Latar Belakang Krisis Agraria dan Kerangka Political Ecology

Konflik agraria di Indonesia merupakan manifestasi dari ketegangan struktural yang kompleks dan bersifat multidimensional, mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Isu ini adalah permasalahan serius yang telah berakar sejak masa kolonial dan terus berlanjut hingga kini, bahkan menunjukkan tren peningkatan yang konsisten. Analisis historis menunjukkan bahwa benturan ini bukanlah insiden terisolasi, melainkan sebuah fenomena sistemik yang mencerminkan kekerasan struktural (structural violence) Galtung, di mana ketidaksetaraan kekuasaan dilegitimasi melalui kerangka hukum dan kebijakan yang berpihak pada akumulasi modal.

Skala krisis agraria kontemporer sangat masif. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang dua periode pemerintahan (2015–2022), telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria, yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan melibatkan 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia. Tren eskalasi ini berlanjut. Pada tahun 2024, KPA melaporkan adanya kenaikan konflik sebesar 21%, dengan tercatatnya 295 kasus baru yang secara total melibatkan luasan 1.113.577,44 hektar dan mempengaruhi 67.436 keluarga di 329 desa.

Fenomena konflik agraria tidak dapat dipisahkan dari isu lingkungan. Oleh karena itu, laporan ini menggunakan kerangka political ecology untuk memahami bagaimana kebijakan investasi dan ketidakadilan dalam penguasaan tanah secara langsung memicu degradasi lingkungan, seperti deforestasi dan krisis ekologis lainnya. Benturan antara hukum masyarakat (hukum adat) dan hukum negara yang didominasi kepentingan korporasi menjadi inti dari “perang agraria” yang terus berlangsung.

Periodisasi Sejarah Konflik sebagai Basis Analisis Nuansif

Untuk memahami patologi konflik yang berkelanjutan ini, analisis historis dibagi menjadi empat periode utama :

  1. Era Kolonialisme: Peletakan dasar hukum dualistik dan eksploitatif.
  2. Era Awal Kemerdekaan: Pengukuhan janji keadilan melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.
  3. Era Orde Baru: Sentralisme ekonomi dan penguatan hegemoni pembangunan yang mengorbankan hak rakyat.
  4. Era Reformasi (Kontemporer): Liberalisasi agraria, akselerasi investasi, dan munculnya counter-reform agraria.

Akar Historis Konflik Agraria (Era Kolonial Hingga Uupa 1960)

Warisan Hukum Agraria Kolonial: Penegasian Hak Komunal

Akar masalah konflik agraria modern bermula dari masa kolonial, khususnya dengan penetapan Agrarische Wet 1870. Undang-undang pertanahan administratif Hindia Belanda ini dirancang dengan tujuan utama untuk memungkinkan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta di wilayah jajahan, dengan memberikan jaminan hukum dan akses yang lebih luas terhadap tanah.

Mekanisme utama eksploitasi diwujudkan melalui pemberian Hak Erpacht, yang merupakan jenis hak penguasaan yang melayani usaha pertanian besar yang berciri padat modal, menggunakan teknologi modern, dan berorientasi komersial. Kebijakan ini secara struktural menihilkan sistem penguasaan tanah tradisional yang dianut masyarakat adat, menjadikan rakyat dan tanah Indonesia sebagai “tumbal ambisi kekuasaan” kaum kolonial. Dualisme hukum yang diciptakan oleh kebijakan kolonial inilah yang membentuk cetak biru konflik yang berkelanjutan.

UUPA 1960: Semangat Pembaruan dan Dualisme Hukum Agraria

Pasca kemerdekaan, UUPA Nomor 5 Tahun 1960 lahir sebagai instrumen korektif dan penegasan kedaulatan agraria nasional. Undang-undang ini memiliki semangat anti-monopoli, dengan menetapkan batas maksimal kepemilikan tanah untuk memastikan distribusi tanah yang adil.

Secara yuridis, UUPA juga mengakui eksistensi hukum adat. Pasal 51 UUPA secara tegas menyatakan bahwa “Sepanjang tidak ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai hak-hak tertentu, tanah di Indonesia tunduk pada hukum adat agraria”. Dengan demikian, hak ulayat masyarakat hukum adat diakui sebagai wujud pelaksanaan hak komunal. UUPA adalah janji yang membalikkan logika kapitalisme kolonial dengan menetapkan prinsip fungsi sosial tanah.

