Tulisan ini menyajikan tinjauan mendalam mengenai krisis iklim global, didasarkan pada konsensus ilmiah terkini dan menganalisis secara terperinci penyebab, dampak terukur, serta strategi mitigasi dan adaptasi yang tengah diimplementasikan di tingkat nasional dan regional. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan pemangku kepentingan mengenai urgensi tindakan dan kompleksitas kerangka kebijakan yang diperlukan.

Status Quo dan Landasan Ilmiah Perubahan Iklim Saat Ini

Bab ini menetapkan landasan ilmiah mengenai krisis iklim, menggarisbawahi urgensi tindakan berdasarkan data fisik terkini dan proyeksi kegagalan kebijakan global.

Konsensus Ilmiah Global dan Tulisan IPCC AR6

Krisis perubahan iklim global dikonfirmasi oleh konsensus ilmiah internasional, yang ditegaskan kembali dalam AR6 Synthesis Report: Climate Change 2023 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Tulisan ini berfungsi sebagai landasan utama yang menegaskan bahwa perubahan iklim bersifat tidak ambigu dan secara dominan disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) antropogenik.

Meskipun komunitas global telah bersepakat melalui Perjanjian Paris untuk menargetkan pembatasan kenaikan suhu hingga batas aman, yaitu jauh di bawah dan idealnya membatasi hingga , tindakan kolektif global saat ini menunjukkan adanya kesenjangan kritis. Analisis terhadap komitmen dan implementasi kebijakan menunjukkan bahwa dunia berada pada jalur potensial peningkatan suhu rata-rata global sebesar pada akhir abad ini. Angka ini jauh melampaui ambang batas , mengindikasikan adanya kegagalan kolektif dalam kebijakan yang berpotensi memicu dampak bencana yang tak terhindarkan. Dalam skenario terburuk di mana emisi terus meningkat tanpa mitigasi yang signifikan, kenaikan suhu bahkan bisa mencapai atau lebih.

Indikator Kunci Perubahan Sistem Iklim Global

Salah satu indikator fisik perubahan iklim yang paling jelas dan berdampak jangka panjang adalah kenaikan permukaan air laut (sea level rise). Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1880, permukaan laut rata-rata global telah meningkat sebanyak 21–24 sentimeter.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah akselerasi laju kenaikan ini. Laju kenaikan rata-rata telah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 1.4 milimeter per tahun yang berlaku sepanjang sebagian besar abad ke-20, menjadi 3.6 milimeter per tahun dalam periode 2006–2015. Laju peningkatan ini diyakini belum pernah terjadi sebelumnya selama 2.500 tahun terakhir dan terutama disebabkan oleh dua faktor utama yang terkait dengan pemanasan global: air laut memuai secara termal karena penyerapan panas, dan masuknya volume air tambahan dari pencairan lapisan es besar dan gletser.

Kenaikan laju akselerasi permukaan air laut ini merepresentasikan sebuah risiko jangka panjang yang besar bagi aset infrastruktur pesisir. Tingkat laju per tahun mengubah secara fundamental perhitungan risiko bagi pelabuhan, pembangkit listrik, dan pemukiman di dataran rendah. Jika rencana pembangunan mengabaikan proyeksi laju akselerasi ini, investasi jangka panjang akan menghasilkan aset-aset yang terdampar (stranded assets) atau membutuhkan biaya perlindungan yang eksponensial di masa depan. Konsekuensi dari percepatan ini adalah peningkatan risiko Loss and Damage (Kerugian dan Kerusakan) serta kebutuhan mendesak akan mekanisme pendanaan adaptasi jangka panjang, seperti yang dilakukan oleh negara-negara kepulauan dan pesisir.

Bukti nyata di Indonesia terlihat dari berkurangnya lapisan es (gletser) di pegunungan Jayawijaya , yang merupakan manifestasi lokal dari tren pencairan es abadi global. Dampak ini secara langsung menghubungkan proyeksi kegagalan mencapai target dengan peningkatan pemanasan terkunci (committed warming) yang pada gilirannya akan mempercepat laju kenaikan muka air laut.

Etiologi Krisis Iklim: Sumber Utama Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Krisis iklim didorong oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Bab ini mengidentifikasi sumber emisi utama dan menempatkan peran Indonesia di tengah kontributor global.

