Garis Durand, yang juga dikenal sebagai perbatasan internasional antara Afghanistan dan Pakistan, merupakan garis demarkasi sepanjang 2,640 km hingga 2,670 km. Garis ini membentang dari perbatasan Iran di barat hingga perbatasan Cina di timur. Garis Durand adalah produk langsung dari era kolonialisme Inggris pada abad ke-19, dan warisannya terus menjadi sumber ketidakstabilan mendasar dan konflik eksistensial yang meracuni hubungan bilateral antara Kabul dan Islamabad.

Sengketa Garis Durand adalah masalah multidimensi, melibatkan aspek hukum internasional yang kompleks, perpecahan sosio-kultural di antara suku Pashtun, serta dinamika geopolitik keamanan dan kontra-terorisme regional. Laporan ini memberikan ulasan lengkap mengenai garis perbatasan yang disengketakan ini, menganalisis genesis historisnya, status hukum yang diperdebatkan, implikasi identitas, dan peranannya sebagai episentrum konflik keamanan kontemporer.

Warisan Kolonial dan Genesis Garis Demarkasi (1893–1947)

Latar Belakang ‘The Great Game’ dan Kebutuhan Zona Penyangga

Akar konflik di kawasan ini terletak pada warisan kontroversial kolonialisme Inggris. Selama abad ke-19, Afghanistan menjadi bidak catur sentral dalam persaingan geopolitik yang dikenal sebagai ‘The Great Game’ antara Kekaisaran Rusia yang meluas ke selatan dan Kekaisaran Inggris yang menguasai India.

Imperatif strategis Inggris adalah mengamankan India dari kemungkinan invasi Rusia. Untuk mencapai tujuan ini, Inggris berupaya mendefinisikan batas lingkup pengaruh mereka dan menciptakan zona penyangga (buffer zone) yang jelas. Pembentukan garis demarkasi ini didorong murni oleh kebutuhan pertahanan strategis Kekaisaran Inggris, bukan oleh kepentingan teritorial atau kedaulatan alami masyarakat setempat. Karakter awal perbatasan ini ditetapkan sebagai diktat geopolitik, sebuah garis yang ditarik secara sewenang-wenang oleh kekuatan luar.

Pembentukan Perjanjian Durand 1893 dan Aspek Teknis

Untuk menetapkan batas ini, Inggris mengirim diplomat Sir Mortimer Durand, seorang pegawai sipil Inggris dari Indian Civil Service, untuk bernegosiasi dengan Emir Abdur Rahman Khan, penguasa Afghanistan saat itu. Perjanjian Garis Durand ditandatangani pada tanggal 12 November 1893. Tujuan eksplisit perjanjian ini adalah “to fix the limit of their respective spheres of influence” dan untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan perdagangan.

Perjanjian satu halaman tersebut berisi tujuh pasal pendek , termasuk komitmen untuk tidak melakukan interferensi melampaui Garis Durand. Garis batas ini membentang sekitar 2,640 km (1,640 mil). Sebagai imbalan atas penerimaan garis ini, Afghanistan mendapatkan Asmar dan lembah hingga Chanak, melepaskan klaim atas Waziristan dan Chageh, mendapatkan izin impor senjata dari British India, dan yang terpenting, subsidi Afghanistan dari Inggris ditingkatkan dari 1,2 juta menjadi 1,8 juta rupee.

Aspek transaksional perjanjian dan ketergantungan finansial Afghanistan pada Inggris pada saat itu menjadi elemen kunci dalam argumen Afghanistan di masa depan tentang adanya unsur pemaksaan. Survei demarkasi bersama Inggris-Afghanistan dilakukan mulai tahun 1894, mencakup sekitar 1,300 km (800 mil) perbatasan.

Kontradiksi Kedaulatan: Akar Sengketa Hukum

Sengketa hukum inti yang masih berlangsung berasal dari kontradiksi dalam status kedaulatan Afghanistan pada tahun 1893. Inggris secara nominal “considered Afghanistan to be an independent state”. Namun, pada saat yang sama, Inggris “controlled its foreign affairs and diplomatic relations”. Status ini menempatkan Afghanistan dalam posisi semi-protektorat.