Kegagalan Institusional Awal UUPA

Komitmen struktural terhadap keadilan agraria yang termaktub dalam UUPA ternyata rapuh. Walaupun UUPA 1960 memberikan landasan hukum, mekanisme eksekutorialnya dilemahkan secara cepat oleh instrumen politik berikutnya. Pengadilan Landreform, yang dibentuk untuk menegakkan keadilan agraria, dihapus pada masa Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970. Penghapusan ini disebabkan antara lain oleh dugaan susunan Pengadilan Landreform yang melibatkan wakil organisasi massa tani. Hilangnya lembaga peradilan spesifik untuk reforma agraria ini menandai penarikan kembali janji keadilan agraria dan membuka jalan bagi sentralisasi serta komodifikasi tanah di era berikutnya.

Sentralisme Ekonomi Dan Akselarasi Konflik (Era Orde Baru)

Paradigma Pembangunan Berbasis Pertumbuhan (Growth-First)

Era Orde Baru ditandai dengan perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang menitikberatkan pada paradigma pembangunan ekonomi didukung stabilitas nasional. Kebijakan sektor pertambangan dan industri berorientasi pada pengembangan investasi, di mana tolak ukurnya adalah besaran investasi, penerimaan negara, volume ekspor, dan kontribusi terhadap PDB nasional.

Untuk mendukung paradigma growth-first ini, pemerintah mengeluarkan regulasi pro-investasi seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Pelemahan Institusional dan Marginalisasi Hukum Adat

Pada era ini, kelembagaan agraria mengalami penurunan status yang signifikan. Sebelumnya, masalah pertanahan ditangani oleh Kementerian Agraria. Namun, sejak pemerintahan Orde Baru, urusan ini diserahkan hanya kepada instansi setingkat Direktorat Jenderal di bawah Menteri Dalam Negeri. Penurunan status ini mengurangi efektivitas instansi agraria dalam melakukan langkah-langkah koordinatif dengan sektor pembangunan yang akseleratif.

Sentralisme ekonomi politik Orde Baru menyebabkan keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat tidak dipandang sebagai hak komunal yang diakui dan dilindungi. Sebaliknya, tanah ulayat justru menjadi korban atas nama kepentingan nasional dan proyek pembangunan. Kegagalan koordinasi yang disebabkan oleh penurunan status kelembagaan agraria secara struktural terkompensasi oleh justifikasi ideologis “stabilitas nasional” , yang pada gilirannya membuka ruang bagi penggunaan kekuatan negara untuk menindak konflik yang muncul.

Institutionalisasi Konflik Struktural

Pola konflik pada masa Orde Baru diinstitusionalkan melalui pemberian izin-izin konsesi skala besar seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Izin-izin ini seringkali tumpang tindih dengan klaim penguasaan rakyat dan masyarakat adat yang telah ada selama bertahun-tahun. Akibatnya, sentralisme Orde Baru menutupi kegagalan koordinasi tata kelola pertanahan, dengan legitimasi pembangunan yang terus bertahan hingga periode reformasi.

Tipologi, Skala, Dan Dinamika Konflik Kontemporer (1998-Saat Ini)

Tren Eskalasi dan Luasan Konflik Kontemporer

Meskipun Orde Baru telah berakhir, konflik agraria tetap menjadi fenomena struktural yang tak terhindarkan. Tren eskalasi konflik tercermin dari data yang menunjukkan lonjakan dramatis luasan lahan yang disengketakan: dari 77.015 hektar pada tahun 2010 menjadi 818.814 hektar pada tahun 2012.

Data terbaru KPA tahun 2024 menunjukkan bahwa peningkatan konflik masih berlanjut, dengan 295 kasus baru yang berdampak pada 67.436 keluarga. Kelompok yang paling rentan dan terdampak adalah kelompok petani, masyarakat miskin kota, dan masyarakat adat. Konflik agraria modern saat ini menunjukkan pergeseran dari sekadar sengketa penguasaan lahan menjadi benturan antara kepentingan kapitalisme komoditas dan kapitalisme infrastruktur.