Dominasi Bahan Bakar Fosil dan Deforestasi

Penyebab fundamental dari krisis iklim adalah aktivitas antropogenik, utamanya pembakaran bahan bakar fosil (minyak, batu bara, dan gas) dan deforestasi secara besar-besaran.

Deforestasi, atau penebangan hutan secara masif, merupakan kontributor signifikan. Hutan memainkan peran krusial sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Ketika hutan ditebang, tidak hanya keanekaragaman hayati yang hilang, tetapi karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan dilepaskan kembali ke atmosfer. Dengan demikian, deforestasi memperburuk krisis iklim melalui pelepasan emisi dan penghilangan kemampuan penyerapan karbon alami.

Distribusi Emisi Global Berdasarkan Sektor Ekonomi

Analisis distribusi emisi GRK berdasarkan sektor ekonomi menunjukkan fokus utama yang harus ditangani dalam strategi mitigasi. Meskipun terdapat sedikit variasi dalam pengelompokan, data global secara konsisten menyoroti dominasi sektor yang terkait dengan energi.

Secara global, sektor Energi (mencakup produksi listrik, panas, dan transportasi) merupakan penyumbang emisi terbesar, mencapai sekitar 73.2% dari total emisi GRK. Pembakaran batu bara, gas alam, dan minyak untuk pembangkitan listrik dan panas merupakan sumber tunggal terbesar dari emisi GRK global, mencapai 34% dari emisi 2019.

Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Other Land Use) menyumbang antara 18.4% hingga 22%. Kontribusi ini berasal dari kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) dan deforestasi. Proporsi yang besar ini menggarisbawahi pentingnya mitigasi berbasis alam dan pengelolaan lahan berkelanjutan.

Sektor Industri juga berkontribusi secara signifikan. Emisi dari industri bervariasi antara proses langsung industri (5.2% ) dan termasuk bahan bakar fosil yang dibakar di lokasi untuk energi (24% dari emisi 2019 ).

Tabel berikut merangkum distribusi emisi global dan mengaitkannya dengan prioritas mitigasi dalam konteks NDC Indonesia.

Table II.1: Distribusi Emisi Gas Rumah Kaca Global dan Prioritas Mitigasi

Sektor Ekonomi Utama Kontribusi Emisi Global (%) Sektor Kritis NDC Indonesia Fokus Kebijakan
Energi (Listrik, Panas, Transportasi) Energi ( penurunan BAU 2030) Transisi Energi, Carbon Pricing (ETS/Tax)
AFOLU (Lahan dan Kehutanan) Kehutanan ( penurunan BAU 2030) REDD+, Pasar Karbon Berbasis Alam
Industri IPPU ( penurunan BAU 2030) Efisiensi, Teknologi Rendah Karbon

Profil Emisi dan Komitmen NDC Indonesia

Indonesia memegang peran penting dalam mitigasi global, dengan kontribusi emisi sekitar 2.3% dari emisi GRK global. Profil emisi Indonesia dicirikan oleh kontribusi signifikan dari sektor energi serta sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU).

Dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC), target penurunan emisi Indonesia sangat menekankan pada sektor Kehutanan dan Lahan. Target penurunan emisi dalam skenario mitigasi untuk sektor kehutanan mencapai dari Business As Usual (BAU) pada tahun 2030. Sementara itu, sektor Energi menargetkan penurunan dari BAU pada tahun yang sama.

Kenyataan bahwa Indonesia memiliki kontribusi besar dari AFOLU dan sektor Energi membutuhkan strategi mitigasi dual-sektor. Strategi nasional harus secara efektif mengintegrasikan dekarbonisasi energi jangka panjang, yang membutuhkan investasi besar, dengan upaya cepat untuk mencegah deforestasi. Penekanan pada target kehutanan menciptakan potensi besar untuk menghasilkan kredit karbon berbasis alam—Indonesia diperkirakan dapat menghasilkan hingga 1.283 juta ton -ekuivalen per tahun pada 2030. Potensi valuasi karbon ini harus dimanfaatkan sebagai mekanisme pendanaan bagi transisi energi yang sulit di sektor hilir.

