Tulisan ini menyajikan analisis interdisipliner mendalam mengenai dua aliran pemikiran dan budaya yang kontras, yang secara fundamental membentuk masyarakat dan institusi di Eropa: Romantisisme, dengan manifestasi paling ikoniknya di Prancis, dan Pragmatisme, yang mengakar dalam etos sosial politik Skandinavia (Model Nordik). Perbandingan ini meneliti bagaimana perbedaan filosofis dalam mendefinisikan kebenaran, nilai, dan peran individu telah menghasilkan struktur sosial, sistem politik, estetika, dan dinamika kebahagiaan nasional yang sangat berbeda.
Akar Filosofis dan Kontekstualisasi Historis
Romantisisme Prancis dan Pragmatisme Skandinavia tidak hanya mewakili estetika yang berbeda, tetapi juga metodologi yang bertentangan dalam menanggapi tantangan modernitas—satu memilih emosi yang mendalam, yang lain memilih kegunaan yang terukur.
Romantisisme Prancis: Pemberontakan terhadap Rasio dan Pemujaan Gloire
Romantisisme muncul sebagai sebuah gerakan seni, sastra, dan intelektual yang meluas di Eropa Barat, bermula pada abad ke-18. Gerakan ini secara spesifik merupakan reaksi terhadap dominasi Rasionalisme yang dipromosikan oleh Abad Pencerahan serta kekacauan sosial yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri. Di Prancis, Romantisisme mencapai puncaknya sebagai gerakan yang mendalam dan reaksioner pada abad ke-18 hingga ke-19, dipicu oleh gejolak Revolusi Prancis.
Prinsip inti Romantisisme Prancis menekankan superioritas emosi, perasaan, dan spontanitas atas logika dan intelektual murni. Filsafat ini mempromosikan penekanan yang kuat pada nilai-nilai kebajikan umat manusia, keadilan universal, dan seruan untuk “kembali ke alam”. Secara tekstual, sastra Romantis bersifat pribadi dan intens, menggambarkan kedalaman emosi yang jauh melampaui objektivitas yang terlihat dalam sastra klasik atau neoklasik.
Di Prancis, Romantisisme tidak hanya menjadi gaya seni tetapi juga menjadi penggerak politik simultan, yang erat kaitannya dengan idealisme revolusioner dan pencarian kebebasan. Sosok sentral dalam gerakan ini adalah Victor Hugo (1802-1885), seorang penyair, dramawan, novelis, dan negarawan yang mewujudkan semangat Romantis. Karya-karyanya, seperti Notre-Dame de Paris, menyajikan melodrama yang sarat intrik, drama, dan tragedi, yang secara eksplisit maupun implisit memperjuangkan kebebasan berseni dan bermasyarakat. Tokoh-tokoh seperti Quasimodo dan Frollo dalam novel tersebut menjadi arketipe Romantis yang terperangkap dalam perjuangan besar yang penuh gairah dan berujung tragis.
Gerakan ini menegaskan bahwa jika emosi dan intensitas subjektif merupakan sumber utama kebenaran, maka konflik sosial yang dramatis—seperti yang digambarkan dalam karya-karya Hugo—tidak dipandang sebagai kegagalan sistemik. Sebaliknya, konflik tersebut diinterpretasikan sebagai ekspresi heroik dan esensial dari perjuangan individu demi cita-cita transenden. Pandangan ini cenderung menciptakan siklus politik Prancis yang lebih berideologisasi dan dramatis jika dibandingkan dengan pendekatan konsensus yang tenang di Skandinavia.
Pragmatisme Skandinavia: Utilitas, Realisme, dan Fondasi Analitis
Pragmatisme, sebagai aliran filsafat, awalnya muncul di Amerika Serikat pada abad ke-19 (melalui tokoh seperti Charles Sandre Peirce dan William James) sebagai respons terhadap skeptisisme, mendefinisikan kebenaran suatu ide berdasarkan manfaat praktisnya atau kegunaannya dalam kehidupan nyata. Fokus utama adalah pada hasil dan utilitas sebagai penentu nilai filosofis.
