Dari Seni Lingkungan Klasik ke Artivisme Iklim: Pergeseran Paradigma

Peran seni rupa dalam isu lingkungan telah mengalami evolusi signifikan, bergerak dari apresiasi estetika alam (Environmental Art) menuju ekspresi yang menuntut tindakan. Spektrum seni lingkungan kontemporer kini mencakup Climate Art, yang juga dikenal sebagai Eco-Art atau Environmental Art. Jenis seni ini mencakup berbagai ekspresi yang mengeksplorasi dan menanggapi isu-isu terkait lingkungan, perubahan iklim, dan keberlanjutan ekologi.

Titik fokus terbaru dalam evolusi ini adalah Ecoartivism (atau Artivisme Iklim). Istilah ini secara eksplisit didefinisikan sebagai praktik menggunakan seni sebagai alat advokasi untuk pelestarian, restorasi, atau perbaikan lingkungan. Secara khusus, artivisme berfokus pada gerakan untuk mengendalikan polusi. Pergeseran ini menunjukkan bahwa seniman kontemporer menyadari bahwa hanya menjadi “pembuat makna” atau juru bahasa visual saja tidak cukup; mereka harus bertindak sebagai agen perubahan yang secara aktif menuntut tanggung jawab kolektif dari publik dan institusi. Ini adalah respons langsung terhadap urgensi krisis iklim, di mana refleksi pasif terhadap keindahan alam digantikan oleh tuntutan untuk melakukan aksi nyata.

Mekanisme Komunikasi Artivisme: Menjembatani Data dan Empati

Seni Iklim memiliki fungsi krusial sebagai penerjemah. Ia mengambil data ilmiah yang kompleks dan seringkali abstrak, lalu mengubahnya menjadi pengalaman visual dan emosional yang lebih mudah dicerna dan direspons oleh publik. Ada tiga strategi komunikasi utama yang digunakan oleh seniman internasional dalam artivisme iklim:

Strategi pertama adalah penggunaan Seni Metaforis dan Temporal. Seniman menggunakan metafora dan simbol (seperti es yang mencair) untuk merepresentasikan konsep dan isu terkait iklim. Hal ini mendorong penonton untuk berpikir lebih dalam tentang konsekuensi tindakan manusia terhadap lingkungan. Secara khusus, temporal art dirancang untuk menyampaikan berlalunya waktu dan perubahan lingkungan selama bertahun-tahun, berfungsi sebagai komentar visual yang kuat tentang urgensi penanganan perubahan iklim.

Strategi kedua adalah Visualisasi Data Ilmiah (Scientific Visualization). Beberapa seniman berkolaborasi dengan para ilmuwan untuk mentransformasi data iklim yang rumit—seperti grafik atau chart—menjadi karya seni visual. Tujuannya adalah membuat informasi ilmiah yang krusial ini lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Contoh implementasi ini terlihat pada proyeksi visual dampak perubahan iklim yang dipamerkan di menara-menara gedung pusat PBB di New York dalam rangka UN Climate Summit, menggunakan imaji untuk menggugah perhatian khalayak dan mendorong mereka bertindak.

Strategi ketiga melibatkan Seni Partisipatif dan Imersif. Seniman menciptakan instalasi interaktif atau kinerja yang melibatkan audiens secara langsung dalam isu-isu lingkungan, sehingga membina rasa tanggung jawab kolektif. Pemanfaatan teknologi seperti Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) memungkinkan seniman menenggelamkan penonton ke dalam lingkungan virtual yang menggambarkan dampak perubahan iklim, memberikan pengalaman yang unik dan mendalam.

