Seni aktivisme (artivism) didefinisikan sebagai praktik artistik yang tidak hanya bertujuan estetika, tetapi secara eksplisit disubordinasikan pada tujuan politik, sosial, atau kultural. Dalam konteks gerakan perlawanan, seni berfungsi sebagai alat fundamental untuk mobilisasi, edukasi, dan kritik. Karya seni aktivis di Indonesia beroperasi sebagai cermin yang mampu merefleksikan identitas kolektif, baik dalam kondisi harmonis maupun disonans, di ruang publik. Inti dari seni aktivisme adalah kemampuannya untuk menentang narasi hegemoni yang disebarkan oleh kekuasaan dominan, menciptakan apa yang dapat disebut sebagai ekspresi kontra-hegemoni.
Fungsi Multidimensional Karya Seni dalam Mobilisasi Sosial dan Kritik
Peran karya seni jauh melampaui refleksi pasif terhadap realitas sosial; ia memiliki kapasitas formatif yang kuat. Karya seni membentuk dan memperkuat hubungan sosial dan membangun makna bersama yang esensial untuk kesadaran kolektif. Fungsi-fungsi ini bersifat saling terkait dan sangat strategis dalam upaya perubahan sosial:
- Kritik Sosial dan Politik: Seni aktivisme menyediakan narasi alternatif yang dapat menantang narasi resmi negara. Kritik ini sering disampaikan melalui bahasa yang lugas, tidak terinstitusionalisasi, dan mudah diakses, bahkan menggunakan lirik yang ceplas-ceplos atau acak-acakan agar pesan dapat menjangkau basis massa yang lebih luas.
- Edukasi dan Mobilisasi: Medium seni berfungsi sebagai penyebar inspirasi dan motivasi, memfasilitasi diskusi yang mendalam mengenai isu-isu sensitif seperti Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan, dan hak-hak kelompok minoritas.
Analisis terhadap sejarah praktik ini di Indonesia menunjukkan bahwa seni tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi secara inheren terkait dengan mobilisasi politik dan gerakan perlawanan. Ketika karya seni berhasil menciptakan makna bersama—misalnya, mengenai kesenjangan kelas yang didokumentasikan dalam puisi dan lagu—ia memberikan bahasa (simbolis maupun literal) kepada masyarakat untuk mengartikulasikan penderitaan mereka. Proses ini mengubah pengalaman individual akan ketidakadilan menjadi agenda kolektif yang matang dan siap untuk diorganisir menjadi sebuah gerakan nyata, menandai transisi krusial dari kritik pasif menuju aksi kolektif.
Periodisasi Historis Perlawanan Seni di Indonesia
Sejarah seni aktivisme Indonesia adalah kronik adaptasi dan ketahanan, ditandai dengan perubahan strategi seiring dengan pergantian rezim politik.
Orde Lama dan Ideologi Rakyat: LEKRA (1950-1965)
Pada periode awal kemerdekaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang didirikan pada 17 Agustus 1950 oleh tokoh-tokoh seperti DN Aidit, Nyoto, dan AS Dharta, memainkan peran sentral.
- Visi Seni yang Terideologisasi: Misi utama LEKRA adalah mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis. Organisasi ini terbuka bagi semua pekerja kebudayaan, termasuk buruh dan tani, dengan tujuan memerdekakan rakyat, mencakup hak-hak pendidikan dan kebebasan berekspresi.
- Prinsip Utama: Mukadimah LEKRA 1956 mengesahkan visi yang sangat terideologisasi: Seni untuk Rakyat dan Politik sebagai Panglima. Konsep ini mengharuskan seni dinikmati oleh khalayak luas dan secara eksplisit diarahkan untuk menyampaikan aspirasi dan perjuangan rakyat.
Orde Baru dan Penolakan Hegemoni Seni Institusional (1970-1998)
Rezim Orde Baru yang represif memaksa seniman untuk mengembangkan strategi subversif dan non-institusional, terutama dalam merespons kemapanan politik yang terjadi sejak tahun 1980-an.
