Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai konsep “Kota Santri” di Indonesia, meneliti genealogi historis, arsitektur pendidikan, peran sosio-ekonomi, dan kontribusi ideologisnya terhadap ketahanan nasional. Identitas “Kota Santri” dipahami sebagai modal sosial dan kultural yang strategis, lahir dari institusi pendidikan tradisional tertua yang berakar kuat dalam masyarakat: pondok pesantren.
Genealogi dan Konstruksi Identitas “Kota Santri”
Akar Historis dan Peran Sentral Pesantren dalam Islam Nusantara
Identitas “Kota Santri” tertanam kuat dalam peran historis pesantren sebagai episentrum penyebaran dan pelestarian Islam yang adaptif di Nusantara. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang pertumbuhannya beriringan dengan penyebaran agama Islam, diprakarsai oleh Walisongo. Analisis historis menunjukkan bahwa identitas ini tidak hanya berlandaskan pada jumlah institusi, tetapi pada fungsinya sebagai pusat transmisi kekuasaan dan keilmuan.
Secara genealogi, kota-kota kunci di sepanjang jalur pesisir Jawa dan sekitarnya menjadi pusat Islam awal yang merupakan cikal bakal “Kota Santri” purba. Sebagai contoh, sejarah Kesultanan Cirebon, yang didirikan oleh Pangeran Walangsungsang (Haji Abdullah Iman), menunjukkan bahwa keraton dan pusat pemerintahan berfungsi sebagai katalisator dalam penyebaran Islam kepada penduduk. Demikian pula, Banten memegang peran signifikan sebagai pusat keagamaan maritim, menyebarkan Islam baik di Jawa maupun Sumatera. Keterlibatan institusi Islam awal ini dengan kekuasaan politik (keraton) dan dinamika maritim menunjukkan bahwa watak kelembagaan pesantren, yang kemudian melahirkan “Kota Santri,” secara inheren bersifat politis dan akulturatif. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren sejak awal terlibat dalam pembangunan tatanan sosial dan negara, bertentangan dengan pandangan yang mungkin hanya menganggapnya sebagai lembaga ritual semata.
Definisi Kriterial dan Tipologi Kontemporer
Julukan “Kota Santri” bersifat informal tetapi memiliki kriteria yang jelas, mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif. Kriteria kuantitatif yang paling nyata adalah kepadatan pesantren yang melimpah, seperti yang menjadi alasan utama pemberian julukan bagi Tasikmalaya.
Sementara itu, kriteria kualitatif mencakup kuatnya peran tokoh agama (Ulama atau Kiai) dan komitmen masyarakat lokal dalam menjaga nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ponorogo, misalnya, dianggap sebagai “Kota Santri” karena memiliki andil besar dalam membangun karakter masyarakat, bukan sekadar karena memiliki banyak pesantren. Pemanfaatan identitas “Kota Santri” untuk tujuan branding dan pembangunan karakter daerah menegaskan pengakuan pemerintah daerah terhadap modal sosial pesantren. Dengan demikian, pesantren dipandang sebagai mesin produksi sumber daya manusia (SDM) yang beretika, yang relevan dengan kebutuhan pembangunan karakter dalam kerangka Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Studi Kasus Lasem: Pluralisme dan Akulturasi
Lasem, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, adalah studi kasus penting yang mengilustrasikan bagaimana identitas “Kota Santri” dapat bersinergi dengan multikulturalisme. Lasem dijuluki “Kota Santri” karena konsentrasi pondok pesantren, baik kuno maupun modern, yang beriringan dengan sejarahnya sebagai bandar pelabuhan besar sejak zaman Majapahit.
Keunikan Lasem terletak pada akulturasi budaya yang intens. Pesantren beroperasi di tengah membaurnya berbagai etnis, termasuk keturunan Tiongkok, yang telah membentuk masyarakat multikultural yang menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Salah satu tokoh sentralnya adalah KH. Ma’shum Ahmad, yang mendirikan pesantren Al-Hidayat pada 1918 dan merupakan perintis pendirian NU cabang Lasem—cabang yang bahkan mendapat julukan istimewa.
