Tulisan ini bertujuan melacak evolusi dan artikulasi gagasan “kemanusiaan” dalam berbagai peradaban global. Dalam konteks analisis filosofis, penting untuk membedakan secara kritis antara Kemanusiaan (Humanity)—yang merujuk pada kodrat esensial, moral, dan ontologis makhluk manusia—dengan Humanisme (Humanism). Humanisme adalah pandangan filosofis yang secara spesifik menempatkan manusia sebagai pusat penilaian dan perhatian (antropocentrisme), mengutamakan akal, kebebasan, dan kebaikan bersama.

Benih pemikiran yang menghargai kapasitas manusia untuk menentukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah dirintis sejak zaman Klasik, bahkan jauh sebelum era modern, ditelusuri kembali ke filosof seperti Socrates pada 399 SM. Namun, cara peradaban mendefinisikan martabat, kewajiban, dan hak yang melekat pada kodrat manusia sangat bervariasi.

Kerangka Komparatif dan Aksial

Analisis komparatif ini akan menggunakan kerangka aksial yang membandingkan definisi martabat manusia berdasarkan tiga sumbu utama: Otonomi Individu (cenderung di Barat Modern), Tugas Relasional/Sosial (cenderung di Timur), dan Kewajiban Kosmis/Etimologis (cenderung dalam pandangan teologis dan lokal).

Pergeseran fokus dari “tugas” atau “kewajiban” menuju “hak” merupakan penanda fundamental dalam transisi ke modernitas. Peradaban kuno dan teologis, seperti Konfusianisme, Hindu Dharma, dan Islam dengan konsep Khalifah, cenderung mendefinisikan martabat individu melalui pemenuhan kewajiban terhadap tatanan yang lebih besar—baik itu kosmis, sosial, atau ilahi. Sebaliknya, Humanisme Renaisans dan Pencerahan secara radikal menekankan hak dan otonomi individu. Konflik antara martabat berbasis tugas dan martabat berbasis hak ini mencapai puncaknya dalam perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 , sebuah upaya untuk mendefinisikan kembali kemanusiaan sebagai entitas yang menuntut perlindungan universal, bukan hanya pemenuhan mandat.

Pondasi Kemanusiaan Kuno: Martabat melalui Tugas, Nalar, dan Kosmos

Rasionalitas Klasik (Yunani dan Pencerahan)

Dalam filosofi Yunani, manusia dipandang sebagai Homo Rationalis (Manusia Nalar). Penekanan diberikan pada pentingnya rasio, kebebasan berpikir, dan pengembangan potensi manusia. Konsep penting dalam pandangan Yunani Kuno adalah Logos, yang dipandang sebagai nalar ilahi atau prinsip yang menciptakan keteraturan dalam alam semesta. Martabat manusia sebagian berasal dari kemampuan akal budi untuk merefleksikan dan berpartisipasi dalam keteraturan kosmis ini.

Semangat ini dihidupkan kembali selama Humanisme Renaisans (abad ke-14), yang muncul sebagai respons terhadap dominasi otoritas agama di Abad Pertengahan. Gerakan ini menyebarkan semangat humanisme dan mengedepankan pemikiran kritis dan independen. Puncak dari artikulasi martabat rasional modern terlihat dalam filsafat Pencerahan Immanuel Kant, yang menetapkan bahwa martabat manusia didasarkan pada otonomi dan rasionalitasnya. Manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan (end), bukan sekadar alat (means). Prinsip ini menjadi fondasi etika hukum modern yang menjunjung tinggi akal budi dan nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasarnya.

Etika Sosial dan Filial (Konfusianisme)

Di peradaban Tiongkok, pendiri Konfusianisme, Konfusius (551-479 SM) , mengembangkan konsep kemanusiaan yang berakar pada tatanan sosial. Inti dari martabat manusia dicapai melalui praktik Ren (Kebajikan Kemanusiaan), yang merupakan manifestasi kasih sayang dan altruisme. Dalam kerangka Konfusianisme, kemanusiaan adalah sifat yang dapat ditumbuhkan melalui hubungan sosial yang harmonis.

