Membingkai Fenomena Thunberg

Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg, lahir pada 3 Januari 2003 di Stockholm, Swedia, telah bertransformasi dari seorang siswi menjadi salah satu aktivis iklim paling berpengaruh di dunia. Perjalanan aktivismenya dimulai dengan aksi sederhana namun penuh tekad yang kemudian memicu gerakan global yang dikenal sebagai Fridays for Future (FFF).

Konteks dan Asal Mula Gerakan (Agustus 2018)

Aktivisme Greta Thunberg berakar pada reaksi mendalam terhadap krisis iklim yang nyata di lingkungannya. Pada Agustus 2018, di usianya yang ke-15, ia memutuskan untuk memulai mogok sekolah soliter di luar parlemen Swedia, Riksdag. Keputusan ini diambil setelah Swedia mengalami musim panas terpanas dalam setidaknya 262 tahun, ditandai dengan gelombang panas ekstrem dan kebakaran hutan yang meluas.

Tuntutan utama Thunberg saat itu sangat spesifik: pemerintah Swedia harus mengurangi emisi karbon sesuai dengan komitmen yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Sifat inisiasi gerakan yang sangat personal, dimulai sebagai respons terhadap bencana ekologis domestik, memberikan kredibilitas dan otentisitas yang tak tertandingi pada pesannya. Pergerakan ini berawal dari reaksi moral dan emosional terhadap kegagalan pemerintah di tengah krisis, bukan dari inisiatif politik atau kelembagaan yang terstruktur.

Viralitas dan Efek Greta

Thunberg memposting foto dirinya selama aksi mogok pertamanya di Instagram dan Twitter. Melalui kekuatan media sosial, pesan dan metodenya menyebar dengan cepat, menginspirasi gerakan pemuda di seluruh dunia yang menuntut aksi iklim. Gerakan ini kemudian dikenal secara internasional sebagai Fridays for Future atau School Strike for Climate.

Fenomena ini segera melahirkan apa yang disebut sebagai “The Greta Effect”. Dampak ini melampaui perubahan perilaku individu. Alih-alih hanya berfokus pada hasil kebijakan yang lambat, “Greta Effect” berhasil menggeser wacana publik, memaksa isu iklim menjadi agenda tingkat tinggi dalam forum-forum diplomasi global, seperti World Economic Forum (WEF) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pergeseran ini penting karena Thunberg, sebagai suara non-politik, menantang status quo dan memaksa institusi yang sebelumnya menunda-nunda tindakan untuk menghadapi krisis.

Landasan Aktivisme: Neurodiversitas sebagai “Kekuatan Super”

Salah satu aspek paling khas dari Greta Thunberg adalah keterbukaannya mengenai diagnosis neurodiversitasnya, yang ia yakini secara fundamental membentuk dan memperkuat aktivismenya.

Diagnosis dan Narasi Neurodiversitas

Greta Thunberg didiagnosis dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) pada usia muda. Secara spesifik, diagnosisnya pada awalnya merujuk pada Asperger’s Syndrome, sebuah istilah yang saat ini dianggap usang namun merujuk pada bentuk autisme berfungsionalitas tinggi. Selain ASD, ia juga terbuka mengenai pengalamannya dengan selective mutism dan obsessive-compulsive disorder (OCD), kondisi yang terkadang menyertai autisme.

Thunberg telah memilih untuk merangkul diagnosisnya, bahkan secara terbuka menyebutnya sebagai “kekuatan super” (superpower). Melalui narasi ini, ia tidak hanya mengurangi stigma tetapi juga mempromosikan kesadaran neurodiversitas, menunjukkan bahwa individu dengan autisme memiliki potensi untuk memimpin gerakan global dan menantang stereotip lama.

Analisis Kualitatif Neurokognitif dalam Aktivisme

Diagnosis ASD menyediakan landasan struktural yang unik untuk gaya aktivisme yang dipraktikkan oleh Thunberg. Ada tiga ciri utama yang menjadi pendorong efektivitasnya:

Fokus Intensif (Hyperfocus)

Individu dalam spektrum autisme sering menunjukkan kemampuan untuk berfokus secara intensif dan mendalam pada area minat tertentu. Bagi Thunberg, minat tunggalnya adalah krisis iklim. Kemampuan ini memungkinkannya menyalurkan energi yang luar biasa dan konsisten ke dalam misinya, mempertahankan komitmen yang tidak terpengaruh oleh gangguan politik atau tuntutan kehidupan normal.

