Asal Usul Society 5.0 dan Mandat Human-Centric

Konsep Peradaban 5.0 (Society 5.0) menandai sebuah evolusi paradigma dalam interaksi antara teknologi maju dan masyarakat. Society 5.0 pertama kali diperkenalkan dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5 Jepang pada tahun 2016. Secara konseptual, Society 5.0 didefinisikan sebagai “masyarakat berpusat pada manusia (human-centered society) di mana pembangunan ekonomi dan resolusi isu-isu sosial kompatibel satu sama lain melalui sistem yang sangat terintegrasi antara ruang siber dan ruang fisik”.

Tujuan fundamental dari Society 5.0 jauh melampaui sekadar efisiensi teknologi. Inisiatif ini berfokus pada penciptaan masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh terhadap berbagai ancaman dan situasi yang tidak menentu. Mandat intinya adalah menjamin keselamatan dan keamanan bagi setiap individu, sekaligus memungkinkan mereka untuk mewujudkan kesejahteraan yang beragam (diverse well-being). Melalui pendekatan ini, fokus utamanya adalah peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan bagi seluruh warga negara. Nilai human-centered menjamin bahwa warga negara memainkan peran sentral dalam pengambilan keputusan, yang pada gilirannya, memungkinkan masyarakat untuk bertransformasi secara fleksibel dan cepat menuju bentuk yang lebih baik.

Pergeseran Paradigma: Kontras Society 5.0 dengan Revolusi Industri 4.0 (I4.0) dan Industry 5.0

Society 5.0 tidak hanya mewakili kemajuan teknologi, melainkan sebuah penyesuaian filosofis yang kritis terhadap keterbatasan yang muncul dari Revolusi Industri 4.0 (I4.0). Fokus utama I4.0 adalah otomatisasi industri dan penciptaan Smart Factory untuk memaksimalkan efisiensi dan output produksi, dengan nilai yang terutama berorientasi pada aspek ekonomi.

Industry 5.0 muncul sebagai jembatan yang melengkapi I4.0, mengalihkan inovasi menuju model yang lebih human-centered dan bertanggung jawab terhadap sumber daya alam. Industry 5.0 menekankan sinergi antara kreativitas manusia dan presisi mesin, menciptakan lingkungan kerja kolaboratif. Namun, Society 5.0 membawa konsep humanization ini ke tingkat yang lebih luas, melampaui batasan sektor industri dan mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, dengan tujuan akhir menciptakan Smart Society.

Perbedaan mendasar ini dapat dipahami sebagai respons normatif dan strategis yang didorong oleh kegagalan I4.0 dalam mengatasi krisis sistemik global. Krisis, seperti pandemi COVID-19 atau masalah struktural seperti penuaan populasi di Jepang , telah menunjukkan bahwa fokus tunggal pada efisiensi ekonomi tidak secara otomatis menghasilkan ketahanan atau kesejahteraan sosial yang diperlukan. Oleh karena itu, Society 5.0 diposisikan untuk mengatasi Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti kesehatan (SDG 3) dan kota berkelanjutan (SDG 11). Inti dari Era 5.0 adalah mendorong perusahaan untuk lebih peduli terhadap lingkungan, menggunakan teknologi energi hijau, dan mengadopsi proses produksi yang lebih bertanggung jawab dan efisien. Ini merupakan penyesuaian filosofis yang mengakui bahwa teknologi harus diarahkan untuk mendukung ketahanan sosial dan keberlanjutan planet , mengatasi keterbatasan fokus I4.0 yang sempit.

