Analisis terhadap pemikiran Paulo Freire harus dimulai dengan memahami konteks historis dan sosio-politik yang membentuk fondasi filosofisnya. Pedagogi Freirean bukanlah sekadar teori akademis, melainkan lahir dari praxis (refleksi dan aksi) yang mendalam terhadap ketidakadilan struktural di Brasil pada pertengahan abad ke-20.

Latar Belakang Kehidupan dan Pembentukan Kesadaran Kritis

Paulo Reglus Neves Freire lahir pada 19 September 1921, di Recife, Pernambuco, sebuah kota pelabuhan di Timur Laut Brasil. Meskipun berasal dari keluarga kelas menengah, kehidupan awalnya ditandai oleh dampak krisis ekonomi global, yang dikenal sebagai Malaise atau Great Depression (sekitar 1929-1939). Krisis ini secara signifikan memengaruhi kondisi ekonomi keluarganya.

Karena kesulitan ekonomi, Freire sempat tertinggal empat kelas di sekolah. Namun, pengalaman ini, yang memaksanya berinteraksi dan bermain sepak bola dengan anak-anak miskin lainnya, menjadi sumber pembelajaran yang mendalam tentang realitas sosial. Pengalaman personal ini sangat penting untuk memahami mengapa Freire kemudian mengembangkan komitmennya yang teguh terhadap humanisasi. Komitmen untuk bekerja demi perbaikan kondisi orang-orang terpinggirkan telah tertanam sejak masa kecilnya.

Konteks sosial saat itu di Brasil sangat menentukan. Meskipun perbudakan telah dihapus secara resmi pada tahun 1888, kondisi ekonomi bagi mayoritas penduduk masih sangat negatif. Tingkat kelaparan yang tak tertahankan seringkali memaksa petani menjual diri mereka sendiri atau anggota keluarga mereka ke dalam bentuk perbudakan agar tidak mati kelaparan. Freire tidak menganalisis kemiskinan dari perspektif terpisah, melainkan mengalaminya dan menyaksikan dampaknya secara langsung. Hal ini memberikan pemahaman internal tentang struktur penindasan yang mendalam, yang pada gilirannya mendorongnya untuk menjadi seorang ahli yang radikal dalam upaya pembebasan.

Setelah menyelesaikan studi hukum di Universitas Recife antara 1943 dan 1947, Freire memilih jalan karier di bidang pendidikan. Karier awalnya meliputi jabatan sebagai direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pernambuco pada tahun 1946. Pada tahun 1961, ia diangkat sebagai direktur Departemen Ekstensi Budaya di Universitas Recife. Posisi-posisi ini memungkinkannya mengembangkan dan menguji program literasi orang dewasa yang revolusioner.

Eksperimen Angicos dan Inisiasi Lingkaran Budaya

Puncak dari karya Freire sebelum masa pengasingan adalah pengembangan program literasi yang didasarkan pada konsep Cultural Circle (Lingkaran Budaya). Metode ini menolak pendekatan pengajaran tradisional dan berpusat pada dialog dan realitas hidup peserta didik.

Eksperimen yang paling terkenal dari metode ini terjadi di Angicos, Rio Grande do Norte, di mana Freire berhasil mengajarkan 300 buruh tebu untuk membaca dan menulis hanya dalam waktu 45 hari. Ini adalah pencapaian luar biasa dalam konteks negara yang masih memiliki tingkat buta huruf dewasa yang tinggi.

Metode Freire di Angicos menggunakan tema-tema generatif yang lahir dari relasi informal dan personal dengan komunitas, yang kemudian dibahas dalam Lingkaran Budaya melalui prosedur dialog. Tujuan utamanya adalah mencapai conscientização (penyadaran kritis) melalui proses coding dan decoding makna linguistik dan sosial.

Keberhasilan dramatis Freire dalam waktu 45 hari merupakan ancaman yang langsung dan nyata terhadap sistem politik feodal dan otoriter Brasil saat itu. Keberhasilan yang begitu cepat dalam memberantas buta huruf dianggap berbahaya, karena literasi adalah prasyarat untuk partisipasi politik dan kesadaran massa. Pemerintah merespons keberhasilan awal ini dengan menyetujui pembentukan ribuan Lingkaran Budaya di seluruh negeri, dan Freire diangkat sebagai Presiden Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer. Namun, bagi elit yang berkuasa, keberhasilan ini dipandang sebagai alat mobilisasi politik yang dapat menggulingkan tatanan yang ada.