Tabel 1. Klasifikasi Artivisme Iklim dan Mekanisme Dampak

Jenis Seni Deskripsi Singkat Mekanisme Dampak Kritis Contoh Global (Tipikal)
Representasional Menarik perhatian melalui keindahan alam atau kerapuhan ekosistem. Memicu empati, kesadaran ancaman kepunahan. Joel Sartore’s Photo Ark, Endangered Species Portraits
Aktivis/Protes Seni yang dirancang untuk kampanye dan tuntutan politik di ruang publik. Memobilisasi massa, menekan perubahan kebijakan dan regulasi. Poster Extinction Rebellion, Seni Taring Padi
Data Art/Scientific Visualization Mengubah data ilmiah kompleks menjadi visual yang dapat dicerna dan emosional. Meningkatkan aksesibilitas informasi iklim, memicu diskusi berbasis fakta. Proyeksi PBB, Eksperimen AR/VR Google Arts & Culture
Instalasi Monumental/Temporal Karya skala besar yang memanfaatkan lokasi fisik (ex. gletser, laut) dan durasi (ex. pelelehan). Menciptakan pengalaman imersif yang tak terlupakan, menyoroti urgensi waktu. Olafur Eliasson’s Ice Watch
Seni Remedial/Regeneratif Karya yang berfungsi sebagai habitat ekologis atau melibatkan material daur ulang. Menunjukkan solusi keberlanjutan, berkolaborasi dengan alam, konservasi konkret. Jason deCaires Taylor’s Underwater Museums

Arketipe Tematik Krisis Iklim dalam Karya Instalasi Internasional

Tragedi Polusi Plastik: Dari Skala Makro ke Penderitaan Mikro

Polusi plastik adalah salah satu arketipe tematik paling menonjol dalam seni iklim, mengingat statusnya sebagai krisis biodiversity dan ancaman kesehatan publik yang meluas. Diperkirakan 20 juta metrik ton sampah plastik berakhir di lingkungan setiap tahun. Krisis ini sangat masif di lautan, di mana saat ini diperkirakan ada 15 hingga 51 triliun keping plastik, dan pada tingkat pertumbuhan saat ini, plastik diperkirakan akan melampaui berat semua ikan di laut pada tahun 2050.

Fotografer Chris Jordan memilih untuk menggambarkan besarnya masalah ini melalui lensa penderitaan individu dalam karya berjudul Midway. Jordan berspesialisasi dalam karya skala besar yang menggambarkan magnitudo konsumerisme global dan dampaknya terhadap lingkungan. Pameran Midway secara khusus menyoroti bangkai anak albatros di Midway Atoll, sebuah gugusan pulau terpencil di Samudera Pasifik. Anak-anak burung ini mati setelah diberi makan plastik dalam jumlah mematikan oleh induk mereka, yang salah mengira sampah terapung sebagai makanan.

Pendekatan Jordan sangat efektif karena ia menciptakan pergeseran naratif yang fundamental. Ia memindahkan fokus dari krisis abstrak yang diwakili oleh data triliunan keping plastik di lautan, menjadi tragedi visceral berupa kematian makhluk hidup yang spesifik. Ini adalah strategi yang mengedepankan emosi di atas logika, memaksa penonton untuk menghadapi konsekuensi moral yang brutal dari kebiasaan konsumsi yang terjadi ribuan mil jauhnya.

Menggambarkan Kehancuran Geologis: Es dan Kenaikan Permukaan Laut

Manifestasi pemanasan global yang paling dramatis seringkali direpresentasikan melalui kehancuran geologis, seperti pelelehan es dan gletser, yang secara langsung berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global. Seniman menggunakan elemen temporal dan simulasi untuk menyampaikan urgensi ini.

Dalam sebuah proyek eksperimental, seniman Felicity Hammond menggambarkan sebuah kota fiksi di pesisir yang perlahan terendam air dalam kurun waktu 80 tahun. Karya ini berbentuk kolase video berdurasi 8 menit, dibuat menggunakan sekitar 50 foto dari berbagai lokasi di seluruh dunia yang paling terancam banjir akibat perubahan iklim. Video tersebut menunjukkan lanskap yang perlahan digenangi air hingga sepenuhnya tenggelam.

