Charles Darwin, seorang naturalis Inggris yang lahir pada tahun 1809, menunjukkan ketertarikan yang konsisten terhadap ilmu pengetahuan sejak masa mudanya. Pendidikan formalnya, bagaimanapun, membentuk fondasi intelektual yang kontradiktif, yang akhirnya ia gunakan sebagai landasan untuk membangun teori revolusionernya.

Pada tahun 1825, Darwin dikirim ayahnya ke Universitas Edinburgh untuk mempelajari kedokteran. Selama berada di sana, ia terpapar pada “ide-ide berbeda” pada masanya, termasuk pandangan evolusionis awal yang dikemukakan oleh Jean-Baptiste Lamarck, melalui mentornya Robert Edmond Grant. Pandangan-pandangan ini menentang dogma kreasionis yang dominan.

Setelah gagal dalam studi kedokteran, Darwin pindah ke Christ’s College, Cambridge, pada tahun 1828, dengan tujuan untuk menempuh pendidikan sebagai seorang ulama. Di lingkungan Cambridge ini, para mentornya sebagian besar mendukung konsep providential design (desain berdasarkan kehendak Tuhan). Secara khusus, Darwin sangat mengagumi karya William Paley, terutama Natural Theology (1802). Paley berpendapat bahwa keteraturan dan kompleksitas organ biologis, seperti mata manusia, menunjukkan bukti tak terbantahkan adanya Desainer Ilahi, sama seperti ditemukannya teleskop yang membuktikan keberadaan pembuat jam tangan yang cerdas.

Ketertarikan mendalam Darwin pada argumen Paley—sebuah fakta yang ia ingat sebagai satu-satunya bagian yang berguna dari pendidikan formalnya di Cambridge—menjadi penting bagi perkembangan evolusionisme radikalnya. Kehebatan teori Seleksi Alam yang kemudian ia kembangkan terletak pada kemampuannya untuk secara langsung menjawab tantangan yang diajukan oleh Paley, yaitu bagaimana organisme menjadi sangat adaptif terhadap lingkungannya, namun tanpa memerlukan Desainer. Pemahaman yang menyeluruh terhadap paradigma desain yang dominan ini memungkinkan Darwin untuk merumuskan antitesis teoretis yang sama kuatnya.

Pelayaran HMS Beagle (1831–1836): Metodologi Empiris dan Pengumpulan Bukti

Atas saran seorang profesor botani, Darwin, yang saat itu berusia 22 tahun, menerima undangan untuk bergabung dengan pelayaran HMS Beagle sebagai naturalis. Pelayaran mengelilingi dunia ini, yang berlangsung selama hampir lima tahun (mulai 27 Desember 1831 hingga 2 Oktober 1836) , terbukti sangat krusial dalam “pembentukan” diri Darwin.

Perjalanan ini memberinya disiplin mental dan kesempatan eksplorasi yang luas, terutama di hutan Brazil dan Pegunungan Andes. Meskipun pelayaran berlangsung hampir lima tahun, Darwin menghabiskan sebagian besar waktu itu di darat—tiga tahun dan tiga bulan—dibandingkan hanya 18 bulan di kapal. Sebagai gentleman naturalist, ia memiliki kebebasan untuk turun dari kapal untuk jangka waktu yang lama, mengejar minatnya sendiri dalam mengumpulkan tanaman, hewan, dan fosil, serta mencatat secara rinci.

Koleksi dan catatan lapangan yang ekstensif ini, yang mencakup pengamatan terhadap spesies unik seperti burung dengan kaki biru cerah dan kura-kura raksasa di Kepulauan Galápagos , memberikan bukti empiris yang ia butuhkan untuk mengembangkan teorinya.