Meskipun akar filosofis murni berasal dari Amerika, Skandinavia mengembangkan cabang yang memiliki dampak sosial-politik luar biasa, yaitu Realisme Hukum Skandinavia, yang berpusat pada Mazhab Uppsala (Uppsala School). Tokoh kunci dalam aliran ini adalah Axel Hägerström (1868–1939), seorang profesor di Universitas Uppsala. Hägerström secara agresif menyerang idealisme filosofis dan metafisika yang dominan pada masanya, memposisikan Realisme Hukum Skandinavia sebagai padanan dari Filsafat Analitik Anglo-Amerika dan Positivisme Logis Lingkaran Wina.
Kontribusi filosofis Hägerström yang paling relevan terhadap etos Skandinavia adalah penolakannya terhadap nilai-nilai transenden. Ia berpendapat bahwa semua penilaian nilai (value judgments) adalah sekadar ekspresi emosional yang menggunakan bentuk penilaian, namun tidak memiliki status sebagai penilaian yang sebenarnya dalam pengertian ilmiah atau empiris. Posisi ini, yang dikarakterisasi oleh para kritikus sebagai “nihilisme nilai,” menolak konsep-konsep hukum, moral, atau politik idealistik jika konsep tersebut tidak dapat dibuktikan melalui aplikasi ilmiah atau memiliki konsekuensi yang praktis dan terukur.
Penolakan terhadap klaim nilai metafisik ini secara efektif mensterilkan lanskap politik Skandinavia dari perdebatan emosional dan idealistik yang tidak menghasilkan manfaat nyata. Hal ini mendorong fokus politik untuk bergeser secara eksklusif kepada solusi yang berfungsi (utilitas), meletakkan dasar bagi konsensus sosial yang mengutamakan hasil praktis daripada konflik ideologis Romantis.
Epistemologi dan Etos Nilai: Kontras Fundamental
Perbedaan mendasar antara Romantisisme Prancis dan Pragmatisme Skandinavia terletak pada cara mereka mencari dan mendefinisikan kebenaran, yang pada gilirannya membentuk etika sosial dan politik mereka.
Metode Kebenaran: Subjektivitas Melawan Validitas Praktis
Romantisisme Prancis: Kebenaran Subjektif dan Gairah
Dalam Romantisisme, kebenaran dicapai melalui intuisi, pengalaman intens, dan ekspresi gairah yang mendalam. Penilaian nilai ditekankan pada atribut-atribut yang melekat secara subjektif pada subjek atau ide yang diperjuangkan. Dalam konteks sosial, ini berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan “gagasan besar” seperti humanisme universal atau cinta kemanusiaan dihargai, bahkan jika upaya tersebut berakhir dengan tragedi atau kegagalan praktis. Gagasan bahwa nilai spiritual dan artistik melampaui kebutuhan duniawi merupakan inti dari epistemologi ini.
Pragmatisme Skandinavia: Kebenaran Konsekuensial dan Realisme
Sebaliknya, Pragmatisme Skandinavia mengajukan bahwa kebenaran adalah apa yang menghasilkan manfaat praktis bagi kehidupan nyata. Realisme Filosofis Nordik menghubungkan kebiasaan bertindak dengan kognisi; kebiasaan yang efektif dipahami sebagai bentuk interaksi yang praktis. Aliran ini menolak dikotomi antara yang internal (emosi) dan yang eksternal (tindakan), menyatakan bahwa kognisi yang valid harus dihasilkan dari proses kausal fisik, persepsi, dan tindakan.
Dalam kebijakan publik dan etika sosial, ini berarti bahwa energi Skandinavia diarahkan pada empirisme dan apa yang secara faktual terbukti meningkatkan kesejahteraan kolektif. Penekanan pada utilitas ini memiliki implikasi besar pada inovasi. Sementara Romantisisme dapat mendorong inovasi yang didorong oleh visi artistik individual yang radikal, Pragmatisme Nordik, yang mendiskreditkan klaim non-ilmiah atau non-fungsional, memprioritaskan inovasi sistemik, fungsional, dan efisien yang menghasilkan hasil terukur bagi masyarakat luas (misalnya, desain keberlanjutan yang efisien ).
