Deklarasi Balfour merupakan salah satu dokumen diplomatik paling penting dan paling kontroversial pada abad ke-20, yang secara fundamental membentuk peta politik modern Timur Tengah. Dokumen ini, yang didefinisikan sebagai surat tertanggal 2 November 1917, dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild. Rothschild adalah tokoh terkemuka dalam komunitas Yahudi Inggris dan penerima yang ditugaskan untuk menyampaikan dokumen tersebut kepada Federasi Zionis.
Isi inti Deklarasi Balfour menyatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris “view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object”. Meskipun deklarasi ini menyertakan klausul pengamanan mengenai hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi di Palestina, penerbitannya di tengah Perang Dunia I segera dipandang oleh dunia Arab sebagai pengkhianatan imperialis dan salah satu dokumen paling kontroversial dalam sejarah modern kawasan tersebut. Deklarasi ini, yang kemudian menjadi kerangka hukum bagi Mandat Inggris atas Palestina, diyakini secara luas sebagai katalis utama bagi Nakba—pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948—dan akar konflik Arab-Israel yang berkelanjutan. Analisis menunjukkan bahwa Deklarasi Balfour adalah titik persimpangan dari tiga janji kontradiktif yang dibuat oleh Inggris selama Perang Dunia I, yang melayani tujuan realpolitik imperial Inggris jangka pendek dan secara fundamental menyusun cetak biru konflik Arab-Israel yang berkelanjutan melalui pengabaian hak politik mayoritas penduduk asli.
Asal Muasal dan Kekuatan Pendorong (The Origins)
Deklarasi Balfour tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil pertemuan antara ambisi imperial Inggris dengan gerakan Zionisme yang sedang berkembang pesat.
Kebangkitan Zionisme Politik dan Pencarian Sponsor Imperial
Gerakan Zionisme politik muncul secara formal pada Kongres Zionis Pertama di Basel pada tahun 1897, yang dipimpin oleh Theodor Herzl. Tujuan utamanya adalah mencari solusi terhadap masalah anti-Semitisme Eropa melalui pembentukan negara bagi orang Yahudi. Meskipun Herzl pada awalnya terbuka terhadap usulan wilayah alternatif, seperti Uganda, mayoritas perwakilan dengan tegas menetapkan Palestina sebagai tujuan utama. Proyek kolonial Zionis ini dipahami sejak awal sebagai inisiatif yang bergantung secara intrinsik pada dukungan “kuasa luar—terutamanya kuasa Barat”.
Dukungan Barat terhadap Zionisme, yang diwujudkan dalam Deklarasi Balfour, memiliki dimensi strategis yang lebih dalam daripada sekadar alasan moral. Para ahli strategi dan pemikir Barat melihat sokongan terhadap Yahudi sebagai jalur untuk “menstabilkan” Timur Tengah pasca-Ottoman melalui pembentukan negara klien yang secara alami pro-Barat. Hal ini dipandang sebagai cara untuk memastikan kepentingan imperial Inggris di kawasan tersebut tetap terjaga, suatu strategi yang berlanjut hingga abad berikutnya, sebagaimana dibuktikan oleh peralihan dukungan dari Inggris ke Amerika Serikat pasca-1948.
Lobi Chaim Weizmann dan Pengaruh Personal
Peran Chaim Weizmann, seorang ilmuwan dan pemimpin Zionis, sangat krusial. Weizmann berhasil membangun hubungan dekat dengan elit politik Inggris, termasuk Arthur Balfour dan Perdana Menteri David Lloyd George, sebagian besar karena kontribusi ilmiahnya yang penting bagi upaya perang Inggris, khususnya di bidang kimia. Akses diplomatik tak tertandingi yang diperoleh Weizmann memungkinkan Federasi Zionis untuk secara efektif memengaruhi proses pengambilan keputusan di kabinet perang Inggris. Dari perspektif Zionis, Deklarasi Balfour diinterpretasikan oleh Weizmann sebagai “pembenaran kesalahan sejarah” dan “tindakan keadilan”.