Dominasi emisi dari bahan bakar fosil secara global dan di Indonesia memicu tekanan global untuk implementasi harga karbon. Hal ini secara langsung menyebabkan peluncuran skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia sebagai upaya untuk memonetisasi biaya emisi, memberikan sinyal ekonomi, dan menekan sektor energi agar melakukan dekarbonisasi.

Dampak Multi-Dimensi Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim meluas ke dimensi fisik, ekologis, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat, menciptakan tantangan yang kompleks dan saling terkait.

Dampak Fisik dan Ekologi yang Tak Terhindarkan

Perubahan iklim memanifestasikan dirinya melalui peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem, khususnya hidrometeorologi. Di Indonesia, data menunjukkan kecenderungan cuaca yang signifikan menjadi lebih basah dan peningkatan frekuensi kejadian hidrometeorologi, seperti yang teramati dari tren peningkatan signifikan di Jawa Timur selama 30 tahun terakhir. Kecenderungan ini diproyeksikan akan terus berlanjut.

Secara ekologis, perubahan iklim merupakan ancaman eksistensial bagi keanekaragaman hayati. Perubahan suhu dan pola curah hujan menyebabkan pergeseran habitat dan hilangnya spesies. Sebagai contoh nyata, di Timor Leste, kekeringan berkepanjangan dan penggurunan telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati lokal, termasuk spesies umbi-umbian endemik.

Ancaman Ketahanan Pangan dan Risiko Sosial-Ekonomi

Ancaman terhadap ketahanan pangan adalah dampak sosial-ekonomi yang paling langsung. Perubahan iklim menciptakan climate hazard (frekuensi kejadian iklim ekstrem) dan menyebabkan perubahan musim yang tidak menentu dan tidak seimbang. Kondisi ini secara langsung merusak periode masa panen, yang pada akhirnya berkontribusi negatif terhadap ketahanan pangan. Risiko ini diperburuk di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi atau urbanisasi cepat, di mana peningkatan permintaan pangan membuat wilayah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan.

Dampak fisik yang tidak dapat dihindari atau diadaptasi menghasilkan kerugian dan kerusakan (Loss and Damage) yang memerlukan biaya pemulihan besar. Di Timor Leste, kenaikan muka air laut telah mencapai laju per tahun, yang mengakibatkan hilangnya lahan pertanian dan kerusakan infrastruktur di wilayah pesisir. Kasus ini menyoroti bahwa dampak iklim ekstrem tidak hanya mengancam nyawa tetapi juga secara permanen menghapus aset ekonomi dan sosial.

Dampak Kesehatan Masyarakat

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap perubahan iklim sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan manusia di abad ke-21. Dampak kesehatan bersifat langsung dan tidak langsung.

Penyakit Menular dan Tular Vektor: Perubahan pola suhu dan curah hujan memengaruhi distribusi geografis dan siklus hidup vektor (misalnya, nyamuk) dan patogen. Hal ini memfasilitasi pergeseran dan penyebaran penyakit tular vektor (seperti demam berdarah dan malaria) serta penyakit yang ditularkan melalui air ke daerah-daerah baru, termasuk daerah dataran tinggi tropis dan wilayah sub-Arktik. Kejadian cuaca ekstrem seperti banjir bandang dan gelombang panas juga secara langsung mengancam kesehatan dan meningkatkan risiko kematian.

Gangguan Kesehatan Pernapasan: Kualitas udara yang memburuk, terutama yang diakibatkan oleh polusi dan kebakaran hutan yang dipicu oleh kondisi iklim kering, meningkatkan risiko gangguan pernapasan, termasuk asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak ini.

Dampak pada kesehatan dan ketahanan pangan menciptakan siklus umpan balik negatif. Peningkatan penyakit terkait iklim (vektor dan pernapasan) secara otomatis akan menurunkan produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan biaya layanan kesehatan. Konsekuensi ini pada akhirnya melemahkan ketahanan ekonomi dan sosial, terutama di wilayah yang paling miskin dan rentan.

Upaya Penanggulangan I: Strategi Mitigasi dan Dekarbonisasi

Mitigasi, yang melibatkan pengurangan emisi GRK, adalah pilar utama dalam upaya global. Bab ini menganalisis kerangka kebijakan mitigasi, khususnya mekanisme penetapan harga karbon, sebagai alat dekarbonisasi.

