Muhammad bin Abdullah bin Battutah, lahir pada tahun 1304 M di Tangier, Maroko, pada masa pemerintahan Kesultanan Marinid, adalah sosok multidimensi: seorang faqih (ahli hukum Islam), alim (cendekiawan), dan penjelajah. Pendidikan awalnya berpusat pada ilmu hukum di kota kelahirannya. Pada usia 21 tahun, tepatnya tahun 1325 M, Ibn Battuta memulai perjalanannya, yang dikenal sebagai Rihlah, dengan tujuan utama yang bersifat spiritual, yaitu menunaikan ibadah Haji ke kota suci Mekkah.
Perjalanan keagamaan awal ini dengan cepat berkembang menjadi sebuah eksplorasi geografis dan budaya selama tiga dekade. Rihlah berlangsung sekitar 29 hingga 30 tahun, berakhir pada tahun 1354 M. Jarak tempuh total yang ia catat mencapai sekitar 117.000 km (73.000 mil). Skala perjalanan ini menjadikannya penjelajah paling ekstensif di era pra-modern, melampaui jarak yang ditempuh oleh Zheng He dan Marco Polo. Jangkauan geografisnya mencakup sebagian besar Dar al-Islam (Dunia Islam), termasuk Afrika Utara, Asia, Semenanjung Iberia (Al-Andalus), India, dan Tiongkok.
Rihla dalam Historiografi dan Kritik Sumber Awal
Karya utama yang mendokumentasikan perjalanan ini dikenal sebagai Ar-Rihlah, dengan judul formal Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār (Hadiah bagi Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keajaiban Perjalanan). Dalam analisis historiografi, khususnya pada tahapan Kritik sumber , penting untuk mempertimbangkan bagaimana teks ini disusun.
Ibn Battuta tidak menulis catatan harian secara teratur. Setelah kembali ke Maroko pada tahun 1354 M, ia mendiktekan pengalamannya kepada seorang editor sastra, Muhammad bin Juzayy Al-Gharnathi, atas anjuran Sultan Abu Inan Faris. Peran Ibn Juzayy melampaui transkripsi; ia menyusun narasi, memperbaiki bahasa, menambahkan hiasan sastra, dan bahkan menyertakan deskripsi berdasarkan pengalamannya sendiri.
Lingkup dan Tujuan Laporan
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis kontribusi Rihlah sebagai sumber primer abad ke-14. Analisis difokuskan pada pengungkapan dampak sosio-politik, terutama peran Ibn Battuta dalam sistem yudisial dan diplomasinya, serta warisan ilmiahnya, yang meliputi kontribusi geografis, deskripsi etnografis yang mendalam, dan dokumentasi sejarah global seperti Maut Hitam (Black Death).
Identitas Ibn Battuta sebagai seorang faqih bukan sekadar latar belakang, melainkan modal sosial yang menentukan lintasan perjalanannya. Keahliannya dalam ilmu hukum (sebagai alim atau cendekiawan) memungkinkannya mendapatkan akses ke elite politik dan hukum di seluruh Dar al-Islam, yang pada gilirannya memberinya perlindungan, pendanaan, dan jabatan tinggi (seperti Qadi di Delhi). Perjalanannya, oleh karena itu, dapat dilihat sebagai studi perbandingan praktik hukum dan budaya secara langsung.
Rihlah: Teks Kritis Dan Dinamika Penyusunan Sumber
Narasi Lisan dan Kompilasi Ar-Rihlah
Proses penyusunan Rihlah merupakan faktor kunci dalam memahami karakteristik teks tersebut. Ibn Battuta kembali ke Maroko pada tahun 1354 M. Lima tahun sebelum kematiannya, ia mulai mendiktekan kisah perjalanannya. Inisiatif penerbitan buku ini datang dari Sultan Abu ‘Inan, yang menunjuk Ibn Juzayy Al-Gharnathi, seorang ulama dari Granada, untuk mengedit dan menyusun memoar tersebut.