Berbeda dengan penekanan Barat pada otonomi individu, martabat dalam Konfusianisme diukur dari pemenuhan peran seseorang dalam sistem tatanan sosial (Li) dan kontribusi terhadap harmoni kolektif. Terdapat dikotomi yang jelas: Rasionalitas Yunani mencari martabat melalui individu yang otonom dan cerdas, sementara Konfusianisme mencari martabat melalui keterikatan moral pada tatanan sosial. Perbedaan ini mendasari perbedaan mendasar dalam bagaimana hak dan kewajiban dikonseptualisasikan dalam peradaban masing-masing.

Diri Spiritual dan Hukum Kosmis (Peradaban India)

Peradaban India, khususnya dalam kepercayaan Hindu, mendefinisikan kemanusiaan melalui dimensi spiritual. Konsep sentralnya adalah Atman (jiwa atau diri) yang diyakini sebagai bagian dari Brahman (Realitas Tertinggi atau Jiwa Agung). Kepercayaan pada Atman memberikan nilai intrinsik pada diri, yang bersifat spiritual dan abadi.

Martabat manusia terikat pada pemenuhan Dharma—kewajiban moral dan tugas yang harus dipenuhi dalam kehidupan. Pemenuhan Dharma adalah cara untuk memajukan diri menuju Moksha (pembebasan). Dengan demikian, jika etika Kantian menempatkan hukum moral dalam diri (rasionalitas) , Dharma menempatkan hukum moral di luar diri, dalam tatanan kosmis yang harus dipatuhi.

Table 1: Perbandingan Konsep Kemanusiaan Lintas Peradaban Mayor (Aksial)

Peradaban/Tradisi Konsep Sentral Kemanusiaan Inti Martabat Tugas Utama
Yunani Klasik Homo Rationalis (Manusia Nalar) Otonomi dan Akal Budi (Logos) Mencari Kebijaksanaan, Pengembangan Potensi
Konfusianisme Ren (Kebajikan Kemanusiaan) Harmoni Sosial dan Etika Filial Pemenuhan Peran, Penjagaan Tatanan Sosial
Hinduisme Atman (Diri Spiritual) Kesatuan dengan Brahman, Nilai Inheren Pemenuhan Dharma (Tugas Moral), Mencapai Moksha

Kemanusiaan dalam Mandat Suci dan Kolektivitas (Kedudukan dan Kewajiban)

Manusia sebagai Wakil Tuhan (Tradisi Abrahamik)

Tradisi Abrahamik memberikan landasan teologis yang kuat bagi nilai kemanusiaan. Dalam Yudaisme dan Kristen, konsep Imago Dei (Citra Tuhan) menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut citra Tuhan. Ini adalah sumber nilai dan martabat inheren yang tak ternilai, yang melekat pada setiap individu tanpa syarat, terlepas dari tingkat rasionalitas atau status sosial.

Dalam Islam, konsep Khalifah fil-ardh (Stewardship atau Wakil di Bumi) menempatkan manusia sebagai pengelola. Kedudukan ini membebankan tanggung jawab ganda : melaksanakan tugas ilahi, serta memelihara dan mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama. Kemanusiaan di sini didefinisikan melalui fungsi ekologis dan moral yang aktif, yang mengikat manusia pada kewajiban kosmis.

Kemanusiaan Berakar pada Komunitas (Filosofi Afrika dan Pribumi)

Filosofi Afrika Ubuntu—yang berakar pada budaya Nguni Bantu di Afrika Selatan—menekankan bahwa inti kemanusiaan ditemukan dalam interdependensi dan hubungan komunitas. Martabat individu diakui dan ditegaskan dalam kerangka kolektivitas, diungkapkan dalam frasa terkenal: “Saya adalah karena kita adalah.” Meskipun fokusnya pada komunitas, Ubuntu tetap mengakui nilai dan martabat unik setiap orang di dalamnya.