Periode eksplorasi ini memiliki implikasi metodologis yang lebih luas daripada sekadar pengumpulan spesimen. Di Andes, Darwin melihat proses geologis yang berlangsung lambat, sejalan dengan prinsip Uniformitarianisme Charles Lyell. Kombinasi antara skala waktu geologis yang sangat panjang dengan observasi variasi biologis, terutama adaptasi finch di pulau-pulau berbeda, memungkinkan terjadinya modifikasi kecil yang ia lihat berakumulasi menjadi spesies baru. Tanpa kerangka waktu geologis yang panjang ini, mekanisme Seleksi Alam tidak akan mungkin terjadi. Selama perjalanan, catatan-catatan Darwin mulai memberikan petunjuk mengenai pandangannya yang berubah tentang gagasan kekakuan spesies (fixity of species).

The Voyage of the Beagle (1839): Bukti Awal

Setelah kembali ke Inggris pada tahun 1836, Darwin mulai membandingkan dan menganalisis spesimen yang dikumpulkannya. Hasil dari catatan perjalanannya diterbitkan pertama kali pada tahun 1839 dengan judul Journal and Remarks, yang kemudian dikenal sebagai The Voyage of the Beagle. Publikasi ini segera memberinya ketenaran dan rasa hormat yang signifikan di kalangan ilmiah.

Meskipun judulnya menyoroti perjalanan, karya ini pada dasarnya adalah catatan terperinci observasi Darwin tentang geologi, sejarah alam, dan antropologi di berbagai wilayah, termasuk Amerika Selatan dan Kepulauan Galápagos. Buku tersebut merupakan memoar perjalanan yang hidup sekaligus jurnal ilmiah.

Secara pribadi, karya ini mendokumentasikan transisi penting Darwin dari karir yang tidak menentu menjadi seorang naturalis terkemuka. Narasi tersebut tidak hanya menangkap observasi ilmiahnya, tetapi juga mencerminkan respons emosional Darwin terhadap kondisi sosial, termasuk dampak perbudakan dan realitas keras kehidupan di antara masyarakat adat. Edisi revisi tahun 1845 mulai memasukkan isyarat-isyarat tentang ide-idenya mengenai keturunan bersama (common descent) dan seleksi alam.

On the Origin of Species (1859) dan Teori Sentral Evolusi

Krisis dan Publikasi Origin

Meskipun Darwin telah mengembangkan ide-idenya tentang evolusi melalui seleksi alam selama puluhan tahun, publikasi On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life diterbitkan pada 24 November 1859, dipercepat oleh faktor eksternal. Pemicunya adalah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda yang bekerja di Kepulauan Nusantara Melayu, yang mengirimkan makalahnya kepada Darwin, yang secara independen menyentuh ide seleksi alam yang sama.

Darwin menganggap volume yang diterbitkan ini sebagai abstrak singkat dari teori yang telah ia kembangkan. Buku ini, yang ditujukan untuk pembaca non-spesialis , menyajikan argumen kuat untuk teori evolusi, yang menjadi fondasi biologi evolusioner. Cetakan pertama buku ini habis terjual dalam hitungan hari.

Tesis sentral Darwinian mengenai kehidupan dapat diringkas menjadi dua pokok pandangan utama :

  1. Pewarisan dengan Modifikasi (Descent with Modification): Bentuk kehidupan yang beranekaragam muncul melalui pewarisan dengan modifikasi dari spesies nenek moyangnya.
  2. Seleksi Alam (Natural Selection): Mekanisme modifikasi yang bekerja secara terus-menerus selama periode waktu yang sangat panjang adalah seleksi alam.

Mekanisme Seleksi Alam (Natural Selection): Empat Pilar

Seleksi alam didefinisikan sebagai prinsip bertahan hidup di mana variasi yang bermanfaat bagi organisme akan memberikan peluang yang sangat tinggi untuk bertahan dalam perjuangan untuk bertahan hidup, dan melalui prinsip pewarisan, mereka akan menghasilkan keturunan yang memiliki karakteristik yang sama.

