Seni jalanan (street art) di Indonesia telah melampaui batas definisi tradisionalnya sebagai vandalisme sederhana dan bertransformasi menjadi elemen integral dalam diskursus visual ruang publik serta subsektor seni rupa dalam ekonomi kreatif nasional. Untuk memahami peran kritisnya dalam mengkonstruksi dan menegosiasikan identitas perkotaan, penting untuk mendefinisikan tipologi utama: Mural dan Graffiti. Mural, yang berasal dari kata Latin murus (dinding), didefinisikan sebagai aktivitas melukis pada permukaan datar yang besar, sering menggunakan kuas, dan cenderung lebih terinstitusionalisasi atau legal. Sebaliknya, Graffiti umumnya menggunakan cat semprot (spray paint) dan sering dikaitkan dengan penandaan teritori (tagging) atau vandalisme tanpa izin. Perbedaan teknis dan legalitas ini secara krusial memengaruhi bagaimana seni jalanan dipersepsikan dan direspons dalam konteks tata kelola perkotaan.

Secara teoretis, seni jalanan diposisikan sebagai manifestasi subkultur dan “politik sehari-hari” (daily politics), sebuah wacana visual yang secara inheren menantang narasi hegemoni yang didorong oleh pembangunan dan otoritas perkotaan. Argumentasi sentral dalam laporan ini adalah bahwa seni jalanan di Indonesia tidak hanya berperan sebagai reflektor pasif terhadap realitas kota, tetapi secara aktif mengkonstruksi identitas perkotaan tersebut, terutama melalui artikulasi narasi resistensi, kritik sosial, dan klaim atas ruang publik di tengah laju modernisasi yang sering kali eksklusif.

Genealogi Street Art: Akar Politik dan Sejarah Panjang

Sejarah mural di Indonesia memiliki akar yang sangat panjang, melacak kembali ke periode Mesolitik, sekitar 10.000 hingga 5.000 SM, dengan ditemukannya gambar-gambar di dinding gua. Namun, fungsi politik seni jalanan menjadi eksplisit selama periode revolusioner 1945–1949. Pada masa ini, mural dan grafiti digunakan secara ekstensif sebagai alat propaganda anti-kolonial dan komunikasi massa, menampilkan pesan-pesan yang berapi-api seperti “Merdeka Ataoe Mati” yang menentang kembalinya penjajah, atau slogan “FREEDOM is the GLORY OF ANY NATION. INDONESIA for INDONESIANS!” yang didokumentasikan sekitar tahun 1945.

Fungsi politis ini berlanjut selama masa-masa pergolakan nasional. Seni jalanan secara erat terhubung dengan kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998. Pemberontakan mahasiswa saat itu diiringi oleh maraknya seni jalanan yang striden, dengan kelompok seperti Taring Padi di Yogyakarta membuat mural yang menuntut mundurnya Presiden Suharto. Kebangkitan pasca-reformasi ini juga ditandai dengan pameran seni publik yang kritis, seperti “Sakit Berlanjut” yang diselenggarakan oleh Taring Padi dan Apotik Komik di Yogyakarta pada tahun 1999.

Fakta bahwa seni jalanan telah muncul sebagai media komunikasi massa yang krusial dan alat propaganda yang vital selama periode pergolakan—dari 1945 hingga 1998 dan seterusnya—menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah sekadar tren estetika yang diimpor, melainkan praktik politik yang terinstitusionalisasi secara historis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kecenderungan pemerintah untuk menganggap seni jalanan kritis sebagai “vandalisme” dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk meniadakan atau mendelegitimasi fungsi historis seni ini sebagai alat diskursus publik dan wadah kebebasan berekspresi. Konflik ini, antara narasi historis seniman dan narasi kontrol pemerintah, merupakan salah satu ketegangan utama dalam studi seni jalanan di Indonesia.

Tipologi, Semiotika, dan Fungsi Kritik Sosial Seni Jalanan

Morfologi Seni Jalanan dan Semiotika Visual

Seni jalanan beroperasi sebagai sistem komunikasi non-verbal yang kuat. Mural, khususnya, berfungsi sebagai medium untuk mengekspresikan ide dan pengalaman rasa yang mungkin tidak dapat sepenuhnya dikomunikasikan melalui media linguistik atau matematika. Di ruang publik, karya-karya ini seringkali memerlukan analisis mendalam yang melampaui estetika permukaan.