Kejernihan Moral dan Pemikiran Langsung

Thunberg dikenal karena komunikasinya yang lugas (blunt communication), yang secara radikal berbeda dari bahasa politik yang sering berbelit-belit. Individu pada spektrum autisme sering memiliki rasa keadilan yang mendalam, yang memicu aktivisme lingkungan Thunberg. Ia menolak untuk menganggap masalah iklim sebagai sesuatu yang rumit atau abu-abu. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa pilihannya hanya ada dua: “Either we prevent temperatures from rising above 1.5 degrees (Celsius), or we don’t. Either we avoid chain reaction of unravelling ecosystems, or we don’t. That’s as black or white as it gets”. Kejernihan moral ini menjadikannya figur yang sangat otentik.

Resistensi terhadap Tekanan Sosial

Thunberg menunjukkan ketidakmauan untuk terikat oleh tekanan sosial atau konvensi politik. Ciri ini memungkinkan dirinya untuk menantang status quo dan para pemimpin dunia secara langsung, tanpa rasa takut atau perlu menyesuaikan diri dengan bahasa diplomatik. Kejujuran absolut yang muncul dari neurodiversitasnya berfungsi sebagai amplifier retoris, mengontraskan otentisitasnya yang ekstrem dengan retorika double-speak yang sering ditunjukkan oleh para politisi yang dikritiknya.

Dampak Psikososial: Peningkatan Kesadaran Publik

Keterbukaan Thunberg mengenai kondisinya memiliki dampak signifikan pada kesadaran publik terhadap Asperger Syndrome. Periode puncak kemunculannya di media massa berkorelasi dengan peningkatan drastis dalam minat publik terhadap sindrom tersebut. Data menunjukkan bahwa tren pencarian di internet untuk Asperger Syndrome (AS) meningkat hingga 254.07% lebih tinggi dari perkiraan model selama periode ini.

Peningkatan kesadaran ini sangat penting dari perspektif kesehatan masyarakat. Hal ini memberikan kesempatan untuk memanfaatkan peningkatan minat publik dan perilaku mencari bantuan, yang sangat penting untuk intervensi klinis yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komorbiditas umum, seperti kecemasan dan depresi, pada individu dalam spektrum. Thunberg secara efektif mengubah diagnosis menjadi validasi bahwa kejujuran dan fokus yang tinggi, karakteristik yang terkait dengan autisme, dapat menjadi alat yang sangat efektif melawan kegagalan politik.

Fridays for Future (FFF) dan Agensi Generasi Z

Gerakan Fridays for Future (FFF) yang diprakarsai oleh Thunberg tidak hanya menjadi seruan untuk aksi iklim tetapi juga sebuah demonstrasi kuat agensi politik Generasi Z (Gen Z).

Kronologi dan Skala Mobilisasi Transnasional

Setelah aksi tunggal Thunberg di Stockholm pada Agustus 2018, gerakan ini segera menyebar ke seluruh dunia. Publicity dan organisasi yang meluas dimulai setelah ia memposting aksinya, dan gerakan ini diadaptasi oleh pengikutnya di berbagai negara Eropa, termasuk Jerman, Belgia, dan Inggris.

FFF mencapai skala mobilisasi transnasional terbesar yang pernah ada untuk isu iklim. Bukti dari tahun 2019 menunjukkan dampaknya:

  • Pada 15 Maret 2019, mogok global pertama mengumpulkan lebih dari 1 juta peserta di 2,200 aksi yang diselenggarakan di 125 negara.
  • Puncaknya terjadi pada 20 September 2019, ketika diperkirakan 4 juta orang berpartisipasi dalam demonstrasi yang tersebar di 150 negara.

Gerakan ini, yang dipimpin oleh kaum muda dan diorganisir secara independen, membuktikan bahwa Gen Z memiliki kemampuan untuk memimpin gerakan transnasional non-hierarkis. Mereka menggunakan struktur digital untuk mengatasi hambatan geografi dan politik, mendokumentasikan protes lokal dan membangun tekanan global secara simultan.