Ibn Juzayy bertanggung jawab untuk menyusun narasi secara kronologis, memperbaiki bahasa lisan Ibn Battuta, dan menyusunnya menjadi sebuah buku perjalanan yang lengkap. Namun, dalam proses ini, Ibn Juzayy juga menambahkan sentuhan sastranya dan, dalam beberapa kasus, memasukkan deskripsi atau komentar pribadinya sendiri tentang tempat-tempat yang kebetulan pernah ia kunjungi, seperti catatannya mengenai Gibraltar. Intervensi penyuntingan ini mengubah Rihlah dari sekadar catatan perjalanan menjadi sebuah karya sastra yang dijiwai oleh kepentingan patronase politik.
Isu Keandalan dan Kritik Historiografi Terhadap Narasi Teks
Para akademisi modern telah mengidentifikasi beberapa masalah inheren dalam Rihlah yang timbul dari proses kompilasinya yang terlambat dan tereduksi. Masalah utama terletak pada akurasi kronologi. Terdapat keraguan mengenai urutan perjalanannya di Anatolia, dan bahkan apakah ia benar-benar mengunjungi beberapa tempat yang diklaim, seperti Sana’a di Yaman.
Keraguan ini juga meluas pada detail perjalanannya ke Tiongkok. Meskipun ia mencatat kehadiran komunitas Muslim di pelabuhan , beberapa detail tentang geografi dan praktik lokal Tiongkok dianggap kurang akurat oleh beberapa sejarawan, yang menduga Ibn Battuta mungkin mengandalkan sumber-sumber lain atau ingatan yang sudah samar, mengingat diktasi dilakukan puluhan tahun setelah peristiwa terjadi.
Oleh karena itu, Rihlah tidak boleh dibaca sebagai jurnal harian yang akurat secara faktual-kronologis, melainkan sebagai memoar yang diperkuat secara sastra dan bertujuan untuk memetakan kekayaan intelektual dan jaringan politik-agama Dar al-Islam. Meskipun kelemahan kronologis ada, nilai historis Rihlah tetap tak tertandingi dalam detail deskriptifnya yang mendalam tentang etnografi, hukum, dan geografi, yang merupakan hasil dari pengamatan langsung yang cermat. Konflik antara tujuan Ibn Battuta sebagai pengamat pragmatis dan tujuan Ibn Juzayy sebagai editor sastranya menjelaskan mengapa deskripsi kultural cenderung unggul dibandingkan urutan waktu peristiwa yang kaku.
Dampak Sosio-Politik: Hukum, Tirani, Dan Diplomasi
Keterlibatan dalam Sistem Yudisial Global
Keahlian Ibn Battuta dalam hukum Islam memungkinkannya untuk menembus struktur politik tertinggi di berbagai kekhalifahan dan kesultanan. Ia tiba di India pada tahun 1333 M dan diangkat sebagai Qadi (Hakim) di Delhi, ibu kota Kesultanan Delhi, di bawah Sultan Muhammad Tughluq. Jabatan ini ia pegang selama enam tahun. Pengangkatan ini merupakan hasil dari upaya Sultan Tughluq untuk merekrut cendekiawan dan administrator Muslim asing yang terampil (seperti dari Maghribi) guna memperkuat kontrol pemerintah Muslim minoritas atas populasi Hindu yang mayoritas di India.
Setelah meninggalkan India, Ibn Battuta juga menjabat sebagai Hakim Agung (Chief Judge) di Maladewa. Di sana, ia memainkan peran yang jauh lebih aktif dan reformis dalam menegakkan syariat dan tradisi Islam. Perannya di Delhi dan Maladewa menyoroti mobilitas tinggi para profesional keilmuan Muslim di seluruh dunia Islam, di mana fiqh adalah mata uang yang dapat diperdagangkan, memungkinkan para ulama untuk menempuh jarak yang sangat jauh demi mengejar posisi dan kekayaan.
