Suku Uighur (alternatif ejaan: Uyghurs, Uygurs, Uigurs) adalah kelompok etnis Turkik yang berakar dan secara budaya terafiliasi dengan wilayah umum Asia Tengah dan Asia Timur. Mereka diakui sebagai kebangsaan tituler di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) di Tiongkok Barat Laut dan merupakan salah satu dari 55 minoritas etnis yang secara resmi diakui oleh pemerintah Tiongkok.

Identitas Uighur modern dibentuk secara mendalam oleh bahasa dan agama. Bahasa Uighur termasuk dalam cabang Karluk dari rumpun bahasa Turkik dan dikenal sebagai bahasa resmi di XUAR. Secara agama, mayoritas Uighur adalah penganut Islam Sunni , yang telah dipraktikkan selama berabad-abad, menelusuri pengaruhnya hingga ke era Karakhanid, sebuah kekuasaan Turkik yang memerintah Asia Tengah dari abad ke-9 hingga ke-13. Kombinasi warisan Turkik, bahasa yang unik, dan identitas Islam ini membentuk inti dari kebangsaan Uighur.

Ikhtisar Krisis Kontemporer

Sejak tahun 2014, terutama di bawah Kampanye “Strike Hard Against Violent Terrorism” yang diluncurkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping, komunitas Uighur dan minoritas Muslim Turkik lainnya di Xinjiang telah menjadi sasaran serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung. Pelanggaran ini, yang memuncak pada kampanye internment besar-besaran sejak 2017, mencakup penahanan massal sewenang-wenang, penyiksaan, pengawasan ekstensif, penganiayaan agama dan budaya, pemisahan keluarga, kerja paksa, dan pelanggaran hak reproduksi koersif.

Krisis ini telah menarik perhatian internasional yang signifikan. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menyimpulkan pada tahun 2022 bahwa Tiongkok bertanggung jawab atas ‘pelanggaran hak asasi manusia yang serius’ di Xinjiang. Organisasi-organisasi hak asasi manusia utama seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, serta PBB, secara konsisten mengklasifikasikan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di XUAR sebagai tindakan yang berpotensi setara dengan  Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity).

Asal Usul Historis dan Pembentukan Identitas (Asal Usul)

Evolusi Sejarah Xinjiang (Turkistan Timur)

Wilayah yang kini dikenal sebagai Xinjiang secara geografis terbagi menjadi dua area utama oleh Pegunungan Tianshan: Dzungaria di utara dan Cekungan Tarim di selatan, yang secara historis memiliki perbedaan etnis dan budaya yang menonjol. Jejak pertama populasi di wilayah ini dibuktikan oleh mumi kuno yang ditemukan di Cekungan Tarim, yang berasal dari milenium ke-2 Sebelum Masehi (BCE). Pada milenium ke-1 BCE, wilayah tersebut menyaksikan migrasi nomaden Yuezhi berbahasa Indo-Eropa.

Wilayah ini kemudian dikenal sebagai “Xiyu” (Western Regions) di bawah kendali Dinasti Han setelah mengalahkan Xiongnu pada 60 BCE. Dari abad ke-6, wilayah tersebut dikuasai oleh Kekhanan Turkik Pertama. Pada abad ke-7 hingga ke-8, Xinjiang menjadi medan perang antara Dinasti Tang, bangsa Turk, dan bangsa Tibet.

Kebangkitan Kekhanan Uighur dan Transisi Agama

Uighur memiliki asal usul sebagai masyarakat nomaden yang pada awalnya menganut Buddhisme di padang rumput Mongolia. Kekuatan Uighur muncul dengan berdirinya Kekhanan Uighur pada abad ke-8 hingga ke-9. Setelah kekuatan Uighur menurun, tiga kerajaan regional utama bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di sekitar Xinjiang: Kara-Khoja (Uighur Buddhis), Kara-Khanid (Muslim Turkik), dan Khotan (Buddhis Iran).

Islamitasasi Cekungan Tarim, yang merupakan proses transformatif bagi identitas Uighur, difasilitasi oleh kemenangan Kara-Khanid. Kara-Khanid berhasil mengalahkan dan menundukkan kerajaan-kerajaan regional, yang pada akhirnya menjadikan Islam sebagai agama yang dominan di wilayah tersebut. Proses ini menandai pergeseran penting dari akar Buddhisme/Nestorian Uighur lama menjadi identitas Muslim Uighur modern. Kelompok Uighur kini memandang wilayah tersebut sebagai warisan historis mereka, yang sering mereka sebut Turkistan Timur.

