Konteks Geopolitik dan Sosok Revolusioner
Analisis mendalam mengenai Mustafa Kemal Atatürk tidak dapat dipisahkan dari konteks geopolitik Kekaisaran Ottoman pada awal abad ke-20. Kekaisaran tersebut, yang dikenal sebagai ‘Orang Sakit Eropa,’ berada di ambang keruntuhan total dan menghadapi ancaman nyata dari negara-negara Sekutu yang berupaya mempartisi wilayahnya. Mustafa Kemal muncul dari lembaga militer Ottoman yang sedang sekarat, namun visinya adalah menghancurkan struktur kekaisaran untuk membangun entitas politik yang sepenuhnya baru dan mandiri: Republik Turki.
Kebangkitan Republik Turki pada tahun 1923 menandai titik balik paling radikal dalam sejarah kawasan tersebut. Kepemimpinan Atatürk mengimplementasikan reformasi besar-besaran yang mengubah Turki menjadi negara-bangsa yang sekuler, modern, dan sedang menuju industrialisasi. Proses transformasi ini dipandu oleh kerangka ideologis tunggal yang ketat, dikenal sebagai Kemalisme (atau Atatürkism), yang dicanangkan melalui serangkaian kebijakan sosial-politik, budaya, hukum, dan keagamaan.
Reformasi Kemalis harus dipandang bukan semata-mata sebagai upaya untuk meniru Barat, melainkan sebagai reaksi defensif yang radikal terhadap kegagalan reformasi Ottoman sebelumnya—seperti periode Tanzimat—yang tidak mampu mencegah disintegrasi kekaisaran. Para reformis Ottoman sebelumnya mencoba mengkompromikan tradisi Islam dengan institusi Barat, sebuah pendekatan yang oleh Kemal dinilai telah gagal. Oleh karena itu, untuk menjamin kelangsungan hidup negara dalam menghadapi tekanan eksternal dan kelemahan internal, Kemal memilih pendekatan revolusioner total (İnkılapçılık) untuk membangun kembali masyarakat Turki dari nol. Keputusan untuk menempuh jalan yang ekstrem dan radikal ini sering kali berarti mengasingkan dan menekan sebagian besar populasi tradisional yang tidak siap menerima Westernisasi dan sekularisasi paksa.
Masa Awal dan Kedewasaan Militer (Awal)
Latar Belakang dan Pembentukan Karir Militer Awal
Mustafa Kemal dilahirkan sekitar tahun 1881 di Salonika (sekarang Thessaloniki, Yunani), sebuah kota pelabuhan kosmopolitan yang merupakan salah satu pusat paling dinamis dan bergejolak di Kekaisaran Ottoman. Ayahnya, Ali Riza Efendi, bekerja di berbagai bidang, termasuk sebagai perwira militer dan pedagang kayu. Lingkungan kosmopolitan Salonika, yang mencerminkan keragaman etnis Kekaisaran, menjadi latar belakang yang penting dalam membentuk pandangan dunia Kemal.
Jalur karir Kemal sepenuhnya berorientasi militer, dimulai dari sekolah menengah militer di Salonika, diikuti oleh Monastir Military Senior High School, dan kemudian Military College di Istanbul. Nama “Kemal” (yang berarti Kesempurnaan) ditambahkan kepadanya oleh guru matematikanya di sekolah militer pada tahun 1893. Pada Januari 1905, ia lulus dari Akademi Militer dengan pangkat kapten, dan penugasan pertamanya adalah di Angkatan Darat ke-5 di Damaskus. Pengalaman awalnya melibatkan Perang Italia-Turki di Libya dan Perang Balkan (1911–1913), yang mengeksposnya secara langsung pada kelemahan struktural dan korupsi Ottoman, memperkuat keyakinannya bahwa hanya reformasi radikal yang dapat menyelamatkan negara. Ia juga menjadi anggota gerakan revolusioner Turki Muda yang berhasil menggulingkan Sultan pada tahun 1909.
Pembuktian Strategis di Gallipoli (Çanakkale, 1915)
Kekalahan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I hampir pasti. Namun, perannya yang menonjol dalam Pertahanan Gallipoli (Çanakkale) adalah momen kunci yang mengangkat Mustafa Kemal ke panggung nasional. Ia kembali ke Gallipoli pada tahun 1915 sebagai komandan Divisi ke-19, yang berfungsi sebagai unit cadangan utama Angkatan Darat ke-5 Turki.