Kerangka Kebijakan dan Kebutuhan Pendanaan Mitigasi

Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan instrumen pasar yang penting untuk mencapai target emisi yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) di bawah Perjanjian Paris. Mekanisme ini memungkinkan entitas yang memiliki surplus izin emisi untuk mendanai pengurangan emisi di tempat lain, memfasilitasi pencapaian target iklim secara lebih terorganisir.

Namun, pelaksanaan upaya mitigasi, khususnya di negara berkembang, menghadapi kesenjangan pendanaan yang besar. Di Indonesia, untuk mencapai target mitigasi pada periode 2018–2030, terdapat perkiraan rata-rata kebutuhan pendanaan tahunan sebesar Rp 266.25 triliun per tahun. Kesenjangan ini menunjukkan urgensi untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif dan kuat, termasuk melalui Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia

Indonesia telah mengambil langkah signifikan dalam menetapkan harga karbon melalui peluncuran kerangka NEK, diatur berdasarkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021.

Sistem Perdagangan Emisi (ETS) Sektor Pembangkit Listrik: Sejak awal 2023, Indonesia telah meluncurkan ETS berbasis intensitas yang wajib untuk sektor tenaga listrik, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas atau lebih.

  • Batas Emisi: Batas emisi teknis ditetapkan melalui Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE), yang menentukan jumlah tunjangan emisi yang diterima oleh instalasi berdasarkan megawatt-jam listrik yang dihasilkan.
  • IDXCarbon: Untuk memfasilitasi perdagangan, Bursa Karbon Indonesia (Indonesian Carbon Exchange, IDXCarbon) diluncurkan pada September 2023 di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
  • Model Hibrida: ETS Indonesia direncanakan akan bertransisi menjadi sistem hibrida “cap-tax-and-trade” pada tahun 2025. Dalam model ini, fasilitas yang gagal memenuhi kewajiban batas emisi ETS akan dikenakan pajak karbon, yang tarifnya diselaraskan dengan harga pasar karbon domestik. Pajak ini berfungsi sebagai harga lantai (price floor) untuk memastikan sinyal harga karbon yang stabil.

Strategi awal pemerintah Indonesia memfokuskan implementasi NEK pada sektor yang relatif terkontrol (PLTU milik PLN) untuk menguji efektivitas pasar sebelum diperluas ke sektor swasta atau sektor dengan kompleksitas Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) yang lebih tinggi. Keberhasilan model hibrida ini sangat penting untuk mengatasi kegagalan pasar yang mungkin disebabkan oleh kelebihan pasokan izin emisi.

Tantangan dan Proyeksi Carbon Pricing Global

Efektivitas carbon pricing bergantung pada dua faktor utama: harga yang memadai dan interaksi kebijakan yang cermat.

Tantangan Interaksi Kebijakan (Waterbed Effect): Ketika Emissions Trading System (ETS) diterapkan bersamaan dengan kebijakan pendukung lainnya—seperti subsidi energi terbarukan atau standar efisiensi energi—kebijakan pendukung ini dapat mengurangi permintaan terhadap izin emisi. Fenomena ini dikenal sebagai waterbed effect, yang dapat menurunkan harga allowance karbon. Jika cap emisi ETS tidak diperketat, pengurangan emisi yang dicapai oleh kebijakan pendukung tersebut tidak akan menghasilkan pengurangan emisi bersih tambahan secara keseluruhan, karena emisi hanya akan dialihkan ke tempat lain di bawah cap yang sama.

Kebutuhan Harga yang Efektif: Agar mekanisme penetapan harga karbon dapat mendorong investasi teknologi rendah karbon jangka panjang, harga tersebut harus cukup tinggi, terlihat, dan dapat diprediksi. International Energy Agency (IEA) dalam skenario Net Zero Emissions (NZE) memproyeksikan bahwa harga karbon yang diperlukan untuk mencapai transisi tersebut akan berada di sekitar $140/tCO2 pada tahun 2030. Jika harga karbon domestik di Indonesia terlalu rendah, sinyal investasi yang kuat untuk dekarbonisasi akan melemah, sehingga memerlukan penyesuaian regulasi harga pajak karbon.