Kritik Terhadap Tirani dan Analisis Dinamika Kekuasaan di Delhi
Rihlah menyajikan salah satu analisis psikologis dan politik terbaik tentang tirani abad ke-14. Ibn Battuta melukiskan potret Sultan Muhammad Tughluq sebagai penguasa yang sangat murah hati namun pada saat yang sama, sangat kejam dan terbiasa menumpahkan darah. Ibn Battuta menyaksikan secara langsung bagaimana Sultan menghukum kesalahan kecil dan besar tanpa pandang bulu terhadap semua lapisan masyarakat, termasuk para ulama dan bangsawan. Ratusan orang setiap hari dibelenggu dan dibawa ke balai audiensi untuk dieksekusi, disiksa, atau dicambuk.
Pengalaman ini memicu ketegangan psikologis yang besar pada Ibn Battuta, yang mengakui perasaannya yang campur aduk antara teror dan kekaguman terhadap despot tersebut, membuatnya hidup dalam ketakutan harian akan keselamatannya. Tinjauan ini menunjukkan kerapuhan Kesultanan Delhi, yang berdiri di atas penaklukan dan terus menghadapi pemberontakan Hindu serta ancaman invasi Mongol. Kekejaman Tughluq dapat dipahami bukan sekadar sifat pribadi, tetapi sebagai respons politik ekstrem yang menggunakan teror untuk mempertahankan kekuasaan di tengah tekanan internal dan eksternal yang parah.
Diplomasi dan Jaringan Politik Islam
Ibn Battuta secara formal terlibat dalam diplomasi antar-sultan ketika ia ditugaskan sebagai utusan Sultan Muhammad Tughluq kepada Kaisar Mongol di Tiongkok pada tahun 1342 M. Misi ini menunjukkan pentingnya posisinya dalam jaringan politik, di mana ia dipercaya untuk memimpin rombongan besar yang membawa harta benda, termasuk 200 budak Hindu dan 100 kuda, sebagai hadiah kepada Kaisar. Meskipun misi ini berakhir dengan bencana (perampokan dan kapal karam di Calicut) , penugasan tersebut menegaskan peran para ulama sebagai perantara politik yang menghubungkan penguasa Muslim di seluruh benua.
Koneksi politik juga terjalin di Asia Tenggara, di mana ia diterima dengan hangat oleh Sultan Malik Azh-Zhahir dari Samudera Pasai. Perjalanan ini memperkuat jalur komunikasi politik dan agama antara dunia Barat Islam (Maghribi), India, dan Asia Tenggara, menunjukkan adanya Dar al-Islam yang terintegrasi secara fungsional untuk tujuan politik, perdagangan, dan penyebaran agama.
Dampak Ilmiah I: Etnografi Dan Antropologi Kultural
Pemetaan Batas Kultural Dar al-Islam
Rihlah adalah dokumen penting untuk antropologi kultural karena kemampuannya memetakan batas-batas kultural dan agama Dunia Islam. Ibn Battuta mencatat bahwa di wilayah pinggiran, seperti di Anatolia, umat Kristen dilindungi dan diperlakukan dengan hormat di bawah kekuasaan Muslim Turkmen. Namun, ketika ia mencapai Tiongkok, yang merupakan wilayah di luar pemerintahan Muslim (Dar al-Islam) , ia merasa sangat tidak nyaman dan terasing karena dominasi “paganisme” sehingga ia sering memilih untuk tinggal di dalam ruangan.
Meskipun merasa tidak nyaman, ia selalu dapat mengandalkan jaringan komunitas Muslim yang mapan di kota-kota pelabuhan Tiongkok, yang didirikan oleh para pedagang. Kehadiran komunitas ini menunjukkan bahwa jaringan perdagangan telah membentuk kantong-kantong Muslim yang memberikan dukungan, guru, dan hakim yang diperlukan bagi pelancong dan pedagang, memfasilitasi perjalanan lintas budaya sejauh itu.
Dokumentasi Ritual Kritis: Sati di India
Salah satu pengamatan etnografis paling berharga yang dicatat Ibn Battuta adalah ritual Hindu Sati (pembakaran janda) di India pada abad ke-14. Sebagai seorang pengamat asing, catatannya memberikan perspektif yang netral dan detail tentang praktik yang saat itu diterima secara kultural.