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) (1974-1989)
GSRB muncul pada 1974 sebagai pemberontakan akademis dan artistik, khususnya di Bandung dan Yogyakarta.
- Akar Protes dan Deklarasi: Gerakan ini menolak konsep institusional seni rupa Indonesia yang membatasi seni hanya pada lukisan dan patung bergaya dekoratif. Protes terkenal, yaitu Protes Desember Hitam (1974), mengkritik tajam kurangnya kesadaran sosial dan politik dalam praktik seni dekoratif yang dinilai hanya melayani selera elit.
- Pergeseran Medium Strategis: GSRB mempelopori penggunaan medium baru seperti instalasi, ready-mades, fotografi, dan seni campuran, menandai kelahiran seni kontemporer Indonesia. Pergeseran ini merupakan respons taktis terhadap rezim, di mana seniman berpindah dari medium kanonik (lukisan galeri yang mudah dikontrol) ke medium yang lebih temporer, konseptual, dan menantang definisi seni yang sempit.
Sastra dan Musik Bawah Tanah sebagai Kritik Sosial
Dalam menghadapi sensor ketat, sastra dan musik menjadi saluran utama kritik yang disebarkan melalui jalur non-formal.
- Iwan Fals dan Lirik yang Membumi: Iwan Fals menjadi simbol kritik sosial-politik Orde Baru. Lagu-lagu legendaris seperti Bento dan Bongkar menggunakan lirik yang ceplas-ceplos dan gaya yang sederhana, yang sangat efektif dalam menampung kegelisahan kaum urban dan masyarakat kelas bawah. Kemudahan aksesibilitas liriknya memungkinkan pesan kritik politik untuk cepat menyebar dan berakar di tengah masyarakat.
- Wiji Thukul dan Sastra Perlawanan: Puisi-puisi Wiji Thukul (era 1980-an hingga 1990-an), terutama dalam karyanya Nyanyian Akar Rumput, secara konsisten mengangkat tema kesenjangan kelas sosial, ketidakadilan politik, dan ketimpangan ekonomi. Keberanian kritik ini memiliki konsekuensi tragis; nasib Thukul yang menghilang pada 1998 dan diyakini menjadi korban penghilangan paksa oleh rezim Orde Baru, menggarisbawahi dampak dan ancaman nyata yang dihadapi oleh kritik artistik terhadap kekuasaan otoriter.
Seni Pertunjukan Aktivis
Seni pertunjukan juga berjuang mempertahankan ruang kritisnya. Teater Luwes di Tjikini, misalnya, berhasil memberikan platform vital bagi seniman muda selama Orde Baru. Selain itu, seniman seperti Ratna Sarumpaet dikenal dengan karya teaternya yang secara eksplisit mengangkat isu hak asasi manusia.
Korelasi antara Otoritarianisme dan Subversi Medium: Periode Orde Baru memperlihatkan bahwa ketika kontrol institusional terhadap seni rupa (galeri) sangat ketat, seniman secara strategis melakukan subversi medium. Seniman rupa bergeser ke bentuk konseptual dan temporer (GSRB) , sementara penulis dan musisi menggunakan saluran non-institusional seperti kaset dan penyebaran oral (Iwan Fals, Wiji Thukul). Evolusi ini menunjukkan ketahanan seni: penolakan terhadap bentuk hegemoni menghasilkan inovasi artistik dalam mencari ruang diseminasi yang sulit diatur.
Warisan Trauma dan Kontinuitas Naratif: Hilangnya Wiji Thukul bukan sekadar insiden individual; itu menjadi simbol represi Orde Baru yang abadi. Narasi trauma ini, bersama dengan ingatan atas kasus Munir (aktivis HAM yang diracun pada 2004) , terus diacu oleh aktivis pasca-Reformasi. Penggunaan narasi sejarah yang belum tuntas ini memberikan legitimasi moral yang kuat terhadap gerakan perlawanan kontemporer, memastikan bahwa isu-isu HAM dari masa lalu tetap relevan dalam diskusi publik.