Perannya sangat krusial dalam menggagalkan pendaratan Anzac (Australia and New Zealand Army Corps) pada bulan April 1915. Ketika Inggris mencoba memecahkan kebuntuan Dardanelles melalui pendaratan di Suvla Bay pada Agustus 1915, Mustafa Kemal kembali memainkan peran penting. Ia diberi komando pasukan yang mempertahankan punggung bukit di atas teluk dan berhasil menghentikan pergerakan Inggris dari pantai menuju ketinggian Anafartalar, memerintahkan serangan balik yang sengit. Kemenangan yang ia raih dalam Pertempuran Anafartalar (9–10 Agustus) dan Pertempuran Anafartalar Kedua (21 Agustus) sangat menentukan.
Perintahnya yang terkenal kepada tentaranya, “Saya tidak memerintahkan Anda untuk menyerang, saya memerintahkan Anda untuk mati,” tidak hanya mengangkat moral tetapi juga mengubah nasib Front tersebut, memastikan bahwa upaya Sekutu untuk merebut Dardanelles gagal. Setelah pertempuran Agustus, ia dianugerahi gelar Pasha. Keberhasilan militer ini memberikan modal politik dan legitimasi yang tak ternilai bagi peran revolusionernya di masa depan.
Kemenangan di Gallipoli, yang di kemudian hari diperkuat oleh rezim yang ia dirikan, menjadi dasar mitologis bagi Republik baru. Historiografi Kemalis secara sengaja membesar-besarkan peran tunggal Kemal, menggambarkannya sebagai pemenang tunggal kampanye tersebut, sementara menghilangkan peran komandan senior Jerman dan Ottoman lainnya, seperti Jenderal Otto Liman von Sanders. Pembentukan kultus kepribadian yang tak tertandingi ini, yang bahkan didukung lebih lanjut oleh junta militer pada tahun 1980 , menunjukkan bahwa penciptaan mitos heroik adalah komponen vital dari ideologi Nasionalisme Kemalis (Milliyetçilik). Hal ini diperlukan agar Republik dapat mengklaim kemerdekaan total dan menolak masa lalu kekaisaran, dengan pahlawan pendirinya dilihat sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran total.
Peran Revolusioner dan Arsitektur Negara (Peran)
Perang Kemerdekaan dan Pembentukan Majelis Agung Nasional
Setelah kekalahan Ottoman pada tahun 1918, sisa-sisa kekaisaran terancam oleh rencana partisi yang diusung oleh Sekutu. Mustafa Kemal memimpin Gerakan Nasional, mengorganisir perlawanan terhadap intervensi asing dan melawan pasukan Yunani yang didukung Inggris.
Langkah politik pertama yang krusial adalah pendirian Majelis Nasional Agung Turki (GNAT) di Ankara pada tahun 1920. Majelis ini didirikan dengan premis bahwa kedaulatan berada di tangan bangsa Turki, sebuah tantangan langsung terhadap otoritas Sultan yang masih berkuasa di Istanbul. Melalui GNAT, Kemal berhasil mengalahkan kekuatan serangan Prancis, Republik Armenia, dan menyingkirkan tentara Yunani, yang berpuncak pada pengakuan kedaulatan penuh Turki melalui Perjanjian Lausanne.
Pembongkaran Institusi Ottoman dan Pendirian Republik
Dengan kemenangan militer yang diamankan, Kemal bergerak cepat untuk membongkar struktur institusional Ottoman yang sudah berusia enam abad.
- Penghapusan Kesultanan (1922): Dewan Agung Nasional yang dipimpin Mustafa Kemal menghapuskan kekuasaan temporal Kesultanan pada tanggal 1 November 1922. Secara taktis, Kemal awalnya mengusulkan pemisahan peran Sultan (kekuasaan politik) dan Khalifah (kekuasaan spiritual), terinspirasi oleh Bani Abbasiyah. Tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan dualisme kekuasaan eksekutif dan memastikan bahwa otoritas politik hanya berada di tangan GNAT. Bersamaan dengan ini, pusat pemerintahan dipindahkan dari Istanbul ke Ankara pada 13 Oktober 1923.