Pandangan Pribumi Amerika (Indian Amerika) menawarkan paradigma ekologis yang menolak antropocentrisme radikal. Interaksi antara manusia dan lingkungan didasarkan pada saling pengertian, rasa hormat, dan kesetaraan. Masyarakat Pribumi meyakini bahwa semua makhluk di alam memiliki jiwa, setara dengan manusia. Manusia dipandang rapuh dan lemah dibandingkan makhluk lain, sehingga kelangsungan hidup manusia sangat bergantung pada keutuhan lingkungan alam.

Konsep Khalifah dan Ubuntu menawarkan model etika global yang relevan bagi isu-isu kontemporer seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan krisis lingkungan. Kedua pandangan ini menyediakan kerangka di mana kemanusiaan terikat pada kewajiban resiprokal kepada alam, memaksa pandangan etis untuk melampaui batas-batas spesies, dan memberikan perspektif pra-modern yang berpusat pada keseimbangan ekologis.

Pergeseran ke Otonomi Sekuler dan Universalitas (Era Modern)

Kebangkitan Humanisme Sekuler

Humanisme modern yang muncul pada Renaisans dan mencapai puncaknya pada Pencerahan, secara eksplisit menempatkan manusia sebagai pusat penilaian (antroposentrisme baru). Gerakan ini mendorong penggunaan rasionalitas dan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kualitas hidup dan menentang dogma-dogma yang membatasi kebebasan berpikir. Filsafat Pencerahan (seperti Kantianisme) berfungsi sebagai jembatan yang kuat antara humanisme filosofis dan kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM).

Kemanusiaan yang Dideklarasikan (Hak Asasi Manusia Universal)

Titik balik paling signifikan dalam definisi kemanusiaan modern adalah proklamasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan respons langsung terhadap tindakan biadab Perang Dunia II yang melanggar hati nurani umat manusia, menetapkan hak asasi fundamental yang harus dilindungi secara universal.

Inti dari DUHAM adalah penetapan martabat inheren dan hak yang setara serta tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia sebagai fondasi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Aspirasi politiknya adalah memastikan manusia menikmati kebebasan berbicara, berkeyakinan, dan kebebasan dari rasa takut dan kekurangan, serta melindungi HAM melalui supremasi hukum. Meskipun DUHAM adalah puncak humanisme sekuler, upaya untuk menetapkan nilai universal yang tak dapat diganggu gugat ini dapat ditelusuri kembali ke konsep teologis seperti Imago Dei dan filosofi absolut seperti Kantianisme. DUHAM pada dasarnya adalah upaya pasca-teologis untuk memastikan perlindungan yang sebelumnya dijamin oleh tatanan ilahi atau rasional yang mutlak.

Kemanusiaan di Persimpangan Struktural dan Digital (Krisis Kontemporer)

Konflik Struktural Melawan Martabat Lokal (Studi Kasus Indonesia)

Terlepas dari deklarasi universal, martabat manusia dihadapkan pada kegagalan internal peradaban, terutama dalam bentuk ketidakadilan struktural. Di Indonesia, data menunjukkan bahwa martabat, khususnya bagi perempuan adat, rentan terhadap kemiskinan, patriarki, dan ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan. Kekerasan berbasis gender meningkat di Provinsi Sumatera Barat, seringkali berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Perempuan adat di Kepulauan Mentawai menghadapi kerentanan yang sangat tinggi akibat minimnya pemahaman hak, dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan, dan anggapan bahwa mereka tidak memiliki kapasitas. Pendataan menunjukkan bahwa 113 dari 854 responden perempuan adat di Mentawai adalah kepala keluarga, dan mayoritas masih berusia di bawah 20 tahun dengan penghasilan di bawah 1 juta Rupiah per bulan. Kondisi ini memperbesar risiko kemiskinan dan kerentanan terhadap kekerasan.