Pendekatan ini menunjukkan tren krusial dalam seni iklim: penggunaan simulasi temporal. Seniman secara efektif melawan persepsi publik bahwa perubahan iklim adalah masalah masa depan yang jauh dengan memampatkan krisis waktu tersebut menjadi sebuah pengalaman segera dan langsung. Dengan memproyeksikan kerugian selama puluhan tahun ke dalam beberapa menit, seni memaksa penonton untuk secara emosional mengakui ancaman yang mendesak, bukan ancaman yang tertunda. Proyek seperti ini telah dipamerkan pada acara-acara United Nations Climate Change, menambahkan dimensi baru pada pengalaman konferensi global.

Studi Kasus Monumental dalam Ekspresi Krisis Iklim

Kesadaran Gletser yang Mencair: Olafur Eliasson’s Ice Watch

Salah satu instalasi seni iklim paling ikonik dan monumental adalah Ice Watch karya seniman Olafur Eliasson dan geolog Minik Rosing. Instalasi ini terdiri dari 12 hingga 24 balok es gletser yang ditempatkan di ruang publik berprofil tinggi. Balok es ini dipajang di luar Tate Modern di Bankside, London, dan juga di luar kantor pusat Eropa Bloomberg di City of London.

Ice Watch adalah seni temporal: penonton diundang untuk menyaksikan es tersebut meleleh. Karya ini sengaja dipamerkan bertepatan dengan momen diplomatik global, seperti saat konferensi iklim COP24 di Katowice, Polandia, dan peringatan tiga tahun Perjanjian Paris. Melalui pelelehan yang tak terhindarkan dan nyata, es diubah dari material alami menjadi penanda waktu yang berharga, menyoroti urgensi kehilangan yang disebabkan oleh pemanasan global.

Eliasson menggunakan strategi kejutan temporal. Dengan mengangkut es gletser dari wilayah kutub dan menempatkannya di tengah kota besar, instalasi ini secara efektif membawa “sumber” krisis (gletser yang mencair) langsung ke “pusat kekuasaan” (institusi finansial dan budaya). Dampaknya tidak hanya terletak pada ukurannya, tetapi pada ketepatan waktu dan lokasi strategisnya, yang menjadikannya subjek perdebatan publik dan media yang tidak dapat dihindari. Kemonumentalan naratif yang tercipta—bukan hanya fisik—adalah kunci dampak karya ini.

Restorasi dan Habitat Bawah Laut: Jason deCaires Taylor’s Underwater Museums

Berlawanan dengan fokus Eliasson pada kehilangan, seniman Jason deCaires Taylor mewakili Artivisme yang bersifat regeneratif dan remedial. Taylor memindahkan karya seninya dari galeri ke lautan, menciptakan museum dan taman patung bawah laut. Instalasi patungnya dirancang khusus untuk menciptakan habitat buatan bagi kehidupan laut dan berkolaborasi dengan alam.

Patung-patung ini berfungsi ganda: sebagai karya seni dan sebagai situs konservasi. Patung-patung tersebut bertransisi seiring waktu, dari bentuk statis yang inert menjadi terumbu karang yang dinamis dan hidup, yang dapat dikunjungi oleh lebih dari setengah juta orang setiap tahun. Tema utama yang dieksplorasi mencakup darurat iklim, aktivisme lingkungan, dan kemampuan regeneratif alam.

Taylor secara tegas menyatakan bahwa “Museum adalah tempat konservasi, edukasi, dan tentang melindungi sesuatu yang sakral. Kita perlu menetapkan nilai-nilai yang sama pada lautan kita”. Karya ini menawarkan model di mana seni dapat menjadi alat restorasi fisik, bukan hanya kritik. Pergerakan karya seni dari galeri ke lautan ini merupakan batas baru eksperimen artistik dengan tantangan tersendiri, terutama dalam menciptakan karya yang berupaya untuk bersifat remedial.