Motivasi Strategis dan Geopolitik Inggris (Kondisi WWI)
Motivasi Inggris untuk mengeluarkan Deklarasi Balfour di tengah Perang Dunia I adalah murni strategis dan terkait erat dengan kepentingan keamanan kekaisaran. Palestina memiliki lokasi geopolitik yang sangat penting, berada di antara Terusan Suez (jalur vital menuju India) dan wilayah jajahan Inggris di India. Mengamankan wilayah ini dari kekuatan saingan, terutama Kekaisaran Ottoman dan Jerman, menjadi prioritas utama.
Motivasi waktu perang Inggris terbagi menjadi tiga tujuan strategis utama :
- Mendapatkan Dukungan Yahudi: Inggris berharap mendapatkan dukungan moral dan finansial dari komunitas Yahudi global untuk tujuan Sekutu, terutama untuk memengaruhi opini publik di Amerika Serikat (yang baru bergabung dalam perang) dan Rusia.
- Mencegah Pengaruh Musuh: Inggris bertujuan untuk mencegah Kekuatan Sentral (khususnya Jerman) menjalin aliansi atau mendapatkan pengaruh di antara kelompok-kelompok Zionis yang sedang berkembang.
- Memperluas Kontrol Imperial: Deklarasi ini merupakan upaya untuk memperluas pengaruh imperial di Timur Tengah, mengamankan rute perdagangan, dan mengontrol potensi cadangan minyak di wilayah tersebut.
Deklarasi Balfour, yang diterbitkan secara publik segera setelah disetujui, berfungsi sebagai alat diplomatik yang dirancang untuk mendapatkan keuntungan strategis maksimal di tengah perang, bahkan jika itu berarti mengabaikan kesepakatan rahasia yang sudah dibuat sebelumnya.
Kondisi Saat Itu: Jaring Kontradiksi Diplomatik (1915–1917)
Penerbitan Deklarasi Balfour pada tahun 1917 merupakan puncak dari periode diplomasi Inggris yang sangat ambivalen dan kontradiktif di Timur Tengah, di mana Inggris membuat tiga janji yang tidak dapat disatukan kepada tiga pihak berbeda mengenai nasib bekas wilayah Ottoman di Palestina.
Janji kepada Arab: Korespondensi McMahon-Hussein (1915-1916)
Selama 1915 hingga 1916, Inggris terlibat dalam serangkaian surat yang dikenal sebagai Korespondensi McMahon-Hussein, yang dipertukarkan antara Husayn ibn Ali (Emir Mekkah) dan Sir Henry McMahon (Komisioner Tinggi Inggris di Mesir). Sebagai imbalan atas Pemberontakan Arab melawan Kesultanan Utsmaniyah, Inggris secara umum menjanjikan dukungan untuk pendirian negara Arab merdeka yang besar. Meskipun Inggris kemudian berargumen bahwa wilayah Palestina dikecualikan secara spesifik dari janji tersebut, interpretasi Arab yang luas dan umum melihat Palestina termasuk dalam cakupan janji kemerdekaan tersebut. Janji ini kemudian secara eksplisit dikontradiksi oleh Deklarasi Balfour.
Janji kepada Prancis: Perjanjian Sykes-Picot (1916)
Secara bersamaan, Inggris merundingkan Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 dengan Prancis. Ini adalah kesepakatan rahasia yang bertujuan untuk membagi provinsi Arab Kekaisaran Utsmaniyah setelah perang. Berdasarkan perjanjian rahasia ini, Prancis akan mendapatkan kendali atas Lebanon dan Suriah, sementara Inggris mengamankan Irak dan Transyordania. Yang terpenting, Palestina designated sebagai zona administrasi internasional.
Tiga Janji yang Saling Bertentangan (1915–1917)
Penerbitan Deklarasi Balfour pada tahun 1917—yang menjanjikan rumah nasional bagi orang Yahudi—di tengah janji kemerdekaan kepada Arab dan janji internasionalisasi kepada Prancis menegaskan bahwa kebijakan Inggris didasarkan pada duplisitas kalkulatif. Inggris berusaha memastikan kontrol pasca-perang atas wilayah strategis. Dalam pandangan strategis Inggris, komitmen publik kepada Zionis (melalui Balfour) dianggap lebih menguntungkan untuk mengamankan kontrol di sekitar Terusan Suez daripada mempertahankan janji rahasia Sykes-Picot atau janji lisan McMahon-Hussein. Ini adalah langkah yang menjamin bahwa konflik yang berasal dari janji-janji yang tidak dapat dipegang adalah hasil yang hampir tak terhindarkan.