Meskipun menghadapi kerentanan ini, perempuan adat juga berperan sebagai pondasi utama pembangunan berkelanjutan dan menjaga nilai budaya, seperti yang terlihat pada peran perempuan Minangkabau dalam adat dan pusaka , serta dalam pengelolaan sumber daya alam dan ritual. Perempuan adat Tano Batak bahkan memimpin perlawanan struktural melawan deforestasi dan perampasan tanah. Perjuangan ini meneruskan semangat tokoh emansipasi historis seperti Rasuna Said dari Sumatera Barat, yang menekankan pentingnya kesetaraan peran perempuan dalam politik dan pendidikan.

Diskrepansi antara hak universal (DUHAM) dan realitas struktural lokal menunjukkan bahwa martabat tidak dapat dijamin hanya dengan kerangka hukum, tetapi membutuhkan keadilan struktural. Dalam kasus-kasus ini, perempuan adat justru menggunakan peran historis mereka sebagai penjaga kearifan lokal untuk menjalankan kewajiban khalifah secara praktis, melawan eksploitasi lingkungan—titik di mana etika kolektivitas tradisional bertemu dengan perjuangan HAM modern.

Masyarakat Human-Centered Baru (Society 5.0)

Di tengah tantangan struktural, dunia bergerak menuju Society 5.0, sebuah konsep yang dipromosikan oleh Jepang. Society 5.0 didefinisikan sebagai masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered), di mana kemajuan ekonomi dan penyelesaian masalah sosial selaras melalui integrasi sistem siber dan fisik. Society 5.0 dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup , mendorong daya saing, dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk kesehatan, pendidikan, dan kota berkelanjutan.

Society 5.0 melengkapi Revolusi Industri 4.0 (yang berfokus pada efisiensi pabrik) dengan mengarahkan inovasi menuju model yang lebih berpusat pada manusia dan menghormati sumber daya planet, menjadikannya lebih berkelanjutan. Contoh implementasi human-centered termasuk transformasi layanan kesehatan melalui AI-based medical support, telemedisin yang menjamin akses ke layanan berkualitas di daerah terpencil bagi warga senior, dan perawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu sepanjang hidup.

Dilema Etika Society 5.0: Ancaman Baru bagi Kemanusiaan

Meskipun Society 5.0 idealnya berpusat pada manusia, implementasinya menghadapi risiko paradoks yang dapat menyebabkan bentuk baru dehumanisasi struktural. Tantangan etika utama meliputi:

  1. Ketidaksetaraan dan Kesenjangan Digital: Akses yang tidak merata terhadap teknologi canggih seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) dapat memperparah kesenjangan sosial-ekonomi.
  2. Privasi dan Keamanan Data: Pengumpulan data pribadi secara masif menimbulkan kekhawatiran serius. Penting untuk melindungi data dan memastikan penggunaannya secara transparan dan bertanggung jawab.
  3. Bias Algoritmik dan Ketidakadilan: Sistem AI dapat mencerminkan dan bahkan memperkuat bias sosial yang ada, menyebabkan ketidakadilan dalam berbagai bidang, seperti perekrutan atau peradilan pidana.
  4. Dampak pada Pekerjaan: Otomatisasi yang didorong oleh AI dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan perubahan besar di pasar tenaga kerja.

Risiko ini mengindikasikan bahwa jika martabat manusia didasarkan pada otonomi dan kesetaraan (seperti yang ditetapkan Kant dan DUHAM), maka bias algoritmik dan kesenjangan akses di era 5.0 secara fundamental mengikis fondasi otonomi tersebut. Masyarakat yang bergantung pada fusi siber-fisik memerlukan kerangka etika yang kuat untuk melindungi martabat dari penentuan nasib melalui algoritma yang tidak transparan.