Mekanisme ini dibangun di atas empat pilar observasi:

  1. Variasi yang Universal (Variation): Darwin berpendapat untuk ubiquitas variasi di alam. Yang paling signifikan, Darwin dan Wallace menjadikan variasi antar individu dari spesies yang sama sebagai hal yang sentral dalam memahami dunia alam. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan tradisional bahwa variasi hanyalah penyimpangan kecil yang tidak penting dari arketipe spesies yang tetap.
  2. Perjuangan untuk Bertahan Hidup (Struggle for Existence): Organisme memiliki potensi perkembangbiakan geometris, tetapi sumber daya terbatas. Hal ini menciptakan kompetisi universal. Perjuangan ini paling ketat terjadi antara individu dan varietas dari spesies yang sama.
  3. Kelangsungan Hidup Diferensial (Differential Survival): Individu yang memiliki variasi menguntungkan (sifat yang dipilih untuk) cenderung memiliki keberhasilan reproduksi yang lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki sifat yang dipilih melawan.
  4. Pewarisan (Heredity): Variasi yang menguntungkan akan diturunkan lebih sering kepada keturunan, sehingga variasi tersebut dipertahankan dalam populasi.

Pergeseran fokus dari tipe atau spesies sebagai entitas tetap menjadi populasi sebagai satuan terkecil yang dapat berkembang merupakan implikasi ilmiah yang fundamental. Menurut kerangka Darwin, evolusi terjadi sebagai perubahan dalam frekuensi ciri-ciri dalam populasi dari waktu ke waktu. Konsep bahwa “spesies hanyalah varietas yang sangat ditandai dan permanen” secara teoretis menghilangkan batas kaku antara varietas dan spesies, yang merupakan kunci untuk teori keturunan bersama (common descent).

Hipotesis Sementara Pangenesis (1868): Kelemahan Teoretis Darwin

Meskipun Darwin menyediakan mekanisme yang kuat (Seleksi Alam), pada saat publikasi Origin, ia tidak memiliki penjelasan yang memadai tentang bagaimana pewarisan bekerja, suatu elemen penting agar variasinya dapat diakumulasikan.

Untuk mengatasi kelemahan ini, Darwin mengajukan “hipotesis sementara Pangenesis” pada tahun 1868 dalam bukunya The Variation of Animals and Plants under Domestication. Teori ini mengemukakan bahwa semua sel dalam organisme mampu melepaskan partikel kecil yang disebut gemmules. Gemmules ini beredar ke seluruh tubuh dan akhirnya berkumpul di organ reproduksi untuk ditransfer ke keturunan.

Yang penting, Pangenesis memungkinkan pewarisan karakteristik yang diperoleh, sebuah gagasan yang disukai oleh Lamarck. Darwin berhipotesis bahwa perubahan lingkungan atau penggunaan/tidak digunakan suatu organ dapat memodifikasi gemmules yang terkait, sehingga perubahan ini dapat diwariskan.

Namun, Pangenesis menerima kritik keras dan popularitasnya menurun dengan cepat di tahun 1890-an. Hipotesis ini digantikan oleh teori Germ-Plasm August Weismann, yang menetapkan penghalang permanen antara sel nutfah (germ cells) dan sel somatik, sehingga informasi hanya dapat mengalir ke satu arah, secara efektif menolak pewarisan sifat yang didapat. Kegagalan Pangenesis menyoroti bahwa Darwinisme awal masih memiliki celah signifikan dalam mekanisme hereditasnya sebelum penemuan kembali karya Gregor Mendel pada awal abad ke-20.

Karya Pasca-Origin dan Metodologi Eksperimental

The Descent of Man (1871): Evolusi Moralitas dan Kecerdasan

Dua belas tahun setelah Origin, Darwin menerbitkan The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex (1871). Karya ini memperluas prinsip evolusi untuk mencakup manusia secara eksplisit, sebuah langkah logis namun kontroversial yang sempat ia hindari. Tujuan tunggal buku ini adalah untuk mempertimbangkan apakah manusia diturunkan dari bentuk pra-eksisting, bagaimana perkembangannya, dan nilai perbedaan rasial.