Untuk memvisualisasikan pergeseran strategi ini, Tabel 1 menyajikan sintesis periodisasi gerakan seni aktivisme di Indonesia.
Table 1: Evolusi Gerakan Seni Aktivisme Indonesia (1950-an hingga Pasca-Reformasi)
Periode | Gerakan Kunci | Medium Dominan | Prinsip/Fokus Kritik |
Orde Lama (1950-1965) | LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) | Sastra, Teater, Seni Rupa Realisme Sosialis | Seni untuk Rakyat, Politik sebagai Panglima (Mewujudkan RI Demokratis) |
Orde Baru (1970-1998) | Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) & Seni Bawah Tanah | Instalasi, Seni Konseptual, Puisi, Musik Protes | Kritik terhadap Seni Dekoratif, Kesenjangan Sosial, Otoritarianisme |
Era Reformasi (1998-Sekarang) | Taring Padi, Kolektif Digital, Street Art Anonim | Mural/Woodcut, Seni Digital/Meme, Media Sosial | HAM, Korupsi, Isu Lingkungan, Kebebasan Berekspresi |
Morfologi Suara Perlawanan: Analisis Medium Spesifik
Medium aktivisme pasca-Reformasi didominasi oleh seni rupa jalanan kolektif dan individu, yang memungkinkan agitasi publik secara langsung.
Seni Rupa Jalanan dan Kolektif (Visual Resistance)
Mural sebagai Tradisi Kritik dan Protes
Mural memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia, mulai dari periode revolusi 1945–1949 dengan pesan-pesan seperti “Merdeka Ataoe Mati,” yang menentang kembalinya penjajah. Perkembangan mural selanjutnya sangat terkait dengan kejatuhan Orde Baru, di mana seni jalanan menjadi bentuk kritik sosial terhadap situasi politik. Meskipun karya ini sering dicap sebagai vandalisme, para seniman memandangnya sebagai medium yang sah untuk menyampaikan kritik sosial dan aspirasi.
Taring Padi: Organisasi, Edukasi, dan Agitasi
Institut Kebudayaan Populer Berbasis Rakyat Taring Padi, didirikan pada 1998, muncul sebagai respons terorganisir terhadap gejolak sosio-politik Reformasi. Aktivitas artistik Taring Padi secara intrinsik dikontekstualisasikan dalam aksi solidaritas dan politik sosial. Mereka beroperasi berdasarkan tiga prinsip inti: mengorganisir, mengedukasi, dan mengagitasi.
Taring Padi menggunakan formula artistik seperti woodcut poster (yang dapat direproduksi massal), wayang kardus (boneka kardus seukuran manusia), dan karnaval seni untuk bekerja bersama berbagai aliansi politik, komunitas nelayan, dan petani. Pendekatan kolektif ini bertujuan menciptakan perubahan sosial yang progresif dan militan, membangun ketahanan jangka panjang melalui infrastruktur kelembagaan, berlawanan dengan hanya berfokus pada hasil seni individual.
Patung sebagai Representasi HAM
Medium seni rupa yang lebih formal, seperti patung, juga menjadi saluran penting. Dolorosa Sinaga, seorang alumnus senior Institut Kesenian Jakarta (IKJ) , dikenal luas karena karya-karyanya yang menggambarkan isu-isu kemanusiaan, hak asasi manusia, dan perjuangan untuk kebebasan. Patung, sebagai medium yang permanen dan monumental, memberikan representasi simbolis yang abadi terhadap isu-isu keadilan yang kerap dilupakan oleh negara.
Dialektika Strategi Kolektif vs. Anonimitas
Terlihat adanya dua strategi utama dalam seni aktivisme visual pasca-Reformasi: (1) Model terstruktur kolektif (Taring Padi, KUNCI Study Forum) yang fokus pada edukasi dan organisasi , dan (2) Model seni jalanan anonim yang berfokus pada agitasi dan ekspresi politik instan.