Penahanan dan Pengasingan (1964–1980)

Karier Freire di Brasil terhenti secara paksa menyusul kudeta militer pada tahun 1964, yang mengakhiri semua upaya reformasi pendidikan yang dilakukannya. Freire ditangkap dan dipenjara selama 70 hari. Rezim militer yang berkuasa menganggapnya sebagai tokoh yang sangat berbahaya.

Ia dituduh sebagai “penjahat internasional” dan “pengkhianat Kristus dan masyarakat Brasil” yang mencoba mengalihkan Brasil menjadi “Negara Bolsevik” karena aktivitasnya dalam kampanye literasi. Setelah dibebaskan, Freire meninggalkan Brasil dan memulai masa pengasingan selama 16 tahun.

Pengasingannya, yang secara ironis disebabkan oleh penindasan politik, menjadi katalisator bagi universalisasi pemikiran Freire. Setelah kunjungan singkat ke Bolivia, Freire pindah ke Chili, di mana ia bekerja selama lima tahun untuk Gerakan Reformasi Agraria Demokrat Kristen. Ia kemudian menghabiskan waktu di Jenewa, Swiss, sebagai konsultan Bidang Pendidikan Dewan Gereja Dunia, di mana ia terlibat dalam program literasi pasca-revolusi di negara-negara bekas koloni Portugal seperti Guinea-Bissau, Tanzania, dan Mozambik, serta membantu kampanye di Peru dan Nikaragua.

Selama masa pengasingan inilah ia mengembangkan dan menerbitkan karya utamanya, Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), yang terbit dalam bahasa Inggris dan Spanyol pada tahun 1970. Pengasingan memaksanya mengkontekstualisasikan teorinya di kancah global, mengubah Pedagogy of the Oppressed dari kritik terhadap sistem Brasil menjadi fondasi universal Teori Kritis, memberikan kerangka kerja bagi gerakan pembebasan di seluruh dunia.

Kembali dan Implementasi Sistemik

Freire kembali ke Brasil pada tahun 1980. Ia bergabung dengan Partai Pekerja (PT) di São Paulo dan menjabat sebagai supervisor proyek literasi dewasa partai tersebut dari tahun 1980 hingga 1986.

Pencapaian karir tertingginya terjadi ketika Partai Pekerja memenangkan pemilihan walikota São Paulo pada tahun 1988, dan Freire diangkat sebagai Sekretaris Pendidikan Kota. Ini adalah kesempatan langka di mana seorang ahli pedagogi radikal diberi mandat untuk menerapkan visinya mengenai pendidikan pembebasan dalam skala pemerintahan kota besar. Freire wafat di São Paulo pada 2 Mei 1997.

Freire adalah salah satu ahli teori pendidikan paling penting abad ke-20. Berikut adalah linimasa singkat yang merangkum poin-poin penting dalam kehidupan dan karyanya:

Table 2: Linimasa Paulo Freire: Kehidupan dan Karya Utama

Tahun Peristiwa Kunci (Sejarah) Karya/Konsep Penting (Pemikiran)
1921 Lahir di Recife, Brasil. Pengalaman awal kemiskinan membentuk komitmen sosial.
1961 Diangkat Direktur Ekstensi Kebudayaan Universitas Recife. Pengembangan program literasi orang dewasa.
1963 Eksperimen Angicos, Rio Grande do Norte. Metode Lingkaran Budaya dan Literasi 45 hari.
1964 Kudeta militer; dipenjara 70 hari; memulai pengasingan. Dituduh pengkhianat dan penyebar komunisme.
1965 Menulis Education for Critical Consciousness. Penyadaran sebagai tujuan utama pendidikan.
1968 Menulis Pedagogy of the Oppressed. Konsep Pendidikan Gaya Bank dan Pendidikan Hadap Masalah.
1970 Pedagogy of the Oppressed (versi Inggris). Conscientização menjadi istilah global.
1980 Kembali dari pengasingan ke Brasil. Terlibat aktif dalam proyek literasi Partai Pekerja.
1988 Menjabat Sekretaris Pendidikan Kota São Paulo. Implementasi pedagogi kritis di tingkat pemerintahan.
1997 Wafat di São Paulo. Meninggalkan warisan pedagogi kritis global.