- Proklamasi Republik (1923): Setelah mengesahkan konstitusi pada tahun 1921 yang menegaskan kedaulatan di tangan rakyat, Turki secara resmi dideklarasikan sebagai Republik, dan bukan Negara Khalifah, pada tahun 1923. Mustafa Kemal diangkat sebagai presiden pertama Republik Turki.
- Penghapusan Kekhalifahan (1924): Keputusan paling definitif dalam revolusi sekuler terjadi pada 3 Maret 1924, ketika Majelis Agung menghapuskan jabatan Khalifah secara mutlak. Meskipun terdapat perdebatan sengit, keputusan ini mengakhiri simbol otoritas spiritual Islam transnasional yang tersisa di Turki. Penghapusan ini membuktikan bahwa Kemalisme tidak akan mentolerir dualisme kekuasaan atau sumber legitimasi yang berbasis agama.
Keputusan untuk memindahkan ibu kota dari Istanbul—pusat kekaisaran, Kekhalifahan, dan sejarah Islam—ke Ankara, sebuah kota di Anatolia, adalah tindakan simbolis yang melampaui logistik. Ankara adalah kota baru yang tidak terbebani oleh simbol dan jaringan lama Ottoman. Langkah ini memperkuat prinsip Reformisme dan Nasionalisme, menandakan pemutusan fisik dan historis dari masa lalu kekaisaran, dan berfokus pada Anatolia sebagai jantung murni identitas Turki yang baru. Penghapusan mutlak Kekhalifahan merupakan penekanan keras pada Laikisme radikal dan penolakan eksistensi agama dalam kehidupan negara.
Ideologi Negara: Analisis Mendalam Enam Pilar Kemalisme (Altı Ok)
Kemalisme, atau Atatürkism, adalah ideologi politik yang menjadi dasar pendirian Republik Turki. Ideologi ini, yang dipimpin oleh Partai Rakyat Republikan (CHP) dan dipersonifikasikan oleh Atatürk, dirancang untuk mengubah Turki menjadi negara-bangsa modern, sekuler, dan industrial. Simbolnya adalah Enam Anak Panah (Altı Ok), yang diyakini dirancang oleh İsmail Hakkı Tonguç. Prinsip-prinsip Enam Anak Panah ditambahkan ke dalam Konstitusi Turki pada 5 Februari 1937.
Analisis Pilar-Pilar Kunci dan Hubungannya
Pilar | Prinsip Utama | Tujuan Kebijakan |
Republikanisme (Cumhuriyetçilik) | Kedaulatan berada di tangan bangsa (parlemen). | Menggantikan Kesultanan dan Kekhalifahan dengan sistem pemerintahan elektif. |
Nasionalisme (Milliyetçilik) | Kesatuan bangsa Turki, identitas homogen, dan kebijakan Turkifikasi. | Pembersihan bahasa dari pengaruh asing; menciptakan negara-bangsa yang kohesif. |
Populisme (Halkçılık) | Kesetaraan di mata hukum; tanpa perbedaan kelas; kekuasaan milik rakyat. | Pemberian hak sipil dan politik yang setara, termasuk hak suara bagi wanita. |
Laikisme (Laiklik/Sekularisme) | Pemisahan total agama dari negara, politik, hukum, dan pendidikan. | Penghapusan institusi agama dari semua bidang kehidupan publik. |
Statisme (Devletçilik) | Intervensi aktif negara dalam perencanaan dan investasi ekonomi. | Pembangunan infrastruktur dan industrialisasi di bawah kontrol negara. |
Reformisme (İnkılapçılık) | Komitmen untuk revolusi berkelanjutan dan mengganti institusi lama dengan yang modern. | Implementasi Reformasi Abjad, UU Pakaian, dan reformasi total. |
Dinamika Internal Pilar Ideologis
Salah satu fitur paling kompleks dari Kemalisme adalah hubungan simbiotik antara Laikisme dan Nasionalisme. Laikisme yang diterapkan secara radikal di Turki adalah mekanisme utama untuk mencapai Nasionalisme. Identitas Ottoman bersifat multi-etnis dan Islamis, sementara Kemalisme bertujuan menciptakan negara-bangsa (nation-state) yang kohesif. Dengan menekan Islam, yang merupakan elemen pemersatu Ottoman dan transnasional, Laikisme memfasilitasi homogenisasi di bawah identitas Turki sekuler. Dalam pandangan Kemal, ikatan agama harus diputus atau dikendalikan ketat karena agama merupakan ancaman terhadap kedaulatan sekuler. Oleh karena itu, Laikisme radikal adalah pembersihan ideologis untuk menciptakan ruang bagi identitas nasional yang baru.