Mural jalanan anonim, seperti kasus Awas Intel atau Reset Menggila(s) di Yogyakarta , menekankan kecepatan ekspresi dan dampak politik di ruang fisik publik. Namun, model anonim ini rentan terhadap penghancuran segera. Kasus perusakan mural di Jogja yang dibuat oleh Kinky20 menyoroti dilema ini, di mana meskipun seniman berusaha mengikuti etika tak tertulis (meminta izin pemilik mural sebelumnya), intervensi pihak ketiga (orang tak dikenal atau aparat) mengabaikan etika dan secara langsung melanggar hak berekspresi. Ini menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya menghadapi kekuatan rezim, tetapi juga upaya pembungkaman yang bersifat sub-institusional dan ilegal di jalanan.
Seni Aktivisme Kontemporer dan Ruang Digital
Ketika ruang fisik semakin diawasi, seni aktivisme beradaptasi dengan cepat ke ranah digital, menciptakan tantangan baru sekaligus membuka peluang ekspresi yang belum pernah ada sebelumnya.
Ekspresi Kritik di Ruang Digital: Dari Meme ke Mobilisasi Cepat
Ekspresi artistik modern kini telah menjadikan seni digital sebagai bahasa yang integral dan inovatif.
- Meme sebagai Satire Politik: Seni digital, terutama dalam bentuk meme, telah menjadi alat kritik politik yang sangat efektif di Indonesia. Kritik ini sering dikemas dalam bentuk sarkasme, cemoohan, dan humor (satire) untuk menyampaikan ketidaksukaan atau kegelisahan netizen terhadap isu-isu politik tertentu.
- Akselerasi Mobilisasi: Media sosial berfungsi sebagai medium yang vital untuk menyebarkan inspirasi, memfasilitasi dukungan, dan mempercepat mobilisasi serta penyebaran citra diri atau pesan politik secara cepat. Platform seperti media sosial menyediakan ruang yang relatif aman untuk mempromosikan perubahan dan mewakili suara kelompok minoritas atau terpinggirkan.
Studi Kasus Represi Mural di Era Kontemporer
Meskipun aktivitas fisik menurun, dampaknya justru meningkat berkat amplifikasi digital, yang kemudian memicu represi fisik dan hukum.
Kasus Mural 404: Not Found
Pada tahun 2021, mural bergambar yang menyerupai Presiden Joko Widodo dengan mata tertutup tulisan 404: Not Found di Tangerang menjadi viral secara nasional. Kode 404—yang dalam dunia internet menunjukkan bahwa laman tidak ditemukan—diinterpretasikan secara luas sebagai wujud kekecewaan masyarakat yang merasa aspirasi atau suara mereka tidak didengar oleh pemerintah.
Kasus ini memicu respons agresif dari aparat. Polisi segera melakukan penyelidikan untuk menemukan pembuatnya, dengan argumen bahwa mural tersebut berpotensi melanggar hukum jika tidak berizin atau dikategorikan sebagai penghinaan terhadap simbol negara, mengingat kepala negara merupakan pimpinan tertinggi institusi Polri. Mural tersebut segera dihapus dalam hitungan hari. Kasus 404: Not Found, bersama dengan mural lain seperti God, I’m Hungry, menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di ruang publik terus diserang.
Ancaman Hukum Terhadap Kritik Digital: Kasus UU ITE
Ketika seni beralih ke ranah digital (yang secara fisik sulit dikontrol), represi bergeser ke ranah legal. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi instrumen kontroversial yang secara signifikan membatasi kebebasan berpendapat, karena UU ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi.
Contoh yang signifikan adalah kasus aktivis lingkungan yang mengunggah konten video pencemaran lingkungan, yang berujung pada penahanan berdasarkan UU ITE. Penggunaan UU ITE sebagai senjata hukum menunjukkan adanya digitalisasi represi atau soft censorship. Berbeda dengan represi Orde Baru yang menggunakan kekerasan fisik atau pembredelan institusional (seperti pembredelan pameran seni rupa Yos Suprapto ), rezim kontemporer cenderung menggunakan interpretasi hukum yang ambigu untuk menciptakan chilling effect di ruang digital. Ini adalah upaya untuk merebut kembali kendali atas narasi publik, menggunakan UU ITE sebagai senjata baru dalam ruang politik.