Tabel 1: Skala Mobilisasi Global Fridays for Future (2019)

Tanggal Mogok Global Jumlah Strikers (Perkiraan) Jumlah Negara/Kota
15 Maret 2019 Lebih dari 1 Juta 125 Negara / 2,200 Aksi
20 September 2019 4 Juta 150 Negara
27 September 2019 2 Juta

Peran Media Digital dan Agensi Gen Z

FFF merupakan contoh utama aktivisme kontemporer yang didorong oleh media digital. Gerakan ini memanfaatkan platform seperti Twitter dan Instagram, yang berfungsi tidak hanya untuk berbagi informasi tetapi juga untuk mendokumentasikan acara lokal di seluruh dunia.

Kekuatan Gen Z, menurut analisis industri, terletak pada posisi mereka yang strategis untuk memengaruhi praktik bisnis, sering kali melewati kebuntuan politik (political gridlock) yang menghambat perjanjian iklim global. Thunberg dan FFF membuktikan bahwa generasi muda tidak hanya memiliki aspirasi, tetapi juga agensi politik, memaksa elit untuk menanggapi.

Dampak Transnasional di Indonesia

Gerakan transnasional Thunberg telah menunjukkan dampak nyata, bahkan di negara-negara produsen emisi besar seperti Indonesia—negara penghasil emisi karbon terbesar ketiga di dunia. Analisis di Indonesia menemukan dampak positif gerakan Greta Thunberg terhadap politik lingkungan domestik.

Dampak-dampak tersebut meliputi:

  1. Peningkatan Inspirasi: Peningkatan jumlah aktivis muda yang terinspirasi oleh Greta, mendorong mereka untuk terlibat aktif.
  2. Strategi Konfrontatif: Organisasi kepemudaan di Indonesia terinspirasi untuk mengadopsi strategi yang lebih konfrontatif terhadap perusahaan dan negara yang dinilai lambat dalam memenuhi komitmen Perjanjian Paris.
  3. Aktivisme Digital: Aktivisme digital menjadi strategi yang lebih dominan dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan, terinspirasi oleh metode transnasional Greta.

Greta Thunberg sebagai Ikon Keberanian Gen Z

Meskipun Thunberg pada awalnya lebih dikenal sebagai ikon perubahan iklim daripada ikon Gen Z yang “keren”, statusnya telah berevolusi menjadi simbol keberanian dan keadilan radikal generasi tersebut. Keberanian ini mencapai puncaknya ketika aktivisme iklim mulai berintegrasi dengan isu kemanusiaan dan geopolitik.

Aktivisme terbarunya, seperti partisipasinya dalam flotila bantuan kemanusiaan ke Gaza pada tahun 2025 , menyoroti Gen Z yang bersedia mengambil risiko untuk memperjuangkan keadilan yang terintegrasi. Hal ini mengukuhkan Thunberg sebagai wajah generasi yang berani menantang status quo secara menyeluruh, bahkan ketika hal itu menimbulkan kontroversi internasional.

Retorika Konfrontatif dan Komunikasi Politik

Retorika Thunberg adalah salah satu elemen kunci keberhasilannya. Ia menggunakan gaya komunikasi yang sengaja konfrontatif dan didasarkan pada rasa urgensi yang mutlak, menuntut pertanggungjawaban moral dari para pemimpin.

Analisis Pidato-Pidato Kunci

. Pesan Davos: “Our House Is On Fire”

Pada World Economic Forum (WEF) di Davos tahun 2019, Thunberg menyampaikan kritik tajam. Ia menyatakan, “Our house is on fire,” dan “I don’t want your hope. I want you to panic… and act”. Ia menolak gagasan bahwa reformasi struktural itu sulit dan memakan waktu, menegaskan bahwa krisis iklim adalah masalah biner: berhasil atau gagal. Tuntutan transformasionalnya adalah memangkas emisi karbon lebih dari 50% dalam 12 tahun, dan ia memperingatkan bahwa data yang ada bahkan belum memperhitungkan tipping points (titik kritis) atau feedback loops (umpan balik), seperti pencairan permafrost.