Penelitian semiotika visual, terutama di Yogyakarta, sering mengadopsi pendekatan multimodalitas untuk memahami bagaimana pesan dikonstruksi. Pendekatan ini berfokus pada tiga metafungsi komunikasi dalam tata ungkap visual: makna representasi (apa yang digambarkan), makna interaksi (hubungan antara karya dan audiens), dan makna komposisi (bagaimana elemen visual disusun).   Sebagai contoh dari representasi spesifik, karya stensil seniman Digie Sigit di Yogyakarta menyoroti figur perempuan yang dipilih sebagai representasi kekuatan dan pahlawan dalam mencari nafkah. Melalui karya-karyanya, Sigit tidak hanya menunjukkan apresiasi, tetapi juga menyuarakan resistensi terhadap ketidakpedulian pemerintah terhadap jaminan kerja dan situasi ekonomi mereka. Pemanfaatan ruang publik oleh seniman ini bertujuan menciptakan “ruang kemungkinan” (possibility space) di mana publik dapat berhadapan langsung dengan kritik mengenai kehidupan urban, terutama bagi generasi muda.

Street Art sebagai Budaya Tandingan (Subkultur)

Pada intinya, seni jalanan berakar pada semangat subkultural, yang terbentuk sebagai “budaya tandingan” terhadap budaya yang telah mapan. Para seniman jalanan, yang sebagian besar adalah pemuda, bertindak berdasarkan perasaan berhak untuk menggunakan jalanan dan ruang publik secara bebas. Keberanian untuk menyerobot masuk ke ruang publik ini adalah manifestasi langsung dari upaya subkultur untuk menantang tatanan yang ada.

Seiring perkembangan zaman, fungsi kritik sosial seni jalanan terus meningkat. Mural kini secara konsisten digunakan untuk mengkritik situasi sosial kontemporer. Dalam beberapa tahun terakhir, tren ini mendapatkan momentum, terutama selama Pandemi Covid-19, ketika mural menjadi media utama untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan, figur, dan institusi pemerintah.

Konflik sosiologis yang mengelilingi seni jalanan seringkali terletak pada batas abu-abu antara seni dan vandalisme. Meskipun secara definisi, grafiti dapat dianggap vandalisme, tindakan tersebut dapat digunakan untuk mengekspresikan ide dan resistensi politik, seperti yang terlihat dalam perdebatan seputar mural kritis seperti insiden “Jokowi: 404 Not Found”.

Dominasi kritik sosial yang tajam terhadap pemerintah dalam seni jalanan menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi yang signifikan dan kurangnya saluran resmi yang efektif bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan ketidakpuasan secara aman dan terdengar. Ketika saluran dialog publik formal gagal, kritik visual yang berani muncul sebagai respons langsung. Tindakan represif dalam menindak atau menghapus karya seni yang kritis mencerminkan pandangan bahwa otoritas melihat ruang publik sebagai ruang hegemoni yang harus dikendalikan, berlawanan dengan pandangan seniman yang menganggapnya sebagai ruang oposisi visual.

Tabel I. Tipologi dan Fungsi Pragmatis Street Art di Indonesia

Tipe Seni Jalanan Teknik Dominan Aspek Legalitas Umum Fungsi Historis/Pragmatis
Mural Kuas, Cat Akrilik/Tembok Cenderung legal/izin (Proyek Komersial/Komunitas) Pesan Moral, Narasi Komunal, Kritik Terkontrol, Identitas Budaya Lokal.
Graffiti (Wildstyle/Tagging) Cat Semprot Ilegal (Vandalisme, Tagging tanpa izin) Politik Identitas, Penanda Teritori, Resistensi Subkultural.
Stencil Template Potongan (Digie Sigit) Grey Area (Tergantung Pesan dan Lokasi) Kritik Cepat, Multiplikasi Pesan, Aktivisme Low-Profile, Representasi Isu Spesifik.