Klasifikasi Konflik Berdasarkan Sektor Dominan (Data 2024)

Konflik agraria di Indonesia tersebar di seluruh sektor ekonomi, namun data menunjukkan dominasi yang kuat di beberapa sektor, terutama perkebunan dan proyek-proyek yang didorong negara.

Tabel Tren Konflik Agraria Berdasarkan Sektor (KPA 2024)

Sektor Dominan Jumlah Kasus (2024) Keterangan Kunci
Perkebunan (Total) 111 Penyumbang kasus terbesar. 75% di antaranya adalah perkebunan kelapa sawit.
Proyek Strategis Nasional (PSN) 36 Mencerminkan pembangunan infrastruktur, energi (misalnya geothermal), dan food estate.
Kehutanan N/A Dominan di Jawa; 6.800 desa berkonflik batas dengan Perhutani.
Pertambangan N/A Kasus signifikan termasuk PT Freeport Indonesia di Papua dan tambang timah di Belitung.

Data di atas menggarisbawahi dominasi sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, sebagai penyumbang terbesar konflik. Namun, kasus-kasus yang disebabkan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok , menunjukkan bahwa negara kini menggunakan proyek pembangunan berskala besar sebagai justifikasi baru untuk pengambilalihan lahan. Konflik agraria juga banyak menyangkut sektor kehutanan di Jawa, di mana sekitar 6.800 desa berkonflik batas dengan kawasan Perhutani. Sementara itu, konflik pertambangan, seperti yang melibatkan PT Freeport Indonesia di Papua, meninggalkan catatan buruk berupa bentrokan fisik, pemiskinan, dan kerusakan lingkungan.

Pemetaan Geografis dan Titik Panas (Hotspots)

Konflik agraria dan sumber daya alam telah menyebar luas di Indonesia, mencakup 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi, dengan luasan areal konflik mencapai lebih dari 2 juta hektar dalam enam tahun terakhir.

Berdasarkan data KPA tahun 2024, lima wilayah yang menjadi titik panas (hotspots) konflik agraria adalah Sulawesi Selatan (37 kasus), Sumatera Utara (32 kasus), Kalimantan Timur (16 kasus), Jawa Barat (16 kasus), dan Jawa Timur (15 kasus). Distribusi geografis ini menunjukkan bahwa konflik tidak lagi terpusat di kawasan padat penduduk Jawa, melainkan bergeser ke wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam dan menjadi target utama investasi, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dinamika Konflik Lingkungan: Sawit dan Deforestasi

Hubungan antara konflik agraria dan krisis lingkungan sangat jelas terlihat pada ekspansi industri kelapa sawit. Meskipun industri ini dianggap sebagai sektor strategis, ekspansi lahan perkebunan terus menyebabkan konflik sosial dan dampak lingkungan yang kontradiktif. Data menunjukkan bahwa deforestasi akibat industri sawit terus meningkat, termasuk pembukaan lahan di area gambut di wilayah seperti Riau dan Kalimantan Barat. Dampak yang ditimbulkan mencakup hilangnya lahan bercocok tanam bagi masyarakat lokal.

Dampak Multidimensi Konflik Agraria

Konflik agraria memiliki konsekuensi yang jauh melampaui sengketa kepemilikan tanah, menimbulkan dampak multidimensi di bidang hak asasi manusia, sosial-ekonomi, dan ekologis.

Pelanggaran HAM dan Kriminalisasi Sistematis

Konflik agraria seringkali disertai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tindakan represif di wilayah konflik telah menghasilkan 3.503 korban kekerasan dan kriminalisasi dalam kurun waktu 2015 hingga 2023. Catatan KPA tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 110 konflik, terdapat 608 korban dari kalangan pejuang hak atas tanah, termasuk 252 orang yang mengalami kriminalisasi, 52 orang penganiayaan, dan 3 orang tewas.