Pidato PBB: “How Dare You!”

Pidato ikonik Thunberg di KTT Aksi Iklim PBB pada September 2019 adalah puncak retorika konfrontatifnya. Frasa yang paling dikenang adalah, “How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words”. Ia menuduh para pemimpin dunia hanya berfokus pada uang dan “fairy tales of eternal economic growth” sementara ekosistem runtuh dan umat manusia berada di ambang kepunahan massal.

Thunberg memberikan ultimatum moral, menolak untuk percaya bahwa para pemimpin mengerti sains tetapi sengaja gagal bertindak. Dia menyatakan, “if you really understood the situation and still kept on failing to act, then you would be evil. And that I refuse to believe”.

Struktur Persuasif: Retorika Aristoteles

Analisis retoris terhadap pidato-pidato persuasif Thunberg, khususnya pidato PBB 2019, menunjukkan bahwa strategi persuasinya didominasi oleh seruan emosional (Pathos).

Berdasarkan teori retorika Aristoteles (Ethos, Pathos, Logos), komposisi pidatonya adalah sebagai berikut :

Tabel 2: Analisis Proporsi Bukti Retoris dalam Pidato PBB 2019

Jenis Bukti Retoris (Aristoteles) Persentase Penggunaan Fungsi dalam Komunikasi
Pathos (Emosional) 47% Memicu rasa bersalah, kemarahan, dan ketakutan; menargetkan penderitaan generasi muda.
Logos (Logika/Fakta) 30% Menghadirkan dasar ilmiah (data IPCC, batas 1.5°C) sebagai fakta yang tak terbantahkan.
Ethos (Kredibilitas) 23% Berasal dari otentisitas, kegigihan personal, dan pengakuan global (nominasi Nobel, TIME PoY).

Dominasi Pathos (47%) merupakan strategi risiko tinggi yang disengaja. Tidak seperti politisi yang mengandalkan Logos dan Ethos institusional, Thunberg mengorbankan kesopanan politik demi dampak emosional yang mendalam. Tujuannya adalah untuk mengatasi kelelahan informasi (climate fatigue) dan memaksa audiens menghadapi krisis sebagai kegagalan moral dan emosional. Pengulangan frasa “How dare you!” yang sarat emosi berfungsi sebagai alat retoris yang kuat untuk menarik perhatian para pemimpin.

Selain itu, Thunberg menolak gradualisme dan solusi berbasis pasar yang dianggapnya tidak adil. Ia mengkritik ide memotong emisi hingga setengahnya dalam 10 tahun yang hanya memberikan 50% peluang untuk tetap berada di bawah 1.5∘C. Dia menegaskan bahwa angka 50% ini tidak dapat diterima karena tidak memperhitungkan tipping points atau aspek keadilan iklim dan mengandalkan generasi mudanya untuk menyedot ratusan miliar ton CO2​ keluar dari udara dengan teknologi yang “hampir tidak ada”. Ini menunjukkan penolakan etis terhadap transfer risiko eksistensial ke masa depan.

Capaian, Penghargaan, dan Dampak Kebijakan

Aktivisme Thunberg telah menghasilkan serangkaian pengakuan formal dan dampak kebijakan yang signifikan, meskipun sifatnya seringkali lebih berorientasi pada wacana daripada perubahan struktural yang cepat.

Pengakuan dan Penghargaan Internasional

Thunberg telah menerima pengakuan internasional yang luar biasa, menegaskan perannya sebagai tokoh global:

  • TIME Person of the Year (2019): Ia dinobatkan sebagai orang termuda yang pernah menerima gelar ini.
  • Nominasi Nobel Perdamaian: Dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian selama beberapa tahun berturut-turut (2019, 2020, dan terus hingga 2023). Meskipun belum memenangkan penghargaan tersebut, nominasinya memicu perdebatan penting mengenai apakah aktivisme lingkungan yang mendesak dapat dikategorikan sebagai kontribusi bagi perdamaian dunia.
  • Right Livelihood Award (Hadiah Nobel Alternatif, 2019): Penghargaan ini mengakui kontribusinya yang signifikan terhadap perubahan iklim.
  • Ambassador of Conscience Award dari Amnesty International (2019).
  • Pengakuan Lain: Ia juga masuk dalam daftar 100 wanita paling berpengaruh di dunia oleh Forbes dan menerbitkan The Climate Book (2022), yang menyajikan esai dari 100 ilmuwan, penulis, dan aktivis.