Darwin berargumen bahwa manusia berevolusi dari bentuk kehidupan yang lebih rendah, menantang gagasan penciptaan ilahi yang unik untuk kemanusiaan. Ia menunjukkan kesamaan anatomi yang luas (struktur tubuh, embriologi, dan organ vestigial) antara manusia dan hewan lain. Selain itu, ia berpendapat bahwa sifat-sifat mental, termasuk akal dan rasa moral, juga berevolusi melalui proses alami.

Peran utama dalam evolusi manusia, menurut Darwin, dimainkan oleh seleksi seksual. Ia menyimpulkan bahwa semua manusia termasuk dalam satu spesies, dan bahwa variasi antar ras adalah hasil dari seleksi seksual. Dengan menerapkan proses naturalistik untuk menjelaskan asal usul moralitas dan kecerdasan, Darwin secara efektif membongkar benteng filosofis terakhir kreasionisme, yaitu klaim bahwa jiwa atau moralitas manusia tidak dapat dijelaskan oleh mekanisme alami.

Studi Mendalam: Kontribusi Eklektik Darwin

Di samping karya-karya revolusioner tentang evolusi, Darwin adalah seorang sarjana yang sangat metodis yang menghabiskan bertahun-tahun untuk mengumpulkan dan mengamati secara cermat. Pendekatan ilmiahnya ditandai oleh studi yang sangat terperinci dan eklektik, termasuk karya-karya tentang teritip, anggrek, dan, yang paling mengejutkan bagi rekan-rekannya, cacing tanah.

Karya terakhirnya, The Formation of Vegetable Mould Through the Action of Worms, with Observations on Their Habits, diterbitkan pada tahun 1881. Buku ini membahas peran ekologis penting cacing tanah dalam membolak-balikkan tanah. Darwin telah mengamati cacing tanah selama 40 tahun. Ia menggunakan eksperimen jangka panjang, seperti mengamati bagaimana serpihan kapur, abu, atau kerikil yang diletakkan di permukaan tanah terkubur beberapa inci di bawah permukaan seiring waktu. Ia menyimpulkan bahwa cacing tanah bertanggung jawab atas pembentukan lapisan tanah subur, suatu proses geologis-biologis yang lambat.

Meskipun diejek oleh rekan-rekannya yang menganggap subjeknya terlalu sepele untuk seorang naturalis genius , buku ini dilaporkan terjual lebih banyak daripada Origin , menggarisbawahi metodologi ilmiah Darwin yang teguh dan komprehensif, di mana observasi jangka panjang dan eksperimen sederhana digunakan untuk menjelaskan fenomena alam yang tampaknya sepele namun berdampak besar.

Kontroversi dan Penerimaan Awal Teori Evolusi

Konflik Teologis: Desain Cerdas Melawan Proses Tak Terarah

Teori Darwinian mengenai evolusi segera menarik perhatian dan kontroversi intens, baik dari komunitas ilmiah maupun publik umum, karena implikasi sosial dan agama yang mendalam.

Pada awal abad ke-19 di Inggris, ilmu pengetahuan, terutama biologi, erat kaitannya dengan Natural Theology. William Paley telah mempopulerkan pandangan bahwa studi tentang alam adalah studi tentang “karya-karya Tuhan”. Teori evolusi, dengan mekanisme seleksi alam yang tidak terarah dan berbasis probabilitas, secara langsung menggantikan Desainer Ilahi dengan proses alami dan membutuhkan skala waktu yang sangat panjang. Ini menantang keyakinan mendasar bahwa spesies diciptakan sebagai bagian dari hierarki yang dirancang dan bahwa manusia adalah entitas unik yang tidak terkait dengan hewan lain.

Inti dari konflik ini adalah pertanyaan tentang asal-usul adaptasi. Paley melihat kesempurnaan adaptasi (misalnya, mata) sebagai bukti Desain Cerdas. Darwin, sebaliknya, menyajikan bukti bahwa kompleksitas tersebut muncul melalui akumulasi variasi yang bermanfaat selama periode waktu yang sangat panjang. Perdebatan ini berlanjut hingga hari ini, di mana argumen Paley terus dirujuk oleh pendukung kreasionisme modern dan dilawan oleh para ahli biologi evolusioner.