Ketiga janji yang saling bertentangan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Tiga Janji Inggris di Timur Tengah (1915–1917)
Perjanjian/Korespondensi | Tahun | Pihak Penerima Utama | Ketentuan Kunci terkait Palestina | Kontradiksi Utama dengan Balfour |
Korespondensi McMahon-Hussein | 1915–1916 | Syarif Husayn bin Ali (Arab) | Janji negara Arab merdeka. | Mengingkari hak penentuan nasib sendiri Arab di Palestina. |
Perjanjian Sykes-Picot | 1916 | Prancis | Administrasi internasional (zona khusus). | Inggris mengubah status dan mengklaim hak tunggal untuk menentukan nasib wilayah melalui Mandat. |
Deklarasi Balfour | 1917 | Federasi Zionis | Mendukung pendirian “rumah nasional bagi orang Yahudi”. | Janji ini menjadi basis bagi kebijakan Mandat yang baru, mengesampingkan janji sebelumnya. |
Tokoh Kunci dan Proses Keputusan Penting
Proses pengambilan keputusan di balik Deklarasi Balfour melibatkan perdebatan yang intens di tingkat kabinet, terutama mengenai implikasi etis dan politiknya.
Peran Kunci Arthur Balfour dan Kabinet Perang
Arthur James Balfour, sebagai Menteri Luar Negeri, merupakan pendukung berat gerakan politik Zionisme. Dukungan personalnya sangat penting dalam memastikan bahwa Deklarasi tersebut diajukan dan disetujui oleh Kabinet Perang Inggris pada November 1917. Tanpa dukungan dari tokoh penting seperti Balfour dan Perdana Menteri David Lloyd George, usulan Zionis mungkin tidak akan pernah mendapat pengesahan resmi dari pemerintah Inggris.
Penentangan Internal: Perdebatan Kabinet dan Edwin Montagu
Penentangan paling vokal di dalam kabinet datang dari Edwin Samuel Montagu, yang menjabat sebagai Sekretaris Negara untuk India dan merupakan satu-satunya anggota kabinet yang beragama Yahudi. Montagu dengan keras menolak proposal tersebut, berargumen bahwa mendukung rumah nasional Zionis akan melegitimasi penyebaran anti-Semitisme yang sudah merajalela di Eropa Timur.
Montagu mengajukan memorandum berjudul “Anti-Semitisme Pemerintah Inggris”. Ia khawatir bahwa dengan mempromosikan Zionisme, pemerintah Inggris secara implisit akan menganggap orang Yahudi di seluruh dunia sebagai orang asing di negara tempat mereka tinggal, sehingga merusak status politik dan hak yang dinikmati oleh orang Yahudi yang terintegrasi di Inggris dan negara lain. Selain itu, Montagu khawatir dukungan untuk Zionisme akan menghalangi upayanya untuk berhubungan dengan Muslim India.
Kekhawatiran Montagu berhasil memengaruhi rumusan akhir Deklarasi. Draft awal menyatakan keinginan agar Palestina “dibentuk kembali sebagai Rumah Nasional Yahudi,” yang menyiratkan niat menjadikan seluruh Palestina sebagai negara Yahudi. Namun, atas desakan Montagu, teks diubah menjadi frasa yang lebih hati-hati, yaitu “pendirian di Palestina sebuah rumah nasional…”. Perdebatan internal ini menunjukkan bahwa Deklarasi adalah kemenangan faksi Zionis di mata pemerintah Inggris atas faksi Yahudi anti-Zionis.
Keputusan Final: Analisis Teks Kritis dan Asimetri Hak
Meskipun teks Deklarasi mengandung klausul pengamanan (yang dikenal sebagai safeguard clause), klausul ini mengungkapkan asimetri mendasar yang menjadi akar konflik:
- Jaminan hak sipil dan agama bagi komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina.
- Jaminan hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negara lain.