Tabel 2. Matriks Analisis Studi Kasus Internasional dan Kontradiksi Etika

Seniman/Karya Isu Iklim Utama Skala dan Medium Aspek Artivisme Kunci Kontradiksi Etika/Logistik
Olafur Eliasson (Ice Watch) Pemanasan global, Pelelehan Gletser (Urgensi Temporal) Instalasi Monumental (Temporer), Ruang Publik Strategis Visualisasi kehilangan yang tak terhindarkan, penciptaan wacana politik (COP24). Jejak karbon signifikan akibat pengangkutan es gletser lintas batas.
Jason deCaires Taylor (Underwater Museums) Kerusakan Terumbu Karang, Ekologi Laut (Regenerasi) Patung Permanen (Remedial), Bawah Laut (Habitat Buatan) Seni yang berfungsi sebagai alat konservasi, menciptakan ekosistem baru. Tantangan pemeliharaan jangka panjang di lingkungan laut, akses terbatas untuk audiens massal.
Chris Jordan (Midway) Polusi Plastik Laut, Konsumerisme Massal (Kepunahan) Fotografi dan Film (Makro/Mikro Dokumenter), Skala Pameran Dokumentasi brutal yang menghubungkan kebiasaan konsumen individu dengan tragedi spesies. Risiko shock-value tanpa perubahan kebijakan struktural yang memadai.

Strategi Komunikasi dan Mekanisme Dampak Artivisme

Pemanfaatan Kemonumentalan Fisik dan Naratif

Dalam artivisme, skala monumental—ukuran yang lebih besar dari skala manusia dan sering digunakan untuk bangunan ikonik —berfungsi sebagai amplifier yang menarik perhatian publik dan media. Namun, dampak jangka panjang Artivisme tidak hanya ditentukan oleh ukuran fisik (seperti dalam kasus instalasi temporer yang masif), tetapi juga oleh kemonumentalan narasi yang diciptakan. Karya seni akan memiliki nilai kemonumentalan ketika narasi yang terbentuk, atau sengaja dibentuk oleh publik, muncul ketika karya tersebut ditempatkan di ruang sentral kota, dapat diakses langsung, dan menjadi komoditas perdebatan publik pada waktu yang tepat.

Penempatan artivisme di ruang publik memastikan karya tersebut menjadi arena komunikasi dan pertukaran ide yang memungkinkan masyarakat mengartikulasikan kepentingan bersama dan membentuk opini. Komunitas seni seperti Taring Padi telah memanfaatkan ruang publik sebagai sarana ekspresi, perlawanan, dan advokasi. Di Indonesia, kolaborasi antara Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dengan Extinction Rebellion Indonesia (XR) menghadirkan instalasi interaktif di Bintaro Design District. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa desain grafis adalah medium efektif untuk propaganda positif, membangun narasi yang mendorong tindakan kolektif demi masa depan berkelanjutan.

Praktik Keberlanjutan dalam Produksi: Seni Daur Ulang

Artivisme iklim yang kredibel menuntut seniman mengintegrasikan pesan lingkungan tidak hanya ke dalam subjek karya, tetapi juga ke dalam proses produksi itu sendiri. Praktik ini sering terwujud melalui penggunaan material daur ulang. Daur ulang kreatif digunakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah sampah plastik, menumbuhkan kreativitas, dan menjaga lingkungan, terutama di wilayah pesisir.

Praktik ini mengaplikasikan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebagai bagian integral dari narasi seni. Penggunaan material daur ulang berfungsi sebagai pernyataan advokasi metodologis. Ia mengubah narasi kehancuran menjadi demonstrasi solusi praktis, menunjukkan bahwa sampah dapat diubah menjadi sumber daya bernilai estetika dan fungsional. Hal ini memperkuat pesan keberlanjutan dengan menyelaraskan etika produksi dengan etika pesan yang disampaikan.