Integrasi Paksa ke dalam Kekaisaran Tiongkok

Integrasi wilayah yang permanen ke dalam kendali Tiongkok terjadi relatif belakangan dalam sejarah mereka. Wilayah Xinjiang ditaklukkan oleh Dinasti Qing (Manchu) pada abad ke-18 dan ke-19, yang kemudian secara resmi menyatukan kedua wilayah (Dzungaria dan Tarim Basin) menjadi satu provinsi bernama Xinjiang, yang berarti ‘Perbatasan Baru’ (Xīnjiāng), pada tahun 1884.

Penamaan wilayah sebagai ‘Perbatasan Baru’ pada tahun 1884 secara eksplisit menunjukkan bahwa wilayah tersebut dianggap sebagai akuisisi baru oleh Dinasti Qing. Interpretasi sejarah ini bertentangan dengan narasi modern Tiongkok bahwa Xinjiang telah menjadi bagian integral Tiongkok sejak zaman kuno, sebuah klaim yang ditentang oleh banyak Uighur.

Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Dinasti Qing menerapkan kebijakan politik adu domba (divide and conquer) yang bertujuan melemahkan perlawanan dengan memicu perselisihan antara etnis Muslim, Han, dan Tibet. Setelah jatuhnya Qing dan pendirian Republik China (ROC) pada tahun 1912, pemerintah baru mengadopsi konsepsi identitas yang lebih radikal, memandang semua etnis di dalam perbatasan ROC, termasuk Uighur, sebagai sub-cabang yang secara darah setara dengan ras Han. Upaya asimilasi ini, yang berusaha mereduksi identitas Uighur menjadi sekadar sub-kelompok Han, justru memicu kebanggaan etnis yang lebih kuat di kalangan Uighur, yang menolak gagasan asimilasi Han dan memperkuat etnonasionalisme mereka.

Profil Demografi, Kuantitatif, dan Dinamika Etnis

Data Populasi Kuantitatif dan Distribusi Global

Populitas Uighur secara global dipersengketakan, tetapi diperkirakan melebihi 12 juta jiwa. Menurut Sensus Tiongkok 2020, populasi Uighur di Tiongkok (sebagian besar di XUAR) adalah 11.774.538 jiwa.  Selain di Tiongkok, komunitas diaspora Uighur yang signifikan tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia Tengah dan Turki. Data diaspora penting meliputi: Kazakhstan (305.648, estimasi 2025), Turki (sekitar 100.000), Kyrgyzstan (60.210), dan Uzbekistan (48.500). Turki, khususnya, merupakan negara yang menampung komunitas diaspora Muslim Uighur terbesar di luar Asia Tengah dan memainkan peran penting dalam advokasi global mereka.

Perubahan Struktur Demografi di XUAR (Sejak 1949)

Xinjiang telah mengalami perubahan demografi yang dramatis sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Proporsi etnis Han di Xinjiang melonjak tajam, dari hanya 6.7% (220.000 jiwa) pada tahun 1949 menjadi 40% (8.4 juta jiwa) pada tahun 2008. Kenaikan ini mewakili perubahan demografi terbesar yang pernah terjadi di wilayah utama Tiongkok sejak 1949. Migrasi Han berskala besar, baik yang diatur oleh negara maupun yang dimulai sendiri, dianggap oleh banyak Uighur sebagai ancaman terhadap mata pencaharian dan cara hidup mereka, menjadikannya sumber utama ketegangan etnis.

Data resmi Tiongkok menunjukkan upaya untuk “menjembatani kesenjangan populasi” antara wilayah utara (mayoritas Han) dan selatan (mayoritas Uighur). Pada tahun 2020, populasi Xinjiang Utara adalah 13.31 juta (51.48%), dan Xinjiang Selatan adalah 12.54 juta (48.52%). Selain itu, Tiongkok melaporkan bahwa populasi mengambang (floating population) di XUAR tumbuh sebesar 101.78% antara tahun 2010 dan 2020, sebuah lonjakan yang signifikan.