Meskipun mural 404: Not Found berhasil memicu diskusi viral instan, keberadaan fisiknya cepat hilang. Di sisi lain, advokasi digital terhadap UU ITE , yang dimotori oleh koalisi masyarakat sipil, memerlukan waktu yang lebih lama tetapi bertujuan untuk perubahan struktural (revisi kebijakan) yang memiliki dampak hukum permanen. Ini menunjukkan adanya pertukaran strategis antara agitasi instan dan perubahan legislatif yang berkelanjutan.
Table 2: Studi Kasus Represi dan Kriminalisasi Seni di Indonesia (Era Kontemporer)
Bentuk Ekspresi | Isu/Pesan Kunci | Bentuk Represi | Dasar Hukum Terkait |
Mural Jalanan (404: Not Found) | Kritik langsung terhadap Kekuasaan/Pemerintah | Penghapusan paksa, Investigasi/Pencarian pelaku, Intimidasi | Vandalisme, Penghinaan Simbol Negara |
Konten Video Digital (Lingkungan) | Kritik terhadap Pencemaran Lingkungan/Perusahaan | Penahanan dan Proses Hukum | Undang-Undang ITE |
Pameran Seni Rupa (Yos Suprapto) | Kritik Sosial & Politik Spesifik | Pembredelan/Penutupan Paksa | Pelanggaran HAM dan Ketidakdemokratisan |
Tantangan, Efektivitas, dan Infrastruktur Kritik
Tantangan Utama Seni Aktivisme
Seniman aktivis menghadapi sejumlah tantangan, baik dari segi operasional maupun hukum.
- Konflik dan Kriminalisasi: Seniman jalanan, yang merupakan bagian dari masyarakat sipil, menghadapi kesulitan mendasar untuk mendapatkan penerimaan dari dominasi politik, karena karya mereka sering dianggap sebagai bentuk perlawanan. Upaya penghapusan, intimidasi, dan bahkan penyelidikan hukum terhadap seniman mural menunjukkan penolakan otoritas terhadap kritik melalui seni jalanan.
- Kooptasi dan Keberlanjutan Pesan: Setelah kasus viral seperti 404: Not Found, tercatat adanya upaya kooptasi institusional, seperti ketika Kepolisian menyelenggarakan Lomba Mural. Kooptasi ini merupakan taktik yang berupaya mengarahkan kritik ke jalur yang “aman” atau berizin, bertujuan menumpulkan daya kritik radikal dari seni jalanan. Selain itu, efektivitas pesan mural di ruang publik bersifat kontemporer; pesannya akan memudar seiring waktu, memerlukan pembaharuan berkelanjutan, dan seringkali terkendala oleh faktor ekonomi dan kurangnya dukungan pemerintah setempat.
Peran Kolektif Studi sebagai Jaring Pengaman
Dalam menghadapi sejarah represi dan risiko kriminalisasi, pentingnya infrastruktur kritik yang terlembaga menjadi sangat jelas. Kolektif studi dan forum seni berfungsi sebagai jaring pengaman dan pusat produksi pengetahuan kritis.
- KUNCI Study Forum & Collective: Didirikan pada 1999 di Yogyakarta, KUNCI Study Forum & Collective berfokus pada kolektivitas studi, diskusi, riset, dan penerbitan. KUNCI menyediakan ruang untuk belajar bersama, berefleksi, dan menciptakan cara untuk berdaya secara otonom.
- Forum Lenteng: Serupa di Jakarta, Forum Lenteng juga beroperasi sebagai platform untuk aktivitas seni dan aktivisme.