Hubungan Individu dan Masyarakat: Pahlawan vs. Warga Negara Komunal
Model Prancis: Individualisme Heroik dan Drama Sosial
Warisan Romantisisme Prancis melahirkan arketipe Pahlawan Romantis—sosok yang seringkali memberontak, terasing, atau berjuang melawan tatanan yang ada. Nasib individu ini diwarnai drama, tragedi, dan intensitas emosional (seperti contoh sastra pada karya Victor Hugo). Masyarakat dilihat sebagai arena besar konflik ideologis di mana individu yang memiliki gairah harus berjuang untuk mewujudkan cita-cita transenden. Individualisme Romantis ini menekankan kebebasan mutlak dan menoleransi tingkat risiko dan konflik yang tinggi dalam pengejaran ideal tersebut.
Model Skandinavia: Solidaritas Komunal dan Kepercayaan Tinggi
Pragmatisme Skandinavia menghasilkan struktur sosial yang berorientasi pada hasil kolektif. Negara-negara Nordik dibangun di atas filosofi Demokrasi Sosial, yang pilar utamanya adalah: Solidaritas, Kesetaraan (Equality), dan Kepercayaan (Trust). Dalam model ini, Pragmatisme berfungsi sebagai alat pembenar rasional untuk intervensi negara kesejahteraan. Intervensi ini tidak dijustifikasi atas dasar moralitas idealistik, tetapi karena terbukti bermanfaat dan efektif secara praktis dalam menghasilkan masyarakat yang stabil, aman, dan produktif—Model Nordik.
Fokus Pragmatis Nordik bertujuan untuk memitigasi risiko sosial secara ekstensif melalui jaring pengaman negara. Karena sistem ini dibangun di atas kepercayaan sosial yang tinggi dan komitmen pada kesetaraan , masyarakat Skandinavia mengorbankan sebagian dari individualisme heroik demi stabilitas dan utilitas kolektif yang terjamin.
Table I. Perbandingan Epistemologis dan Etos Nilai Inti
Dimensi | Romantisisme Khas Prancis | Pragmatisme Khas Skandinavia |
Sumber Kebenaran | Emosi, Gairah, Intuisi (Subjektivitas) | Manfaat Praktis, Konsekuensi Terukur (Utilitas) |
Nilai Moral/Hukum | Idealistik, Transenden, dan Dramatis | Analitis, Anti-Metafisik (Realisme Hukum) |
Fokus Sosial | Perjuangan Pahlawan Individu (Tragedi) | Solidaritas Komunal dan Kepercayaan Tinggi |
Manifestasi Kultural: Seni, Sastra, dan Lingkungan Terbangun
Kedua filosofi ini tidak hanya memengaruhi pemikiran abstrak, tetapi juga secara nyata membentuk lingkungan fisik dan estetika sehari-hari.
Estetika Romantis Prancis: Grandeur, Drama, dan Neo-Gothic
Dalam seni rupa dan sastra, Romantisisme Prancis dicirikan oleh intensitas yang bertujuan untuk menggerakkan jiwa, seringkali menggunakan tema historis dan sosial yang dramatis. Sebagai reaksi terhadap kesederhanaan rasional Klasisisme, Romantisisme memicu kembali ketertarikan pada arsitektur masa lalu, terutama gaya Gotik.
Gerakan Neo-Gothic (Kebangkitan Gotik), yang mulai mendapatkan momentum di Prancis pada akhir 1780-an, adalah perwujudan arsitektural dari visi Romantis. Dalam estetika ini, arsitektur Gotik dihargai karena “keindahan tersendirinya,” yang seringkali mengabaikan logika struktural murni dan lebih mementingkan visi artistik atau idealisme historis. Bangunan pada masa ini dapat digambarkan sebagai perwujudan arsitektur dari yang “indah” dan artifisial, di mana desain berfungsi untuk membangkitkan rasa sejarah dan keagungan (grandeur), sebuah manifestasi keindahan idealistik yang tidak harus tunduk pada persyaratan fungsional sehari-hari.