Pemikiran Filosofis Inti (Pedagogi Pembebasan)

Pemikiran Freire berpusat pada kritik mendasar terhadap sistem pendidikan yang menindas dan mengusulkan alternatif yang bertujuan pada humanisasi penuh. Kritik dan alternatif ini diuraikan dengan jelas dalam karya terpentingnya, Pedagogy of the Oppressed.

Kritik Opresif: Analogi “Pendidikan Gaya Bank” (Banking Education)

Freire mengkritik pendidikan tradisional karena karakter naratifnya yang fundamental. Dalam model ini, guru diposisikan sebagai Subjek yang bercerita (narrating Subject), sementara siswa adalah objek yang pasif dan hanya mendengarkan.

Model ini disebut “Pendidikan Gaya Bank” karena pendidikan menjadi “tindakan deposit,” di mana siswa adalah “wadah” atau “receptacles” yang harus diisi oleh guru (depositor). Semakin banyak konten yang dapat diisi oleh guru, semakin baik dia sebagai guru, dan semakin pasif siswa menerima, semakin baik mereka sebagai siswa. Peran siswa hanya terbatas pada menerima, mengarsipkan, dan mengulang deposit pengetahuan tersebut.

Freire berpendapat bahwa model ini melayani kepentingan kaum penindas karena memicu memorisasi mekanis, mencegah siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis, dan menghasilkan domestikasi atau penjinakan. Secara sistemik, Pendidikan Gaya Bank berfungsi sebagai instrumen utama pelestarian kekuasaan otoriter, seringkali dilegitimasi melalui kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket (mengekang) dan dirancang untuk menciptakan safety net bagi kekuasaan. Dengan kata lain, sekolah menjadi alat untuk mereproduksi ketidaksetaraan sosial, bukan untuk membebaskan.

Proyek Humanisasi Penuh dan Dehumanisasi Timbal Balik

Masalah fundamental yang Freire lihat dalam sistem penindasan adalah dehumanisasi. Freire berargumen bahwa penindasan tidak hanya merampas kemanusiaan kaum tertindas, tetapi juga mendehumanisasi kaum penindas yang secara sistemik dipaksa untuk mempertahankan status quo yang tidak manusiawi. Kaum tertindas mengalami alienasi dari diri dan lingkungan mereka, yang termanifestasi sebagai self-depreciation, perasaan bodoh, atau ketidakmampuan menjadi subjek otonom.

Oleh karena itu, tujuan utama dari Pedagogi Pembebasan adalah proyek humanisasi kembali. Perjuangan untuk kemanusiaan penuh menuntut perubahan struktural, bukan sekadar respons psikologis atau terapi individu. Dalam karyanya Education for Critical Consciousness (1965), Freire menegaskan bahwa upaya manusia untuk mencapai kemanusiaan penuh membutuhkan perubahan struktur yang menindas, dengan menempatkan kesadaran dan kemampuan mengatasi hambatan sebagai tujuan utama pendidikan.

Konsep Sentral: Conscientização (Penyadaran Kritis)

Inti dari pedagogi Freire adalah konsep Conscientização (penyadaran kritis). Konsep ini melampaui sekadar kesadaran; ini adalah proses dinamis di mana individu mencapai pemahaman yang kritis dan mendalam mengenai realitas sosial, politik, dan ekonomi yang menindas, dan menganggap kenyataan tersebut sebagai masalah yang memerlukan penyelesaian.

Freire menggambarkan keadaan kesadaran manusia melalui analogi tata bahasa tentang transitivitas. Kesadaran transitif kritis adalah tingkat tertinggi, yang dicapai ketika manusia mampu mengambil jarak dari keberadaannya (sebuah konsep yang berhubungan dengan existenz Heidegger) dan mempersoalkan realitas. Pada tingkat ini, manusia tidak lagi hanya beradaptasi dengan kenyataan tetapi mulai mengintervensi dan mengubahnya. Tindakan manusia, menurut Freire, sangat tergantung pada tingkat pemahaman mereka terhadap kenyataan.

Pendidikan penyadaran yang ditawarkan Freire dirancang secara eksplisit untuk membebaskan, baik bagi kaum tertindas maupun penindas yang menjadi korban sistem yang sama. Proses ini harus non-indoktrinatif dan diarahkan untuk membangun kesadaran kritis dan pengharapan.