Dialektika Identitas Perkotaan: Studi Kasus Komparatif

Peran seni jalanan dalam identitas perkotaan sangat bervariasi di kota-kota besar Indonesia, mencerminkan perbedaan dalam sejarah politik, budaya lokal, dan model tata kelola perkotaan.

Yogyakarta: Episentrum Perlawanan dan Identitas Keraton

Yogyakarta secara luas diakui sebagai episentrum bagi gerakan grafiti dan seni jalanan di Indonesia. Ekosistemnya didukung oleh kolektivitas yang kuat, seperti Jogja Mural Forum (JMF) yang berevolusi dari Apotik Komik dan Sindikat Mural Merdeka (SMM), yang dipandang sebagai pendobrak gerakan seni di ruang publik sejak awal 2000-an. Dalam komunitas ini, praktik Nongkrong dan deep hanging out adalah praktik sosial yang mendasar untuk mengikat dan memelihara kolektif seni.

Tema paling sentral dalam seni jalanan Yogyakarta adalah perlawanan terhadap gentrifikasi. Seni jalanan menjadi alat komunikasi yang penting dalam gerakan “Jogja Ora Didol” (Yogyakarta Tidak Dijual) dan proyek terkait “Jogja Asat” (Kekeringan Yogyakarta) yang diluncurkan pada tahun 2014. Konteks konflik ini adalah pembangunan hotel yang masif, terutama di sekitar Malioboro, yang dipicu oleh reformasi sektor perizinan. Pembangunan ini menyebabkan displacement (penggusuran) permukiman informal, kenaikan biaya sewa hunian, konflik sosial vertikal dan horizontal, serta krisis lingkungan, terutama kekeringan air sumur warga.

Respon visual seniman sangat spesifik: Mural “Jogja Asat” secara langsung menggambarkan sumur-sumur warga miskin yang mengering akibat eksploitasi air tanah oleh pembangunan komersial. Karya-karya yang seringkali ilegal ini merupakan bentuk perusahaan kreatif subversif yang menantang wacana hegemoni tentang “pembangunan” yang mengklaim manfaat universal. Mural tersebut mengubah penderitaan lokal menjadi provokasi visual yang menuntut keadilan sosial dan lingkungan.

Dalam kerangka yang lebih luas, street art di Yogyakarta berfungsi sebagai “sejarah minor” yang mencatat perlawanan masyarakat yang terpinggirkan (displacement) dan dampak urbanisasi yang tak teratur. Dengan demikian, seni jalanan di kota ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini visual untuk konflik sosiopolitik yang tidak terakomodasi dalam kebijakan publik perkotaan. Selain itu, mural di Yogya juga berperan dalam memperkuat identitas budaya lokal, sering menampilkan corak tradisi Keraton Yogyakarta. Bahkan, proyek mural besar di flyover Lempuyangan melibatkan seniman tradisi (seperti pelukis kaca) untuk memuralkan seni tradisi.

Jakarta: Survival, Adaptasi, dan Komersialisasi Ruang

Seniman di Jakarta beroperasi dalam lingkungan metropolitan yang ketat, menghadapi tantangan urbanisasi yang cepat, risiko penindakan hukum, dan keterbatasan kanvas legal. Oleh karena itu, tema utama seni jalanan Jakarta adalah survival dan adaptasi. Seniman terkemuka, seperti Darbotz, yang dikenal dengan karakter monster hitam-putihnya , secara eksplisit menyatakan bahwa untuk bertahan dalam lingkungan yang kompetitif, seseorang harus menjadi “monster”.

Grafiti di Jakarta telah mengalami pergeseran definisi yang signifikan. Meskipun akarnya tetap dalam pemberontakan dan adaptasi—dan secara definisi aslinya adalah vandalisme—ia telah berevolusi menjadi aspek seni kontemporer global (urban art), bahkan diadopsi oleh industri high-end (misalnya, tas Balenciaga). Kontras ini menunjukkan adanya proses co-optation: seniman menghadapi stigma vandalisme di jalanan lokal, tetapi pada saat yang sama, estetika mereka dikapitalisasi di pasar global. Tekanan urban Jakarta memaksa seniman untuk menavigasi batas antara seni, komersialisme, dan kontrol ruang, mengubah banyak dari mereka menjadi entrepreneurial artists yang harus mencari cara untuk survive dan mendapatkan pengakuan legal.