Estetika Pragmatis Skandinavia: Fungsionalisme, Efisiensi, dan Etos Keseharian
Estetika Nordik adalah perpanjangan langsung dari filosofi pragmatis. Desain dan arsitektur Skandinavia secara inheren fungsional, menekankan efisiensi ruang dan fleksibilitas, seringkali menggunakan ruang terbuka yang multifungsi. Filosofi ini menuntut bahwa setiap objek dan struktur harus berfungsi secara optimal dan memberikan manfaat nyata bagi penghuninya.
Pragmatisme di kawasan ini diperkuat oleh kondisi geografis dan sosial. Arsitektur modern Skandinavia sangat memperhatikan efisiensi energi, isolasi yang baik, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Keberlanjutan (sustainability)—melalui penggunaan material daur ulang dan sistem energi terbarukan—dianggap sebagai norma desain. Dalam pandangan pragmatis, keberlanjutan dan efisiensi energi di iklim utara bukan sekadar pilihan estetika, melainkan keharusan fungsional. Apabila kebenaran ditentukan oleh manfaat praktis, maka desain yang boros sumber daya atau tidak berkelanjutan dianggap tidak benar dan tidak etis. Estetika fungsionalis ini adalah cerminan dari manajemen sumber daya sosial yang rasional.
Implikasi Sosio-Politik: Dari Revolusi ke Konsensus
Perbedaan dalam kerangka filosofis ini telah menghasilkan dinamika politik dan struktur negara yang kontradiktif.
Dinamika Politik Prancis (Warisan Romantisisme)
Warisan Romantisisme secara historis memengaruhi kecenderungan politik Prancis untuk mengejar transendensi dan keagungan (gloire). Politik sering dipersepsikan sebagai drama moral atau perjuangan ideologis yang membutuhkan tindakan heroik atau revolusi untuk mencapai ideal absolut. Negara cenderung menjadi pusat dramaturgi kekuasaan, yang mewujudkan visi historis atau keagungan nasional, namun pada saat yang sama menjadi titik fokus bagi konflik ideologis yang berulang.
Individualisme yang didorong oleh Romantisisme, di mana hak dan kebebasan dipegang sebagai ideal absolut, sering memicu bentrokan antara cita-cita yang tinggi dengan tuntutan praktis pemerintahan sehari-hari. Ketika politik diselubungi emosi Romantis, legitimasi kekuasaan dapat lebih didasarkan pada karisma, visi heroik, atau kemampuan untuk membangkitkan gairah massa, daripada konsensus institusional yang rasional. Kecenderungan ini menciptakan lingkungan di mana perubahan kekuasaan yang dramatis (seperti siklus revolusi atau coup d’état) lebih mudah dijustifikasi secara moral dan emosional.
Struktur Politik Skandinavia (Model Nordik)
Struktur politik Nordik didukung oleh fondasi filosofis Realisme Hukum dan Pragmatisme. Model Nordik (termasuk flexicurity) dijustifikasi bukan berdasarkan ideal moral transenden, tetapi karena berfungsi secara praktis dalam menciptakan masyarakat yang stabil, produktif, dan adil.
Demokrasi Sosial di Skandinavia didasarkan pada tiga pilar utama: Solidaritas, Kesetaraan, dan Kepercayaan. Tingkat kepercayaan sosial yang tinggi adalah hasil dari pragmatisme ini dan memungkinkan sistem pajak tinggi dan jaring pengaman sosial yang luas berjalan efisien, menunjukkan kemenangan utilitas kolektif atas individualisme emosional. Dalam bidang ekonomi, pendekatan pragmatis tercermin dalam model flexicurity, yang menggabungkan fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan keamanan sosial yang kuat, memungkinkan adaptasi ekonomi yang cepat sambil mempertahankan solidaritas.