Kriminalisasi yang dialami masyarakat seringkali dilakukan oleh aparatur bersenjata (TNI/POLRI) yang beroperasi bersama pihak perusahaan. Laporan KontraS mencatat bahwa keterlibatan TNI dalam dugaan pelanggaran HAM sering terkait dengan motif pengamanan, baik pengamanan bisnis ilegal maupun pengamanan di area konflik agraria. Pengerahan aparat keamanan gabungan (Polri, TNI, Satpol PP) dalam jumlah berlebihan, seperti dalam kasus pengambilalihan lahan di Poco Leok dan Nagari Kapa, menunjukkan bahwa kekerasan dilembagakan sebagai strategi untuk memaksakan pengambilalihan lahan demi kepentingan proyek. Tindakan aparat yang lebih sering memposisikan diri untuk melindungi kepentingan investor mengakibatkan dampak paling buruk, yaitu berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan negara.

Dampak Sosial-Ekonomi dan Marginalisasi Petani

Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian (misalnya kawasan industri) mengubah struktur sosial masyarakat agraris menjadi pola kehidupan industri. Di kawasan industri seperti MM2100 Kabupaten Bekasi, alih fungsi lahan menyebabkan petani kehilangan sumber penghidupan utama.

Dampak ekonomi diperburuk oleh kompensasi yang diterima petani yang dinilai tidak proporsional dan tidak mampu menggantikan aset produktif yang hilang. Selain itu, masyarakat lokal menghadapi masalah skill mismatch karena minimnya pelatihan keterampilan yang memadai. Akibatnya, banyak warga terpaksa beralih ke pekerjaan informal, terjebak dalam marginalisasi ekonomi, sementara investor dan tenaga kerja dari luar justru lebih diuntungkan. Melemahnya kelembagaan sosial petani juga terjadi, yang mengurangi posisi tawar dan kohesi sosial masyarakat desa.

Dampak Ekologis dan Krisis Pangan Lokal

Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, pertambangan, atau perkebunan skala besar berpotensi memperburuk krisis pangan, memperbesar kesenjangan sosial, dan menyebabkan degradasi lingkungan. Selain deforestasi hutan dan lahan gambut akibat ekspansi sawit , hilangnya kapasitas produksi pangan lokal merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional.

Dampak Psikososial

Konflik agraria juga membawa derita psikososial yang berkepanjangan. Kasus konflik agraria seperti di Rempang dan Karawang, Jawa Barat, menunjukkan dampak serius terhadap nasib pendidikan generasi muda. Anak-anak korban penggusuran mengalami trauma, ketakutan berangkat ke sekolah, bahkan terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa kerugian akibat konflik agraria bersifat menyeluruh, merusak modal sosial dan modal manusia di masa depan.

Evaluasi Kebijakan Dan Tantangan Penyelesaian Konflik

Evaluasi Reforma Agraria (RA) dan Kendala Implementasi

Reforma Agraria (RA) di Indonesia, yang didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018, memiliki dua substansi utama: penataan aset (asset reform) dan penataan akses (access reform). RA dipandang sebagai operasi koreksi Negara terhadap ketimpangan struktur agraria.

Namun, pelaksanaan RA menghadapi kendala institusional yang serius. Faktor kelembagaan menjadi penentu penting keberhasilan, tetapi seringkali terhambat oleh adanya ego sektoral antar lembaga pelaksana, yang menyulitkan pemaduan visi program. Selain itu, upaya penyelesaian konflik melalui RA masih menghadapi tantangan dalam hal akses keadilan yang adil, kurangnya informasi dan pendidikan hukum di kalangan masyarakat, serta kendala administratif dalam proses penyelesaian sengketa.

UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Counter-Reform Agraria

Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dinilai memiliki potensi besar untuk memperburuk konflik agraria dan lingkungan. UUCK dipandang sebagai upaya legislasi untuk menyelesaikan konflik agraria dengan menghilangkan hak rakyat, alih-alih menegakkan keadilan.

Kritik Filosofis dan Struktural: Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai UUCK didorong oleh kepentingan korporasi dan bertujuan untuk deregulasi perizinan demi investasi. Secara filosofis, UUCK dianggap parsial karena hanya menjadikan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan, mengabaikan prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini bertentangan dengan prinsip fungsi sosial tanah UUPA 1960.