Dalam konteks perdagangan karbon internasional, terdapat risiko negara berkembang menjadi terlalu bergantung pada pembelian kredit dari negara maju. Ketergantungan ini dapat menghambat transisi holistik dan berkelanjutan menuju ekonomi rendah karbon domestik. Indonesia harus memitigasi risiko ini dengan memanfaatkan potensi kredit karbonnya yang besar dari sektor kehutanan (diperkirakan 1.283 MtCO2e/tahun) untuk secara mandiri mendanai transisi energi domestik, memastikan kedaulatan dalam kebijakan iklim.

Upaya Penanggulangan II: Adaptasi, Ketahanan, dan Pendanaan Regional

Adaptasi adalah upaya yang tak terhindarkan untuk mengelola dampak perubahan iklim yang sudah terjadi dan yang diproyeksikan, berfokus pada peningkatan ketahanan sistem alam dan manusia.

Pilar Adaptasi Berbasis Data di Indonesia (RAN-API)

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Bappenas, secara aktif menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).

Data Proyeksi Iklim Resolusi Tinggi: RAN-API didukung oleh kolaborasi melalui kerangka kerja Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment – Southeast Asia (CORDEX-SEA). Dalam fase kedua CORDEX-SEA, tujuannya adalah menyediakan multi-model skenario proyeksi perubahan iklim dengan resolusi sangat tinggi (3–5 km) untuk wilayah rentan di kawasan Asia Tenggara.

Ketersediaan data proyeksi iklim resolusi tinggi ini sangat krusial. Dalam menghadapi ketidakpastian kondisi iklim di masa depan, data ini memungkinkan strategi dan perencanaan yang lebih tepat sasaran di tingkat lokal. Penggunaan data ini menandai sebuah transisi kebijakan dari sekadar merespons bencana (reactive) menjadi merencanakan ketahanan berbasis prediksi ilmiah (predictive governance).

Praktik Terbaik Sektoral: Sekolah Lapang Iklim (SLI), yang digencarkan oleh BMKG, adalah contoh nyata penerjemahan ilmu iklim ke dalam tindakan praktis. SLI bertujuan untuk mengantisipasi risiko gagal panen di sektor pertanian. SLI merupakan manifestasi efektif dari penerapan data resolusi tinggi untuk mencegah kerugian ekonomi langsung.

Pengembangan Sistem Peringatan Dini (EWS)

Sistem Peringatan Dini (Early Warning System, EWS) merupakan komponen fundamental dalam meningkatkan ketahanan bencana dan mengurangi kerentanan. EWS sangat penting karena tanpa sistem ini, masyarakat yang paling miskin dan rentan akan semakin terpapar oleh krisis iklim.

Namun, masih terdapat kesenjangan signifikan dalam cakupan EWS secara global. Sebagai ilustrasi, diperkirakan populasi di Afrika saat ini belum terlindungi oleh sistem peringatan dini. Investasi dalam EWS adalah prioritas utama adaptasi yang harus didukung oleh data iklim yang akurat dan mekanisme penyebaran informasi yang efektif.

Strategi Adaptasi Infrastruktur dan Pendanaan Mandiri Asia Tenggara

Ancaman fisik, seperti kenaikan permukaan air laut, mendorong negara-negara pesisir untuk mengembangkan strategi adaptasi infrastruktur dan mekanisme pendanaan yang mandiri.

Model Singapura (Resiliensi Pesisir): Singapura, meskipun secara geografis tidak rentan terhadap badai seperti negara lain, memprediksi ancaman jangka panjang berupa kenaikan muka air laut. Singapura secara proaktif mengintegrasikan antisipasi kenaikan ini ke dalam semua dokumen perencanaan pembangunannya.

Secara finansial, Singapura meminimalkan ketergantungannya pada dana iklim global dan mengembangkan instrumen pendanaan domestik, yang menjamin investasi berkelanjutan. Mekanisme yang dikembangkan meliputi:

  • Coastal and Flood Protection Fund (CFPF).
  • Singapore Green Bond Framework.
  • Significant Infrastructure Government Loan Act (SINGA).
  • Upaya Public-Private Partnership.

Model Singapura menunjukkan pengakuan bahwa akselerasi dampak fisik (misalnya, laju kenaikan permukaan laut ) akan meningkatkan biaya perlindungan infrastruktur secara signifikan, sehingga menuntut model pendanaan adaptasi mandiri yang kuat.