Post-Humanisme: Mengubah Kodrat dan Batasan Manusia

Transhumanisme vs. Post-Humanisme Filosofis

Di samping tantangan digital, konsep kemanusiaan kini diuji oleh ideologi yang bertujuan melampauinya. Transhumanisme adalah gerakan filosofis yang percaya bahwa manusia harus menggunakan teknologi—seperti rekayasa genetika atau teknologi peningkatan—untuk melampaui batas-batas biologis fisik dan mental saat ini.

Post-Humanisme adalah konsep yang lebih filosofis dan spekulatif, yang berfungsi sebagai kritik terhadap antropocentrisme. Post-Humanisme mengkaji kondisi “setelah manusia” di mana manusia tidak lagi menjadi spesies dominan atau pusat alam semesta. Ini merupakan penolakan terhadap kepercayaan arogan akan keunggulan manusia yang telah ada setidaknya sejak abad ke-14. Transhumanisme sering dikritik karena potensi ketidakadilan sosial yang dihasilkan oleh akses yang tidak merata terhadap teknologi peningkatan.

Batasan Kreativitas dan Otentisitas (Studi Kasus AI Musik)

Kreativitas—yang lama dianggap sebagai benteng kemanusiaan—kini ditantang oleh Kecerdasan Buatan Generatif. Teknologi AI mampu menciptakan karya musik yang kompleks, mulai dari aransemen orkestra hingga melodi pop, hanya dalam hitungan menit. Platform seperti AIVA (ideal untuk musik orkestra dan simfoni) dan Ecrett Music (untuk musik latar video bebas royalti) memfasilitasi penciptaan musik instan yang ekonomis.

Ekonomi AI musik diproyeksikan melonjak (diprediksi mencapai USD 2,794,7 juta pada 2030). Pertumbuhan ini menimbulkan ancaman serius terhadap martabat kreator manusia. Musisi berisiko kehilangan penghargaan berupa royalti karena publik memilih musik instan yang lebih murah, yang menggerus nilai emosi, waktu, dan tenaga yang diinvestasikan manusia dalam berkarya. Secara filosofis, muncul pertanyaan tentang sifat kepengarangan: Jika prompter bukan penulis, apa yang direfleksikan dalam karya AI, dan bagaimana kita sepakat mengenai maksud dan maknanya?.

Status Hukum dan Kolaborasi Manusia-Mesin

Batas hukum hak cipta berfungsi sebagai batas legal terakhir untuk mendefinisikan kemanusiaan dalam seni. Baik Indonesia maupun Amerika Serikat saat ini tidak mengakui AI sebagai pencipta (author). Perlindungan hak cipta hanya diberikan jika terdapat kontribusi manusia yang signifikan pada proses kreasi. Hal ini menegaskan bahwa nilai ekonomi dan artistik terikat pada kontribusi manusia yang asli. Namun, Indonesia masih menghadapi ketidakpastian hukum karena kurangnya regulasi spesifik mengenai AI dan teknologi deepfake.

Perkembangan AI memaksa hukum dan filosofi untuk memperjuangkan intensitas dan keaslian kontribusi manusia (rasio dan emosi) sebagai basis untuk mempertahankan konsep kemanusiaan tradisional. Dalam upaya mendefinisikan protokol sosial dan hukum baru untuk kolaborasi yang adil, seniman seperti Holly Herndon dan Mat Dryhurst telah menggunakan AI (Spawn atau Holly+) sebagai alat koordinasi dan komunikasi. Mereka menciptakan eksperimen Data Trust, di mana kontributor (paduan suara komunitas) berbagi kekuasaan dan kepemilikan atas data pelatihan AI, memastikan etika dan distribusi kekuasaan dalam kreasi.