Mekanisme Bank Tanah (BT): Pembentukan Bank Tanah (BT) dalam UUCK dikritik sebagai indikator liberalisasi sektor agraria dan instrumen untuk menjadikan tanah semata-mata sebagai komoditas, yang bertentangan dengan UUPA 1960. Bank Tanah memiliki kewenangan sentral atas Hak Pengelolaan (HPL), yang kemudian dapat diserahkan kepada pihak ketiga dalam bentuk HGU, HGB, atau Hak Pakai. Penguatan HPL melalui BT ini dinilai bias kepentingan, yakni memfasilitasi investasi namun mengabaikan potensi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. UUCK juga dinilai bertentangan dengan UUPA karena membolehkan hak milik satuan rumah susun (Sarusun) bagi warga negara asing dan badan hukum asing.

Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Mediasi telah diidentifikasi sebagai salah satu solusi alternatif penyelesaian sengketa pertanahan. Namun, efektivitas mekanisme ini masih rendah. Studi kasus seperti mediasi di Bale Mediasi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa mekanisme ini belum efektif dalam menyelesaikan sengketa.

Kendala utama dalam proses mediasi bukan hanya masalah teknis, tetapi yang lebih krusial adalah kurangnya pengetahuan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penyelesaian non-litigasi tersebut. Kepercayaan masyarakat hanya dapat dibangun melalui keberpihakan negara yang konsisten terhadap keadilan agraria, dan bukan sekadar fasilitasi kepentingan investasi.

Dampak Desentralisasi terhadap Pengelolaan SDA

Desentralisasi dan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam. Namun, distribusi kewenangan ini, jika tidak diatur dengan jelas, justru menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dapat memicu konflik baru dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk mengurangi tumpang tindih ini, diperlukan penguatan koordinasi pusat-daerah, sinkronisasi kebijakan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah agar pengelolaan SDA dapat berjalan secara transparan dan akuntabel.

Kesimpulan

Konflik agraria dan lingkungan di Indonesia adalah isu unfinished business dari janji kemerdekaan UUPA 1960. Patologi konflik terletak pada dualisme hukum warisan kolonial dan supremasi kepentingan ekonomi kapitalis yang dilegalkan secara struktural. Saat ini, konflik dicirikan oleh dominasi komoditas (sawit) dan kapitalisme infrastruktur (PSN) , yang secara sistematis menghasilkan krisis multidimensi, termasuk pelanggaran HAM, kriminalisasi, dan marginalisasi sosial-ekonomi. Undang-Undang Cipta Kerja merepresentasikan puncak dari logika growth-first Orde Baru, mengesahkan kerangka hukum yang memandang konflik agraria sebagai hambatan investasi, bukan sebagai masalah ketidakadilan struktural yang harus dikoreksi.

Rekomendasi Yuridis dan Institusional

  1. Revisi UU Cipta Kerja (UUCK): Melakukan peninjauan ulang dan revisi menyeluruh terhadap ketentuan UUCK, khususnya mengenai Bank Tanah dan penguatan Hak Pengelolaan (HPL), yang terbukti bertentangan dengan prinsip fungsi sosial tanah UUPA dan mengancam Reforma Agraria.
  2. Mandat Kuat Reforma Agraria: Kelembagaan Reforma Agraria harus diberi kewenangan eksekutorial yang kuat dan independen, serta didukung koordinasi yang efektif untuk mengatasi ego sektoral. Program penataan aset (redistribusi) dan penataan akses harus berjalan berdasarkan keadilan substantif, bebas dari intervensi kepentingan investasi.

Rekomendasi Perlindungan HAM dan Transparansi

  1. Hentikan Kriminalisasi dan Pendekatan Keamanan: Negara harus menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap penggunaan aparat keamanan (TNI/POLRI) dalam pengamanan sengketa lahan korporasi. Harus ada penindakan tegas terhadap aparat yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kriminalisasi masyarakat, terutama dalam kasus yang terkait PSN.
  2. Penguatan Resolusi Konflik Berbasis Kepercayaan: Upaya penyelesaian sengketa, baik melalui mediasi maupun peradilan, harus ditingkatkan transparansi dan akuntabilitasnya. Pemerintah perlu secara masif meningkatkan sosialisasi dan demonstrasi keberpihakan terhadap keadilan agraria guna membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang ditawarkan negara.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

75 − 68 =
Powered by MathCaptcha