Keberhasilan Kiai Ma’shum Ahmad dalam mendirikan NU di tengah masyarakat multikultural dan perannya sebagai pejuang kemerdekaan membuktikan bahwa konservasi tradisi Islam yang diusung oleh “Kota Santri” tidak selalu berujung pada eksklusivitas. Sebaliknya, model Islam tradisional yang tertanam kuat di Lasem dan kota-kota santri lain adalah narasi tandingan yang efektif terhadap radikalisme. Warisan akulturasi ini merupakan DNA kelembagaan yang menguatkan toleransi institusional.
Arsitektur Pendidikan Pesantren: Dualitas Kurikulum dan Modernisasi
Struktur internal pendidikan pesantren, yang dikenal melalui dualitas Salafiyah dan Khalafiyah, adalah kunci dalam membentuk karakter santri yang adaptif namun tetap memegang teguh tradisi.
Pesantren Salafiyah: Konservasi Sanad Keilmuan
Model Salafiyah (tradisional) adalah pondasi spiritual pesantren. Kurikulumnya secara eksklusif berfokus pada pendidikan agama murni, menggunakan kitab-kitab kuning. Pembelajaran mendalam mencakup ilmu-ilmu agama yang bermadzhab Imam Syafi’i, seperti nahwu, fiqih, dan akhlak.
Sistem transmisi keilmuannya masih menggunakan metode otentik seperti Sorogan (interaksi satu-satu santri dengan kiai) dan Bandongan (kiai membacakan, santri menyimak), sering ditambah dengan ceramah dan diskusi. Secara administratif, kurikulum model Salafiyah ini seringkali bersifat tersembunyi atau tidak tertulis secara formal (tidak menggunakan jenjang seperti sekolah umum), dengan materi yang sepenuhnya bergantung pada tingkat kedalaman kitab yang diajarkan oleh Kiai.
Pesantren Khalafiyah: Adaptasi Pragmatis dan Integrasi Ilmu Umum
Model Khalafiyah (modern) merupakan respons terhadap tantangan globalisasi dan kebutuhan pragmatis masyarakat. Model ini mengintegrasikan pendidikan umum ke dalam sistemnya (seperti sekolah formal) dan mengadopsi sistem madrasah dengan kurikulum yang tertulis secara jelas.
Ciri khas pesantren modern adalah memprioritaskan pendidikan formal, dengan penekanan pada penguasaan bahasa Arab modern dan bahasa Inggris. Untuk mendukung proses pembelajaran yang interaktif dan pengembangan keterampilan yang relevan, pesantren modern biasanya dilengkapi dengan fasilitas yang mengadopsi teknologi, seperti laboratorium sains dan komputer, serta proyektor di ruang kelas.
Dilema Epistemologis: Otentisitas vs. Pragmatisme
Pesantren berada dalam ketegangan konstan antara mempertahankan otentisitas tradisi (Ashalah) dan mengadopsi modernitas (Mu’ashirah). Adopsi sistem baru tanpa refleksi epistemologis dapat menyebabkan pesantren kehilangan identitas dan mengesampingkan nilai otentik historisnya.
Meskipun demikian, respons pesantren cenderung adaptif dan hati-hati. Mereka menyadari bahwa tujuan utama pesantren mencakup pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara (Tri Dharma). Oleh karena itu, integrasi ilmu umum (Khalafiyah) dilihat sebagai keperluan pragmatis untuk meningkatkan pengabdian di era Society 5.0 (teknologi). Konflik ini mendorong hibridisasi model pendidikan, memastikan lulusan yang dihasilkan tidak hanya cerdas secara pragmatis tetapi juga kokoh secara spiritual, sebuah keseimbangan yang vital bagi masa depan “Kota Santri.”
Perbandingan kedua model ini merangkum komitmen pesantren untuk menghasilkan sumber daya manusia yang relevan sekaligus berakar pada tradisi.