Selain kritik, beberapa ruang di Jakarta telah diinstitusionalkan secara informal. Kota Tua Jakarta, meskipun memiliki nilai sejarah sebagai Oud Batavia , berfungsi sebagai galeri dadakan. Seniman di sana, yang beberapa di antaranya telah mencari nafkah sejak 2002 , sering menciptakan replika karya seni klasik (seperti Self-Portrait Rembrandt atau The Scream Munch) , menunjukkan adaptasi seni jalanan untuk fungsi turistik dan ekonomi mikro.

Bandung dan Surabaya: Model Kemitraan Lokal dan Identitas Komunal

Berbeda dengan Yogyakarta dan Jakarta, Bandung dan Surabaya menunjukkan model dinamika yang lebih fasilitatif dan terintegrasi secara komunal.

Bandung dikenal sebagai “street art capital of Indonesia,” di mana mural dan grafiti yang kaya warna dan ekspresi mengubah kota menjadi galeri terbuka. Seni jalanan di Bandung menonjolkan estetika dinamis dan vibrancy kota, memberikan kesan muda dan hidup. Kota ini didukung oleh ekosistem seni yang matang, ditunjukkan oleh keberadaan toko perlengkapan seni (seperti Artemedia All Art) dan ruang pameran besar (seperti NuArt Sculpture Park).

Surabaya, di sisi lain, mengimplementasikan model kemitraan formal yang unik. Pada tahun 2016, Pemerintah Kota Surabaya, di bawah kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini, secara aktif memfasilitasi dan berpartisipasi dalam proyek mural tematik (misalnya, “Kehidupan Masyarakat Pesisir”) di Tembok THP Kenjeran, melibatkan tujuh komunitas mural lokal, termasuk Serikat Mural Surabaya. Tujuan proyek ini adalah placemaking: meningkatkan estetika, menghidupkan suasana, dan menciptakan latar belakang yang menarik untuk foto turis. Fasilitasi pemerintah kota, termasuk penyediaan alat , menunjukkan upaya de-stigmatisasi seni jalanan menjadi aset kota dan pariwisata.

Selain itu, Surabaya juga memiliki komunitas seni jalanan yang berfokus pada identitas komunal yang kuat, seperti CAP12, komunitas street art yang secara khusus didedikasikan untuk mendukung Persebaya dan Bonek.

Perbedaan regulasi ini sangat penting: Yogyakarta menunjukkan model konflik/resistensi, Jakarta model adaptasi/survival, dan Surabaya model kooptasi/kemitraan formal. Meskipun proyek mural tematik yang didukung pemerintah Surabaya sukses meningkatkan legitimasi, terdapat risiko inherent bahwa model ini akan mensterilkan pesan-pesan kritis, membatasi ekspresi seniman pada tema-tema yang “aman” dan estetis semata.

Tabel II. Komparasi Ekosistem Street Art dan Identitas Perkotaan di Kota-kota Utama

Kota Identitas Urban Utama Tema Dominan Dinamika Regulasi Komunitas/Kolektif Kunci
Yogyakarta Subkultur & Keraton (Pusat Seni) Kritik Gentrifikasi (Jogja Ora Didol), Keadilan Sosial, Pelestarian Budaya. Konflik Tinggi, Penindakan Kritis, Tuan Rumah Festival Internasional. Taring Padi, JMF/Apotik Komik, SMM.
Jakarta Metropolitan Global (Survival) Eksistensialisme Urban, Adaptasi Kapitalis, Estetika Wildstyle. Kontrol Ketat, Adaptasi ke ranah komersial. Darbotz, RSAG.
Bandung Kreatif & Dinamis Ekspresi Estetika, Vibrancy Kota, Narasi Lokal. Cenderung Fasilitatif, Didukung Ekosistem Seni yang Matang. Berbagai Komunitas Seni Visual.
Surabaya Komunal & Industrial Identitas Pesisir (Tematik), Subkultur Olahraga (Bonek). Kemitraan Formal Aktif (Pemkot memfasilitasi proyek tematik). Serikat Mural Surabaya, CAP12.