Klausul ini sangat penting karena populasi non-Yahudi (Arab Muslim dan Kristen) adalah mayoritas mutlak di Palestina saat itu. Namun, klausul tersebut sengaja tidak mencantumkan perlindungan atas hak politik, nasional, atau hak penentuan nasib sendiri mereka. Hak yang dilindungi hanyalah “hak sipil dan agama.” Hal ini menunjukkan bias struktural yang mengabaikan kedaulatan Arab, secara implisit menyatakan bahwa hak-hak nasional mayoritas penduduk tidak boleh menghalangi (prejudice) proyek pembentukan Rumah Nasional Yahudi. Pengabaian hak politik ini secara efektif mengubah mayoritas penduduk menjadi minoritas yang haknya dibatasi secara politik, menyiapkan panggung bagi tuntutan nasional yang tidak sesuai.
Legitimasi Internasional dan Penerapan Mandat
Kekuatan transformatif Deklarasi Balfour terletak pada keberhasilannya dikonversi dari janji unilateral menjadi kerangka hukum internasional melalui mekanisme pasca-Perang Dunia I.
Konferensi San Remo (1920) dan Kodifikasi Hukum
Setelah Kekaisaran Utsmaniyah dikalahkan, Konferensi San Remo diadakan pada April 1920 untuk memutuskan pembagian bekas wilayahnya. Dalam pertemuan ini, Sekutu memutuskan untuk mempercayakan Mandat “Kelas A” (yang seharusnya mengarah pada kemerdekaan) atas Palestina kepada Inggris. Keputusan Sekutu (Principal Allied Powers) secara eksplisit “adopted by the said Powers” dan mewajibkan Inggris sebagai Mandatory Power untuk bertanggung jawab melaksanakan ketentuan Deklarasi Balfour.
Mandat Liga Bangsa-Bangsa (1922) dan Tujuan Primer
Pada Juli 1922, Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Mandat Palestina, yang mulai beroperasi pada September 1923. Pengesahan ini adalah lompatan geopolitik yang krusial. Ini mengubah Deklarasi Balfour—yang awalnya hanya surat dari satu kekuatan imperial—menjadi kerangka hukum internasional. Mandat tersebut secara eksplisit mengidentifikasi pendirian “rumah nasional bagi orang Yahudi” sebagai tujuan primernya, memberikan legitimasi global yang kuat kepada proyek Zionis.
Konsekuensi Administratif: Mempersiapkan Negara Klien
Di bawah Mandat, Inggris secara aktif memberlakukan bias yang melekat pada Deklarasi. Inggris mengizinkan komunitas Yahudi untuk mendirikan lembaga-lembaga quasi-pemerintahan sendiri, seperti Badan Yahudi (Jewish Agency), yang berfungsi sebagai aparatus negara yang siap beroperasi. Sebaliknya, Palestina secara eksplisit dilarang membentuk struktur pemerintahan mandiri serupa.
Bias administratif ini adalah implementasi praktis dari asimetri hak. Dengan secara aktif memelihara dan memperkuat struktur politik Zionis sambil menahan perkembangan politik Arab, Inggris memastikan bahwa ketika Mandat berakhir (pada tahun 1948), satu pihak (Zionis) siap untuk deklarasi negara, sementara pihak lainnya (Palestina) terfragmentasi dan dilemahkan. Kebijakan ini secara langsung membuka jalan bagi pembersihan etnis (Nakba) yang terjadi pada tahun 1948.
Linimasa Kritis: Dari Deklarasi ke Mandat (1917–1923)
Tanggal Kunci | Peristiwa | Signifikansi terhadap Deklarasi Balfour |
2 November 1917 | Deklarasi Balfour diterbitkan. | Komitmen publik Inggris. |
April 1920 | Konferensi San Remo. | Deklarasi diadopsi oleh Sekutu sebagai dasar hukum Mandat Palestina. |
Agustus 1920 | Perjanjian Sèvres. | Menghapus Kesultanan Utsmaniyah, memungkinkan pembentukan Mandat. |
Juli 1922 | Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Mandat Palestina. | Legitimasi hukum internasional; Mandat wajib menjadikan “rumah nasional” sebagai tujuan utama. |
September 1923 | Mandat Palestina mulai beroperasi. | Awal implementasi bias administratif yang memicu ketegangan Arab-Yahudi. |
Dampak Jangka Panjang dan Warisan Konflik (The Legacy)
Dampak Deklarasi Balfour melampaui masa Mandat Inggris dan terus membentuk geopolitik Timur Tengah hingga hari ini.