Peran kolektif seperti KUNCI dan Forum Lenteng menunjukkan bahwa di Indonesia, seni aktivisme membutuhkan infrastruktur ketahanan komunitas untuk bertahan. Ini bukan hanya tentang menghasilkan karya, tetapi tentang memproduksi suara, mengumpulkan dan berbagi cerita, serta menyediakan alat untuk mencetak cerita. Infrastruktur ini melawan upaya pelupaan atau penghilangan paksa yang dialami oleh seniman individu atau karya fisik, memastikan bahwa basis intelektual dan komunitas pendukung kritik tetap utuh.
Efektivitas Seni Aktivisme dalam Skala Makro
Meskipun menghadapi represi, seni aktivisme telah menunjukkan efektivitasnya dalam mendorong perubahan dan kesadaran dalam skala yang lebih besar:
- Membangun Kesadaran Kolektif: Seni, terutama melalui pameran, mampu membangun makna bersama dan memperkuat kesadaran kolektif di ruang publik, memfasilitasi dialog sosial dan politik.
- Mendorong Perubahan Kebijakan: Aktivisme digital, yang didukung oleh koalisi masyarakat sipil, terbukti berperan penting dalam memicu dan mendorong revisi kebijakan, seperti dalam kasus UU ITE.
Kesimpulan
Seni aktivisme di Indonesia adalah praktik yang dinamis, dicirikan oleh adaptasi medium yang konstan sebagai respons terhadap pola represi yang berubah. Evolusi dari realisme sosialis LEKRA di Orde Lama, subversi medium GSRB dan seni bawah tanah di Orde Baru, hingga proliferasi mural anonim dan meme digital di era Reformasi, menegaskan bahwa seni adalah suara perlawanan yang gigih dan berjejaring.
Perbedaan kunci antara era otoriter masa lalu dan demokrasi kontemporer terletak pada metodologi represi. Jika dahulu represi bersifat fisik dan institusional (penculikan/pembredelan), kini represi cenderung didigitalisasi dan dilegalkan melalui penggunaan undang-undang yang bersifat multi-tafsir seperti UU ITE, menciptakan dilema antara kebebasan berekspresi yang dijamin secara konstitusional dan risiko kriminalisasi yang tinggi. Berdasarkan analisis komprehensif ini, disajikan rekomendasi strategis berikut untuk memperkuat keberlanjutan dan efektivitas seni aktivisme:
Penguatan Infrastruktur Kritik Non-Institusional
Diperlukan investasi dan dukungan terhadap kolektif studi (seperti KUNCI Study Forum & Collective dan Forum Lenteng) yang berfokus pada riset, dokumentasi, dan edukasi. Infrastruktur ini memastikan bahwa kritik tidak hanya diproduksi, tetapi juga dianalisis dan diawetkan, mengatasi kerentanan represi fisik terhadap karya individu atau temporer.
Advokasi Hukum dan Perlindungan Seniman
Organisasi Bantuan Hukum (LBH) dan koalisi masyarakat sipil harus terus memperkuat advokasi untuk melindungi seniman aktivis dari kriminalisasi, khususnya yang didasarkan pada UU ITE dan interpretasi hukum yang longgar mengenai vandalisme atau penghinaan. Perlindungan ini harus mencakup pendampingan hukum pro bono bagi seniman jalanan yang menghadapi intimidasi atau penangkapan.
Kuratorial Aktivis dan Ruang Aman
Penyelenggara festival dan pameran harus didorong untuk mengadopsi praktik kuratorial yang secara aktif mempromosikan dan melindungi narasi perlawanan. Ruang pameran dan festival harus secara eksplisit difungsikan sebagai ruang aman bagi seniman minoritas dan terpinggirkan untuk menyampaikan isu-isu sensitif tanpa takut kooptasi atau pembungkaman.
Pengembangan Etika dan Protokol Respons
Seniman aktivis perlu mengembangkan etika dan protokol respons yang terstandardisasi untuk menghadapi intervensi aparat atau pihak ketiga. Hal ini mencakup dokumentasi cepat, pengamanan anonimitas (jika diperlukan), dan kesadaran hukum saat berkarya di ruang publik, belajar dari konflik yang terjadi pada seniman mural jalanan.