Pilar Populisme (Halkçılık) juga menunjukkan kontradiksi internal. Meskipun secara resmi menekankan kesetaraan dan kedaulatan rakyat, reformasi Laikisme dan budaya justru secara aktif menyerang “Islam yang dianut rakyatnya”. Hal ini mengungkapkan sifat paternalistik dalam Kemalisme: negara yang diwakili oleh elit sekuler, memutuskan apa yang dianggap terbaik untuk rakyat (kemajuan dan modernitas), dan memaksa rakyat untuk menerimanya. Populisme dalam konteks Kemalisme berarti bahwa kedaulatan berada di tangan bangsa, tetapi interpretasi dan pelaksanaan kedaulatan tersebut dipegang oleh elit sekuler Kemalis melalui rezim satu partai yang sangat diktator.
Implementasi Reformasi Totaliter (Warisan Kebijakan)
Reformasi Atatürk (Atatürk İnkılapları atau Türk Devrimi) adalah serangkaian perubahan politik, hukum, keagamaan, budaya, sosial, dan ekonomi yang dirancang untuk mengubah Republik Turki menjadi negara-bangsa modern dan sekuler.
Reformasi Hukum dan Politik
Di bidang hukum, reformasi ini bersifat Westernisasi institusional. Pemerintah Kemalis menghapuskan Kementerian Syariah, sebutan Syaikh al-Islam, dan Kementerian Wakaf karena dianggap memiliki unsur agama. Untuk menyekularisasi hubungan pribadi, hukum waris dan pernikahan yang sebelumnya didasarkan pada hukum Islam digantikan dengan kode sipil yang dimodelkan dari Eropa. Meskipun bersifat otoritarian, perlu dicatat bahwa selama masa kepresidenannya, wanita Turki menerima hak sipil dan politik yang setara, sebuah langkah yang sangat progresif untuk masanya.
Sekularisasi Pendidikan dan Budaya
Tiga bidang utama penerapan sekularisme adalah negara, pendidikan, dan hukum. Sekularisasi pendidikan diatur melalui Undang-Undang Unifikasi dan Sekularisasi Pendidikan (Tevhid-i Tedrisat) pada 3 Maret 1924. Undang-undang ini menghapus sekolah agama (madrasah) dan menyerahkan semua pendidikan di bawah kendali negara. Upaya Kemal dalam bidang pendidikan menunjukkan keinginannya agar kurikulum benar-benar “steril dari campur tangan syariat”. Dalam upaya modernisasi, Kemal bahkan melantik profesor-profesor Jerman berbangsa Yahudi sebagai bagian dari program pembaharuan sistem pendidikan.
Revolusi Bahasa dan Pemutusan Kultural
Reformasi bahasa adalah salah satu langkah paling signifikan dalam upaya memutuskan hubungan Turki dengan masa lalu Ottoman dan Timur Tengah.
Reformasi Abjad (1928): Pada 1 November 1928, alfabet Turki yang baru, yang terdiri dari 29 huruf berbasis Latin, diperkenalkan untuk menggantikan aksara Perso-Arab yang digunakan sebelumnya. Sebuah Komisi Bahasa (Dil Encümeni) dibentuk untuk mengadaptasi aksara Latin agar sesuai dengan fonetik bahasa Turki. Meskipun Komisi mengusulkan masa transisi lima tahun, Atatürk memangkasnya menjadi hanya tiga bulan, dan undang-undang ini mulai berlaku wajib pada 1 Januari 1929.
Tujuan utama reformasi ini dijelaskan oleh presiden kedua Turki, İsmet İnönü, yang menyatakan bahwa manfaat besar dari reformasi abjad adalah memfasilitasi jalan menuju reformasi budaya, dan secara tak terhindarkan, ini memutuskan hubungan Turki dengan budaya Arab. Dengan menggantikan tulisan Arab, Turki memaksa generasi muda untuk melihat ke Barat, bukan ke Timur Tengah. Langkah ini terbukti berhasil meningkatkan tingkat melek huruf dari 9% menjadi 33% dalam waktu 10 tahun. Selain reformasi abjad, terjadi pula upaya sistematis untuk membersihkan bahasa Turki dari kata-kata serapan Arab dan Persia.
