun, wilayah ini menjadi sumbu konflik geopolitik karena tumpang tindih dengan klaim sepihak Tiongkok berdasarkan konsep historis Nine-Dash Line.
Meskipun The Arbitral Tribunal of the PCA (2016) telah memutuskan bahwa klaim Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum internasional, Tiongkok terus menunjukkan kepentingannya di lapangan. Ancaman maritim terlihat dari kehadiran Kapal Coast Guard Tiongkok (CCG) yang beroperasi di LNU dan melakukan aktivitas shadowing (penguntitan) terhadap kegiatan eksplorasi migas BUMN Indonesia. Tindakan ini adalah upaya Tiongkok untuk menciptakan “fakta di lapangan” (fait accompli) yang mengikis yurisdiksi Indonesia.
Menghadapi tantangan kedaulatan de jure versus de facto ini, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengadopsi strategi yang melibatkan penguatan postur militer dan pertahanan di Natuna, termasuk pembangunan unit militer baru (sejalan dengan konsep Revolution in Military Affairs atau RMA). Selain penguatan pertahanan, Indonesia juga menggunakan jalur diplomasi melalui ASEAN untuk menentang klaim Tiongkok, meskipun belum ada kesepakatan karena perbedaan mendasar: Indonesia berbasis UNCLOS 1982, sementara Tiongkok berpegang pada Nine-Dash Line. Respon terhadap klaim ini menuntut sinergi antara kemampuan penegakan hukum (Bakamla) dan pertahanan militer (TNI AL).
Status Diplomasi Perundingan Lainnya
Indonesia terus aktif dalam perundingan batas maritim lainnya:
- ZEE dengan Vietnam: Terdapat kemajuan signifikan dalam perundingan batas ZEE dengan Vietnam. Setelah mencapai kesepakatan prinsip, tim teknis Indonesia telah mengajukan permohonan untuk menambahkan mistar perjanjian internasional guna menghitung kemajuan perundingan Implementing Agreement RI-Vietnam, dengan mandat pimpinan untuk diselesaikan pada tahun 2024.
- ZEE dengan Palau: Perundingan batas ZEE dengan Palau masih menghadapi perbedaan mendasar dalam metode penarikan garis. Indonesia mengedepankan konsep proporsionalitas, sedangkan Palau lebih memilih konsep garis tengah (median line atau equidistance).
- Batas yang Sudah Ditetapkan: Beberapa batas maritim telah diselesaikan, seperti Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen (1971) dan Batas Dasar Laut Tertentu (1971) dengan Australia, serta perjanjian garis batas tertentu dengan Papua New Guinea (PNG) pada tahun 1973.
Table 2: Status Diplomasi Batas Maritim Kunci Indonesia (2023–2024)
Negara Mitra | Rezim Batas yang Dirundingkan | Status Terkini (2023-2024) | Isu Kritis / Tantangan Utama | Sumber Daya Relevan |
Malaysia | Landas Kontinen, ZEE (Ambalat) | Perundingan ke-43 masih berlangsung. Komitmen jalur damai dan wacana joint development untuk wilayah irisan. | Klaim tumpang tindih Blok ND6/ND7 di Laut Sulawesi (Ambalat). | Migas (Mineral di Dasar Laut) |
Vietnam | ZEE | Finalisasi Implementing Agreement dilanjutkan, dengan mandat pimpinan untuk diselesaikan segera. | Negosiasi teknis delineasi garis batas ZEE. | Sumber Daya Hayati dan Non-Hayati ZEE. |
Tiongkok | Klaim Nine-Dash Line (di ZEE LNU) | Tidak ada perundingan batas ZEE. Indonesia menolak klaim historis Tiongkok yang melanggar UNCLOS. | Kehadiran CCG dan shadowing kegiatan eksplorasi migas. | Migas, Keamanan Maritim. |
Palau | ZEE | Perbedaan metode penarikan batas (proporsionalitas vs. median line). | Penentuan garis batas definitif. | Sumber Daya Hayati ZEE. |
Penegakan Hukum dan Keamanan Maritim
Penegakan hukum dan perlindungan keamanan maritim adalah aspek vital dalam mempertahankan batas-batas laut Indonesia, melibatkan koordinasi multi-institusional.
Ancaman Keamanan Maritim Utama
Wilayah perairan Indonesia menghadapi ancaman keamanan ganda, baik tradisional (klaim teritorial) maupun non-tradisional.
- IUU Fishing: Meskipun kebijakan tegas pemerintah Indonesia, seperti penenggelaman kapal, telah berhasil mengurangi aktivitas kapal asing hingga lebih dari 90% sejak 2014, IUUF (penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur) masih merugikan negara setidaknya $3 miliar setiap tahun.
- Piracy dan Kejahatan Maritim: Sebuah analisis menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang penting antara penurunan aktivitas IUUF dan peningkatan potensi pembajakan maritim (piracy). Ketika peluang bagi individu, termasuk nelayan lokal yang direkrut oleh organisasi kriminal transnasional, untuk melakukan IUUF berkurang, mereka cenderung beralih ke aktivitas ilegal lain yang menawarkan imbalan tinggi tetapi berisiko tinggi, seperti perompakan atau penyelundupan. Hal ini menunjukkan bahwa strategi keamanan maritim harus adaptif dan memahami bahwa masalah kejahatan laut berakar pada faktor sosio-ekonomi yang kompleks, yang memerlukan solusi selain hanya penegakan hukum keras.
- Pelanggaran Yurisdiksi: Pelanggaran kedaulatan dan yurisdiksi yang paling menonjol pada periode 2024 termasuk aktivitas kapal riset berbendera Tiongkok yang melanggar jalur ALKI, serta kehadiran CCG di LNU yang mengancam kegiatan eksplorasi migas BUMN Indonesia.