Table 1.1: Perbandingan Filosofis dan Fokus Inovasi: Dari Industri 4.0 ke Society 5.0

Dimensi Revolusi Industri 4.0 Peradaban 5.0 (Society 5.0)
Fokus Utama Efisiensi, Otomasi Pabrik, Nilai Ekonomi Kemanusiaan (Human-Centric), Keseimbangan, Resolusi Isu Sosial
Tujuan Akhir Penciptaan Pabrik Pintar (Smart Factory), Peningkatan Produksi Penciptaan Masyarakat Pintar (Smart Society), Peningkatan Kualitas Hidup
Arsitektur Inti Cyber-Physical Systems (CPS) di lingkungan industri CPS yang Terintegrasi secara Menyeluruh (Melintasi semua Sektor Masyarakat)
Nilai Tambah Optimalisasi Proses Bisnis Nilai yang Diciptakan bersama (Shared Value) antara Manusia dan Teknologi

Arsitektur Digital untuk Kesejahteraan Manusia

Fusi Ruang Siber dan Fisik melalui Sistem Siber-Fisik (CPS)

Arsitektur Society 5.0 didasarkan pada integrasi yang sangat erat antara ruang siber (dunia digital) dan ruang fisik (dunia nyata). Inti dari integrasi ini adalah implementasi konsep Sistem Siber-Fisik (CPS). CPS berfungsi sebagai fondasi, menggabungkan komputasi, sistem fisik, dan interaksi manusia untuk menciptakan sistem yang tidak hanya efisien tetapi juga andal dan tangguh, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan komunitas.

Mekanisme utama untuk mencapai fusi ini adalah melalui pembangunan ‘kembaran digital’ (digital twin). Dalam Society 5.0, setiap elemen masyarakat—mulai dari sistem, desain bisnis, hingga pengembangan kota dan regional—dibangun sebagai kembaran digital di ruang siber. Di ruang siber inilah restrukturisasi dan simulasi dilakukan, dan hasilnya kemudian direfleksikan kembali ke ruang fisik untuk mentransformasi masyarakat. Implementasi CPS bahkan mulai merevolusi operasi legal, menawarkan manfaat seperti peningkatan keamanan, efisiensi, dan kemampuan analitik prediktif.

Keberhasilan arsitektur CPS/Digital Twin sepenuhnya bergantung pada bagaimana nilai-nilai human-centered diintegrasikan ke dalam proses restrukturisasi sistem di ruang siber. Jika data yang digunakan untuk membangun digital twin telah mengandung bias sosial, atau jika algoritma restrukturisasi tidak memprioritaskan “kesejahteraan beragam,” maka sistem yang direfleksikan kembali ke dunia fisik berisiko memperburuk masalah sosial yang ada. Oleh karena itu, inti teknis Society 5.0 (CPS/Digital Twin) bukan hanya tentang konektivitas, melainkan tentang memastikan bahwa data dan algoritma didasarkan pada kerangka etika yang memastikan individu memainkan peran sentral.

Kecerdasan Buatan (AI) dan Deep Learning sebagai Katalis Solusi Sosial

Kecerdasan Buatan (AI), bersama dengan Internet of Things (IoT) dan Big Data, adalah pilar teknologi utama yang mendorong realisasi Society 5.0. Dalam konteks ini, AI tidak hanya digunakan untuk otomatisasi tetapi juga sebagai katalis untuk solusi sosial yang kompleks.

AI didukung oleh mekanisme deep learning, sebuah sub-bidang kecerdasan buatan yang meniru cara manusia memperoleh jenis pengetahuan tertentu. Deep learning melibatkan pelatihan sistem komputer untuk mengenali pola menggunakan algoritma yang disebut jaringan saraf (neural networks), yang strukturnya terinspirasi oleh otak manusia. Sebagai contoh, dalam komposisi musik, AI memerlukan arsitektur canggih seperti Long Short-Term Memory (LSTM). LSTM, sebagai varian dari Recurrent Neural Networks (RNN), mampu menangkap ketergantungan jangka panjang, yang sangat penting untuk mempelajari struktur dan ritme dalam urutan musik. Selain itu, Deep Convolutional Neural Networks (CNNs) juga telah banyak diadopsi dalam music information retrieval, misalnya untuk klasifikasi genre, deteksi mood, dan pengenalan chord.

Ekosistem Data Terkoneksi: Peran IoT dan Big Data

Sinergi antara IoT dan Big Data sangat penting dalam Society 5.0. IoT memungkinkan pengumpulan data secara masif dari berbagai sensor dan perangkat yang tersebar di ruang fisik. Data ini kemudian diolah oleh algoritma deep learning untuk menghasilkan solusi yang dipersonalisasi dan relevan. IoT dan Big Data sangat krusial untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam layanan publik.