Jika sebuah kekuatan kolonial mengontrol urusan luar negeri suatu negara, hal itu secara inheren merusak kapasitas negara tersebut (Afghanistan) untuk secara bebas menandatangani perjanjian yang bersifat permanen dan mengikat secara kedaulatan. Afghanistan dapat berargumen bahwa perjanjian yang dibuat di bawah tekanan (duress) oleh kekuatan yang memegang kendali diplomatiknya, dan yang mengakibatkan kerugian strategis besar, tidak dapat dianggap sah sepenuhnya di bawah hukum internasional modern.

Kerugian strategis terbesar bagi Afghanistan adalah kehilangan provinsi Baluchistan, yang secara historis merampas akses negara tersebut ke Laut Arab. Kontradiksi antara kedaulatan yang diproklamirkan dan kendali diplomatik yang nyata, ditambah dengan kerugian teritorial yang signifikan, memberikan dasar hukum yang berkelanjutan bagi penolakan Kabul terhadap legitimasi Garis Durand.

Ratifikasi Ulang dan Transisi Pasca-Kolonial

Garis Durand, yang sedikit dimodifikasi, kemudian diratifikasi ulang oleh Traktat Anglo-Afghan 1919 (dikenal juga sebagai Perjanjian Rawalpindi). Pakistan, sebagai negara penerus British India, menganggap ratifikasi 1919 ini sebagai konfirmasi finalitas perbatasan.

Namun, sebelum Inggris meninggalkan India pada tahun 1947, Afghanistan telah menuntut revisi perbatasan, sebuah permintaan yang ditolak oleh Inggris. Penolakan Inggris pada tahun 1947 ini memastikan bahwa masalah Durand Line diwariskan sebagai konflik struktural antara Afghanistan dan negara penerus, Pakistan, alih-alih diselesaikan di bawah kekuasaan kolonial.

Warisan inilah yang memicu ketegangan pasca-kemerdekaan. Status hukum Garis Durand bergeser dari sengketa kolonial menjadi masalah kedaulatan bilateral dan integritas teritorial, sebagaimana dirangkum dalam tabel kronologi berikut:

Table I: Kronologi Perjanjian Kunci Garis Durand

Tahun Perjanjian/Peristiwa Pihak Penanda Tangan Signifikansi
1893 Durand Line Agreement Sir Mortimer Durand & Emir Abdur Rahman Khan Menetapkan batas lingkup pengaruh Inggris dan Afghanistan. Membagi suku Pashtun.
1919 Treaty of Rawalpindi Inggris & Afghanistan Meratifikasi Garis Durand pasca Perang Anglo-Afghan Ketiga.
1947 Kemerdekaan Pakistan Garis Durand diwariskan oleh Pakistan; Afghanistan menuntut revisi dan menentang keanggotaan PBB Pakistan.
2017–Sekarang Proyek Pemagaran Pakistan Pakistan Upaya unilateral untuk memiliterisasi dan mengamankan perbatasan, memicu perlawanan keras dari Kabul/Taliban.

Status Hukum Internasional dan Titik Sumbat Politik (1947–Sekarang)

Penolakan Afghanistan Pasca-Kemerdekaan Pakistan

Setelah pembentukan Pakistan pada tahun 1947, konflik hukum mengenai Garis Durand segera memuncak. Afghanistan adalah satu-satunya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menentang keanggotaan Pakistan pada tahun 1947.

Sikap ini menandakan bahwa Afghanistan tidak mengakui Garis Durand sebagai batas internasional yang sah. Pemerintah Afghanistan, termasuk yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani di masa lalu, dan bahkan selama masa pemerintahan singkat Taliban pada akhir 1990-an dan pemerintahan Taliban saat ini, secara kategoris menolak legitimasi garis tersebut. Kabul secara historis menyatakan bahwa semua perjanjian Garis Durand, termasuk perjanjian pasca-kolonial, tidak sah karena para penguasa Afghanistan dipaksa oleh tekanan Inggris. Penolakan ini menandai Garis Durand sebagai salah satu perbatasan internasional yang paling disengketakan secara sepihak di Asia.