Ia menjelaskan bahwa Sati, meskipun bersifat kejam, dilakukan secara sukarela dan membawa kehormatan besar bagi sang janda dan keluarganya. Ibn Battuta merinci prosesinya: perayaan selama tiga hari, janda yang dihias mewah, dan perannya dalam prosesi yang dipimpin oleh Brahmana (pendeta Hindu). Ia juga mencatat kepercayaan bahwa janda tersebut dapat menyampaikan pesan kepada leluhur di akhirat. Catatan ini berfungsi sebagai etnografi perbatasan yang fundamental, memungkinkan sejarawan untuk memahami ritual keagamaan India pra-kolonial dari sudut pandang seorang saksi mata Muslim Abad Pertengahan.
Variasi Hukum dan Studi Gender (Maladewa)
Melalui perannya sebagai Hakim Agung di Maladewa, Ibn Battuta mencatat variasi signifikan dalam praktik hukum perkawinan. Ia mengamati kemudahan pernikahan sementara yang marak di Maladewa, di mana para pelaut yang singgah akan menikah dengan wanita lokal dan menceraikannya ketika mereka hendak berlayar kembali.
Selain itu, ia mencatat bahwa wanita di pulau-pulau tersebut jarang meninggalkan negara mereka, menunjukkan adanya disparitas mobilitas sosial yang signifikan antara pria pelaut dan wanita lokal. Observasi ini penting untuk memahami fleksibilitas dan adaptasi penerapan hukum Islam (fiqh) dalam konteks maritim yang unik, serta dinamika peran sosial gender di kepulauan tersebut.
Bukti Sejarah Islam di Nusantara (Samudera Pasai)
Perjalanan Ibn Battuta ke Samudera Pasai di Sumatera pada tahun 1345 M memberikan bukti sejarah kritis mengenai Islamisasi di Asia Tenggara. Ia mengkonfirmasi bahwa Samudera Pasai, yang diperintah oleh Sultan Malik Azh-Zhahir, adalah satu-satunya kerajaan Muslim yang merdeka di kawasan tersebut pada pertengahan Abad ke-14.
Ibn Battuta mencatat ketaatan yang kuat terhadap syariat, termasuk ketaatan raja dan rakyatnya yang berbondong-bondong menghadiri salat Jumat. Sebagai seorang ahli hukum, ia bahkan memberikan penjelasan mengenai hukum Islam kepada masyarakat setempat. Catatan ini merupakan salah satu deskripsi saksi mata tertua dan paling kredibel tentang bagaimana Islam telah mengakar di Nusantara, menjadikannya sumber historis yang tak tergantikan.
Dampak Ilmiah Ii: Geografi, Ekonomi, Dan Sejarah Global
Kontribusi Geografis dan Pemetaan Jalur Perdagangan
Rihlah merupakan kontribusi substansial terhadap geografi historis, yang mendokumentasikan jalur perdagangan maritim dan darat pada Abad ke-14. Ibn Battuta memberikan informasi rinci tentang rute darat di Stepa Asia Tengah. Ia mencatat sistem hukum ketat di Tanah Golden Horde dan Chagatai, di mana pencurian hampir tidak ada karena hukuman yang berat (penggantian properti sepuluh kali lipat), sehingga memungkinkan kuda, unta, dan aset dibiarkan merumput bebas tanpa penjaga. Keamanan ini secara langsung mendukung perdagangan jarak jauh di Jalur Sutra.
Jaringan Ekonomi Maritim dan Teknologi Kapal
Dalam konteks ekonomi maritim, Ibn Battuta adalah sumber primer yang sangat baik. Ia mendeskripsikan Calicut di Pantai Malabar sebagai salah satu pelabuhan terbesar di dunia, dikunjungi oleh pedagang dari seluruh Samudera Hindia dan Asia.
Selain itu, observasinya mengenai teknologi kapal Tiongkok sangat berharga, di mana ia membedakan antara kapal besar (junks), kapal menengah (zaws), dan kapal kecil (kakams). Ia mencatat bahwa junks memiliki tiga hingga dua belas layar, memberikan rincian teknis tentang konstruksi kapal yang mendukung perdagangan antar-kontinental.