Tabel 1: Perbandingan Populasi Resmi Xinjiang (2010 vs. 2020)

Area Populasi 2010 (Juta) Populasi 2020 (Juta) Persentase Total 2020 Perubahan Kuantitatif
Xinjiang Utara 11.35 13.31 51.48% +1.96 Juta
Xinjiang Selatan 10.46 12.54 48.52% +2.08 Juta
Populasi Mengambang ~4.0 Juta ~8.06 Juta N/A +101.78% (Peningkatan)

Kebijakan Kontrol Populasi Koersif dan Bukti Penindasan Reproduksi

Data resmi mengenai peningkatan populasi di Xinjiang Selatan harus dikaji bersamaan dengan laporan independen mengenai kontrol populasi koersif yang menargetkan minoritas Turkik. Peneliti Adrian Zenz telah menerbitkan studi yang menunjukkan manipulasi populasi koersif yang ekstensif, khususnya di Xinjiang Selatan yang mayoritas Uighur.

Laporan Zenz menunjukkan bahwa antara akhir Juli 2016 hingga akhir Januari 2017, indikator mengenai persentase wanita yang tercatat infertil, dalam menopause, atau janda yang memiliki sertifikat pemerintah mengalami peningkatan drastis, dengan peningkatan mencapai 124.4%, 106.0%, dan 116.5% secara berturut-turut. Peningkatan ini bertepatan dengan puncak kampanye penahanan massal.

Kebijakan pencegahan kelahiran ini diklaim oleh Tiongkok sebagai bagian dari “optimasi populasi” untuk mengatasi wilayah Xinjiang Selatan yang dianggap “kelebihan kapasitas”. Namun, analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini memiliki niat yang lebih dalam. Berdasarkan proyeksi populasi, perbedaan antara pertumbuhan alami yang diproyeksikan dan pertumbuhan yang berkurang sesuai dengan persyaratan optimasi populasi dapat berkisar antara 2.6 hingga 4.5 juta jiwa pada tahun 2040. Analisis ini digunakan untuk menilai bahwa kebijakan tersebut memenuhi kriteria “niat untuk menghancurkan sebagian” dari populasi minoritas, sesuai dengan Konvensi Genosida PBB 1948.

Tabel 2: Proyeksi Dampak Kontrol Populasi Uighur (Berdasarkan Laporan Adrian Zenz)

Indikator Periode Perubahan Dilaporkan Implikasi Demografis
Sertifikat Infertilitas Akhir 2016 – Akhir 2017 Peningkatan 124.4% Bukti pelaksanaan kontrol reproduksi koersif
Potensi Pengurangan Kelahiran Proyeksi hingga 2040 2.6 hingga 4.5 Juta Jiwa Potensi ‘Penghancuran Sebagian’ sesuai Konvensi Genosida PBB

Kontradiksi Kuantitatif dan Sinisisasi Struktural

Dinamika demografi di Xinjiang menunjukkan adanya upaya Sinisisasi struktural. Meskipun data resmi mungkin melaporkan peningkatan populasi di Xinjiang Selatan , peningkatan dramatis 101.78% dalam populasi mengambang menunjukkan adanya mobilitas atau transfer populasi skala besar yang kemungkinan besar melibatkan migran Han dan/atau transfer kerja paksa Uighur.

Sementara kebijakan kontrol kelahiran secara agresif menargetkan laju pertumbuhan Uighur , masuknya Han yang cepat (dari 6.7% menjadi 40%) berfungsi sebagai alat demografi untuk mengikis dominasi Uighur secara persentase, sebuah proses yang secara struktural menggerus keberadaan etnis Uighur dan menjadi akar konflik yang berdarah di masa lalu, seperti kerusuhan Urumqi. Populasi Uighur dikendalikan melalui penahanan dan pencegahan kelahiran, sementara struktur dominasi Han diperkuat melalui migrasi dan redistribusi populasi.

Budaya, Agama, dan Sosiolinguistik Uighur

Bahasa dan Warisan Sastra

Bahasa Uighur adalah bahasa Turkik Karluk. Secara historis, bahasa ini dikenal sebagai Turki atau Turki Timur. Bahasa ini merupakan bahasa resmi di XUAR dan digunakan secara luas di berbagai ranah sosial dan resmi, serta media. Aksara yang digunakan adalah aksara Perso-Arab.