Dalam bidang pendidikan, pemanfaatan AI, IoT, dan Virtual/Augmented Reality (VR/AR) digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang spesifik dari setiap peserta didik. Penggunaan teknologi ini diupayakan untuk menanamkan kecakapan hidup abad ke-21 yang dikenal sebagai 4C: creativity, critical thinking, communication, dan collaboration. Revolusi ini berkontribusi signifikan pada pendidikan di Indonesia, memfasilitasi inovasi pembelajaran berbasis teknologi yang memudahkan siswa belajar tanpa terkendala ruang dan waktu, serta berfokus pada pengembangan kompetensi keterampilan pemecahan masalah.

Implementasi Human-Centric dalam Aplikasi Sektoral

Society 5.0 mewujudkan prinsip human-centric melalui aplikasi sektoral yang spesifik, memastikan teknologi secara langsung meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Inovasi Kesehatan: Personalisasi Perawatan dan Telemedicine Berbasis AI

Society 5.0 membawa pergeseran fundamental dalam model perawatan kesehatan. Kedokteran konvensional cenderung memberikan perawatan yang seragam untuk gejala rata-rata pasien. Sebaliknya, Society 5.0 menawarkan perawatan yang disesuaikan (tailored care) untuk kesehatan individu, berfokus pada tahap pencegahan untuk menunda timbulnya penyakit dan memperpanjang harapan hidup sehat.

Teknologi AI, jaringan berkecepatan tinggi, dan telemedicine menjamin akses ke layanan kesehatan berkualitas dari mana saja. Misalnya, warga lanjut usia yang tinggal di daerah terpencil dapat melakukan pemeriksaan kesehatan rutin melalui telemedicine, dan jika terjadi penyakit mendadak, AI akan mendukung identifikasi dan pengangkutan ke rumah sakit yang paling tepat. Inovasi ini, yang didukung oleh digitalisasi atribut fisik individu dan kemajuan bioteknologi, memungkinkan manajemen kesehatan yang aktif selama siklus hidup, bahkan dalam skenario bencana, di mana layanan medis tetap dapat dipertahankan, terutama di daerah dengan infrastruktur yang rentan.

Transformasi Pendidikan: Mendorong Keterampilan Kritis

Dalam sektor pendidikan, AI memiliki peran penting dalam mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. Kehadiran Society 5.0 dan Industri 4.0 telah berkontribusi signifikan pada pendidikan di Indonesia, memfasilitasi inovasi pembelajaran berbasis teknologi yang memudahkan siswa untuk belajar tanpa batas ruang dan waktu.

Tujuan dari transformasi ini adalah untuk membekali peserta didik dengan kompetensi keterampilan pemecahan masalah dan mempromosikan empat keterampilan kunci abad ke-21 (4C): Creativity, Critical Thinking, Communication, dan Collaboration.

Studi Kasus Global dan Strategi Nasional

Implementasi Society 5.0 secara langsung bertujuan untuk mencapai SDGs, terutama SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur) dan SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan). Transformasi ini juga digunakan sebagai strategi untuk mengatasi masalah kerentanan geografis dan struktural.

Di Indonesia, sektor keuangan mengalami transformasi digital yang signifikan. Lembaga keuangan mengembangkan platform multi-layanan, yang mencakup pembayaran digital, pinjaman, dan investasi. Evolusi digital ini telah memperluas akses ke pasar yang kurang terlayani (underserved markets), yang mendorong inklusi keuangan dan penciptaan lapangan kerja.

Keberhasilan Society 5.0 harus diukur dari keberhasilannya dalam mencapai ekuitas spasial, bukan hanya dari volume total output teknologi. Contoh layanan kesehatan Jepang, yang berfokus pada pengiriman layanan ke warga lanjut usia di daerah terpencil , dan inklusi keuangan di Indonesia yang menargetkan pasar yang kurang terlayani , menunjukkan bahwa Society 5.0 mengarusutamakan prinsip inklusif. Pendekatan ini menggunakan infrastruktur digital sebagai alat untuk mendemokratisasi akses dan mendistribusikan layanan, sehingga secara aktif berupaya mengurangi kesenjangan spasial yang merupakan keterbatasan utama dari industrialisasi yang terpusat.