Posisi Resmi Pakistan: Prinsip Uti Possidetis Juris

Sebaliknya, Pakistan menganggap Garis Durand sebagai perbatasan internasional yang diselesaikan dan permanen, diwarisi langsung dari British India. Posisi Islamabad didasarkan pada prinsip hukum internasional uti possidetis juris, yang menegaskan bahwa batas-batas administratif kolonial harus dihormati dan dipertahankan sebagai batas internasional setelah dekolonisasi.

Bagi Pakistan, sengketa ini bukan masalah teritorial, melainkan semata-mata masalah keamanan. Mengakui perlunya negosiasi ulang Garis Durand sama dengan mempertanyakan integritas teritorial Pakistan itu sendiri. Oleh karena itu, bagi Pakistan, Garis Durand adalah masalah eksistensial, dan tuntutan Kabul yang ambisius secara geopolitik untuk sebuah Pashtunistan merdeka (yang akan memperluas Afghanistan hingga ke Sungai Indus) dipandang tidak realistis secara strategis.

Implikasi Hukum Internasional: De Facto vs. De Jure

Sengketa Garis Durand adalah studi kasus klasik mengenai perbedaan antara pengakuan de facto dan de jure. Pakistan mempertahankan kontrol de facto atas wilayah di sisi timur garis dan berupaya mengamankannya secara fisik. Namun, keberatan yang berkelanjutan dan fundamental oleh Afghanistan—yang secara resmi menentang status batas ini sejak pendirian Pakistan—mencegah garis tersebut mencapai status de jure yang tak terbantahkan di mata hukum internasional.

Kondisi hukum yang stagnan ini mengakibatkan perbatasan tersebut berfungsi sebagai “garis demarkasi” atau “garis de facto” , tetapi tidak diakui sebagai batas internasional resmi oleh salah satu pihak yang berbatasan langsung. Karena Pakistan menolak yurisdiksi internasional atas apa yang mereka anggap sebagai perbatasan yang diselesaikan, mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional menjadi terhalang. Akibatnya, Garis Durand akan terus menjadi akar penyebab masalah, seperti yang ditekankan Afghanistan , selama tidak ada penyelesaian politik yang dinegosiasikan.

Peran Aktor Global dan Regional dalam Sengketa

Konflik Garis Durand memiliki implikasi keamanan yang meluas, secara historis tertanam dalam persaingan regional yang melibatkan India dan Iran, serta kepentingan strategis global dari Amerika Serikat dan NATO di masa lalu. Dalam upaya mencari stabilitas, mediasi regional melalui negara-negara seperti Qatar dan Arab Saudi sering dipertimbangkan.

Namun, mediasi ini terhambat oleh kurangnya kemauan politik di Islamabad dan Kabul untuk berkompromi mengenai isu kedaulatan. Perbedaan posisi fundamental kedua belah pihak terhadap Garis Durand diringkas di bawah ini:

Table II: Perbandingan Posisi Afghanistan dan Pakistan terhadap Garis Durand

Aspek Sengketa Posisi Afghanistan (termasuk Taliban) Posisi Pakistan
Status Hukum Tidak Diakui (de jure tidak sah), hasil paksaan kolonial. Diakui Penuh (batas internasional yang diselesaikan).
Dasar Klaim Pemaksaan 1893, Pembagian suku Pashtun, hilangnya wilayah historis. Prinsip Uti Possidetis Juris, Traktat Rawalpindi 1919.
Isu Utama Identitas, kedaulatan, dan tuntutan Pashtunistan. Keamanan nasional, kontrol militan (TTP/Haqqani), dan integritas wilayah.
Solusi yang Diinginkan Revisi perbatasan, atau Pashtunistan, atau negosiasi. Pengakuan formal oleh Kabul, kontrol perbatasan ketat, dan penghentian dukungan militan.