Secara budaya, Uighur memiliki seni sastra dan tradisi yang kaya. Kashgar di selatan dan Turpan/Besipali di utara telah lama menjadi pusat budaya dan sastra utama. Berbagai dokumen sejarah dari periode ini, termasuk kreasi sastra dan klasik agama, berfungsi sebagai bahan penting untuk studi sejarah dan bahasa Uighur. Namun, di tengah kebijakan asimilasi yang ketat, pembatasan penggunaan bahasa Uighur di sekolah dan ruang publik telah dilaporkan, yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran hak sosio-kultural kelompok Uighur.

Agama Islam dan Pengetatan Kontrol

Uighur adalah komunitas yang sebagian besar memeluk Islam Sunni. Meskipun Konstitusi Tiongkok secara formal menjamin kebebasan beragama untuk ‘kegiatan keagamaan normal,’ istilah ini tidak didefinisikan secara jelas.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok telah meningkatkan pengetatan kontrol terhadap praktik keagamaan Uighur. Peraturan yang direvisi di wilayah Xinjiang, yang diumumkan pada awal 2024, secara signifikan memperketat kendali atas praktik keagamaan bagi etnis Muslim Uighur. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk melakukan Sinisisasi atau sekularisasi paksa, yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur agama yang dianggap ekstremis atau separatis oleh PKT.

Kekayaan Seni dan Tradisi (Muqam)

Seni Uighur yang paling menonjol adalah Muqam, seni pertunjukan klasik yang telah diakui dan terdaftar sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. Muqam adalah bentuk opera khas Uighur yang menggabungkan musik tradisional, lagu, dan drama. Muqam, khususnya Dua Belas Muqam Uighur, sering ditampilkan melalui tarian Jula, yang berarti mutiara yang bersinar dalam bahasa Uighur.

Pemerintah Tiongkok secara selektif mempromosikan aspek-aspek budaya tertentu, seperti Muqam, di panggung internasional (misalnya, di Indonesia) sebagai strategi soft power. Melalui pameran seni dan budaya ini, Tiongkok berupaya menampilkan citra pluralisme dan keramahan etnis, sekaligus membantah tuduhan penindasan. Namun, terdapat kontradiksi yang jelas antara presentasi budaya yang aman ini di luar negeri dengan kebijakan internal yang menekan ekspresi agama, membatasi bahasa, dan bahkan mengubah nama-nama desa yang memiliki konotasi agama atau budaya Uighur. Hal ini menunjukkan adanya pemisahan yang disengaja dalam kebijakan budaya: mempertahankan elemen-elemen etnis yang dianggap jinak dan sekuler sambil secara aktif memberantas inti agama dan identitas nasionalis Uighur.

Krisis Kontemporer dan Mekanisme Represi Tiongkok

Kebijakan Kontra-Terorisme dan Eskalasi

Pemerintah Tiongkok menjustifikasi tindakan kerasnya di Xinjiang sebagai respons yang diperlukan untuk memerangi ekstremisme dan menjaga stabilitas. Kampanye “Strike Hard Against Violent Terrorism” diluncurkan pada tahun 2014. Secara historis, kekerasan etnis yang mematikan di Urumqi pada tahun 2009 dan meningkatnya radikalisme di kalangan minoritas Uighur yang mencoba memanfaatkan momentum kelompok seperti Taliban, Alqaidah, dan ISIS, memberikan konteks bagi narasi kontraterorisme Tiongkok. Namun, organisasi internasional menilai skala dan metode respons Tiongkok jauh melampaui kebutuhan keamanan, menargetkan seluruh kelompok etnis.

Sistem Penahanan Massal (Kamp Re-edukasi)

Puncak represi dimulai sekitar tahun 2017 di bawah Sekretaris PKT Xinjiang Chen Quanguo, dengan perkiraan satu juta Uighur dan minoritas Turkik lainnya ditahan tanpa proses hukum di kamp-kamp internment. Tiongkok menyebut fasilitas ini sebagai “pusat pelatihan kontra-ekstremisme” atau “pusat pelatihan pendidikan dan transformasi”.