Fondasi Metodologis: Pendidikan Hadap Masalah dan Praxis

Untuk menggantikan Pendidikan Gaya Bank yang otoriter, Freire menawarkan Problem-Posing Method atau Pendidikan Hadap Masalah. Model ini didasarkan pada dialog sebagai esensi pendidikan. Dialog menuntut guru dan siswa untuk bersikap tulus, dan menolak pertukaran pandangan yang sederhana atau taktik untuk memaksakan ide.

Dalam pendidikan hadap masalah, guru dan murid menempati posisi yang sama-sama sebagai subjek aktif. Mereka bersama-sama merefleksikan realitas sebagai medium pembelajaran. Peran dialog adalah menghasilkan praxis, yaitu proses interaksi dinamis antara refleksi (teori) dan aksi (praktik). Praxis ini memastikan bahwa pembelajaran tidak berhenti pada pemahaman intelektual semata, tetapi selalu mengarah pada tindakan kultural transformatif untuk mencapai pembebasan.

Prosedur metodologis Freire, terutama dalam konteks program literasi, melibatkan langkah-langkah yang terstruktur:

  1. Analisa Objek/Konteks: Tim pendidik harus menganalisis kondisi sosial masyarakat lokal secara mendalam. Sikap kritis harus dipahami sesuai dengan konteks yang ada.
  2. Coding dan Decoding: Metode penyadaran melibatkan proses coding (mengubah unsur-unsur tematik dari realitas sosial menjadi kode visual atau verbal) dan decoding (mengubah kode menjadi sesuatu yang dapat dipahami dan dianalisis secara kritis). Tema-tema generatif inilah yang kemudian dibahas secara dialogis dalam Lingkaran Budaya.

Tabel 3: Peta Konseptual Conscientização dan Praxis

Konsep Kunci Definisi Freirean Mekanisme Pencapaian (Metode) Tujuan Final (Humanisasi)
Conscientização (Penyadaran) Proses dinamis di mana individu mencapai pemahaman kritis terhadap realitas sosial dan politik yang menindas. Dialog, Dekodifikasi Tema Generatif, Pendidikan Hadap Masalah Mengubah kesadaran dari semi-intransitif (pasif) ke transitif kritis (aktif).
Praxis Kesatuan refleksi (teori) dan aksi (praktik). Perjuangan untuk mengembalikan kemanusiaan. Aksi Transformasional yang Diinformasikan oleh Refleksi Kritis. Pembebasan (Liberation) — menciptakan realitas yang lebih adil dan manusiawi.
Pendidikan Gaya Bank Model otoriter yang memperlakukan siswa sebagai wadah kosong yang diisi oleh guru. Narasi, Deposit Pengetahuan, Memorasi Mekanis Domestikasi, Penjinakan (Domestication).

Dampak Dan Interseksi Teoritis Global

Dampak pemikiran Freire melampaui bidang pendidikan formal. Ia memberikan kerangka kerja teoretis dan metodologis yang memengaruhi gerakan keadilan sosial, politik, dan teologi di seluruh dunia, terutama di Selatan Global.

Hubungan Freire dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin

Freire, yang dikenal sebagai seorang Katolik yang taat dan juga seorang teolog , mengembangkan konsep pedagogi yang bersinergi secara mendalam dengan Teologi Pembebasan (TP). TP, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutiérrez (Peru) dan Leonardo Boff (Brasil) , bertujuan untuk menggeser fokus teologi Barat yang bersifat transendental dan rasional, menjadi relevan dengan masalah-masalah konkret kemiskinan dan penindasan.

Conscientização Freire memberikan alat metodologis yang praktis bagi TP. Konsep ini menjembatani analisis kelas Marxis yang digunakan oleh TP dengan aksi pastoral Gereja. Melalui penyadaran kritis, umat Kristiani, khususnya yang terlibat dalam Komunitas Basis Gereja (CEBs), didorong untuk tidak sekadar sabar menghadapi penderitaan, melainkan terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik. Sebagai contoh, pengaruh TP dan pedagogi Freirean terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina pada tahun 1986.

Sinergi antara Freire dan TP menunjukkan bahwa pendidikan pembebasan adalah prasyarat bagi revolusi spiritual dan politik. Pedagogi Freirean mengajarkan kaum miskin untuk membaca realitas sosial mereka secara kritis, sementara TP memberikan legitimasi spiritual untuk aksi mereka menuntut keadilan. Kekuatan gabungan ini membuat Freire dan para eksponen TP menjadi sasaran ostrasisasi dan represi oleh kekuatan reaksioner, baik dalam hierarki Gereja maupun dalam pemerintahan diktator.