Matriks Reformasi Kunci Atatürk (1922–1934)
Sektor Reformasi | Kebijakan Kunci | Tanggal Kunci | Implikasi Kultural/Legal |
Politik & Konstitusi | Penghapusan Kesultanan | 1 November 1922 | Akhir sistem monarki Ottoman. |
Politik & Agama | Penghapusan Kekhalifahan | 3 Maret 1924 | Sekularisasi mutlak, penolakan otoritas spiritual. |
Pendidikan | UU Tevhid-i Tedrisat | 3 Maret 1924 | Menghapus sekolah agama, kurikulum steril dari Syariat. |
Hukum | Adopsi Kode Sipil Barat | Pasca-1924 | Penghapusan Hukum Waris/Pernikahan Islam. |
Budaya & Bahasa | Reformasi Abjad Latin | 1 November 1928 | Pemutusan hubungan dengan masa lalu Ottoman/Arab; peningkatan literasi. |
Sosial | Undang-Undang Topi/Pakaian | 1925 & 1934 | Memaksakan penampilan publik ala Barat. |
Rekayasa Sosial Melalui Simbol
Kemal juga melancarkan “serangan terhadap simbol-simbol peradaban Eropa” dan “sekularisasi kehidupan sosial”. Pakaian menjadi medan perang ideologi. Pada tahun 1925, parlemen mengesahkan Undang-Undang Topi (Hat Law) yang mewajibkan penggunaan topi gaya Barat dan melarang Fez bagi pria. Langkah serupa terjadi pada tahun 1934 dengan Law Relating to Prohibited Garments, yang melarang pakaian berbasis agama (seperti kerudung dan sorban) ketika dikenakan di luar tempat ibadah. Reformasi ini menargetkan penghapusan identitas visual keagamaan di ruang publik. Dengan memaksa perubahan pakaian, negara secara eksplisit mendefinisikan apa artinya menjadi warga negara Turki “modern” dan secara paksa mengarahkan rakyat menuju penerimaan peradaban Eropa.
Reformasi lainnya meliputi penggantian azan dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki, pengubahan Masjid Hagia Sophia menjadi museum , adopsi Kalender Gregorian, sistem 24-jam, dan angka-angka ala Barat. Semua ini mencerminkan obsesi Kemal pada pemikiran Barat dan keinginannya untuk pembaharuan di segala bidang kehidupan masyarakat Turki.
Kritik, Otoritarianisme, dan Warisan Jangka Panjang
Meskipun Mustafa Kemal dihormati sebagai Ghazi (pahlawan yang menang) dan bapak pendiri , rezimnya dan warisannya sarat dengan kontradiksi, terutama terkait otoritarianisme dan radikalitas Laikisme.
Sifat Otoritarian Rezim Satu Partai
Selama periode kepresidenan Atatürk (1923–1938), Turki dijalankan sebagai rezim satu partai yang sangat diktator. Sistem politik Kemalisme, meskipun berlandaskan Republikanisme, pada praktiknya menolak pluralisme. Kebebasan beribadah, meskipun dijamin negara, dijalankan dengan semangat nasionalisme yang radikal dan dipaksakan oleh Kemalis. Sikap negara dan aparaturnya semakin keras bila ada gerakan masyarakat yang mencoba mengancam ideologi sekularisme.
Terdapat ironi yang mendefinisikan sistem Kemalis: Kemal menerapkan langkah-langkah sosial yang sangat liberal—misalnya, memberikan hak politik penuh kepada wanita —sementara secara bersamaan menjalankan rezim yang diktator. Hal ini mencerminkan paternalisme Kemalis, di mana kemajuan sosial dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat menunggu proses demokrasi yang lambat atau resistensi tradisional. Kemajuan ini harus dipaksakan dari atas oleh elit yang tercerahkan (Kemal dan pengikutnya), menggunakan otoritarianisme satu partai sebagai alat untuk mencapai tujuan modernisasi sosial yang liberal.
Radikalitas Sekularisme (Laikisme)
Sekularisme yang diterapkan pada era reformasi Kemalis bersifat radikal, ditandai dengan “serangan terhadap pusat-pusat kekuatan tradisional ulama yang sudah melembaga” dan “serangan terhadap Islam yang dianut rakyatnya”. Kebijakan seperti pelarangan penggunaan hijab, penggantian azan ke bahasa Turki, dan penolakan eksistensi agama dalam kehidupan publik merupakan perubahan total yang sangat kontras dengan pemerintahan Ottoman sebelumnya. Laikisme radikal ini menciptakan pembagian ideologis yang tajam antara elit perkotaan yang pro-Barat dan mayoritas pedesaan yang religius, sebuah perpecahan yang terus membentuk politik Turki modern.