Laporan-laporan menunjukkan bahwa tindakan di dalam kamp termasuk penyiksaan, indoktrinasi ideologis, kekerasan seksual, dan pelanggaran hak reproduksi. Adrian Zenz, melalui “Xinjiang Police Files,” berhasil membongkar dokumen resmi polisi yang mencakup instruksi operasional kamp dan ribuan foto mugshot tahanan, yang membuktikan sifat koersif dari sistem penahanan tersebut. Sejak 2019, dilaporkan bahwa tahanan semakin dialihkan dari kamp-kamp re-edukasi ke sistem pidana formal.

Kerja Paksa (Forced Labor) dan Keterlibatan Rantai Pasok Global

Represi ideologis diperkuat oleh eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa yang disponsori negara. Terdapat bukti adanya skema kerja paksa masif yang melibatkan ratusan ribu minoritas etnis Uighur, terutama di sektor pertanian (pemetikan kapas) dan manufaktur pakaian.

Keterlibatan rantai pasok global sangat luas. Laporan menunjukkan bahwa industri otomotif dunia sangat terkait dengan perusahaan di XUAR yang menggunakan tenaga kerja paksa atau membeli bahan baku dari mereka. Terdapat hubungan yang erat antara penahanan massal dan mobilisasi tenaga kerja; kompleks kamp penjara sering kali memiliki bangunan pabrik yang terintegrasi, menunjukkan bahwa penahanan berfungsi sebagai mekanisme untuk menjamin pasokan tenaga kerja yang patuh dan terkontrol.

Sebagai respons, Amerika Serikat mengesahkan Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA). Undang-undang ini menciptakan asumsi yang dapat dibantah (rebuttable presumption) bahwa barang yang ditambang, diproduksi, atau dibuat, seluruhnya atau sebagian, di XUAR tunduk pada larangan impor. Undang-undang ini mulai berlaku pada Juni 2022 dan mengalihkan beban pembuktian kepada importir untuk menunjukkan bahwa barang-barang tersebut bebas dari kerja paksa.

Kontrol Gerakan dan Pembatasan Hak Individu

Pemerintah Tiongkok mempertahankan pembatasan, kondisi, dan kontrol yang parah terhadap Uighur yang berusaha melakukan perjalanan ke luar negeri, yang merupakan pelanggaran terhadap hak yang dilindungi secara internasional untuk meninggalkan negara. Hal ini juga mencakup pengawasan ketat dan persyaratan yang memberatkan untuk mengakses dokumen perjalanan.

Selain populasi umum, tokoh-tokoh intelektual dan kritis juga menjadi sasaran. Ekonom Uighur, Ilham Tohti, misalnya, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Penahanan tokoh-tokoh terkemuka ini menunjukkan penindasan yang terfokus terhadap perbedaan pendapat politik dan upaya untuk menghapus kepemimpinan intelektual Uighur.

Secara keseluruhan, tindakan represi ini, yang meliputi kontrol ideologis, demografis, dan ekonomi, mengarah pada satu tujuan utama. Slogan kebijakan yang bocor seperti “Break Their Lineage, Break Their Roots” menunjukkan bahwa tujuannya melampaui sekadar kontraterorisme; tujuannya adalah asimilasi paksa dan penghapusan identitas etno-religius Uighur.

Tinjauan Hukum Internasional dan Respons Global

Temuan Kunci Organisasi Internasional

Laporan dari badan-badan internasional telah memberikan kerangka hukum yang kuat untuk menilai situasi di Xinjiang. Laporan OHCHR PBB pada tahun 2022 menyimpulkan bahwa tindakan di Xinjiang, terutama penahanan sewenang-wenang dan diskriminasi, mungkin merupakan Crimes Against Humanity. Para pakar PBB mendesak Tiongkok untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang serius ini dan menyerukan kepada dunia untuk tidak mengabaikannya.  Meskipun laporan-laporan konsisten dari PBB, HRW, dan Amnesty International menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi , Amnesty International mencatat bahwa masih belum ada akuntabilitas yang berarti untuk kejahatan ini tiga tahun setelah laporan utama PBB dirilis.

Peran Diaspora dan Advokasi Global

Komunitas diaspora Uighur, terutama di Turki dan Asia Tengah, memainkan peran penting dalam advokasi. World Uyghur Congress (WUC) berfungsi sebagai organisasi legitimasi utama, mengadvokasi penyelesaian damai dan non-kekerasan untuk “Masalah Turkistan Timur”. WUC aktif bekerja dengan organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa, dan LSM seperti Amnesty International dan HRW, berhasil mengangkat isu Uighur ke dalam diskusi global.