Perdebatan Publik di Oxford (1860): Menguatnya Darwinisme

Kontroversi teologis mencapai klimaks publiknya pada tanggal 30 Juni 1860, hanya tujuh bulan setelah publikasi Origin, dalam apa yang dikenal sebagai “The Great Debate” di Oxford University Museum. Peristiwa ini, yang diadakan selama pertemuan tahunan British Association for the Advancement of Science, mempertemukan ideologi ilmiah yang baru dengan dogma keagamaan yang mapan.

Di satu sisi berdiri Samuel Wilberforce, Uskup Oxford, seorang orator ulung yang mempertahankan kreasi alkitabiah dengan kekuatan penuh pelatihan teologisnya. Di sisi lain adalah Thomas Henry Huxley, seorang ahli biologi muda yang brilian dan pendukung setia Darwin—dijuluki “Darwin’s Bulldog”.

Meskipun tidak ada catatan verbatim yang akurat dari bentrokan tersebut, momen yang paling dikenang adalah ketika Huxley membalas ejekan Wilberforce tentang garis keturunan kera dengan menyatakan bahwa ia lebih memilih keturunan dari seekor kera daripada dari seorang pria yang menggunakan bakatnya untuk menipu dan menyesatkan. Perdebatan yang sengit itu, meskipun Darwin sendiri tidak dapat hadir karena sakit , diingat sebagai penolakan publik yang signifikan terhadap kreasionisme , yang menunjukkan bahwa teori Darwin mulai mendapatkan tempat di kalangan cendekiawan, meskipun para partisipan diyakini merasa masing-masing telah memenangkan perdebatan tersebut.

Evolusi Teori: Dari Darwinisme Klasik ke Sintesis Modern (Neo-Darwinism)

Meskipun Seleksi Alam adalah mekanisme yang kuat, Darwinisme murni pada awalnya memiliki kelemahan teoretis. Kekuatan teori ini melemah karena adanya masalah pewarisan pencampuran (blending inheritance), di mana ciri-ciri orang tua akan “rata-rata” pada keturunan, yang seharusnya membuat variasi menguntungkan hilang seiring waktu, dan kurangnya mekanisme hereditas yang solid (kegagalan Pangenesis).

Seiring berjalannya waktu, teori Darwin direvisi dan diperkuat, mengarah pada apa yang disebut Neo-Darwinism. Istilah ini awalnya digunakan (sejak 1895) untuk merujuk pada kombinasi pandangan Darwin dan August Weismann. Weismann secara tegas menolak Lamarckisme, berpendapat bahwa perubahan lingkungan pada tubuh (somatik) tidak dapat diwariskan, dan evolusi terjadi melalui seleksi alam yang bekerja pada materi genetik.

Puncak penguatan teori ini adalah Sintesis Modern (Modern Synthesis, sekitar tahun 1942), yang secara populer juga sering disebut Neo-Darwinism. Sintesis ini adalah rekonsiliasi dan integrasi teori seleksi alam Darwin dengan genetika Mendel, yang menjelaskan bahwa variasi diskret (terisolasi) yang menjadi sasaran seleksi disebabkan oleh mutasi gen. Sintesis Modern tetap menjadi fondasi biologi evolusioner kontemporer.

Legasi Ideologis dan Penyimpangan Pseudosaintifik

Warisan Darwin meluas jauh melampaui biologi, meresap ke dalam filsafat, politik, dan sosiologi, meskipun banyak aplikasi sosial yang populer merupakan penyimpangan pseudoscientific dari prinsip biologisnya.