Studi Kasus Kritis: Konvergensi Kreativitas dan Teknologi AI

Integrasi AI ke dalam bidang kreatif, khususnya musik, memberikan contoh nyata tantangan etika dan hukum yang dihadapi Society 5.0.

Musik di Era AI: Kecepatan Komposisi dan Efisiensi vs. Nilai Artistik

Teknologi AI saat ini mampu menciptakan lagu instan dalam hitungan menit, mulai dari melodi pop sederhana hingga aransemen orkestra. AI, seperti platform AIVA (Artificial Intelligence Virtual Artist) , dapat menganalisis data musik secara ekstensif untuk mengidentifikasi tren pasar dan menciptakan komposisi yang sesuai dengan selera.

Potensi ekonomis AI generatif sangat besar. Nilai pasar generative AI in music diperkirakan akan melonjak dari USD 569.7 juta pada tahun 2024 menjadi USD 2,794.7 juta pada tahun 2030. Dari sisi ekonomi, musik AI menawarkan solusi cepat dan murah, dengan biaya produksi yang rendah dan tanpa perlu royalti. Namun, kondisi ini menimbulkan ancaman serius terhadap musisi manusia, yang berisiko kehilangan penghargaan, royalti, dan digantikan oleh pasar musik instan yang lebih ekonomis.

Dilema Hak Cipta dan Kepengarangan di Mata Hukum Global dan Indonesia

Kemampuan AI untuk menciptakan karya, termasuk metode deepfake yang secara realistis meniru suara, gaya, dan karakteristik artis tanpa izin , menimbulkan persoalan hukum signifikan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Secara hukum, baik Indonesia (berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta) maupun Amerika Serikat, saat ini tidak mengakui AI sebagai pencipta (creator). Perlindungan hak cipta hanya diberikan jika terdapat “kontribusi manusia yang signifikan” dalam proses penciptaan. Kantor Hak Cipta AS (US Copyright Office) menegaskan bahwa karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tidak dapat diberi hak cipta. Namun, ketidakpastian hukum masih tinggi, terutama di Indonesia, karena kurangnya regulasi spesifik yang mengatur AI, teknologi deepfake, dan standar objektif untuk menilai orisinalitas dan ambang batas kesamaan, yang sangat penting dalam penegakan hukum hak cipta untuk musik buatan AI.

Dilema kepengarangan ini juga memunculkan pertanyaan filosofis. Apabila prompter bukan penulis karya yang dihasilkan AI generatif, muncul pertanyaan mengenai apa yang direfleksikan oleh karya tersebut, serta bagaimana niat dan maknanya disepakati.

Model Kolaborasi Manusia-AI: Menciptakan Protokol Etika Baru (Kasus Holly Herndon)

Beberapa seniman, seperti komposer Holly Herndon dan Mat Dryhurst, merespons tantangan ini dengan melihat AI sebagai teknologi koordinasi dan komunikasi, mirip dengan menyanyi. Mereka mengembangkan ‘AI baby’ bernama Spawn yang berkolaborasi dengan ansambel vokal langsung untuk menciptakan karya seni yang mendalam tentang hubungan manusia dan mesin. Herndon juga memperkenalkan Holly+, sebuah instrumen berbasis AI yang memungkinkan orang lain bernyanyi menggunakan suaranya sendiri.

Proyek kolaboratif mereka, The Call, berfokus pada pengembangan ritual budaya, hukum, dan teknis baru untuk seni di era AI. Untuk mengatasi masalah tata kelola data dan kepemilikan, mereka menciptakan Data Trust experiment yang bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan secara adil antara para kontributor data pelatihan (seperti paduan suara komunitas) dan mereka yang menggunakan model AI tersebut.