Table 1: Tipologi Komparatif Model Pendidikan Pesantren di Indonesia
Aspek Kunci | Pesantren Salafiyah (Tradisional) | Pesantren Khalafiyah (Modern) | Implikasi bagi Kota Santri |
Fokus Kurikulum | Pendidikan agama murni (Kitab Kuning) | Integrasi ilmu agama dan ilmu umum, bahasa modern | Membentuk basis konservasi keilmuan agama yang kuat sekaligus relevan. |
Sistem Pendidikan | Sorogan, Bandongan, Kurikulum Tersembunyi/Tidak Tertulis | Sistem Klasikal (Madrasah), Kurikulum Tertulis Jelas, Berjenjang | Memungkinkan santri mendapatkan pengakuan formal dan bersaing di perguruan tinggi/profesional. |
Fasilitas Kunci | Fokus pada Masjid, Asrama, dan Perpustakaan Kitab Klasik | Dilengkapi Laboratorium Sains/Komputer, Ruang Kelas Berteknologi | Mengukur tingkat investasi dan adaptasi teknologi di kawasan “Kota Santri”. |
Dilema Utama | Risiko Stagnasi dan Ketidakrelevanan Pragmatis | Risiko Kehilangan Otentisitas Historis (Sanad) dan Disorientasi | Menuntut manajemen inovasi yang hati-hati untuk mempertahankan nilai otentik. |
Peran Strategis Pesantren dalam Pembangunan Komunitas (Socio-Ekonomi)
Pesantren, terutama di kawasan yang menyandang predikat “Kota Santri,” telah lama melampaui fungsi edukatif, berperan sebagai aktor kunci dalam pembangunan berbasis komunitas.
Pesantren sebagai Basis Pemberdayaan Ekonomi Umat
Sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang berakar di pedesaan, pesantren selalu terlibat aktif dalam perubahan masyarakat sekitarnya, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Karakteristik ini menjadikan pesantren sebagai lembaga alternatif atau entry point yang efektif bagi pihak luar dalam upaya pembangunan, misalnya dalam bidang pembangunan pertanian di komunitas desa.
Meskipun materi pengajaran formalnya mungkin memiliki visi ekonomi yang minor, dalam tataran praktik sehari-hari, pesantren giat terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti mendirikan koperasi dan bisnis ritel. Pemerintah mengakui peran penting generasi muda pesantren dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan dan mendukung kemandirian ekonomi berbasis pondok pesantren. Dukungan ini diwujudkan melalui kerja sama antar kementerian untuk membangun kemandirian ekonomi santri melalui penguatan koperasi dan UMKM.
Modal Sosial (Kiai) dan Ekonomi yang Terlekat (Embeddedness)
Model ekonomi “Kota Santri” memiliki keunikan karena didasarkan pada fondasi sosial dan moral yang dibangun oleh figur Kiai. Konsep embeddedness menunjukkan bahwa tindakan ekonomi di pesantren terlekat dalam jejaring sosial Kiai (Shilat al-Rahim), sebuah hubungan interpersonal yang melibatkan aspek ekonomi, agama, budaya, sosial, dan politik.
Shilat al-Rahim berfungsi sebagai kapital sosial yang mencakup nilai, norma, solidaritas, dan, yang terpenting, kepercayaan (trust), memungkinkan Kiai dan masyarakat mendapatkan keuntungan bersama (mutual benefit). Ekonomi moral ini berbeda dari sistem kapitalis murni, karena kepercayaan yang terlekat pada Kiai menjadi jaminan bagi transaksi dan investasi. Resiliensi model ini terhadap guncangan eksternal terbukti kuat karena didasarkan pada trust interpersonal, menjadikannya kunci dalam ketahanan ekonomi lokal di kawasan “Kota Santri.”