5.1. Darwinisme Sosial: Misaplikasi Ideologis “Survival of the Fittest”

Darwinisme Sosial mengacu pada serangkaian teori pseudoscientific dan praktik sosial yang secara keliru menerapkan konsep seleksi alam biologis ke dalam sosiologi, ekonomi, dan politik manusia.

Istilah kunci dalam teori ini, “survival of the fittest,” sebenarnya diciptakan oleh sosiolog Herbert Spencer, bukan oleh Darwin. Spencer, bersama William Graham Sumner di AS, menggunakan konsep ini untuk menjelaskan dan membenarkan disparitas kekayaan yang meningkat pada masyarakat industri. Mereka berargumen bahwa individu yang “fit” (yaitu, yang kaya dan berkuasa) harus melihat kekayaan mereka meningkat, sementara yang “lemah” harus jatuh.

Teori ini secara ideologis mendukung kapitalisme laissez-faire dan menentang intervensi negara, seperti bantuan untuk orang miskin, dengan alasan bahwa membantu yang kurang beruntung adalah tindakan yang bertentangan dengan “hukum alam” dan akan menghambat kemajuan.

Penyimpangan mendasar dari biologi Darwin adalah bahwa Darwinisme Sosial secara keliru menggunakan proses alami yang amoral sebagai justifikasi moral (kekeliruan “appeal to nature”). Berbeda dengan pandangan pendukung Darwinisme Sosial yang hanya menekankan persaingan tanpa henti, Darwin sendiri dalam karya selanjutnya berpendapat bahwa naluri sosial (social instincts), seperti simpati dan sentimen moral, juga berevolusi melalui seleksi alam karena naluri ini memperkuat masyarakat di mana naluri tersebut terjadi. Darwinisme Sosial, dalam kontrasnya, hanya berfokus pada hasil yang keras dan individualistis.

Eugenika (Eugenics): Seleksi Buatan pada Manusia

Eugenika—yang secara harfiah berarti “kreasi yang baik”—adalah keyakinan dan praktik yang bertujuan untuk “meningkatkan kualitas genetik populasi manusia” melalui seleksi buatan. Konsep ini dikemukakan oleh sepupu Charles Darwin, Sir Francis Galton, pada tahun 1883.

Eugenika dibagi menjadi dua jenis :

  1. Eugenika Positif: Mendorong individu yang dianggap “terbaik” untuk bereproduksi lebih banyak.
  2. Eugenika Negatif: Melarang atau membatasi individu yang dianggap “terburuk” (misalnya, yang dicap memiliki disabilitas intelektual, kemiskinan, atau sifat buruk) untuk bereproduksi.

Ideologi eugenika menyebabkan konsekuensi sosial yang parah, termasuk sterilisasi paksa (seperti yang didukung dalam keputusan Mahkamah Agung AS, Buck v. Bell ) dan digunakan untuk membenarkan rasisme, pembatasan imigrasi rasial, dan demonisasi kelompok yang kurang beruntung dengan menyalahkan kemiskinan atau moral yang longgar pada faktor genetik. Meskipun ideologi ini muncul dari lingkup keluarga Darwin (Galton), penting untuk dicatat bahwa Charles Darwin sendiri dilaporkan menentang prinsip-prinsip yang digunakan untuk membenarkan eugenika.

Konflik Kontemporer: Evolusi dan Desain Cerdas (Intelligent Design)

Dalam konteks modern, kontroversi teologis yang dihadapi Darwin kembali muncul dalam bentuk Intelligent Design (ID). ID adalah argumen pseudoscientific yang diajukan oleh para pendukungnya (seperti Discovery Institute ) yang mengklaim bahwa ciri-ciri tertentu dari makhluk hidup, seperti kompleksitas yang tak tersederhanakan (irreducible complexity), paling baik dijelaskan oleh penyebab cerdas (intelligent cause), bukan oleh proses tak terarah seperti seleksi alam.

Secara fundamental, ID adalah manifestasi modern dari argumen Paley yang lama—bahwa desain membutuhkan desainer. Namun, ID dianggap oleh konsensus ilmiah sebagai kreasionisme yang kurang dukungan empiris dan tidak menawarkan hipotesis yang dapat diuji, dan oleh karena itu, bukan merupakan ilmu pengetahuan.