Postur Kelembagaan dan Koordinasi Penegakan Hukum
Penegakan kedaulatan dan hukum di laut diampu oleh beberapa lembaga utama:
- Badan Keamanan Laut (Bakamla RI): Bakamla berfungsi sebagai koordinator utama keamanan dan keselamatan laut, menggabungkan kapasitas sipil dan militer. Dalam menghadapi wilayah rawan sengketa seperti Natuna, Bakamla memperkuat kapasitas operasionalnya dengan pengadaan kapal patroli baru dan pembangunan pangkalan militer di Pulau Natuna.
- Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL): TNI AL adalah garda terdepan pertahanan maritim Indonesia. TNI AL memegang peran krusial dalam menjaga kedaulatan (defense) dan keamanan di laut, khususnya dalam merespons ancaman militer atau klaim teritorial.
- Sinergitas: Bakamla menjalin kerja sama erat dengan TNI AL dan Polisi Air (Poltair) untuk melakukan operasi gabungan, khususnya dalam penegakan hukum terhadap kapal asing ilegal di perairan Indonesia dan penanganan kejahatan maritim. Bakamla dipandang sebagai bagian dari strategi besar Indonesia untuk memperkuat kedaulatan, yang semakin penting dalam ambisi Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Strategi Penguatan Kedaulatan Maritim
Untuk memperkuat kedaulatan, terutama di kawasan yang disengketakan, Indonesia telah berupaya meningkatkan postur militer di perbatasan, termasuk pembangunan unit-unit militer baru di Natuna. Namun, terdapat tantangan kapasitas historis yang harus diatasi. Walaupun TNI AL merupakan angkatan laut pribumi terbesar di Asia Tenggara, analisis menunjukkan bahwa inventaris kapalnya kecil, pemeliharaan kapal tidak memadai, dan efektivitas tempur relatif rendah. Peningkatan kapasitas hard power, termasuk modernisasi dan pemeliharaan armada, adalah syarat mendasar untuk dapat mentransformasikan keunggulan hukum de jure (berdasarkan UNCLOS) menjadi kontrol de facto di wilayah maritim yang luas.
Kesimpulan
Indonesia telah berhasil menetapkan kerangka hukum batas lautnya melalui perjuangan Deklarasi Djuanda dan pengakuan konsep Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982. Keberhasilan ini adalah fondasi bagi kedaulatan nasional yang terpadu. Namun, analisis menunjukkan adanya beberapa tantangan struktural dan geopolitik kontemporer:
- Kesenjangan Legislatif Fungsional: Terdapat legal vacuum domestik akibat belum diundangkannya rezim Zona Tambahan (24 mil) secara khusus, yang membatasi kemampuan penegakan hukum Indonesia (CFIS) dan hak pengejaran seketika terhadap kejahatan transnasional di wilayah tersebut.
- Tegangan Yurisdiksi: Kedaulatan Indonesia di Perairan Kepulauan diimbangi oleh kewajiban internasional penyediaan ALKI. Keseimbangan ini menuntut Indonesia untuk mengelola risiko keamanan tanpa menghambat navigasi internasional.
- Diferensiasi Diplomasi: Indonesia menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan strategi diplomatik berdasarkan rezim yang disengketakan—mengupayakan penyelesaian garis batas definitif untuk ZEE (misalnya dengan Vietnam) dan memilih solusi pragmatis joint development untuk mengatasi irisan klaim sumber daya Landas Kontinen (Ambalat dengan Malaysia).
- Ancaman Nine-Dash Line: Klaim sepihak Tiongkok di LNU (ZEE) yang tidak berdasar UNCLOS terus menantang kedaulatan Indonesia, menuntut respons yang terkoordinasi antara penegakan hukum sipil dan pertahanan militer.
Rekomendasi Kebijakan Strategis
Berdasarkan analisis kerangka hukum, yurisdiksi, dan tantangan geopolitik, direkomendasikan empat langkah strategis utama:
- Prioritas Legislasi Zona Tambahan (ZT): Pemerintah dan DPR harus segera memprioritaskan penyelesaian Undang-Undang Zona Tambahan. Langkah ini krusial untuk menutup legal vacuum dan secara eksplisit memberikan landasan hukum bagi aparat penegak hukum untuk melaksanakan yurisdiksi preventif dan hukuman (CFIS) di wilayah 12 hingga 24 mil laut.
- Harmonisasi Undang-Undang Landas Kontinen: Mempercepat proses revisi atau penggantian UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen. Harmonisasi penuh dengan ketentuan Pasal 76 UNCLOS 1982 diperlukan untuk memperkuat dasar hukum pengajuan klaim Landas Kontinen Ekstensi di CLCS dan memaksimalkan hak berdaulat atas potensi sumber daya dasar laut hingga 350 mil laut.
- Peningkatan Kapasitas Hard Power Maritim: Anggaran dan pelaksanaan program penguatan militer (RMA) harus ditingkatkan, terutama dalam hal pemeliharaan dan modernisasi inventaris kapal TNI AL dan Bakamla. Peningkatan kapasitas operasional ini sangat diperlukan untuk secara efektif menangkal aktivitas shadowing CCG dan menegakkan kedaulatan de facto di Laut Natuna Utara.
- Akselerasi Penyelesaian Batas Bilateral: Mempertahankan momentum diplomasi. Ini termasuk penuntasan Implementing Agreement ZEE dengan Vietnam pada tahun 2024 dan mengkristalkan kesepakatan joint development yang mengikat atau terobosan definitif dalam perundingan Landas Kontinen Ambalat dengan Malaysia.