Freire dan Akar Teori Kritis Global

Kontribusi Freire pada Teori Kritis bersifat fundamental; ia diakui secara luas sebagai “Kakek dari Teori Kritis” (Grandfather of Critical Theory). Karyanya, terutama Pedagogy of the Oppressed, menjadi teks wajib dalam silabus pendidikan di universitas-universitas di seluruh dunia.

Pedagogi Kritis yang berakar pada Freire menolak klaim netralitas dalam pendidikan. Para pendukungnya memandang tindakan mengajar sebagai tindakan politik yang inheren, di mana isu-isu keadilan sosial dan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari tindakan belajar dan mengajar. Tujuan akhir dari pedagogi kritis adalah pembebasan dari penindasan, yang dicapai melalui kebangkitan kesadaran kritis yang mendorong individu untuk melakukan kritik sosial dan aksi politik.

Aplikasi Global Freirean dan Reformasi Sosial

Setelah pengasingannya, Freire terus menyebarkan dan menerapkan prinsip-prinsip pedagoginya di berbagai belahan dunia, dari reformasi agraria (Chile) hingga program literasi untuk dekolonisasi di Guinea-Bissau dan Tanzania.

Di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, pendekatan Freire dianggap sangat relevan untuk mengatasi kondisi kemiskinan. Model pendidikan yang berfokus pada berpikir kritis dan dialogis ini diadopsi dalam program Pendidikan Kristen di beberapa daerah, misalnya di desa Tumbang Manyoi, Kalimantan Tengah. Penelitian menunjukkan bahwa model Freire yang menekankan kognisi kontekstual (pengetahuan, pengalaman, dan aplikasi) dapat digunakan untuk membebaskan masyarakat yang terbelenggu kemiskinan.

Lebih lanjut, prinsip-prinsip pendidikan pembebasan Freire juga diterapkan dalam konteks pendidikan lokal, seperti di Toraja. Penerapan ini berfokus pada peningkatan partisipasi siswa, pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal, dan pemberdayaan siswa agar menjadi agen perubahan. Penerapan ini menunjukkan bahwa filsafat Freire dapat menjadi alat untuk membebaskan dan memberdayakan komunitas dalam menghadapi masalah sosial mereka sendiri.

Warisan, Kritik, Dan Relevansi Kontemporer

Warisan Freire tidak hanya terlestari dalam teks-teks akademik, tetapi terus berevolusi dalam menghadapi tantangan sosial dan teknologi baru. Namun, pedagoginya juga tidak luput dari kritik dan menghadapi kendala implementasi praktis.

Kritisisme Akademik dan Tantangan Implementasi

Kritik Utopis dan Tantangan Institusional

Salah satu kritik utama terhadap Freire adalah bahwa pedagogi kritisnya terlalu utopis atau idealistik, terutama ketika diimplementasikan dalam sistem pendidikan formal yang terstruktur dan didominasi oleh birokrasi. Freire memang menawarkan pendidikan radikal yang menekankan pemecahan masalah melalui dialog. Namun, upaya mengintegrasikan pedagogi kritis yang berorientasi pada keadilan sosial dan pemberdayaan siswa ke dalam sekolah-sekolah, seperti yang diamati di sekolah menengah pertama di Indonesia, seringkali masih menghadapi tantangan struktural dan ideologis yang signifikan.

Kesulitan implementasi ini bukan hanya masalah teknis metode, tetapi konflik ideologi yang mendasar. Pendidikan Gaya Bank melayani reproduksi status quo, sementara Pedagogi Kritis secara inheren bersifat subversif dan politis. Jika institusi pendidikan mengadopsi terminologi kritis Freire tanpa mengubah tujuan intinya—yaitu pelestarian kekuasaan—maka hasilnya hanyalah asimilasi retorika tanpa perubahan praxis yang sejati, mengurangi warisan Freire menjadi sekadar slogan akademik.

Kritik Terhadap Dikotomi yang Terlalu Kaku

Beberapa akademisi mengkritik Freire karena menggunakan dikotomi yang terlalu tegas antara “penindas” dan “tertindas.” Mereka berpendapat bahwa dikotomi ini mungkin terlalu kaku untuk menganalisis kompleksitas penindasan modern, yang mencakup interseksi dimensi ras, gender, dan lapisan kelas menengah yang juga mengalami tekanan.