Perbedaan kunci antara ID dan evolusi Darwin terletak pada kebutuhan akan teleologi: Evolusi Darwinian adalah proses alami yang terjadi melalui diferensiasi reproduksi tanpa memerlukan kecerdasan atau tujuan akhir. Sebaliknya, ID secara eksplisit mengasumsikan dan membutuhkan intervensi Desainer.

Perbandingan Konseptual: Evolusi Biologis Darwin dan Kontroversi Ideologis

Karakteristik Evolusi Biologis Darwin (Seleksi Alam) Darwinisme Sosial (Spencer, Galton) Desain Cerdas (Intelligent Design – ID)
Mekanisme Pendorong Proses alami, bertahap, tak terarah; diferensial survival dan reproduksi. Persaingan sosial/ekonomi tanpa batas; “Survival of the Fittest” ideologis. Penyebab cerdas, supranatural, atau disengaja di balik kompleksitas biologis.
Unit Perubahan Populasi dan Variasi Individu (genetika pada Sintesis Modern). Ras, kelas sosial, atau bangsa; untuk pembenaran kekayaan/kekuasaan. Sistem Biologis (misalnya, Irreducible Complexity).
Sifat Proses Deskriptif; Amoral (tidak memiliki tujuan moral). Normatif/Preskriptif; Digunakan untuk membenarkan tindakan sosial (Eugenika, Imperialisme). Teleologis (berbasis tujuan); Memerlukan intervensi perancang.
Hubungan dengan Darwin Berasal dari observasi Darwin sendiri. Misaplikasi konsep biologi ke sosiologi; bertentangan dengan pandangan Darwin tentang moralitas. Kebangkitan argumen William Paley, yang secara langsung ditentang oleh Darwin.

Kesimpulan

Charles Darwin telah secara definitif mengubah pemahaman ilmiah tentang kehidupan di Bumi. Fondasi kerjanya dibangun di atas pengalaman empiris yang luar biasa selama pelayaran HMS Beagle , yang memberikan bukti yang dibutuhkan untuk menanggapi tantangan teologis yang ia pelajari secara mendalam di Cambridge, terutama dari Natural Theology karya Paley.

Karya utamanya, On the Origin of Species (1859), menetapkan dua tesis: keturunan dengan modifikasi dan seleksi alam sebagai mekanisme utamanya. Kekuatan sentralnya terletak pada pengakuan terhadap variasi individu dalam populasi sebagai bahan mentah evolusi. Walaupun teori awal Darwin memiliki kekurangan—terutama dalam hipotesis Pangenesis yang keliru tentang pewarisan —kerangka kerjanya kemudian diperkuat secara fundamental melalui integrasi genetika Mendel ke dalam Sintesis Modern.

Meskipun Darwin berhasil menaturalisasi asal-usul makhluk hidup, warisannya dibebani oleh kontroversi yang meluas. Secara ideologis, ide-idenya disalahgunakan oleh Darwinisme Sosial dan Eugenika untuk membenarkan ketidaksetaraan dan kebijakan diskriminatif, yang ironisnya bertentangan dengan pandangan Darwin sendiri tentang evolusi naluri sosial. Secara teologis, teorinya memicu perdebatan sengit pada masanya (Debat Oxford 1860) , dan konflik ini berlanjut hingga kini dalam bentuk argumen Desain Cerdas.

Pada akhirnya, kontribusi terbesar Darwin adalah pemisahan penjelasan biologis dari kebutuhan akan teleologi, membuktikan bahwa adaptasi dapat muncul melalui proses alami, bertahap, dan tanpa tujuan. Kerangka kerja evolusioner yang ia ciptakan tetap menjadi salah satu teori yang paling tahan banting, teruji, dan fundamental dalam sejarah ilmu pengetahuan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = 2
Powered by MathCaptcha