Analisis Socio-Kultural dan Isu Identitas Pashtun

Pembagian Geografis dan Komunal Pashtun: ‘Line of Hatred’

Dampak paling parah dan langsung dari Garis Durand adalah pembagian paksa terhadap kelompok etnis Pashtun yang membentang di kedua sisi batas. Garis ini ditarik secara sewenang-wenang dan memotong wilayah suku, memisahkan desa, keluarga, dan komunitas Pashtun. Karena sifatnya yang memisahkan identitas, garis ini sering disebut sebagai ‘garis kebencian’ (line of hatred) oleh mereka yang tinggal di wilayah tersebut.

Secara tradisional, masyarakat Pashtun yang tinggal di sepanjang garis demarkasi tidak terlalu mengindahkan keberadaan perbatasan tersebut. Mereka memiliki hubungan sosial dan ekonomi lintas batas yang mengalir bebas, bahkan dengan desa-desa yang memiliki masjid atau rumah di mana satu pintu berada di Pakistan dan pintu lainnya di Afghanistan. Garis Durand mengabaikan tatanan sosial dan politik tradisional Pashtun (Pashtunwali). Pemaksaan kontrol yang lebih ketat, terutama dengan mewajibkan penggunaan pos lintas batas resmi, telah mengganggu kegiatan sehari-hari dan memicu sentimen kebencian yang kuat terhadap garis batas di kalangan Pashtun di kedua sisi.

Ideologi Pashtunistan dan Resiko Iredentisme

Isu Garis Durand secara intrinsik terkait dengan ideologi Pashtunistan. Ini adalah tuntutan geopolitik Kabul untuk negara Pashtun yang merdeka, yang diukir dari wilayah Pakistan, memperluas Afghanistan hingga ke Sungai Indus. Meskipun tuntutan Pashtunistan dalam bentuk negara berdaulat dipandang oleh analis sebagai tuntutan yang “ambisius secara geopolitik, namun tidak realistis secara strategis” , tuntutan ini memiliki fungsi strategis yang vital.

Dengan mempertahankan klaim irredentis ini, Afghanistan secara efektif dapat mengganggu stabilitas politik internal Pakistan di wilayah perbatasan (Khyber Pakhtunkhwa). Klaim ini memberikan legitimasi ideologis kepada kelompok-kelompok militan yang berasal dari suku Pashtun, seperti Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP). Dengan demikian, ideologi Pashtunistan berfungsi sebagai senjata strategis yang digunakan untuk membalas tekanan Pakistan.

Peran Tokoh Kunci: Abdul Ghaffar Khan dan Kontradiksi Nasionalisme

Nasionalisme Pashtun memiliki sejarah yang kompleks dan terbagi. Tokoh terkemuka abad ke-20 yang mewakili identitas Pashtun adalah Abdul Ghaffar Khan (juga dikenal sebagai Bacha Khan atau “Frontier Gandhi”). Sebagai pemimpin Pashtun dari Provinsi Perbatasan Barat Laut (NWFP), ia dikenal karena aktivisme anti-kolonialnya, kepasifannya, dan dukungannya terhadap persatuan Hindu-Muslim.

Bacha Khan, sebagai pengikut Mahatma Gandhi , menentang pembagian India. Setelah partisi, ia berjanji setia kepada Pakistan tetapi menuntut unit administrasi “Pashtunistan” otonom di dalam Pakistan. Tuntutan ini menunjukkan bahwa nasionalisme Pashtun sekuler awalnya mencari otonomi internal dan penghormatan identitas, bukan perampasan teritorial total. Partai yang ia dirikan, National Awami Party (NAP), mewakili faksi Pashtun sekuler yang menginginkan otonomi dan ingin lepas dari dominasi Islamabad.

Kontradiksi muncul ketika tuntutan Pashtunistan yang non-kekerasan dan otonomis oleh Bacha Khan disandingkan dengan tuntutan revisi teritorial yang didukung kekerasan oleh pemerintah Kabul/Taliban dan kelompok militan Pashtun saat ini. Analisis ini menyoroti bahwa masalah Pashtun di Pakistan memerlukan solusi politik yang mendalam, berfokus pada otonomi dan integrasi, bukan hanya respons keamanan.