Dilema kepengarangan yang disebabkan oleh AI memaksa Society 5.0 untuk mendefinisikan ulang nilai. Ketika produk seni dapat diciptakan secara instan oleh mesin, nilai tidak lagi terletak pada output yang efisien. Sebaliknya, nilai bergeser pada kejelasan dan keadilan protokol yang mengatur kolaborasi antara manusia dan mesin, termasuk pembagian hasilnya. Karena kerangka hukum tradisional lambat merespons teknologi deepfake, diperlukan pembangunan mekanisme tata kelola etika pra-produksi, seperti Data Trust, yang mengatur kepemilikan data pelatihan dan distribusi kekuasaan. Pendekatan ini sangat sejalan dengan prinsip Society 5.0 tentang human-centered shared value.

Tantangan Etika, Tata Kelola, dan Kesenjangan Sosial

Meskipun Society 5.0 menjanjikan resolusi masalah sosial, implementasinya memunculkan dilema moral dan tantangan etika yang kompleks, khususnya dalam hal tata kelola data dan keadilan. Society 5.0 menghadapi paradoks sentral: teknologi yang dirancang untuk menyelesaikan isu-isu sosial melalui personalisasi dan data masif secara inheren menciptakan isu-isu sosial baru jika tata kelolanya tidak diatur secara ketat.

Analisis Kesenjangan Digital (Digital Divide) dan Risiko Ketidaksetaraan Akses

Society 5.0 didorong oleh teknologi canggih seperti AI dan IoT. Namun, akses terhadap teknologi ini tidak merata, yang berpotensi memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi. Kegagalan dalam memastikan inklusivitas teknologi akan bertentangan dengan tujuan human-centered Society 5.0. Oleh karena itu, strategi digital harus disesuaikan (tailored strategies) untuk memenuhi kebutuhan unik berbagai sektor dan wilayah, dan bukan menerapkan “satu solusi untuk semua”. Penting untuk memastikan semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan manfaat Society 5.0, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi.

Risiko Bias Algoritmik dan Kebutuhan Transparansi Data

Sistem AI dibangun berdasarkan data pelatihan, dan jika data ini mencerminkan bias yang sudah ada dalam masyarakat, sistem AI berpotensi memperkuat dan mereplikasi bias tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan yang signifikan dalam proses vital, seperti peradilan pidana, pemberian kredit, atau perekrutan. Kebutuhan mendesak adalah mengembangkan sistem AI yang adil (fair) dan tidak bias, serta memastikan penggunaannya dilakukan secara bertanggung jawab. Prinsip human-centered hanya dapat terwujud jika kebijakan memprioritaskan “keadilan algoritmik” di atas sekadar “efisiensi teknologi.”

Perlindungan Privasi dan Keamanan Data

Karakteristik Society 5.0 adalah pengumpulan dan penggunaan data pribadi secara masif, yang secara inheren meningkatkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data. Untuk mengatasi risiko ini, diperlukan kerangka kerja etika yang kuat yang berfungsi untuk melindungi data pribadi dan menjamin bahwa data tersebut digunakan secara transparan dan bertanggung jawab. Tata kelola data dan etika harus diperlakukan sebagai infrastruktur yang sama pentingnya dengan IoT.

Mitigasi Dampak Otomatisasi Terhadap Lapangan Kerja

Otomatisasi yang didorong oleh AI memiliki potensi untuk menyebabkan hilangnya pekerjaan dan perubahan struktural besar dalam pasar tenaga kerja. Diperlukan persiapan yang matang bagi masyarakat untuk menghadapi perubahan ini. Masyarakat harus dibekali dengan keterampilan yang diperlukan (termasuk 4C) dan sumber daya untuk beradaptasi dengan ekonomi baru yang berbasis digital.