Kritik dan Kontradiksi: Dilema Etika dalam Seni Iklim Global

Paradoks Kredibilitas: Isu Jejak Karbon Pameran Internasional

Artivisme iklim global menghadapi dilema etika yang serius, yang dikenal sebagai Paradoks Performatif. Dilema ini muncul dari tegangan antara dampak kesadaran yang tinggi dan dampak lingkungan dari produksi seni itu sendiri. Pameran seni monumental yang bersifat internasional dan temporer—seperti instalasi balok es Eliasson yang memerlukan transportasi kompleks—memerlukan logistik yang menghasilkan jejak emisi karbon tinggi. Emisi karbon ini, yang berkontribusi pada pemanasan global dan kenaikan permukaan laut , secara inheren bertentangan dengan pesan konservasi yang ingin disampaikan.

Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk akuntabilitas. Institusi mulai menyadari bahwa “setiap sapuan kuas, setiap aksi, setiap pameran… dapat membawa perbedaan” dan sedang mengeksplorasi proyek penggantian kerugian karbon yang inovatif untuk mengimbangi jejak karbon mereka. Namun, jika akuntabilitas karbon diabaikan, pameran internasional yang ambisius secara visual berisiko dicap sebagai aktivisme performatif yang lebih mementingkan tampilan daripada dampak lingkungan yang sebenarnya.

Ancaman Greenwashing Institusional: Akuntabilitas Struktural vs. Simbolis

Isu kritik terhadap seni iklim semakin diperumit oleh ancaman greenwashing, yaitu praktik memanfaatkan tren keberlanjutan untuk memberi kesan bahwa sebuah entitas (perusahaan atau institusi) telah berkontribusi lebih banyak untuk lingkungan daripada yang sebenarnya. Bentuk greenwashing ini mencakup Sin of the Hidden Trade-Off, di mana manfaat yang diklaim (misalnya, menggelar pameran iklim) menutupi dampak tersembunyi (misalnya, kebijakan perusahaan yang merusak lingkungan atau sponsor yang tidak etis).

Pameran iklim di museum modern berisiko digunakan sebagai tameng simbolis untuk menutupi kontradiksi kebijakan institusional atau sponsor korporasi yang terlibat dalam aktivitas tinggi emisi. Hal ini dikenal sebagai akuntabilitas yang didilusi menjadi symbolic branding. Audien saat ini menuntut lebih dari sekadar tontonan yang menawan. Mereka menuntut akuntabilitas struktural, termasuk transparansi dalam pengadaan, sponsor, dan reformasi sistemik, untuk melindungi kredibilitas seni iklim dari korosi kepercayaan publik. Transformasi ini mengharuskan seni untuk menanamkan dirinya dalam tata kelola institusi agar dapat menjadi alat reformasi sistemik, bukan hanya pengalih perhatian dari kelambanan aksi.

Dari Ekspresi ke Aksi: Memengaruhi Kebijakan dan Perubahan Perilaku

Peran Artivisme dalam Advokasi Keadilan Iklim

Seni kini semakin diakui sebagai media yang kuat dalam advokasi keadilan iklim, melengkapi upaya aktivis untuk mendorong perubahan kebijakan. Seni memungkinkan gerakan keadilan iklim diperkuat melalui inklusivitas, kreativitas, dan inovasi, yang sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan utama keadilan iklim.

Aktivisme sosial-budaya dan seni memiliki peran penting karena kemampuan mereka merepresentasikan suara kelompok minoritas atau yang termarjinalisasikan. Seni juga efektif digunakan untuk kampanye beragam isu, mulai dari hak asasi manusia hingga antikorupsi. Di ruang politik, kelompok seni seperti Taring Padi telah menunjukkan bagaimana pemanfaatan ruang publik dapat menjadi sarana perlawanan dan advokasi, menantang hegemoni kuasa politik dan membuka ruang deliberasi ide-ide tentang perlindungan hak publik.

Integrasi Seni dalam Tata Kelola Lingkungan

Artivisme iklim yang matang harus berusaha bermigrasi dari fungsi kritikus luar menjadi konsultan internal dalam sistem kebijakan dan tata kelola lingkungan. Langkah ini penting karena kebijakan yang hanya didasarkan pada data ilmiah dan regulasi seringkali gagal menginspirasi kepatuhan dan perubahan perilaku publik yang memadai. Seni, yang dapat menyentuh aspek sosial-budaya dan imajinasi publik , adalah kunci untuk menciptakan basis legitimasi dan political will yang diperlukan untuk implementasi kebijakan iklim yang ambisius.