Geopolitik Keamanan: Garis Durand sebagai Jalur Konflik

Ketidakstabilan Garis Batas dan Operasi Kontra-Terorisme

Karakter geografis Garis Durand—membentang melalui medan pegunungan yang sulit—menyebabkan sebagian besar perbatasan tetap tidak dipolisikan. Ini adalah faktor kunci yang memungkinkan Garis Durand berfungsi sebagai jalur utama bagi rekrutmen dan pergerakan jaringan jihadi dan militan. Masalah terorisme, terutama yang melibatkan Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), menjadi inti dari ketegangan perbatasan kontemporer.

Kondisi geografis yang menantang ini memberikan keuntungan asimetris yang signifikan bagi aktor non-negara. Kelompok seperti TTP dan Jaringan Haqqani dapat memanfaatkan medan terjal dan ikatan kesukuan lintas batas untuk menghindari deteksi dan patroli, bergerak bebas melintasi batas yang secara politik dipaksakan ini.

Kebijakan Pakistan: Pemagaran dan Militerisasi Unilateral

Untuk mengatasi ancaman keamanan dan pergerakan militan, Pakistan telah mengambil tindakan unilateral yang drastis. Pakistan memulai pembangunan pagar di sepanjang perbatasannya dengan Afghanistan, yang direncanakan mencapai 2,400 kilometer, setelah sebelumnya menyelesaikan pembangunan parit sepanjang 1,100 kilometer. Pembangunan pagar ini, yang dimulai di wilayah pedalaman Mohmand dan Bajaur, dipandang oleh Pakistan sebagai tindakan pertahanan kedaulatan untuk membatasi pergerakan militan.

Namun, upaya pemagaran ini ditanggapi dengan “perlawanan keras dari Afghanistan”. Juru bicara Taliban secara terbuka menentang pagar tersebut. Pakistan melihat pemagaran sebagai solusi keamanan taktis dan penegasan kedaulatan de facto-nya. Sebaliknya, bagi Afghanistan dan banyak suku Pashtun, pagar itu adalah simbol fisik dan permanen dari warisan kolonial Inggris yang membagi mereka. Upaya unilateral ini, alih-alih menyelesaikan konflik, justru meningkatkan ketegangan, mengubah sengketa hukum/etnis menjadi konfrontasi militer langsung ketika pasukan perbatasan Afghanistan berusaha mencegah konstruksi.

Perang Proksi dan Siklus Konfrontasi Bilateral

Ketegangan di Garis Durand diwarnai oleh tuduhan timbal balik yang intens mengenai perlindungan militan. Kedua negara sering saling menuduh melindungi perwakilan militan di perbatasan masing-masing untuk melancarkan serangan lintas batas.

Dalam dinamika ini, TTP berfungsi sebagai ‘kartu’ keamanan yang vital bagi Afghanistan. Kabul, atau setidaknya elemen-elemen di dalamnya, mengizinkan atau mentoleransi TTP sebagai cara untuk membalas tekanan Pakistan mengenai pengakuan perbatasan. Eskalasi ketegangan tajam baru-baru ini telah menyebabkan Pakistan melancarkan serangan udara balasan ke Afghanistan (misalnya, di provinsi Paktia) setelah serangan TTP yang menewaskan banyak tentara Pakistan. Pihak Taliban Afghanistan merespons dengan menuduh serangan udara Pakistan menewaskan puluhan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dan berjanji akan melakukan balasan. Bentrokan bersenjata di sepanjang perbatasan ini telah menjadi fitur yang terjadi secara berkala sejak 1949.

Eskalasi semacam ini mengancam kedaulatan udara Afghanistan dan secara drastis mengikis kepercayaan, bahkan antara Pakistan dan Taliban Afghan. Hal ini menegaskan bahwa Garis Durand tidak hanya memisahkan wilayah tetapi juga menopang siklus kekerasan dan ketidakpercayaan regional.