Table 2: Peran Multidimensi Pesantren sebagai Institusi Kultural di Indonesia
Dimensi Peran | Mekanisme Pelaksanaan/Fungsi Kunci | Dampak pada Komunitas Lokal |
Pendidikan & Kultural | Transmisi Sanad Keilmuan, Konservasi Budaya Lokal, Tri Dharma Pesantren | Mempertahankan identitas keislaman, nilai toleransi, dan karakter etis. |
Ekonomi & Pemberdayaan | Pembentukan Koperasi/UMKM, Memanfaatkan jejaring Shilat al-Rahim (Modal Sosial) | Menggerakkan ekonomi kerakyatan, meningkatkan kesejahteraan umat, dan menjadi entry point pembangunan pertanian. |
Politik & Keamanan | Jaringan Kiai, Mobilisasi Elektoral, Counter-Narrative Ideologi Radikal | Menjaga stabilitas politik lokal, mempengaruhi kebijakan, dan menjaga Ketahanan Nasional/Pancasila. |
Kontribusi Politik dan Ideologis: Moderasi dan Ketahanan Nasional
Kontribusi strategis “Kota Santri” tampak jelas dalam dinamika politik dan ideologis, di mana pesantren berperan sebagai penyeimbang dan penjaga ideologi kebangsaan.
Keterlibatan Politik Ulama dalam Demokrasi Lokal
Jaringan Kiai memiliki pengaruh politik yang signifikan, khususnya bagi pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pengaruh ini terwujud dalam mobilisasi politik, seperti keterlibatan Ulama pesantren berbasis NU dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), misalnya di Kabupaten Purworejo , hingga ke kancah nasional melalui dukungan Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN) dalam Pemilihan Presiden 2024.
Peran politik ini dipandang sebagai mekanisme defensif dan inklusif. Secara historis, Kiai terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dan rumah mereka dijadikan markas untuk mengatur strategi melawan ancaman ideologi, seperti Pemberontakan PKI (kasus KH. Ma’shum Ahmad). Keterlibatan ini berfungsi memastikan bahwa kebijakan publik, baik di tingkat lokal maupun nasional, selaras dengan nilai-nilai keumatan dan kebangsaan, sekaligus memastikan representasi Islam tradisional dalam struktur kekuasaan.
Pesantren sebagai Benteng Moderasi dan Kontra-Radikalisme
Pesantren adalah benteng ideologis yang vital terhadap ekstremisme. Meskipun institusi ini penting dalam pembentukan karakter , menuding pesantren sebagai basis gerakan radikal secara umum dianggap sebagai tuduhan yang tidak fair atau tidak berdasar.
Pesantren memiliki mekanisme pencegahan yang efektif untuk menangkal paham radikal melalui penanaman akidah, etika, dan tradisi keilmuan yang berbasis moderasi. Konservasi sanad keilmuan (rantai guru-murid yang otentik) yang menjadi ciri khas pesantren memastikan adanya filterisasi ideologi yang ketat. Peran historis melawan ancaman ideologi, seperti yang ditunjukkan oleh KH. Ma’shum Ahmad, menegaskan mandat ideologis pesantren sebagai penjaga ideologi negara. Kontra-radikalisme di “Kota Santri” adalah modus vivendi yang telah terbukti dalam sejarah Indonesia.
Tantangan Kontemporer dan Proyeksi Masa Depan
“Kota Santri” menghadapi tantangan kompleks yang berasal dari urbanisasi dan percepatan teknologi.
Tantangan Urbanisasi dan Krisis Identitas
Pesantren yang berada di wilayah perkotaan (pesantren urban) berhadapan langsung dengan isu-isu kontemporer yang berbeda dari lingkungan pedesaan tradisional. Isu-isu ini meliputi ketimpangan sosial, keterasingan budaya, dan krisis identitas religius di kalangan generasi muda perkotaan. Kompleksitas kehidupan urban menuntut pesantren untuk mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual.