Pemerintah dan lembaga lingkungan dapat secara formal mengintegrasikan seniman dan desainer—para ecoartivists—ke dalam tim kebijakan mereka. Model ini sudah diimplementasikan di beberapa tempat, seperti di Tacoma, AS, di mana seniman bekerja paruh waktu di Departemen Pekerjaan Umum dan Layanan Lingkungan untuk meningkatkan pengalaman publik dan menginspirasi perubahan perilaku. Kolaborasi antara desainer grafis (ADGI) dan aktivis (XR Indonesia) juga menunjukkan bagaimana narasi visual yang kuat dapat membentuk tindakan kolektif demi masa depan yang berkelanjutan. Integrasi ini memastikan bahwa bahasa visual, narasi, dan empati artistik digunakan untuk mendorong perubahan perilaku yang didukung oleh daya tarik emosional, bukan hanya paksaan regulasi.

Kesimpulan

Seni internasional telah memainkan peran yang sangat efektif dalam mengangkat krisis iklim dari ranah ilmiah abstrak ke ranah kesadaran publik yang bersifat global. Karya-karya monumental seperti Ice Watch Olafur Eliasson menggunakan urgensi temporal dan lokasi strategis untuk memaksa diskusi politik, sementara museum bawah laut Jason deCaires Taylor menawarkan model artivisme regeneratif yang memberikan solusi ekologis konkret. Namun, Artivisme iklim kontemporer menghadapi tantangan kredibilitas ganda: (1) paradoks lingkungan yang diciptakan oleh jejak karbon logistik pameran internasional, dan (2) ancaman greenwashing institusional, di mana pameran seni digunakan untuk menutupi kontradiksi kebijakan atau sponsor yang merusak lingkungan. Efektivitas jangka panjang Artivisme bergantung pada kemampuan sektor budaya untuk mengatasi kontradiksi internal ini dan menggeser fokus dari sekadar ekspresi yang mengejutkan, menjadi advokasi yang terintegrasi dalam reformasi kebijakan dan akuntabilitas struktural.

. Rekomendasi untuk Memaksimalkan Dampak Seni Iklim Global

  1. Mandat Audit Karbon dan Logistik Berkelanjutan: Institusi seni dan penyelenggara pameran internasional harus menerapkan audit karbon transparan dan wajib melakukan carbon offsetting yang kredibel dan terverifikasi untuk semua proyek berskala besar. Prioritas harus diberikan pada proyek yang memanfaatkan material lokal dan daur ulang (prinsip 3R) , serta meminimalkan logistik transportasi lintas batas yang mahal emisi.
  2. Membentuk Koalisi Anti-Greenwashing: Kurator dan seniman harus mengambil sikap tegas menolak sponsor dari entitas yang kebijakan intinya kontradiktif dengan pesan iklim. Institusi harus menanamkan akuntabilitas struktural dalam tata kelola internal mereka, memastikan transparansi yang melampaui simbolisme pameran.
  3. Integrasi Artivisme dalam Tata Kelola Publik: Pemerintah dan lembaga lingkungan disarankan untuk secara formal mengintegrasikan seniman dan desainer sebagai konsultan kebijakan. Model Artists in Residence (AiR) di departemen pelayanan publik  harus didukung untuk memfasilitasi komunikasi krisis iklim yang lebih efektif dan memotivasi perubahan perilaku publik melalui daya tarik emosional dan narasi.
  4. Pendanaan Prioritas untuk Seni Remedial dan Komunitas: Dana seni harus dialokasikan secara khusus untuk mendukung proyek yang tidak hanya mengkritik tetapi juga menawarkan solusi ekologis konkret, seperti restorasi habitat, penggunaan material berkelanjutan, dan inisiatif berbasis komunitas (seperti model museum bawah laut Taylor).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 6 = 1
Powered by MathCaptcha