Mempengaruhi Diskusi dan Kebijakan Komparatif

Kontribusi terbesar Thunberg adalah keberhasilannya dalam meningkatkan kesadaran global secara masif dan memaksa para pemimpin dunia untuk menghadapi urgensi ilmiah.

Terkait dampak kebijakan domestik, studi menunjukkan adanya dikotomi yang menarik di Eropa :

  • Dampak di Jerman: Meskipun FFF berasal dari Swedia, pengaruhnya terhadap politik domestik ditemukan lebih menonjol di Jerman. Di Jerman, aktivis lokal seperti Luisa Neubauer berkolaborasi dengan Thunberg sejak COP24 pada Desember 2018 untuk menekan parlemen Jerman (Bundestag) agar mengambil tindakan iklim yang nyata. Keberhasilan FFF di Jerman menunjukkan bahwa kesuksesan gerakan transnasional sangat bergantung pada adanya tokoh lokal yang kuat dan konteks politik domestik yang memungkinkan terjemahan momentum global menjadi tekanan politik yang terorganisir.
  • Dampak di Swedia: Sebaliknya, pengaruh FFF dalam memengaruhi politik domestik di negara asalnya, Swedia, dilaporkan kurang menonjol. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsensus lingkungan yang sudah relatif tinggi di Swedia, membuat tuntutan aktivis lebih mudah dianggap sebagai kritik marginal daripada pendorong perubahan struktural mendasar.

Secara keseluruhan, penghargaan yang diterima Thunberg dari institusi berbasis etika dan wacana (seperti Amnesty dan TIME) menggarisbawahi kemenangannya dalam perang moral dan diskursus. Namun, perubahannya dalam kebijakan struktural, seperti yang terlihat dari perbedaan dampak di Swedia dan Jerman, menunjukkan bahwa perubahan struktural memerlukan adaptasi strategi lokal yang kuat.

Kritik, Kontroversi, dan Evolusi Aktivisme

Aktivisme Thunberg telah menarik kritik tajam, yang seringkali menargetkan dirinya secara pribadi, namun ia telah meresponsnya dengan keberanian khas Gen Z. Selain itu, fokus aktivismenya telah berkembang dari isu iklim murni menuju kerangka keadilan global yang lebih luas, yang juga memicu kontroversi.

Kritik Ad Hominem dan Respon Strategis

Thunberg menjadi sasaran kritik pribadi yang keras dari berbagai pemimpin dunia. Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump, secara terbuka mengkritik Thunberg, menyarankan bahwa ia harus fokus pada “masalah manajemen amarahnya” dan “pergi ke dokter”.

Kritik semacam ini—yang menyerang pembawa pesan daripada data ilmiah (strategi ad hominem)—adalah upaya untuk mendiskreditkan urgensi pesannya. Namun, Thunberg merespons kritik ini dengan kecerdasan strategis. Sebagai tanggapan terhadap komentar Trump, ia mengganti bio Twitter-nya menjadi: “Seorang remaja yang berkutat dengan masalah amarahnya. Saat ini sedang bersantai dan menonton”. Respons humoris ini berhasil menetralkan serangan tersebut dan memperkuat citranya sebagai aktivis Gen Z yang cerdas dan anti-establishment.

Thunberg juga secara konsisten mengkritik para pemimpin dan media karena menyangkal adanya krisis, meremehkan persoalan iklim, dan puas dengan target yang tidak memadai. Menurutnya, “Rasa krisis mereka benar-benar nol”.

Evolusi Menuju Keadilan Iklim Terintegrasi (Flashpoint Gaza)

Aktivisme Thunberg telah menunjukkan kedewasaan radikal dengan menolak memisahkan krisis ekologi dari krisis kemanusiaan yang lebih luas, memandang keduanya sebagai manifestasi dari “sistem bisnis-seperti-biasa” (business-as-usual system).