Table III: Dinamika Konflik Lintas Batas Kontemporer

Tantangan Keamanan Aktor Utama Dampak Geopolitik
Penampungan Militan TTP, Jaringan Haqqani Pemicu serangan balasan militer (air strikes) Pakistan. Mengikis kepercayaan antara Islamabad dan Taliban.
Kontrol Perbatasan/Bentrokan Militer Pakistan vs. Pasukan Afghanistan/Taliban Konfrontasi bilateral, blokade perbatasan, dan eskalasi regional.
Pemagaran Unilateral Pemerintah Pakistan Menimbulkan perlawanan keras dari Pashtun dan Pemerintah Afghanistan. Mengubah sifat sengketa dari de jure menjadi konflik fisik.
Dampak Ekonomi/Kemanusiaan Penduduk Sipil, Pedagang Lintas Batas Ketidakstabilan regional, pengungsian, dan kerentanan ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh militan.

Implikasi Ekonomi dan Kemanusiaan Lintas Batas

Dampak Penutupan Pos Lintas Batas Utama (Torkham dan Chaman)

Garis Durand berfungsi sebagai jalur perdagangan utama bagi Afghanistan, yang merupakan negara terkurung daratan. Pos lintas batas utama seperti Torkham dan Chaman adalah arteri logistik penting bagi perdagangan lintas batas.

Ketidakstabilan di sepanjang garis demarkasi dan penutupan perbatasan yang sporadis, sering kali sebagai respons terhadap bentrokan militer atau masalah keamanan, berdampak signifikan terhadap perdagangan lintas batas, logistik, dan ekonomi wilayah yang lebih luas. Kontrol yang lebih ketat memaksa penduduk yang secara tradisional mengandalkan pergerakan bebas untuk menggunakan pos lintas batas resmi, yang dapat menjadi subjek perselisihan dan penutupan. Pakistan menggunakan penutupan Torkham dan Chaman sebagai alat tekanan geopolitik yang efektif terhadap Kabul, terutama setelah pemerintahan Taliban mengambil alih.

Perdagangan Ilegal, Pemasukan Suku, dan Destabilisasi Ekonomi

Gangguan terhadap perdagangan formal dan informal tradisional yang disebabkan oleh militerisasi dan pemagaran Garis Durand menciptakan kerentanan ekonomi yang parah di kalangan suku perbatasan. Populasi yang kehilangan mata pencaharian legal dan tradisional mereka lebih mudah direkrut, atau dipaksa, untuk mendukung jaringan logistik militan dan perdagangan ilegal.

Terdapat korelasi langsung antara pengetatan perbatasan yang mengganggu ekonomi lokal dan peningkatan ancaman keamanan internal. Dengan merusak mata pencaharian legal di wilayah perbatasan, tindakan militer Pakistan secara tidak sengaja dapat menciptakan kondisi ekonomi yang mendukung pertumbuhan aktor non-negara di kawasan tersebut, menghubungkan keamanan ekonomi langsung dengan keamanan militer.

Isu Pengungsi, Migrasi, dan Beban Kemanusiaan

Konflik yang berkepanjangan dan tidak stabilnya Garis Durand menciptakan dampak kemanusiaan yang signifikan, termasuk pengungsian warga sipil dari wilayah pertempuran dan peningkatan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan. Ketidakstabilan ini menambah beban yang sangat besar pada Pakistan untuk mengelola arus migrasi, termasuk populasi pengungsi Afghanistan yang telah lama tinggal.

Isu pengungsi dan migrasi sering menjadi isu politik internal yang sensitif di Pakistan. Konflik dan upaya pemagaran menambah kompleksitas pada situasi ini, terutama ketika Pakistan menjalankan kebijakan kontroversial seperti deportasi massal, yang dapat memperburuk ketegangan kemanusiaan dan bilateral.

Proyeksi Masa Depan dan Rekomendasi Kebijakan

Analisis Konflik Struktural yang Berkelanjutan

Perselisihan mengenai Garis Durand adalah konflik struktural yang akan terus meracuni hubungan bilateral selama perbedaan fundamental dalam sudut pandang hukum dan identitas tidak terselesaikan. Pakistan kemungkinan akan terus menganggap Garis Durand sebagai perbatasan yang diselesaikan, memperlakukannya sebagai masalah keamanan nasional. Sementara itu, Afghanistan akan terus menyoroti sifat Garis Durand yang belum terselesaikan sebagai akar penyebab masalah keamanan dan identitas.