Kesimpulan

Sintesis Komparatif: Konvergensi dan Divergensi

Analisis ini menunjukkan bahwa gagasan kemanusiaan telah berkembang dari definisi berbasis tugas kosmis/sosial menjadi definisi berbasis hak individual dan rasional. Meskipun peradaban berbeda dalam cara mereka menempatkan martabat (Nalar Yunani, Tugas Dharma, Komunitas Ubuntu), ada konvergensi penting: semua tradisi sepakat bahwa kemanusiaan memiliki nilai inheren yang harus dijaga dari barbarisme (seperti yang diakui DUHAM 1948) dan eksploitasi (seperti yang terlihat dalam krisis struktural lokal). Divergensi utama tetap pada perpecahan antara pandangan antroposentris yang menekankan hak dan pandangan relasional/kosmis yang menekankan kewajiban.

Proyeksi Kemanusiaan Kontemporer

Kemanusiaan di era kontemporer berada di persimpangan jalan, ditantang oleh teknologi dan kesenjangan struktural. Untuk membangun masa depan yang resilien, dibutuhkan kerangka kemanusiaan yang fleksibel yang mengintegrasikan berbagai nilai historis:

  1. Dignitas Inheren (Fondasi Hukum): Martabat inheren yang absolut (seperti dalam DUHAM dan Kantianisme) harus dipertahankan sebagai batas minimum perlindungan.
  2. Etika Kolektivitas (Fondasi Sosial): Nilai interdependensi (Ubuntu, Ren) harus diterapkan untuk mengatasi kesenjangan struktural dan digital yang diakibatkan oleh Society 5.0.
  3. Tanggung Jawab Ekologis (Fondasi Keberlanjutan): Konsep kewajiban (seperti Khalifah fil-ardh dan paradigma Pribumi Amerika) sangat krusial untuk mencapai keberlanjutan sosial dan ekologis yang dijanjikan oleh Society 5.0.

Tabel 2: Pergeseran Paradigma Kemanusiaan (Evolusi Historis)

Periode Historis Definisi Sentral Kemanusiaan Ancaman Utama Tujuan Etis/Ontologis
Kuno (Yunani, India, Konfusius) Potensi Nalar, Tugas Kosmis (Dharma), Etika Relasional (Ren) Kejahilan, Chaos, Ketidakharmonisan Sosial Kebijaksanaan, Ketertiban, Pembebasan (Moksha)
Teologis (Abrahamik) Citra Tuhan (Imago Dei), Wakil/Steward (Khalifah) Dosa, Pelanggaran Mandat Suci, Kezaliman Keselamatan, Pemenuhan Amanah Moral/Ekologis
Modern (Renaisans, DUHAM 1948) Otonomi Rasional, Martabat Inheren, Hak Universal Otoritarianisme, Diskriminasi, Barbarisme (Pasca-Perang) Kebebasan, Kesetaraan, Supremasi Hukum
Kontemporer (Society 5.0, AI) Human-Centered (Ideal) vs. Post-Human (Kritik) Bias Algoritmik, Kesenjangan Digital, Hilangnya Otentisitas Kreatif Resiliensi, Keadilan Algoritmik, Redefinisi Kepengarangan

Penutup

Kemanusiaan bukanlah konsep statis melainkan entitas yang terus dinegosiasikan di antara idealisme filosofis, kewajiban teologis, realitas struktural, dan batas-batas teknologi yang terus berubah. Untuk menghadapi era Post-Human, peradaban harus menerima kritik Post-Humanisme , berkolaborasi secara etis dengan teknologi (menggunakan model protokol sosial baru seperti Data Trust Herndon) , dan memprioritaskan kembali peran manusia sebagai pengatur dalam Society 5.0. Tujuannya adalah memastikan teknologi berfungsi untuk meningkatkan tujuan sosial dan martabat, bukan untuk menggantikan atau mendelegitimasi nilai esensial manusia. Melacak gagasan kemanusiaan adalah proses dialektis yang menuntut peninjauan kembali kearifan kuno dan lokal untuk membangun etika global yang benar-benar adil dan berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

26 − = 25
Powered by MathCaptcha