Tantangan Negara Rentan: Kontrasnya, negara seperti Timor Leste menghadapi kenaikan muka air laut yang tinggi ( per tahun), kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Bagi negara-negara rentan dengan sumber daya terbatas, mengalokasikan dana yang memadai untuk adaptasi dan Loss and Damage merupakan tantangan yang sangat berat, menggarisbawahi pentingnya dukungan pendanaan iklim global yang adil.

Tabel V.1: Strategi Adaptasi dan Dukungan Data Regional

Negara/Wilayah Fokus Adaptasi Alat Kebijakan Utama Dukungan Data Kritis
Indonesia Ketahanan Hidrometeorologi & Pangan RAN-API, Sekolah Lapang Iklim (SLI) Proyeksi Iklim Resolusi Tinggi (CORDEX-SEA )
Singapura Ketahanan Pesisir (Sea Level Rise) CFPF, Green Bonds, Perencanaan Infrastruktur Terintegrasi Mekanisme Pendanaan Domestik yang Kuat
Global/Regional Ketahanan Bencana Sistem Peringatan Dini (EWS) Mengatasi Kesenjangan Akses (misalnya, Afrika tidak terlindungi)

Kesimpulan

Analisis yang disajikan dalam tulisan ini mengkonfirmasi urgensi krisis iklim yang didukung oleh data fisik, termasuk akselerasi laju kenaikan permukaan air laut (/tahun) , dan proyeksi kegagalan kebijakan global untuk membatasi pemanasan hingga . Krisis ini dimotori oleh dominasi emisi dari sektor energi dan AFOLU, yang di Indonesia menuntut strategi mitigasi dual-sektor. Dampak krisis bersifat multi-dimensi, mengancam ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan kesehatan masyarakat melalui peningkatan penyakit tular vektor dan gangguan pernapasan.

Memperkuat Sinyal Harga Karbon Domestik

Pemerintah Indonesia harus segera menerapkan model hibrida NEK (cap-tax-and-trade) secara penuh pada tahun 2025. Penting untuk menetapkan harga pajak karbon yang berfungsi sebagai harga lantai (price floor) yang mampu menstimulasi dekarbonisasi secara signifikan, selaras dengan proyeksi harga yang dibutuhkan oleh IEA NZE ( pada 2030). Harga yang kuat diperlukan untuk mendorong investasi jangka panjang dan mencegah waterbed effect yang dapat mengganggu efektivitas ETS.

Memanfaatkan Potensi Kredit Karbon Berbasis Alam

Mengingat potensi besar Indonesia dalam mitigasi berbasis lahan (diperkirakan menghasilkan 1.283 kredit karbon per tahun) , pengembangan kerangka Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) yang transparan dan diakui secara internasional menjadi keharusan. Kerangka MRV yang kredibel akan memaksimalkan valuasi pasar karbon kehutanan, yang kemudian dapat berfungsi sebagai sumber pendanaan vital untuk target NDC sektor energi.

Rekomendasi Adaptasi dan Ketahanan

Pemerintah harus mengamanatkan penggunaan data proyeksi iklim resolusi tinggi yang dihasilkan oleh kolaborasi CORDEX-SEA (3–5 km) dalam semua perencanaan infrastruktur publik, khususnya di wilayah pesisir dan wilayah sentra pangan. Penerapan data ini dalam program sektoral, seperti Sekolah Lapang Iklim (SLI) , harus diperluas untuk memperkuat predictive governance dan mengurangi risiko gagal panen.

Untuk mengurangi kerentanan finansial terhadap dampak iklim dan meminimalkan ketergantungan pada dana iklim global , Indonesia perlu mempelajari dan mereplikasi mekanisme pendanaan adaptasi mandiri regional. Contoh spesifiknya adalah implementasi Coastal and Flood Protection Fund (CFPF), Green Bond Framework, dan Public-Private Partnership (PPP) yang dikembangkan Singapura. Pengembangan instrumen pendanaan domestik yang ditargetkan akan menjamin resiliensi infrastruktur jangka panjang terhadap ancaman seperti kenaikan muka air laut yang terus berakselerasi.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

40 − 31 =
Powered by MathCaptcha