Konflik Ruang, Legalitas, dan Institusionalisasi

Dilema Legalitas: Vandalism versus Regulasi Ekspresi

Kontroversi terbesar yang melingkupi seni jalanan adalah status legalitasnya. Secara umum, undang-undang Indonesia melarang pembuatan mural dan grafiti di ruang publik tanpa izin, menempatkan seniman pada risiko hukuman berat. Praktik ini sering distigmatisasi sebagai vandalisme yang merusak fasilitas umum.

Namun, implementasi hukum ini sangat bervariasi di tingkat daerah. Misalnya, di Kota Padang, aktivitas grafiti diperbolehkan di “tempat-tempat tertentu” yang telah disetujui oleh pemerintah, seperti di kawasan pondok. Meskipun demikian, pengrusakan fasilitas umum, seperti pengecatan ulang jembatan atau dinding yang baru diperbaiki, tetap dilarang keras.

Konflik hukum ini diperparah ketika karya seni mengandung kritik politik. Kasus penindakan terhadap seniman di balik mural “Jokowi: 404 Not Found” memicu debat publik yang intens mengenai batas antara vandalisme dan kebebasan berekspresi. Ketika karya seni kritik diburu dan dihapus, sementara karya non-politis di sebelahnya dibiarkan, ini menunjukkan bahwa penindakan tersebut didorong oleh konten politik, bukan semata-mata kerusakan properti.

Respon Institusional: Fasilitasi melalui Festival dan Legal Walls

Untuk meredam konflik dan memanfaatkan potensi seni jalanan sebagai aset budaya, respons institusional telah muncul dalam bentuk fasilitasi ruang legal. Fenomena legal walls atau dinding grafiti resmi telah muncul di beberapa kota, termasuk MT Hall Of Fame di Jatinegara, Poppies Lane di Kuta, Bali, dan HOF Makassar.

Dukungan pemerintah daerah juga terwujud melalui penyelenggaraan festival. Contoh yang menonjol adalah Medan Street Art Festival Mural dan Graffiti 2022. Melalui acara ini, Wali Kota Medan dinilai berhasil memberikan wadah legal dan fasilitas yang memadai—sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh para penggiat seni mural lokal sebelumnya—memungkinkan mereka berkarya di tempat yang strategis. Apresiasi serupa datang dari pengunjung yang melihatnya sebagai sarana legal bagi anak muda menyalurkan bakat.

Selain inisiatif lokal, Indonesia juga menjadi tuan rumah acara internasional, seperti Meeting of Styles di Yogyakarta dan Tangi Street Art Fest di Bali. Acara-acara ini tidak hanya menaikkan profil adegan seni jalanan Indonesia secara global, tetapi juga berfungsi sebagai platform penting untuk edukasi, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kesadaran publik.

Terdapat paradoks yang muncul dari kebijakan ini. Pemerintah daerah menunjukkan sikap ambivalen: menindak tegas kritik tajam yang menyentuh isu politik, tetapi secara aktif memfasilitasi atau mensponsori seni jalanan yang berfungsi sebagai placemaking dan daya tarik turistik. Institusionalisasi seni jalanan melalui festival dan legal walls membawa risiko mengurangi energi subversif subkultur tersebut, menggeser fokus dari kritik radikal menuju estetika yang aman dan terkomodifikasi, sesuai dengan narasi pembangunan yang diinginkan oleh pemerintah dan industri kreatif. Namun, di sisi lain, formalisasi ini memberikan seniman akses ke ruang yang aman dan sumber daya yang sebelumnya tidak tersedia.

Kesimpulan, Implikasi Kebijakan, dan Prospek Street Art Indonesia

Sintesis Peran Street Art dalam Identitas Perkotaan

Seni jalanan di Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan polifonik, yang mencerminkan ketegangan dan keragaman identitas perkotaan di nusantara.