Ibn Battuta juga mendokumentasikan sistem moneter lokal yang berbeda. Ia mencatat penggunaan cangkang laut yang disebut Wada (cowrie shells) sebagai mata uang di Maladewa dan Bengal, yang kemudian diekspor ke India dan Tiongkok. Dokumentasi ini menggarisbawahi kompleksitas integrasi moneter pra-modern, di mana sistem komoditas regional beroperasi secara paralel dengan mata uang koin tradisional.
Saksi Mata Pandemi: Dokumentasi Maut Hitam (Black Death)
Salah satu kontribusi historis paling krusial dari Rihlah adalah statusnya sebagai salah satu saksi mata kedatangan dan dampak Maut Hitam (Wabah Bubonic) di Mediterania Timur. Saat kembali melalui Suriah dan Mesir sekitar tahun 1348 M, ia menyaksikan skala kematian yang mengerikan, mencatat hingga 2.000 kematian per hari di Damaskus.
Catatan Ibn Battuta tentang respons sosial di Damaskus sangat unik. Ia mendokumentasikan bahwa semua komunitas agama—Muslim, Yahudi (membawa Taurat), dan Kristen (membawa Injil)—berkumpul, berpuasa, dan melakukan prosesi kolektif tanpa alas kaki, memohon rahmat Tuhan. Dokumentasi respons multi-agama ini menyoroti bagaimana krisis trans-regional dapat melampaui batas-batas doktrinal.
Ironisnya, jaringan konektivitas global yang begitu detail didokumentasikan oleh Ibn Battuta—jalur perdagangan darat yang aman dan rute laut yang efisien—adalah saluran yang sama yang memungkinkan penyebaran cepat Maut Hitam dari Asia Tengah melintasi Eurasia ke Atlantik. Rihlah secara tidak langsung memberikan bukti kuat bahwa konektivitas global Abad Pertengahan adalah mekanisme dua sisi, yang menunjang kemakmuran sekaligus mempercepat krisis epidemi.
Kesimpulan
Rihlah Ibn Battuta adalah mahakarya historis, yang memberikan perspektif multidisiplin yang penting untuk memahami Abad Pertengahan Akhir. Warisannya terletak pada integrasi ilmu hukum, geografi, dan antropologi dalam satu narasi perjalanan.
Secara sosio-politik, Rihlah menawarkan studi kasus yang mendalam tentang mobilitas ulama Muslim dan peran mereka sebagai administrator dan diplomat dalam jaringan kekhalifahan yang terfragmentasi. Dokumentasinya tentang tirani Sultan Tughluq dan kebutuhannya untuk mencari perlindungan menunjukkan ketegangan antara kepatuhan hukum ideal dan realitas politik yang keras.
Secara ilmiah, Rihlah merupakan sumber etnografis yang sangat kaya. Catatan-catatannya mengenai ritual Hindu Sati, praktik hukum pernikahan di Maladewa, dan konfirmasi sejarah Islam di Samudera Pasai adalah fondasi penting bagi studi komparatif. Selain itu, Rihlah menyediakan peta historis jalur perdagangan global yang sangat akurat, termasuk informasi tentang mata uang komoditas dan teknologi kelautan. Yang paling signifikan bagi sejarah global, catatan Ibn Battuta sebagai saksi mata Maut Hitam memberikan wawasan unik tentang skala pandemi dan respons sosial yang bersatu di tengah krisis.
Meskipun kritik sumber menyoroti kelemahan kronologis karena proses kompilasi yang terlambat oleh Ibn Juzayy, kekuatan Rihlah yang abadi terletak pada detail deskriptifnya. Ibn Battuta berhasil mendokumentasikan momen-momen kritis dalam sejarah dunia, menggarisbawahi bahwa konektivitas global pra-modern sudah sangat maju, sebuah koneksi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan perdagangan, tetapi juga berfungsi sebagai jalan bagi bencana epidemi global. Rihlah tetap menjadi salah satu sumber tunggal yang paling komprehensif untuk memahami dunia Islam dan perbatasan budaya lainnya pada Abad ke-14.