Pengaruh filosofis, terutama pandangan Hägerström mengenai nihilisme nilai, cenderung membuat politisi Nordik menghindari perdebatan moralitas yang tinggi dan langsung berfokus pada data empiris dan hasil praktis (“Apakah kebijakan X mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan?”). Hal ini menghasilkan kebijakan publik yang sangat stabil, konsisten, dan kurang dramatis dalam jangka panjang, yang berfokus pada manajemen sumber daya rasional.
Perbandingan Sintesis dan Relevansi Kontemporer
Dua tradisi ini—Romantisisme yang menekankan Hati (Emosi/Visi) dan Pragmatisme yang menekankan Kepala (Logika/Hasil)—menawarkan model masyarakat yang secara diametral berlawanan, dengan konsekuensi mendalam terhadap cara warga negara menjalani hidup dan berinteraksi dengan negara.
Analisis Kontradiksi Utama
Romantisisme menjanjikan pemenuhan ideal transenden, sebuah janji yang sering kali dikaitkan dengan perjuangan dan tragedi. Sebaliknya, Pragmatisme Nordik menjanjikan kebahagiaan melalui penghilangan ketidakpastian dan pemenuhan kebutuhan dasar melalui sistem yang efisien (negara kesejahteraan). Perbedaan filosofis ini menjelaskan mengapa negara-negara Nordik secara konsisten memimpin dalam indeks kepuasan hidup global—sebuah hasil yang didorong oleh hasil praktis dan stabilitas sistem.
Table II. Perbandingan Aksial: Romantisisme Prancis vs. Pragmatisme Skandinavia
Dimensi Perbandingan | Romantisisme Khas Prancis | Pragmatisme Khas Skandinavia |
Fokus Utama | Gairah, Visi, Ideal Absolut | Utilitas, Fungsi, Konsensus |
Epistemologi | Subjektif (Apa yang dirasakan) | Objektif/Empiris (Apa yang berfungsi) |
Etos Estetika | Grandeur, Sentimental, Neo-Gothic | Minimalis, Fungsional, Efisien |
Dinamika Politik | Konflik Revolusioner, Drama Heroik | Solidaritas, Konsensus, Kepercayaan |
Sistem Hukum | Cenderung Idealisme Hukum (Hak Asasi Transenden) | Realisme Hukum (Penolakan Metafisika) |
Kritik dan Keterbatasan
Meskipun keduanya menawarkan kerangka kerja yang kuat, masing-masing menghadapi kritik substantif.
Kritik terhadap Romantisisme Prancis
Romantisisme sering dikritik karena ekses emosional, kurangnya realisme, dan glorifikasi konflik sebagai alat perubahan. Bahaya inherennya terletak ketika pengejaran idealisme transenden, seperti humanisme universal , menjadi terpisah dari realitas praktis, kebutuhan administrasi, dan tata kelola sehari-hari, yang dapat menyebabkan volatilitas dan inefisiensi.
Kritik terhadap Pragmatisme Nordik
Pragmatisme Nordik, dengan fokusnya yang kaku pada apa yang secara praktis bekerja saat ini, dapat dikritik karena “kekurangan visi transenden” atau idealisme spiritual jangka panjang. Ketergantungan pada utilitas sebagai satu-satunya penentu nilai mungkin berisiko meredam ambisi spiritual, filosofis, atau artistik yang melampaui kebutuhan fungsional. Selain itu, penekanan yang kuat pada konsensus dan kolektivitas kadang-kadang dapat menekan individualitas ekstrem atau perdebatan ideologis yang radikal, yang sejatinya penting untuk memicu perubahan paradigma besar.
Sintesis Kontemporer
Di abad ke-21, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti krisis iklim atau ketidaksetaraan global, dunia membutuhkan perpaduan dari kedua tradisi ini. Energi moral dan dorongan radikal Romantisisme sangat penting untuk menginspirasi dan memicu perubahan yang mendesak dan besar, menuntut perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Namun, visi tersebut harus diimbangi dengan pragmatisme Skandinavia untuk merancang dan mengimplementasikan solusi teknokratis yang efisien, terukur, dan berkelanjutan secara sistemik. Dengan kata lain, diperlukan idealisme yang berapi-api untuk mendefinisikan tujuan, dan utilitas yang tenang untuk membangun jalannya.