Militer sebagai Penjaga Warisan
Warisan struktural Kemalisme yang paling kontroversial adalah peran yang dilembagakan bagi militer Turki (Türk Silahlı Kuvvetleri – TSK) sebagai penjaga ideologi. Kudeta militer di Turki didasari oleh tanggung jawab kalangan militer sebagai “penjaga sekularisme” di Turki yang merasa perlu turun tangan untuk menyelamatkan ajaran Kemalisme.
Konstitusi Turki 1982, yang merupakan hasil referendum pasca-kudeta, memberikan payung politik dan hukum bagi militer untuk menguasai semua lembaga negara dan membubarkan pemerintahan jika dianggap perlu demi menjaga sekularisme di Turki. Dengan menginstitusionalkan hak militer untuk melakukan intervensi, Kemalisme mengubah ideologi politik menjadi dogma negara yang tidak dapat diubah melalui proses demokrasi biasa. Ini menciptakan sistem di mana kedaulatan rakyat (Cumhuriyetçilik) dibatasi oleh persyaratan ideologis (Laikisme) yang dilindungi oleh kekuatan non-elektif, menjadikannya warisan yang paling menghambat konsolidasi demokrasi multipartai penuh.
Implikasi Sosio-Ekonomi Statisme
Meskipun analisis mendalam tentang dampak sosio-ekonomi rinci dari kebijakan Kemalis tidak tersedia dalam catatan, pilar Statisme (Devletçilik) menunjukkan bahwa negara mengambil peran sentral dalam pembangunan ekonomi. Hal ini melibatkan industrialisasi dan pembangunan infrastruktur di bawah kontrol negara yang masif. Statisme adalah respons terhadap keterlambatan industrialisasi Ottoman dan keengganan sektor swasta untuk berinvestasi dalam skala besar. Kebijakan ini, yang juga didukung oleh rekrutmen keahlian Barat seperti profesor-profesor Jerman untuk modernisasi pendidikan , menunjukkan pragmatisme Kemalisme: penolakan total terhadap tradisi Timur Tengah/Islam untuk mendapatkan keahlian teknis Barat yang diperlukan guna membangun negara yang kuat dan modern.
Kesimpulan
Mustafa Kemal Atatürk adalah figur yang kontroversial namun tidak terhindarkan dalam sejarah modern. Ia adalah arsitek tunggal yang menyelamatkan bangsa Turki dari keruntuhan total pasca-Ottoman dan membangun Republik modern. Keberhasilan militernya di Gallipoli memberinya legitimasi yang ia gunakan untuk memimpin Perang Kemerdekaan dan pembongkaran sistem kekaisaran, yang berpuncak pada penghapusan Kesultanan dan Kekhalifahan.
Namun, modernitas yang ia impor harus dibayar mahal melalui rekayasa sosial yang dipaksakan dan rezim politik yang otoritarian. Ideologi Kemalisme, yang termaktub dalam Enam Anak Panah, secara fundamental bersifat revolusioner, menggunakan Laikisme sebagai alat untuk mencapai Nasionalisme homogen. Keputusan untuk menghapuskan Kekhalifahan dan mengganti aksara Arab adalah tindakan pemutusan historis dan kultural yang mendefinisikan kembali orientasi geopolitik Turki dari Timur ke Barat.
Warisan Atatürk adalah sebuah negara yang kuat, berdaulat, dan stabil di mata hukum internasional. Namun, ia meninggalkan Republik yang secara ideologis terbelah antara elit sekuler dan basis massa yang religius. Kemalisme, yang dilembagakan melalui Konstitusi dan TSK, tetap menjadi doktrin resmi , menciptakan sistem di mana reformasi sosial dipaksakan dari atas, dan kedaulatan rakyat sering kali dinegosiasikan dengan tanggung jawab militer sebagai penjaga ideologi. Republik Turki hari ini masih bergulat dengan keseimbangan yang rumit antara warisan sekularisme radikal yang dipaksakan dan tuntutan demokrasi pluralistik yang lebih inklusif.