  1. Yogyakarta mewakili Resistensi Politis dan Sejarah Minor. Seni jalanan di sana didorong oleh kolektivitas yang kuat untuk memerangi ketidakadilan struktural (gentrifikasi, krisis air) , sambil tetap berfungsi sebagai media untuk memperkuat identitas budaya tradisional Keraton.
  2. Jakarta mewakili Adaptasi Kapitalis dan Survival. Di tengah lanskap yang kompetitif dan terkontrol, seniman dipaksa untuk mengadaptasi ekspresi mereka, berjuang melawan stigma sambil menghadapi co-optation dari pasar seni kontemporer global.
  3. Surabaya dan Medan mewakili Formalisasi Komunitas dan Kemitraan Lokal. Di kota-kota ini, inisiatif pemerintah telah berhasil menggeser persepsi seni jalanan dari vandalisme menjadi aset, meskipun dengan risiko sterilisasi pesan kritis.

Seni jalanan juga berfungsi sebagai media transit dan transisi, baik dalam perubahan politik (seperti pasca-1998) maupun dalam perpindahan masyarakat urban, di mana individu yang pindah ke kota menggunakan mural untuk memperkuat dan menampilkan identitas budaya tradisional mereka di ruang publik modern.

Secara keseluruhan, aktivitas dan intensitas aktivisme seni jalanan merupakan barometer visual untuk mengukur tingkat kepuasan publik terhadap tata kelola perkotaan. Kota-kota yang mengalami ketidakseimbangan pembangunan yang paling parah (seperti gentrifikasi dan krisis air di Yogyakarta) cenderung menghasilkan kritik artistik yang paling tajam dan seringkali ilegal. Sebaliknya, kota-kota yang mengintegrasikan seni jalanan melalui kemitraan cenderung fokus pada tema non-konflik. Semakin tajam dan ilegal karya kritik yang muncul, semakin besar kegagalan pemerintah dalam menyediakan saluran partisipasi yang otentik.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis peran dan konflik seni jalanan, beberapa rekomendasi strategis dapat diajukan untuk tata kelola urban yang lebih inklusif:

  1. Standardisasi Regulasi yang Diferensiatif: Kebijakan pemerintah daerah harus menetapkan pembedaan yang jelas antara tagging anarkis atau perusakan properti, dengan seni jalanan yang secara eksplisit membawa pesan moral, kritik sosial, atau narasi identitas budaya. Seni jalanan harus diakui sebagai subsektor seni rupa dalam ekonomi kreatif, memerlukan perlindungan dan fasilitas, bukan hanya penindakan.
  2. Penyediaan Ruang Otonom: Pemerintah perlu meningkatkan penyediaan possibility spaces dan legal walls yang dikelola bersama oleh komunitas seniman. Ruang ini harus dirancang untuk memberikan otonomi yang signifikan kepada seniman, memastikan bahwa fasilitasi tidak hanya bertujuan untuk pariwisata atau estetika yang aman, tetapi juga sebagai mekanisme katup sosial-politik yang sehat, yang memungkinkan ekspresi ketidakpuasan tanpa ketakutan akan penindakan hukum.
  3. Integrasi Kritik Urban ke dalam Perencanaan Kota: Pemerintah kota harus mempromosikan seni jalanan sebagai alat dialog non-verbal dalam perencanaan kota, khususnya di area yang rentan terhadap gentrifikasi. Kekuatan visual gerakan “Jogja Ora Didol” dapat dijadikan studi kasus dalam mendengarkan kritik visual sebagai indikator nyata dari kegagalan tata ruang publik.

Prospek Masa Depan Street Art Indonesia

Prospek seni jalanan di Indonesia cenderung bergerak menuju profesionalisme yang lebih tinggi (ditunjukkan oleh seniman seperti Darbotz ), komersialisasi seni urban yang semakin meluas, dan integrasi festival sebagai bagian dari agenda budaya nasional. Tantangan utamanya adalah mempertahankan fungsi aslinya sebagai medium of dissent dan suara subkultur di tengah dorongan kuat untuk sterilisasi pesan dan kooptasi komersial. Jika seni jalanan hanya menjadi dekorasi urban yang aman dan terinstitusionalisasi, kekuatan kritis dan fungsi historisnya sebagai cerminan denyut nadi sosial-politik perkotaan akan hilang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 4 = 3
Powered by MathCaptcha