Pada tahun 2025, Thunberg mengalihkan fokusnya secara eksplisit ke konflik kemanusiaan, terutama di Gaza/Palestina. Ia bergabung dengan flotila bantuan kemanusiaan Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan simbolis (seperti makanan bayi dan beras) untuk menyoroti kesulitan akses sumber daya penting di Gaza. Flotila ini kemudian dicegat dan Thunberg ditahan oleh otoritas Israel, yang menimbulkan insiden internasional.

Setelah dibebaskan dari tahanan Israel, Thunberg berbicara secara terbuka, menekankan bahwa pengalaman pribadinya tidak penting. Dia menyatakan, “Let me be very clear, there is a genocide going on in front of our very eyes, a live-streamed genocide”. Dia menuduh Israel memperburuk dan meningkatkan “genosida dan penghancuran massal” dan bersikeras bahwa isu iklim tidak dapat dipisahkan dari penderitaan global di tempat-tempat seperti Gaza, Kongo, Sudan, dan Afghanistan.

Kontroversi dan Perpecahan Internal Gerakan

Pergeseran fokus Thunberg ke isu geopolitik ini memicu kontroversi dan perpecahan, terutama di Eropa, menunjukkan bahwa aktivisme iklim yang berbasis keadilan tidak dapat lepas dari sensitivitas budaya dan politik domestik.

Setelah Thunberg mengunggah dukungannya untuk Gaza, muncul reaksi balik yang keras di Jerman dan Israel. Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bahkan sempat menyebut siapa pun yang mengidentifikasi diri dengan Greta sebagai “pendukung teror” (meskipun pernyataan ini kemudian ditarik kembali). Kementerian Pendidikan Israel menyatakan akan menghapus referensi Thunberg dari kurikulum.

Kontroversi ini menciptakan perpecahan di dalam gerakan FFF. FFF cabang Jerman, yang dipengaruhi oleh sensitivitas politik dan sejarah domestik (warisan Holocaust), berada di bawah tekanan besar untuk menjauhkan diri dari pandangan Thunberg mengenai Gaza. FFF Jerman akhirnya merilis pernyataan yang mendukung hak Israel untuk eksis dan secara eksplisit menjauhkan diri dari postingan FFF Internasional. Situasi ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh gerakan transnasional ketika mencoba mengintegrasikan isu-isu keadilan iklim yang memerlukan sikap terhadap konflik geopolitik yang sangat sensitif.

Kesimpulan

Greta Thunberg telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada wacana global. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari skala gerakan Fridays for Future—yang berhasil memobilisasi jutaan pemuda di seluruh dunia—tetapi juga dari keberaniannya dalam mendefinisikan kembali standar agensi politik Gen Z. Keefektifan retorikanya berasal dari kombinasi yang kuat antara basis ilmiah (Logos) dan seruan emosional (Pathos) yang diperkuat oleh kejujuran radikal yang berasal dari neurodiversitasnya. Dengan mengubah diagnosis Asperger’s menjadi “kekuatan super,” ia berhasil menangkis kritik yang mencoba mempolitisasi emosinya, mempertahankan kredibilitas (Ethos) yang didasarkan pada integritas moral dan konsistensi aksi.

Evolusi aktivisme Thunberg, yang bergeser ke kerangka keadilan iklim terintegrasi (menghubungkan iklim dengan hak asasi manusia dan konflik seperti di Gaza), menandai perkembangan penting dalam gerakan pemuda global. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z menolak pemisahan isu ekologi dan kemanusiaan, menuntut pertanggungjawaban moral yang menyeluruh dari para pemimpin dunia.

Meskipun langkah ini memicu perpecahan di dalam gerakan FFF di beberapa negara yang sensitif secara geopolitik, hal ini mengukuhkan Greta Thunberg sebagai ikon Gen Z yang berani dan relevan. Dia adalah suara yang menolak hipokrisi kepentingan yang mapan dan menegaskan prinsip bahwa tidak akan ada keadilan iklim tanpa keadilan sosial dan kemanusiaan. Thunberg terus menjadi kekuatan yang mendesak tindakan transformatif segera, bukan hanya solusi bertahap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

52 − 46 =
Powered by MathCaptcha