Rekomendasi Strategis untuk Indonesia di Era Society 5.0

Peta Jalan Indonesia 2045: Memperkuat Infrastruktur dan Modal Manusia

Indonesia memiliki visi strategis untuk bertransisi dari Industri 4.0 menuju Society 5.0, dengan tujuan menjadi negara maju pada tahun 2045. Visi ini memprioritaskan teknologi human-centered untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusivitas. Pencapaian target pertumbuhan PDB yang berkelanjutan sangat bergantung pada transformasi digital dan inovasi, yang menuntut adanya infrastruktur teknologi yang kuat, Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil, dan kebijakan strategis yang berfokus pada pendidikan dan pengembangan angkatan kerja. Selain itu, pemanfaatan potensi inovatif dari populasi milenial dianggap sebagai kunci untuk memajukan pertumbuhan ekonomi dan teknologi di masa depan.

Mendesain Kebijakan yang Adaptif dan Inklusif

Untuk mengatasi tantangan, Indonesia memerlukan kebijakan dan tata kelola yang adaptif, berfokus pada implementasi kebijakan yang efektif, serta peningkatan efisiensi birokrasi.

Penguatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah kunci ganda: tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi , tetapi juga melindungi hak-hak musisi, komposer, dan pencipta dari ancaman AI generatif. Strategi harus memprioritaskan pembangunan kapasitas, kolaborasi yang erat antara pemangku kepentingan, dan strategi adaptif yang menjamin masa depan digital yang tangguh dan inklusif.

Memastikan Masyarakat Adat dan Komunitas Marginal Mendapatkan Manfaat Inovasi

Society 5.0 harus menjadi instrumen kebijakan yang secara aktif membalikkan pola ketimpangan struktural dan geografis yang sudah lama ada. Data menunjukkan kerentanan struktural yang ekstrem, seperti yang dialami oleh perempuan adat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, di mana mereka menghadapi risiko tinggi kemiskinan dan kekerasan berbasis gender karena ketidakseimbangan kapasitas dan pengambilan keputusan. Mayoritas perempuan kepala keluarga di sana berusia di bawah 20 tahun dan berpenghasilan di bawah 1 juta rupiah per bulan.

Meskipun rentan, perempuan adat dipandang sebagai pondasi utama pembangunan berkelanjutan, berperan penting dalam menjaga kearifan lokal, mulai dari pengobatan tradisional hingga keterampilan menganyam.

Jika Society 5.0 benar-benar bertujuan untuk resolusi isu sosial dan diverse well-being , strategi digital Indonesia harus mengatasi ketimpangan ini. Implementasi yang sukses harus diukur dari keberhasilannya dalam memberikan akses layanan digital vital—seperti kesehatan berbasis AI dan inklusi keuangan—kepada komunitas marginal dan adat. Ini memerlukan strategi yang disesuaikan (tailored strategies) yang mengakui, melindungi, dan mengintegrasikan kearifan lokal yang mereka jaga, menjadikannya bagian integral dari ekosistem Society 5.0 nasional.

Kesimpulan

Peradaban 5.0 merepresentasikan lompatan evolusioner dari era yang didominasi oleh otomatisasi industri (I4.0) menuju masyarakat yang mengutamakan kesejahteraan, ketahanan sosial, dan keberlanjutan. Evolusi ini merupakan keharusan strategis, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan resolusi isu-isu sosial yang mendalam.

Kunci utama keberhasilan terletak pada arsitektur teknisnya, yaitu fusi ruang siber dan fisik melalui Sistem Siber-Fisik (CPS) dan digital twin, yang didukung oleh Kecerdasan Buatan (AI) dan Deep Learning. Namun, integrasi teknologi ini harus dipandu oleh kerangka etika yang ketat. Diperlukan penekanan pada perlindungan HKI, mitigasi bias algoritmik, dan jaminan transparansi data untuk melawan risiko kesenjangan digital dan memperkuat ketahanan individu.

Bagi Indonesia, perjalanan menuju Society 5.0 adalah peluang untuk mengatasi ketidaksetaraan struktural yang telah lama ada. Strategi nasional harus berfokus pada pembangunan kapasitas SDM, penguatan infrastruktur, dan merancang kebijakan yang secara eksplisit memasukkan komunitas marginal dan adat ke dalam manfaat transformasi digital, sesuai dengan tujuan hakiki Society 5.0: menciptakan nilai bersama yang berpusat pada manusia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

91 − 86 =
Powered by MathCaptcha