Respons Negara dan Tantangan Diplomatik

Respons global sangat bervariasi. Turki, didorong oleh ikatan etnis Turkik, memandang Uighur sebagai ‘Saudara Tua’ (Saudara Tua) dan telah menunjukkan solidaritas dalam isu ini. Namun, sebagian besar negara mayoritas Muslim lainnya menunjukkan kehati-hatian dalam mengkritik Tiongkok, yang menyoroti konflik antara solidaritas agama/etnis dan hubungan bilateral serta kepentingan ekonomi dengan Beijing.

Selain itu, Tiongkok dituduh melakukan represi transnasional, menggunakan ancaman terhadap anggota keluarga di Tiongkok untuk membungkam para kritikus yang tinggal di luar negeri. Kasus-kasus deportasi Uighur dari negara-negara ketiga, seperti Thailand yang mendeportasi 48 Uighur kembali ke Tiongkok, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan aktivis mengenai risiko penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perbedaan Terminologi Hukum

Penting untuk dicatat adanya perbedaan dalam terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan krisis. Sementara organisasi PBB menetapkan adanya Crimes Against Humanity, beberapa peneliti dan politisi, termasuk Adrian Zenz, secara eksplisit menggunakan istilah “Genosida”. Penggunaan Genosida ditekankan oleh bukti kontrol populasi koersif yang menunjukkan niat untuk menghancurkan sebagian populasi Uighur. Perdebatan terminologis ini mencerminkan perbedaan dalam standar hukum pembuktian niat, meskipun secara operasional, komunitas internasional telah mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan meluas.

Kesimpulan dan Implikasi Jangka Panjang

Suku Uighur merupakan kelompok etnis Turkik-Muslim yang secara historis terpisah dan telah lama menentang narasi asimilasi Tiongkok. Krisis kontemporer di XUAR adalah manifestasi dari upaya Tiongkok untuk mengkonsolidasikan wilayah perbatasan yang sensitif melalui pemaksaan homogenitas. Mekanisme represi yang digunakan—penahanan massal di kamp indoktrinasi, kontrol demografi koersif (penurunan angka kelahiran paksa), dan eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa—secara kolektif telah ditetapkan oleh organisasi internasional sebagai tindakan yang setara dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Kebijakan ini menekankan bahwa stabilitas regional yang diklaim oleh Tiongkok dicapai melalui pengorbanan hak asasi manusia dan

Krisis Uighur telah mengubah risiko hak asasi manusia menjadi risiko operasional geopolitik yang signifikan. Pemberlakuan UFLPA oleh AS telah menempatkan beban pengawasan yang substansial pada rantai pasok global, yang berarti bahwa risiko hak asasi manusia kini juga menjadi risiko ekonomi dan hukum. Selain itu, represi ini akan terus memicu ketegangan antara Tiongkok dan negara-negara Barat, serta mendorong aktivisme yang gigih dari diaspora Uighur yang mencari akuntabilitas dan perlindungan internasional.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Mekanisme Akuntabilitas PBB: Disarankan agar komunitas internasional mendorong PBB untuk melampaui pelaporan dan menetapkan mekanisme akuntabilitas formal untuk menindaklanjuti temuan laporan OHCHR 2022 mengenai potensi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, guna memastikan keadilan bagi para korban.
  2. Perluasan Pengawasan Rantai Pasok: Pengawasan global harus diperkuat di luar sektor tekstil dan otomotif untuk memastikan bahwa tidak ada barang, bahan baku, atau komponen dari XUAR yang diproduksi menggunakan kerja paksa, sehingga menutup celah dalam penegakan UFLPA.
  3. Dukungan Diaspora: Pemerintah dan organisasi internasional harus memberikan dukungan diplomatik dan operasional yang lebih kuat kepada kelompok advokasi diaspora Uighur, seperti WUC, untuk memungkinkan mereka melanjutkan perjuangan non-kekerasan dan melindungi komunitas Uighur di luar Tiongkok dari represi transnasional.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

51 − = 50
Powered by MathCaptcha