Meskipun demikian, pemikiran Freire menawarkan pembelaan implisit. Ia selalu menekankan bahwa pembebasan adalah upaya untuk mengembalikan kemanusiaan penuh bagi semua pihak. Kaum tertindas harus melakukan perjuangan agar tidak mengambil peran sebagai penindas baru setelah membalikkan keadaan. Dikotomi tersebut berfungsi sebagai titik awal untuk analisis struktural, bukan sebagai tujuan akhir pembebasan.

Warisan dalam Reformasi Kurikulum Modern

Meskipun menghadapi tantangan, warisan Freire tetap menjadi landasan bagi reformasi pendidikan kontemporer di banyak negara. Pemikirannya mengenai pemecahan masalah, pengembangan diri, dan proses inkuiri sangat relevan dengan kebijakan kurikulum baru, seperti Kurikulum Merdeka di Indonesia. Kebijakan ini menekankan pemberian kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri dan melakukan proses inkuiri serupa dengan pendidikan eksploratif Freirean.

Secara keseluruhan, Freire berhasil mempertahankan pendidikan sebagai “Praktik Pembebasan” , yang memposisikan siswa sebagai subjek aktif, bukan objek. Karyanya, terutama Pedagogy of the Oppressed, yang merupakan buku ketiga yang paling banyak dikutip dalam ilmu sosial, terus menginspirasi aktivis dan pendidik untuk melihat pendidikan sebagai alat transformasi sosial.

Freire di Era Digital: Pedagogi Literasi Digital Kritis

Abad ke-21 menghadirkan tantangan baru bagi Pedagogi Pembebasan: dominasi teknologi dan algoritma. Di era digital, terdapat risiko bahwa teknologi dan algoritma mereduksi peran siswa menjadi konsumen informasi yang pasif, menciptakan bentuk baru dari Model Gaya Bank yang lebih canggih.

Para sarjana telah memperluas pemikiran Freire ke dalam konsep Pedagogy of the Digitally Oppressed (Freire 2.0). Dalam konteks dunia yang digerakkan oleh algoritma dan kapitalisme digital, pendidikan kritis harus menjadi alat untuk membangkitkan kesadaran terhadap struktur digital yang menindas.

Analisis menunjukkan bahwa jika guru otoriter adalah depositor lama, maka algoritma dan platform digital adalah depositor baru yang mampu membentuk pandangan dunia dan menutupi struktur sosial tanpa memerlukan dialog. Ini menciptakan bentuk budaya bisu yang jauh lebih luas. Warisan Freire memberikan kerangka kerja filosofis untuk dekonstruksi dan decodification realitas digital, memastikan bahwa Literasi Digital diubah menjadi Literasi Digital Kritis. Prinsip dialogis Freire (“pendidikan bukan untuk melainkan dengan“) sangat penting untuk memberdayakan siswa sebagai subjek intelektual, menolak konsumsi pasif yang dipromosikan oleh platform digital.

Kesimpulan

Paulo Freire (1921–1997) berdiri sebagai salah satu ahli teori pendidikan paling berpengaruh dan humanis radikal di abad ke-20. Pemikirannya didasarkan pada pengalaman langsungnya dengan kemiskinan di Brasil dan penindasan politik, yang kemudian membentuk komitmennya terhadap pendidikan sebagai praktik pembebasan.

Inti filosofisnya terletak pada kritik tajam terhadap Pendidikan Gaya Bank—sebuah model penindas—dan penawaran Pedagogi Hadap Masalah yang bersifat dialogis, yang bertujuan mencapai conscientização. Konsep ini, yang menyatukan refleksi dan aksi (praxis), melayani tujuan utama: humanisasi penuh manusia.

Dampak Freire meluas secara global, menjadi fondasi bagi Pedagogi Kritis dan memberikan alat metodologis yang krusial bagi Teologi Pembebasan di Amerika Latin, yang bersama-sama menjadi kekuatan revolusioner melawan kediktatoran. Meskipun menghadapi kritik mengenai potensi utopis dan tantangan implementasi dalam institusi formal, relevansi Freire terus berkembang. Di era digital, kerangka kerjanya menawarkan lensa kritis yang diperlukan untuk melawan dominasi algoritma dan konsumsi pasif, memastikan bahwa perjuangan untuk pembebasan terus berlanjut melalui Literasi Digital Kritis. Warisan Freire tetap menjadi mercusuar yang menginspirasi pendidik dan aktivis untuk menggunakan pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

16 − 14 =
Powered by MathCaptcha