Tindakan militer dan unilateral, seperti pemagaran atau serangan udara, hanya dapat memberikan pengendalian taktis terhadap ancaman militan tetapi sama sekali tidak mampu menawarkan resolusi politik struktural. Pemulihan kepercayaan antara Islamabad dan Kabul, yang telah terkikis tajam, adalah prasyarat utama untuk kemajuan diplomasi.

Hambatan Utama menuju Normalisasi dan Pencairan Kepercayaan

Hambatan utama bagi Pakistan adalah penghentian absolut dukungan Afghanistan terhadap TTP, Jaringan Haqqani, dan kelompok militan lainnya yang melancarkan serangan lintas batas. Sebaliknya, prasyarat utama Afghanistan adalah penghormatan terhadap identitas Pashtun dan pengakuan atas konsekuensi sosio-kultural dari Garis Durand di sisi Pakistan.

Resolusi harus mengakui bahwa masalah Pashtunistan tidak dapat dipadamkan melalui kekuatan militer. Kekuatan pendorong di balik konflik ini adalah gabungan dari tuntutan identitas yang tidak terpenuhi dan pemanfaatan kekosongan perbatasan oleh aktor non-negara.

Rekomendasi Strategis untuk Penyelesaian Jangka Panjang

Penyelesaian konflik Garis Durand memerlukan diplomasi multi-jalur yang didukung oleh mediasi pihak ketiga yang netral.

Untuk Pakistan: Pendekatan Otonomi dan Inklusif

Pakistan harus mengalihkan fokus dari keamanan murni ke solusi identitas dan politik. Ini dapat dicapai melalui:

  • Otonomi Politik: Menawarkan otonomi politik dan ekonomi yang lebih besar kepada wilayah-wilayah Pashtun di Pakistan (terutama di Khyber Pakhtunkhwa). Integrasi politik yang lebih dalam dapat meredam sentimen irredentis yang dipromosikan Kabul, mengurangi insentif bagi suku-suku untuk mendukung gerakan militan.
  • Transparansi Ekonomi: Menggunakan pos lintas batas (Torkham, Chaman) sebagai insentif dengan menjamin kelancaran perdagangan dan logistik, mengurangi potensi Garis Durand digunakan sebagai senjata ekonomi.

Untuk Afghanistan/Taliban: Pragmatisme Geopolitik

Pemerintah Afghanistan harus menyadari bahwa tuntutan teritorial Pashtunistan yang ambisius tidak akan realistis dan menghambat kepentingan ekonomi negara. Jalan menuju stabilitas adalah:

  • Mengisolasi TTP: Secara tegas memisahkan dukungan historis terhadap TTP dari kebutuhan pragmatis negara Afghanistan. Kegagalan mengisolasi TTP akan terus membenarkan tindakan balasan militer Pakistan dan memblokir bantuan ekonomi internasional.
  • Negosiasi Quid Pro Quo: Menggunakan penolakan Garis Durand sebagai alat tawar-menawar strategis untuk mendapatkan jaminan keamanan dan ekonomi jangka panjang dari Islamabad (seperti akses perdagangan preferensial dan pengakuan diplomatik), alih-alih mempertahankan klaim teritorial yang tidak mungkin tercapai.

Penyelesaian yang dinegosiasikan dapat berupa semacam pembagian wilayah sengketa yang sangat kecil, atau yang lebih mungkin, penerimaan Afghanistan terhadap Garis Durand sebagai perbatasan internasional yang diselesaikan, dengan imbalan penghentian mutlak dukungan Pakistan terhadap semua militan Afghanistan. Hanya dengan pendekatan yang menggabungkan insentif ekonomi dan jaminan keamanan yang menguntungkan kedua belah pihak, konflik Garis Durand dapat dinormalkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

87 − = 77
Powered by MathCaptcha