Eskalasi Kekerasan dan Reaksi Arab
Di bawah Mandat yang didasarkan pada Deklarasi Balfour, peningkatan imigrasi Zionis yang didukung secara struktural oleh Inggris menciptakan ketegangan akut dan kekerasan segera antara orang Arab Palestina dan imigran Yahudi Eropa. Respon awal terhadap kebijakan Inggris ini termasuk Pemberontakan Nebi Musa pada tahun 1920, yang mengakibatkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Bagi bangsa Palestina, Deklarasi ini dipandang sebagai pengkhianatan total terhadap janji kemerdekaan Arab, yang memicu sentimen anti-Inggris yang mendalam dan penolakan keras terhadap legitimasi proyek Zionis.
Cikal Bakal Nakba (1948)
Deklarasi Balfour secara luas dianggap sebagai salah satu katalis utama bagi pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948, yang dikenal sebagai Nakba. Dengan memberikan landasan hukum internasional untuk proyek Zionis dan memfasilitasi pembangunan institusi politik dan militer Yahudi secara eksklusif (seperti Badan Yahudi), Deklarasi memastikan bahwa Inggris, ketika mengakhiri Mandat, telah secara efektif menempatkan kekuatan militer dan politik di tangan Zionis, sementara penduduk asli mayoritas tetap dilemahkan secara struktural. Ketidakseimbangan kekuatan yang dilembagakan inilah yang membuka jalan bagi Deklarasi Kemerdekaan Israel dan eksodus besar-besaran warga Palestina.
Warisan Geopolitik dan Transisi Kekuatan Global
Warisan Deklarasi Balfour adalah konflik yang berkelanjutan yang telah membentuk pembentukan negara Israel dan terus memicu kekerasan di kawasan tersebut. Meskipun proyek tersebut dimulai oleh imperialisme Inggris, ia kemudian diambil alih oleh kekuatan besar dunia berikutnya. Setelah tahun 1948, Amerika Serikat mengukuhkan dukungannya terhadap Israel.
Pergantian sponsor dari Inggris ke AS setelah 1948 menunjukkan bahwa Deklarasi Balfour melayani tujuan yang melampaui kepentingan Kekaisaran Inggris itu sendiri: yaitu, memastikan adanya kehadiran sekutu Barat di persimpangan jalan geopolitik antara Eropa, Asia, dan Afrika. Keputusan ini memungkinkan kekuatan besar dunia untuk mengatur kebijakan luar negeri mereka di kawasan tersebut dan mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah melalui dukungan terhadap negara klien yang pro-Barat, menjadikan Deklarasi Balfour sebagai dokumen yang melanggengkan intervensi strategis global.
Kesimpulan
Deklarasi Balfour adalah anomali diplomatik: surat pribadi yang dikonversi menjadi hukum internasional, menjanjikan tanah yang bukan miliknya kepada pihak ketiga, dengan mengorbankan hak-hak politik mayoritas penduduk asli. Keputusan ini, yang didorong oleh realpolitik Perang Dunia I dan kepentingan imperial, secara fundamental menciptakan asimetri hukum dan politik di Mandat Palestina. Asimetri ini ditegaskan oleh kegagalan yang disengaja untuk melindungi hak-hak politik mayoritas Arab, menjadikan hak-hak nasional mereka secara hukum tunduk pada proyek pembentukan Rumah Nasional Yahudi.
Kekuatan sesungguhnya dari Deklarasi Balfour terletak pada adopsi dan kodifikasinya yang berhasil oleh komunitas internasional pasca-perang (melalui Konferensi San Remo dan Liga Bangsa-Bangsa). Proses legitimasi ini memastikan bahwa tujuan Zionis akan dikejar sebagai tujuan primer administrasi Inggris, yang secara historis terbukti tidak sesuai dengan perdamaian, keadilan, atau hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Palestina. Warisan Deklarasi adalah konflik yang berkelanjutan, didorong oleh fondasi hukum yang cacat secara struktural yang dilembagakan oleh kebijakan imperial Inggris.