Urbanisasi berpotensi mengikis model sosial dan ekonomi yang embedded dalam tradisi pesantren. Anonimitas dan tingginya mobilitas perkotaan dapat melemahkan trust dan jaringan Shilat al-Rahim yang selama ini menjadi kapital sosial utama Kiai. Untuk menjaga keberlanjutan, pesantren urban didorong untuk beralih dari keterlekatan relasional (berbasis figur) ke keterlekatan institusional (berbasis sistem dan program) yang mampu secara proaktif menangani masalah sosial perkotaan seperti kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Adaptasi Pesantren di Era Digital (Society 5.0)
Era Society 5.0, yang menekankan integrasi teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan mengatasi masalah sosial (seperti kesenjangan ekonomi) , memberikan peluang bagi “Kota Santri” untuk berinovasi.
Proyeksi masa depan pesantren harus melibatkan “Digitalisasi Sanad.” Hal ini berarti teknologi dimanfaatkan tidak hanya untuk pembelajaran umum, tetapi juga untuk memperkuat kredibilitas sanad keilmuan tradisional dan mendiseminasi ajaran Kitab Kuning secara lebih luas, sambil memastikan keotentikan transmisi ilmu tetap terjaga.
Kunci keberhasilan adalah Society-Centric Innovation, yaitu inovasi yang berpusat pada masyarakat. Pesantren harus mencapai keseimbangan yang hati-hati antara perkembangan teknologi dan kebutuhan sosial , memosisikan diri sebagai aktor kultural dan sosial yang aktif dalam mendefinisikan ulang hubungan antara spiritualitas dan kesejahteraan sosial di tengah gempuran digital.
Kesimpulan
“Kota Santri” adalah representasi kelembagaan pesantren yang multidimensi dan fundamental bagi Indonesia. Pesantren memberikan kontribusi signifikan di tiga pilar utama:
- Stabilitas Kultural dan Ideologis: Pesantren adalah pilar Islam moderat, ditandai oleh warisan akulturatif yang kaya (seperti di Lasem) dan peran Kiai sebagai penangkal radikalisme, yang secara historis terbukti menjaga ideologi negara.
- Ketahanan Ekonomi Kerakyatan: Model ekonomi yang embedded pada modal sosial Kiai (Shilat al-Rahim) menjadikan pesantren basis yang tangguh untuk pengembangan UMKM dan koperasi di komunitas, yang merupakan tulang punggung ekonomi lokal.
- Produksi SDM Etis dan Kompeten: Melalui dualitas kurikulum (Salafiyah dan Khalafiyah), pesantren menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki keunggulan pragmatis (lulusan formal) tetapi juga landasan spiritual dan etika yang kuat (pemegang sanad).
Berdasarkan analisis peran dan tantangan kontemporer, diperlukan kebijakan strategis yang mendukung keberlanjutan peran institusi ini:
- Penguatan Ekonomi Berbasis Embeddedness: Pemerintah harus memprioritaskan penyaluran insentif modal, pelatihan, dan teknologi melalui mekanisme koperasi atau UMKM yang dibangun di atas struktur sosial yang ada (jejaring Kiai). Kebijakan ini harus menghormati dan memanfaatkan trust interpersonal (Shilat al-Rahim), alih-alih memaksakan model bisnis yang terlalu korporatif yang dapat mengikis modal sosial.
- Fasilitasi Hibridisasi Pendidikan Digital: Mendukung pesantren, terutama model Salafiyah, dalam mengadopsi teknologi Society 5.0 untuk inisiatif digitalisasi sanad dan meningkatkan mutu pendidikan umum (Khalafiyah). Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan integrasi teknologi tidak mendistorsi substansi otentik ajaran Kitab Kuning, sehingga tercapai keseimbangan Ashalah dan Mu’ashirah yang berkelanjutan.
- Pengakuan dan Kemitraan Geopolitik Domestik: Negara perlu secara formal mengakui dan memperkuat peran Ulama sebagai aktor kunci dalam stabilitas politik lokal dan keamanan non-tradisional. Menjadikan Ulama sebagai mitra strategis dalam mengatasi isu-isu sosial perkotaan, krisis identitas remaja, dan potensi penyebaran ideologi eksklusif akan memperkuat resiliensi institusional “Kota Santri” dan Ketahanan Nasional secara keseluruhan.